"Aku cuman mau kasih tahu kamu sesuatu aja," ucap Devan dengan wajah gelisah. Lelaki itu mencoba untuk tetap tenang. Sekalipun dia tahu, bila hal itu hanya akan menyakiti wanitanya. "Apa, Mas? Jangan bikin aku gelisah dong, Mas," balas Ariana. Ia mencoba menahan emosinya sendiri. Devan lagi-lagi menghembuskan nafas panjangnya. Kali ini, tindakannya sedikit lebih berani. Dia memegang tangan Ariana sembari berkata pelan. "Ariana, kamu masih inget soal Udin sama Jarot, kan? Mereka berdua sekarang udah dipenjara. Tapi, jatah mereka dipenjara cuman dua tahun. Kalo mereka ke luar penjara nanti, Mas harap, kamu bisa kabur dari rumah ini," ucap Devan dengan suara lirih. Ariana seketika menaikkan salah satu alisnya. Dia tak menyangka bila suaminya mengatakan hal yang menegangkan seperti ini. "Mas, ngapain aku harus khawatir? Orang mereka juga lagi dipenjara. Kalo pun mereka ke luar dari penjara, mereka apa nggak malu sama orang-orang di sekitar sini, Mas? Jadi, mereka nggak mungkin macem-m
"Sementara waktu, kita di sini aja ya, Mbak. Takutnya, nanti kalo malah kitanya yang kenapa-napa. Bisa bahaya, Mbak," ucap Risma. Ia berusaha memberikan peringatan kepada Ariana. "Iya, Mbak Risma. Tapi, kalo mereka berdua nemuin kita, gimana?" tanya Ariana dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Risma dengan wajah ketakutan. "Mbak jangan mikir negatif dulu, kita berdua nanti kenapa-napa kalo Mbak mikirnya gitu," balas Risma dengan suara lirih. "I--iya, Mbak," komentar Ariana. Ia menganggukkan kepalanya pelan, sebelum akhirnya, dia kembali berdiam diri. Beberapa saat setelahnya, suasana kembali tenang. Namun, kedua orang itu tidak kunjung pergi. "Gimana ini?! Apa kita berdua kehilangan jejaknya?!" pekik Rey, ia menoleh ke arah Latif dengan tatapan tajam. "Iya kayanya, awas aja tuh perempuan! Habis sama kita nanti! Ayo! Cabut dari sini!" teriak Latif, ia segera mengajak temannya pergi dari pasar itu. Setelah keadaan benar-benar aman, keduanya langsung pergi dari pasar. "Huh, untung
"Astaghfirullah, Mbak Ariana, gimana ini? Gimana kalo mereka berdua beneran masuk ke sini?" tanya Risma dengan suara lirih. Wajahnya gelisah, sesekali, dia menoleh ke segala arah dengan perasaan takut. Ariana menggigit jemarinya sendiri, memikirkan beberapa cara yang bisa dilalukan. "Heum, kita harus pergi dari sini, Risma. Kita bisa pergi lewat belakang," balas Ariana. Wanita itu berjalan ke belakang dengan Risma dengan hati-hati. Sebelum itu, petugas satpam yang ada di lingkungan itu, segera pergi ke rumah dan segera berjalan ke dua preman itu. "Woy! Siapa kalian?!" teriak petugas keamanan itu seraya mengangkat tongkat yang biasa dia bawa. Lantas, dua preman yang ada di depan rumahnya, seketika pergi dari rumah itu. "Sialan! Kenapa ada satpam di sini?" tanya salah satu preman yang ada di sana. Ia melirik ke arah temannya, memberi kode kepadanya untuk pergi dari sana. Pada akhirnya, keduanya pergi meninggalkan rumahnya."Ayo pergi!" pekik preman yang ada di sampingnya. Mereka ber
"Oh, pemilik cafe itu temen kamu. Ya maafin aku, Ariana. Aku baru ngerti," ucap Devan. "Ya udah, Mas. Sekarang, aku minta kamu pikirin dulu, itu gimana ceritanya biar dua orang preman yang ganggu aku bisa pergi. Aku nggak mau tahu, pokoknya, urusan itu harus selesai," kata Ariana. Ia berjalan meninggalkan Devan dan segera bergegas ke kamar. Di sana, dia tertidur pulas. Sedangkan Devan, lelaki itu memikirkan cara agar dia bisa segera menuntaskan permasalahan itu. Keesokan harinya, tepat di hari Jum'at pagi, Devan berangkat pagi-pagi. Seperti biasa, lelaki itu mengerjakan pekerjaannya dengan baik. Lalu, setelah dirinya selesai, Devan segera kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah, dia terkejut karena Vasya ada di sana. "Vasya, kamu udah pulang, Nak?" tanya Devan, ia berusaha terlihat sopan di hadapan Vasya. Gadis cilik itu menganggukkan kepala. Lantas, dengan ragu-ragu, dia bertanya. "Udah, Mama di mana? Ayah lihat, nggak?" Vasya celingukan ke sana ke mari, hendak mencari keberad
