Adnan dan Ariana segera berlari ke luar mobil. Keduanya saling melempar pandangan satu sama lain. "Ariana! Jangan pergi ke dalem! Biar aku aja!" pekik Adnan, ia berusaha mencegah Ariana. Namun, Ariana tak mengindahkan permintaannya. "Bantu aku buat buka pintunya, Adnan!" teriak Ariana. Wanita itu pergi ke arah samping kanan, mengambik ember dan menyalakan keran, hendak memadamkan api yang ada di rumahnya. Sementara itu, Adnan yang ada di sampingnya, langsung menelepon petugas pemadam kebakaran. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, setelah beberapa saat, dia langsung membuka pintu rumah dan masuk ke dalam."Vasya! Vasya, di mana kamu?" tanya Adnan, ia melempar pertanyaan ke segala penjuru ruangan. Di satu sisi, Ariana yang berada di luar, segera menembus ke dalam. Sebelum masuk ke dalam, dia menelepon beberapa orang yang dia kenal. Di dalam rumah itu, tak ada satupun orang. "Uhuk-uhuk, Astaghfirullah, di mana Devan sama Vasya? Mereka nggak kenapa-napa, kan?" batin Ariana. W
"Ferel?!" Devan terkejut setelah melihat kehadiran lelaki itu. Lelaki yang telah menjadi penolongnya di beberapa waktu yang lalu."Ya, Devan? Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Ferel sembari tersenyum tipis. Devan yang melihatnya, menundukkan kepala, dia menggelengkan kepalanya. "Nggak ada, kok. Cuman, aku nggak enak, kalo harus ngerepotin kamu terus," balas Devan dengan suara lirih. Ferel berjalan mendekatinya, lalu menepuk pundaknya. "Udah aku bilang, kan? Nggak usah sungkan kalo sama aku. Aku ini temen kamu, Devan. Bukan orang lain, jangan kayak gitu," ucap Ferel. Ia mengembangkan senyuman di hadapan Devan. Berusaha bersikap dengan tangan terbuka di hadapan Devan. Ariana yang melihat teman Devan, seketika terkejut. Dia hafal betul siapa sosok Ferel itu. Dia mengingat waktu di mana Mas Devan memberi tahunya bahwa Ferel adalah orang yang telah memberi pekerjaan untuk suaminya. Tak hanya itu, dia juga mengingat ucapan Devan yang mengatakan bahwa Ferel telah membeli sebuah kulkas, le
"Tunggu dulu, kita nggak bisa pergi berdua aja, ajak salah satu polisi di sini, Devan!" ucap Ferel. Lelaki itu menoleh ke arah salah satu polisi. "Pak, Bapak bisa ikut saya. Kebetulan, kami juga sedang menyelidiki keberadaannya. Mari, Pak," ajak Ferel. Seorang polisi yang berada di hadapannya, menganggukkan kepala, seraya berkata, "Baik, Pak. Saya akan ikut," balas pak polisi tersebut. Keduanya langsung bergegas ke jalanan. Sebelum itu, Devan melihat pak polisi yang tengah mengeluarkan mobil polisi. "Ferel, jangan pakai mobil polisi, suruh saja dia pakai mobil biasa. Mereka itu bukan preman sembarangan, hal-hal kayak gini udah jadi makanan mereka. Pasti mereka gampang mengenali kita," ucap Devan. "Oh iya, kamu bener juga, Van. Ya udah kalo gitu, tunggu sebentar," balas Ferel. Lelaki itu berjalan ke salah satu polisi. Lalu, di sana, ia mengingatkannya. "Oh iya, tolong jangan pakai mobil polisi, ya, Pak. Mereka bakalan ngerti kalo itu mobil Bapak. Jadi, mendingan Bapak pakai mobil b
Jarot dan Udin berjalan ke belakang. Di sana, mereka menemukan satu ruangan yang tertutup rapat. "Jarot, itu apa?" tanya Udin dengan suara lirih. Jarot seketika menaikkan salah satu alisnya. Dia melirik ke ruangan yang dia tutup. "Wah, aku juga nggak ngerti. Tapi, ayo ke sana," balas Jarot. Dia terus saja memperhatikan ruangan yang tertutup rapat itu. Namun, dia merasa tak yakin, karena di sana terdapat banyak jaring laba-laba."Haduh, gimana ini? Aku nggak berani ke sana, Rot! Liat aja itu, ruangannya. Masa kamu berani buat pergi ke sana? Ada banyak jaring laba-laba loh di sana," ucap Udin dengan suara lirih. Jarot langsung mengarahkan pandangannya ke arah ruangan itu. Yah, ruangan itu memang sangat gelap. Di sekitarnya, terdapat beberapa binatang-binatang seperti laba-laba dan semut berjajaran di sepanjang dinding. Dindingnya pun juga terkesan mengerikan. "Eh, lagian, siapa yang bakalan mau ke sana, ya? Nggak ada, pasti. Ya udah, ayo pergi dari sini," ajak Jarot. Lelaki itu kemb
