"Tunggu dulu, kita nggak bisa pergi berdua aja, ajak salah satu polisi di sini, Devan!" ucap Ferel. Lelaki itu menoleh ke arah salah satu polisi. "Pak, Bapak bisa ikut saya. Kebetulan, kami juga sedang menyelidiki keberadaannya. Mari, Pak," ajak Ferel. Seorang polisi yang berada di hadapannya, menganggukkan kepala, seraya berkata, "Baik, Pak. Saya akan ikut," balas pak polisi tersebut. Keduanya langsung bergegas ke jalanan. Sebelum itu, Devan melihat pak polisi yang tengah mengeluarkan mobil polisi. "Ferel, jangan pakai mobil polisi, suruh saja dia pakai mobil biasa. Mereka itu bukan preman sembarangan, hal-hal kayak gini udah jadi makanan mereka. Pasti mereka gampang mengenali kita," ucap Devan. "Oh iya, kamu bener juga, Van. Ya udah kalo gitu, tunggu sebentar," balas Ferel. Lelaki itu berjalan ke salah satu polisi. Lalu, di sana, ia mengingatkannya. "Oh iya, tolong jangan pakai mobil polisi, ya, Pak. Mereka bakalan ngerti kalo itu mobil Bapak. Jadi, mendingan Bapak pakai mobil b
Jarot dan Udin berjalan ke belakang. Di sana, mereka menemukan satu ruangan yang tertutup rapat. "Jarot, itu apa?" tanya Udin dengan suara lirih. Jarot seketika menaikkan salah satu alisnya. Dia melirik ke ruangan yang dia tutup. "Wah, aku juga nggak ngerti. Tapi, ayo ke sana," balas Jarot. Dia terus saja memperhatikan ruangan yang tertutup rapat itu. Namun, dia merasa tak yakin, karena di sana terdapat banyak jaring laba-laba."Haduh, gimana ini? Aku nggak berani ke sana, Rot! Liat aja itu, ruangannya. Masa kamu berani buat pergi ke sana? Ada banyak jaring laba-laba loh di sana," ucap Udin dengan suara lirih. Jarot langsung mengarahkan pandangannya ke arah ruangan itu. Yah, ruangan itu memang sangat gelap. Di sekitarnya, terdapat beberapa binatang-binatang seperti laba-laba dan semut berjajaran di sepanjang dinding. Dindingnya pun juga terkesan mengerikan. "Eh, lagian, siapa yang bakalan mau ke sana, ya? Nggak ada, pasti. Ya udah, ayo pergi dari sini," ajak Jarot. Lelaki itu kemb
"Ma, di sini gelap banget, Vasya takut," bisik Vasya dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Ariana dengan tatapan takut. Ariana seketika menganggukkan kepala, berusaha mengelus kepala sang anak. "Sebenernya ini kos atau bukan, sih? Kenapa mesti ada gudang dan banyak tong kosong besar di sini?" batin Ariana. Yah, wanita itu berpikir keras karena untuk ukuran rumah kos-kosan, rumah ini terlalu besar. Bahkan, di beberapa dindingnya pun terdapat beberapa gambaran seperti petunjuk tertentu yang sama sekali tidak dimengerti oleh Ariana. Pula, di sana juga terdapat sebuah tulisan "No Entry" yang semakin membuat rasa penasarannya tinggi. Ariana seketika menelan ludahnya sendiri. Wanita itu akhirnya berdiri ketika sampai di depan sebuah pintu. Beruntungnya, pintu itu terbuka sedikit. Ariana langsung mengeceknya. "Untung aja nggak ada orang di sini," batinnya. Ia buru-buru menggandeng tangan Vasya dan masuk ke dalam ruangan itu. Vasya awalnya sempat menolak. Namun, bagaimana pun Ariana tet
"Jadi, ini gimana, Van?" tanya Ferel. Lelaki itu menaikkan salah satu alisnya ke atas. ********"Kamu tahu ini ruangan apa, Rot?" Udin bertanya dengan wajah gelisah. Ia mengedarkan pandangan ke segala ruangan. Di sana, hanya ada beberapa tumpukan peti mati sekaligus sebuah kotak besar nan kosong. "Aku nggak ngerti kita berdua di mana, tapi ini ngeri, ayo balik ke atas, kayanya, kita kejauhan. Aku takut," balas Jarot. Udin manggut-manggut, dia menyetujui usulan itu. Tak lama kemudian, keduanya langsung bergegas kembali ke tangga atas. Ketika melewati tangga atas itu, ada beberapa pajangan dengan gambaran sebuah batu hitam dengan batu hijau emas. Jarot dan Udin sama sekali tak mengerti apa artinya. "Udah, Rot. Kamu nggak usah ngomong dulu, kita harus pergi dari sini," ucap Udin dengan suara lirih. Keduanya langsung bergegas pergi ke atas, mereka menyusuri ruangan yang nampak lengang. Tak ada satu pun yang tahu soal ruangan itu, karena masing-masing ruangan tertutup. Pergerakan kedu
