Ketika dia berlari, Tita tiba-tiba mencegahnya. Ia meremas pundak sang kakak sambil menaikkan salah satu alisnya. "Mbak, kenapa kamu nggak bilang sama aku, ha?!" pekik Tita dengan tatapan tajam. Ariana yang melihatnya, seketika mengepalkan kedua tangan. Deg!"Tita?! Nga-ngapain kamu di sini, ha? Apa maksud kamu?" tanya Ariana dengan suara lirih, ia tak tahan dengan sikap sang adik. "Bilang sama aku, Mbak! Apa benar Mas Devan main sama cewe lain?! Kalo emang bener gitu kenyataannya! Besok aku mau ke tempat kamu!" pekik Tita. Ariana kehabisan kata-kata setelah mendengar hal itu. Ia menangis keras di hadapan sang adik. "Ka--kamu-?!""Apa, Mbak?! Aku udah dengerin semua perbincangan kamu sama Mas Adnan! Dengerin aku! Sejahat-jahatnya aku sama kamu! Aku juga masih punya nurani, Mbak! Dan kamu pikir?! Sebagai seorang perempuan! Aku tega ngebiarin kamu kayak gini, Mbak?! NGGAK!" pekik Tita sembari memeluk sang kakak. Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu menangis di pelukan sang kakak.
"Astaga! Dasar adek ipar nggak ada akhlak! Kamu apakan semuanya, ha?! Kamu pikir, apa yang ada di dalam pikiran kamu itu bener?!" tanya Devan dengan nada tinggi. "Pemikiran apa?! Orang kamu sendiri yang udah ngebuktiin kalo kelakuan kamu itu kayak Iblis, Mas! Inget, ya. Di status keluargaku, kamu itu cuman Kakak ipar. Jadi, kamu itu sama aja kayak orang asing!" jawab Tita dengan suara lantang. Wanita itu tak mau ambil pusing dengan sikap kakak iparnya. "Kak! Kita berdua harus pergi dari rumah ini! Ayo!" pekik Tita dengan nada tegas. Ariana yang melihat tingkah sang adik, lantas kebingungan. "Tita, kita baru aja sampek ke rumah Kakak. Masa iya mau pergi gitu aja?" tanya Ariana. "Aku nggak sudi terus-terusan di sini, Mbak! Kalo aku harus tinggal di sini selama tiga hari! Aku yang nggak betah! Mbak nggak usah khawatir! Kita bisa cari hotel kalo Mbak masih mau jalan-jalan di sini!" jawab Tita dengan tatapan sinis. Ariana menaikkan salah satu alisnya. Dia kebingungan dari mana Tita men
"Mbak! Tunggu dulu, Mbak! Aku nggak bohong sama kamu! Tolong dengerin penjelasan aku!" pekik wanita itu dengan suara lantang. Tita dan Ariana telah buta akan wanita itu. Mereka berdua pergi dan mengabaikan perkataannya. Namun, wanita itu sama sekali tak menyerah. Dia berlari sekuat tenaga untuk mengejar Tita dan Ariana. meski begitu, keduanya sama sekali tak peduli. "Cih, perempuan murahan itu kalo mau bohong, bisa banget ya, Mbak!" pekik Tita dengan tatapan sinis. Ariana menganggukkan kepalanya pelan. "Iya, Tita. Ya kali, dia bisa aja udah disuruh sama Mas Devan bohong! Salah sendiri, uang yang harusnya dibuat kebutuhan rumah, malah dihabisin buat foya-foya sama temen yang baru. Sekarang, bisa jadi duitnya menipis. Makanya, dia bisa kayak gitu!" balas Ariana. Ia menatap Tita dengan tatapan tajam. "Heum, bener itu, Mbak!" pekik Tita dengan suara lantang. Mereka berdua kini telah berada jauh dari hadapan wanita itu. Tak lama kemudian, angkot pun datang. Mereka berdua langsung menaik
"Mbak, sekarang gimana?" tanya Tita sembari menelan ludahnya. Ariana menoleh ke arah Tita dengan tatapan penuh keraguan. "Kamu mau ngomongin apa, Tita?" Ariana bertanya dengan hati gemetar. Dia menoleh ke arah Ariana sembari memutar kedua bola matanya. "Mas Devan, Mbak! Gimana sama dia? Kamu mau minta maaf sama dia, nggak?" tanya Tita dengan suara lirih. Wanita yang lebih muda usianya daripada Ariana itu, seketika berhenti sejenak. Ia memperhatikan raut wajah Ariana yang tergolong gelisah. "Mbak--Mbak harus ketemu sama Mas Devan, Tita. Tapi, nggak sekarang," balasnya dengan wajah sedih. "Ya udah kalo gitu, ayo cari tempat buat nginep dulu, Mbak. Daripada kita di sini dan-""Tunggu!" teriak Adnan dari kejauhan. Ariana dan Tita segera menoleh ke sumber suara. Dia tidak habis pikir karena lelaki itu masih mengejarnya. "Mas Adnan!" Ariana mengerutkan dahinya sendiri ketika mengetahui kehadiran Adnan. Lelaki itu melempar pandangan ke arahnya. "Ariana, Tita. Kalian berdua ikut saya aj