"Ma, di sini gelap banget, Vasya takut," bisik Vasya dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Ariana dengan tatapan takut. Ariana seketika menganggukkan kepala, berusaha mengelus kepala sang anak. "Sebenernya ini kos atau bukan, sih? Kenapa mesti ada gudang dan banyak tong kosong besar di sini?" batin Ariana. Yah, wanita itu berpikir keras karena untuk ukuran rumah kos-kosan, rumah ini terlalu besar. Bahkan, di beberapa dindingnya pun terdapat beberapa gambaran seperti petunjuk tertentu yang sama sekali tidak dimengerti oleh Ariana. Pula, di sana juga terdapat sebuah tulisan "No Entry" yang semakin membuat rasa penasarannya tinggi. Ariana seketika menelan ludahnya sendiri. Wanita itu akhirnya berdiri ketika sampai di depan sebuah pintu. Beruntungnya, pintu itu terbuka sedikit. Ariana langsung mengeceknya. "Untung aja nggak ada orang di sini," batinnya. Ia buru-buru menggandeng tangan Vasya dan masuk ke dalam ruangan itu. Vasya awalnya sempat menolak. Namun, bagaimana pun Ariana tet
"Jadi, ini gimana, Van?" tanya Ferel. Lelaki itu menaikkan salah satu alisnya ke atas. ********"Kamu tahu ini ruangan apa, Rot?" Udin bertanya dengan wajah gelisah. Ia mengedarkan pandangan ke segala ruangan. Di sana, hanya ada beberapa tumpukan peti mati sekaligus sebuah kotak besar nan kosong. "Aku nggak ngerti kita berdua di mana, tapi ini ngeri, ayo balik ke atas, kayanya, kita kejauhan. Aku takut," balas Jarot. Udin manggut-manggut, dia menyetujui usulan itu. Tak lama kemudian, keduanya langsung bergegas kembali ke tangga atas. Ketika melewati tangga atas itu, ada beberapa pajangan dengan gambaran sebuah batu hitam dengan batu hijau emas. Jarot dan Udin sama sekali tak mengerti apa artinya. "Udah, Rot. Kamu nggak usah ngomong dulu, kita harus pergi dari sini," ucap Udin dengan suara lirih. Keduanya langsung bergegas pergi ke atas, mereka menyusuri ruangan yang nampak lengang. Tak ada satu pun yang tahu soal ruangan itu, karena masing-masing ruangan tertutup. Pergerakan kedu
"Apa katamu? Mantan mafia? Yang bener aja, Ferel! Nggak mungkin mereka mantan mafia!" pekik lelaki itu dengan suara lantang. Ferel seketika menoleh ke arah Devan. "Heum, kamu kok nggak percaya sama aku, sih? Aku ini udah kerja di bidang penyelidikan selama puluhan tahun. Dan sekarang, kamu malah ngeraguin aku? Udah ya, Van. Mulai sekarang, aku saranin, kamu mendingan pergi dari kota ini. Pindah ke kota lain yang buat kamu lebih aman," ucap Ferel. Ia memberikan sebuah arahan kepada Devan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dan juga keluarganya. "Kalo aku pindah ke kota lain, di mana aku harus tinggal? Ariana juga nggak bakalan mau, soalnya, kamu tahu, kan? Dai juga kerja di kota ini," ucap Devan dengan wajah pasrah. "Soal itu, kamu tenang aja. Soalnya, tempat Istri kamu kerja itu punya cabangnya sendiri, kok. Dan kebetulan, aku udah lihat kalo di sana aman. Pindah ke Surabaya aja, mereka nggak bakalan ke sana, kok," kata Ferel dengan tegas. Deg!"Hah? Di mana kamu tahu tempat Istrik
"Jadi, apa tindakanmu sekarang? Kamu masih mau hidup di daerah sini? Atau gimana?" tanya Ferel dengan suara lirih. Ariana menoleh ke arah Devan, berusaha menyikutnya, hendak memberi isyarat agar lelaki itu turut berbicara. "Mas, gimana? Kamu punya tindakan apa?" Ariana kembali melontarkan pertanyaan. Sudah jelas hal itu membuat Devan kebingungan. "Aduh, Ma. Aku nggak ngerti sama jalan pemikiran kamu, serius. Aku dari dulu nggak pernah tahu di mana letak otakmu itu, loh. Bikin pusing orang aja," balas Devan dengan suara lantang. Dia menatap kedua matanya dengan tatapan tajam. "Mas! Jangan ngomong sembarangan kamu! Di sini ada Mas Ferel, loh! Kalo kamu mau ngomong kasar! Seenggaknya mikir-mikir dulu! Dasar suami bobrok!" pekik Ariana dengan wajah kesal. Ferel menghembuskan nafas panjangnya, ia merasa letih jika harus mendengar huru-hara di sana sini. Terlebih, dia sendiri sebenarnya tidak bisa melihat sosok Devan yang selalu bertindak kasar di hadapan Ariana. "Van, jangan ngomong k