"Apa katamu? Mantan mafia? Yang bener aja, Ferel! Nggak mungkin mereka mantan mafia!" pekik lelaki itu dengan suara lantang. Ferel seketika menoleh ke arah Devan. "Heum, kamu kok nggak percaya sama aku, sih? Aku ini udah kerja di bidang penyelidikan selama puluhan tahun. Dan sekarang, kamu malah ngeraguin aku? Udah ya, Van. Mulai sekarang, aku saranin, kamu mendingan pergi dari kota ini. Pindah ke kota lain yang buat kamu lebih aman," ucap Ferel. Ia memberikan sebuah arahan kepada Devan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dan juga keluarganya. "Kalo aku pindah ke kota lain, di mana aku harus tinggal? Ariana juga nggak bakalan mau, soalnya, kamu tahu, kan? Dai juga kerja di kota ini," ucap Devan dengan wajah pasrah. "Soal itu, kamu tenang aja. Soalnya, tempat Istri kamu kerja itu punya cabangnya sendiri, kok. Dan kebetulan, aku udah lihat kalo di sana aman. Pindah ke Surabaya aja, mereka nggak bakalan ke sana, kok," kata Ferel dengan tegas. Deg!"Hah? Di mana kamu tahu tempat Istrik
"Jadi, apa tindakanmu sekarang? Kamu masih mau hidup di daerah sini? Atau gimana?" tanya Ferel dengan suara lirih. Ariana menoleh ke arah Devan, berusaha menyikutnya, hendak memberi isyarat agar lelaki itu turut berbicara. "Mas, gimana? Kamu punya tindakan apa?" Ariana kembali melontarkan pertanyaan. Sudah jelas hal itu membuat Devan kebingungan. "Aduh, Ma. Aku nggak ngerti sama jalan pemikiran kamu, serius. Aku dari dulu nggak pernah tahu di mana letak otakmu itu, loh. Bikin pusing orang aja," balas Devan dengan suara lantang. Dia menatap kedua matanya dengan tatapan tajam. "Mas! Jangan ngomong sembarangan kamu! Di sini ada Mas Ferel, loh! Kalo kamu mau ngomong kasar! Seenggaknya mikir-mikir dulu! Dasar suami bobrok!" pekik Ariana dengan wajah kesal. Ferel menghembuskan nafas panjangnya, ia merasa letih jika harus mendengar huru-hara di sana sini. Terlebih, dia sendiri sebenarnya tidak bisa melihat sosok Devan yang selalu bertindak kasar di hadapan Ariana. "Van, jangan ngomong k
Devan terdiam untuk beberapa saat, sedangkan Ariana hanya bisa menghela nafas panjang. Tak lama kemudian, dia segera pergi, meninggalkan Devan yang ada di dalam ketakutan dan kepanikan. "Heum, gimana sama keadaan Ariana, ya? Aku nggak tahu kenapa dia bisa kayak gitu!" batin Devan sembari menundukkan kepalanya. Sesekali, dia mengepalkan tangan kanan dan langsung mendobrak meja. Tak lama kemudian, Devan berjalan kembali ke rumah, dan langsung pergi bertemu dengan Ariana. "Ma, aku ke luar dulu, ada urusan sama Ferel. Dan, aku juga harus kerja sekarang," ucap Devan dengan suara lirih. Ariana hanya menganggukkan kepala, ia menghiraukan Devan yang dari tadi berusaha untuk berbicara dengannya. ******Devan kini berada di gudang, dia segera melakukan pekerjaannya. Di sana, beberapa orang tengah melakukan pengemasan beberapa barang. "Devan, kamu jangan lupa setoran jumlah barang buat hari ini, ya. Aku udah mau selesai nih, sama pekerjaannya," ucap Ferel sembari tersenyum. "Oke, tenang aj
"Ya udah, ayo pergi dari sini setelah selesai minum, Ferel. Aku harus mengurus gudang," ucap Devan dengan nada tegas. Ia tidak ingin bermain-main dengan pekerjaannya sendiri. Ferel menganggukkan kepala, menyetujui perkataan Devan. Mereka berdua menyelesaikannya dengan cepat. Keduanya sempat saling melirik kedua matanya. Masing-masing dari mereka, memikirkan kembali apa yang telah mereka lontarkan satu sama lain. Tak lama kemudian, mereka berdua menyelesaikan makanannya. Sehingga, mereka langsung pergi dari cafe tersebut. Keduanya melesat ke jalanan, lalu pergi ke gudang. Di sana, Devan menghindari Ferel. Devan langsung melakukan kegiatannya dengan baik. Selepas pulang, Devan pulang ke rumahnya sendiri dengan perasaan gelisah. Di tengah-tengah perjalanan, dia memutuskan untuk menenangkan diri sendiri. *********"Astaghfirullah, itu kan Adnan," batin Devan, lelaki itu tengah mengendarai motor. Di sana, kedua matanya melihat sosok Adnan yang sedang berbincang dengan seorang perempuan