"Tita, ini kenapa Mas Devan nggak bangun-bangun, ya?" tanya Ariana dengan wajah lesu. Berkali-kali ia mengelus kepala suaminya. Tita yang berada di sampingnya, seketika menghembuskan nafas pelan. "Mbak, Mbak Ariana sabar dulu. Dia udah pasti bakalan sadar kok, Mbak. Jangan khawatir, ya," jawab Tita sembari tersenyum. Ia menoleh ke arah Ariana dengan senyum terpaksa. "Tapi, kalo nanti dia nggak bangun-bangun gimana?" tanya Ariana dengan wajah gelisah. Tita mendengus kesal sambil memukul lengan Ariana dengan pelan. "Mendingan, Mbak sekarang mandi sama sholat dulu. Mbak Ariana mandi di masjid depan rumah sakit aja. Untung aja kita bawa koper ya, Mbak," ucap Tita dengan suara lirih sambil tersenyum di hadapan Ariana. Ariana hanya berdiam diri, lantas melangkah pergi ke masjid. Dari kejauhan, Tita sadar bahwa apa yang dia lakukan nyatanya sia-sia."Hmm, Mbak Ariana sesayang itu sama Mas Devan meski udah berkali-kali disakitin?" batin Tita sambil menangis. Di hari itu, dirinya sama seka
"Lepas, Mbak! Mbak Ariana jangan gila!" pekik sang adik dengan nada tinggi. Wanita itu berhenti sejenak. "Jangan teriak-teriak gitu dong, Dek! Kamu tahu kan, ini rumah sakit!" pekik Ariana, ia memelankan suaranya, namun nada bicaranya tetap tegas."Terserah apa kata Mbak Ariana! Pokonya, Tita mau pergi! Mbak Ariana harusnya tahu diri, dong! Tita udah berbaik hati nyampek sini buat bantuin Mbak urusin masalah Mbak, ya! Eh, nggak tahunya Mbak malah minta duit buat pengobatan Mas Devan! Lagian, kecelakaan Mas Devan nggak ada hubungannya sama Mbak dan aku!" jawab Tita dengan suara lantang. Yah, bagi Tita. Uang adalah aset berharga yang tidak boleh sembarangan diberikan kepada orang lain, termasuk Devan. Dia tak terima jika Ariana terlalu sering meminta uang kepada keluarganya sendiri. "Tolongin Mbak, Dek, Mbak mohon," ucap Ariana. "Tolong?! Mbak nggak sadar?! Mbak, dulu yang nyiapin acara pernikahan siapa? Itu semua duit dari kita loh, Mbak! Bahkan, seserahan Mbak yang harusnya dari k
"Aku nggak kenal sama dia, Ma! Makanya, aku bisa seenaknya sendiri kalo ngomong ini!" pekik lelaki itu dengan nada tinggi. Ariana menggerutu di dalam hatinya, "Ya kalo gitu, jangan sok-sok an nuduh orang, Mas. Kamu itu gimana, sih?" "Heum, iya, deh. Saya minta maaf ya, Mas. Maklum, Istri saya orangnya emang nggak bener, makanya saya suka khawatir kalo sampek dia kenapa-napa.""Heum, seyakin apa Anda kalo Istri kamu ini nggak bener? Kamu lupa sama saya, Devan?! Saya ini sahabat Ariana dari sejak kami kecil! Jangan seenaknya sendiri kami ngomong kayak gitu! Saya jauh lebih ngerti Ariana dibanding kamu!" jawab Adnan dengan suara lantang. Deg!Devan terpenjerat dengan kalimat itu. Ia tahu betul siapa Adnan. Namun, dia tidak menyangka bila lelaki itu telah berubah menjadi sosok laki-laki yang berwibawa, jauh berbeda dari yang dia kenal sebelumnya. "A--aduh, sekali lagi saya minta maaf, Adnan. Saya bener-bener nggak ngerti," ucap Devan dengan suara lirih. "Kalo kamu mau minta maaf, haru
"Baiklah kalau begitu, bagaimana kamu akan menyelesaikannya, Ariana?" tanya Adnan dengan suara lirih. Deg!Ariana lagi-lagi berpikir keras, ia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Entah kenapa pikirannya berkecamuk. Namun, wanita itu tahu apa yang harus dia lakukan. "Nan, pertama-tama. Aku harus punya pekerjaan tetap dulu buat nyukupin kehidupanku sama anak aku. Kedua, aku harus bicara pelan-pelan dan tunggu waktu yang tepat buat ngomong soal ini. Karena aku tahu, kalo Ayahku lagi sakit. Dan sekarang, pasti dia butuh banyak biaya buat pengobatan. Aku nggak bisa seegois itu, Adnan." Ariana mengatakannya meski dadanya sendiri merasa sesak. Adnan seketika terdiam untuk beberapa saat, dia sangat mengerti kondisi Ariana. Lelaki itu sama sekali tak berniat membuat sahabatnya tambah menderita bila nanti terjadi hal yang buruk setelah dia mengatakan masalahnya kepada keluarganya. "Ah, iya, aku bisa mengerti kegelisahan kamu. Ya udah, gini aja. Besok, kamu aku ajak ke cafe. Kamu ng