Adnan dan Ariana segera berlari ke luar mobil. Keduanya saling melempar pandangan satu sama lain. "Ariana! Jangan pergi ke dalem! Biar aku aja!" pekik Adnan, ia berusaha mencegah Ariana. Namun, Ariana tak mengindahkan permintaannya. "Bantu aku buat buka pintunya, Adnan!" teriak Ariana. Wanita itu pergi ke arah samping kanan, mengambik ember dan menyalakan keran, hendak memadamkan api yang ada di rumahnya. Sementara itu, Adnan yang ada di sampingnya, langsung menelepon petugas pemadam kebakaran. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, setelah beberapa saat, dia langsung membuka pintu rumah dan masuk ke dalam."Vasya! Vasya, di mana kamu?" tanya Adnan, ia melempar pertanyaan ke segala penjuru ruangan. Di satu sisi, Ariana yang berada di luar, segera menembus ke dalam. Sebelum masuk ke dalam, dia menelepon beberapa orang yang dia kenal. Di dalam rumah itu, tak ada satupun orang. "Uhuk-uhuk, Astaghfirullah, di mana Devan sama Vasya? Mereka nggak kenapa-napa, kan?" batin Ariana. W
"Ferel?!" Devan terkejut setelah melihat kehadiran lelaki itu. Lelaki yang telah menjadi penolongnya di beberapa waktu yang lalu."Ya, Devan? Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Ferel sembari tersenyum tipis. Devan yang melihatnya, menundukkan kepala, dia menggelengkan kepalanya. "Nggak ada, kok. Cuman, aku nggak enak, kalo harus ngerepotin kamu terus," balas Devan dengan suara lirih. Ferel berjalan mendekatinya, lalu menepuk pundaknya. "Udah aku bilang, kan? Nggak usah sungkan kalo sama aku. Aku ini temen kamu, Devan. Bukan orang lain, jangan kayak gitu," ucap Ferel. Ia mengembangkan senyuman di hadapan Devan. Berusaha bersikap dengan tangan terbuka di hadapan Devan. Ariana yang melihat teman Devan, seketika terkejut. Dia hafal betul siapa sosok Ferel itu. Dia mengingat waktu di mana Mas Devan memberi tahunya bahwa Ferel adalah orang yang telah memberi pekerjaan untuk suaminya. Tak hanya itu, dia juga mengingat ucapan Devan yang mengatakan bahwa Ferel telah membeli sebuah kulkas, le
"Tunggu dulu, kita nggak bisa pergi berdua aja, ajak salah satu polisi di sini, Devan!" ucap Ferel. Lelaki itu menoleh ke arah salah satu polisi. "Pak, Bapak bisa ikut saya. Kebetulan, kami juga sedang menyelidiki keberadaannya. Mari, Pak," ajak Ferel. Seorang polisi yang berada di hadapannya, menganggukkan kepala, seraya berkata, "Baik, Pak. Saya akan ikut," balas pak polisi tersebut. Keduanya langsung bergegas ke jalanan. Sebelum itu, Devan melihat pak polisi yang tengah mengeluarkan mobil polisi. "Ferel, jangan pakai mobil polisi, suruh saja dia pakai mobil biasa. Mereka itu bukan preman sembarangan, hal-hal kayak gini udah jadi makanan mereka. Pasti mereka gampang mengenali kita," ucap Devan. "Oh iya, kamu bener juga, Van. Ya udah kalo gitu, tunggu sebentar," balas Ferel. Lelaki itu berjalan ke salah satu polisi. Lalu, di sana, ia mengingatkannya. "Oh iya, tolong jangan pakai mobil polisi, ya, Pak. Mereka bakalan ngerti kalo itu mobil Bapak. Jadi, mendingan Bapak pakai mobil b
Jarot dan Udin berjalan ke belakang. Di sana, mereka menemukan satu ruangan yang tertutup rapat. "Jarot, itu apa?" tanya Udin dengan suara lirih. Jarot seketika menaikkan salah satu alisnya. Dia melirik ke ruangan yang dia tutup. "Wah, aku juga nggak ngerti. Tapi, ayo ke sana," balas Jarot. Dia terus saja memperhatikan ruangan yang tertutup rapat itu. Namun, dia merasa tak yakin, karena di sana terdapat banyak jaring laba-laba."Haduh, gimana ini? Aku nggak berani ke sana, Rot! Liat aja itu, ruangannya. Masa kamu berani buat pergi ke sana? Ada banyak jaring laba-laba loh di sana," ucap Udin dengan suara lirih. Jarot langsung mengarahkan pandangannya ke arah ruangan itu. Yah, ruangan itu memang sangat gelap. Di sekitarnya, terdapat beberapa binatang-binatang seperti laba-laba dan semut berjajaran di sepanjang dinding. Dindingnya pun juga terkesan mengerikan. "Eh, lagian, siapa yang bakalan mau ke sana, ya? Nggak ada, pasti. Ya udah, ayo pergi dari sini," ajak Jarot. Lelaki itu kemb