"Tita, ini kenapa Mas Devan nggak bangun-bangun, ya?" tanya Ariana dengan wajah lesu. Berkali-kali ia mengelus kepala suaminya. Tita yang berada di sampingnya, seketika menghembuskan nafas pelan. "Mbak, Mbak Ariana sabar dulu. Dia udah pasti bakalan sadar kok, Mbak. Jangan khawatir, ya," jawab Tita sembari tersenyum. Ia menoleh ke arah Ariana dengan senyum terpaksa. "Tapi, kalo nanti dia nggak bangun-bangun gimana?" tanya Ariana dengan wajah gelisah. Tita mendengus kesal sambil memukul lengan Ariana dengan pelan. "Mendingan, Mbak sekarang mandi sama sholat dulu. Mbak Ariana mandi di masjid depan rumah sakit aja. Untung aja kita bawa koper ya, Mbak," ucap Tita dengan suara lirih sambil tersenyum di hadapan Ariana. Ariana hanya berdiam diri, lantas melangkah pergi ke masjid. Dari kejauhan, Tita sadar bahwa apa yang dia lakukan nyatanya sia-sia."Hmm, Mbak Ariana sesayang itu sama Mas Devan meski udah berkali-kali disakitin?" batin Tita sambil menangis. Di hari itu, dirinya sama seka
"Lepas, Mbak! Mbak Ariana jangan gila!" pekik sang adik dengan nada tinggi. Wanita itu berhenti sejenak. "Jangan teriak-teriak gitu dong, Dek! Kamu tahu kan, ini rumah sakit!" pekik Ariana, ia memelankan suaranya, namun nada bicaranya tetap tegas."Terserah apa kata Mbak Ariana! Pokonya, Tita mau pergi! Mbak Ariana harusnya tahu diri, dong! Tita udah berbaik hati nyampek sini buat bantuin Mbak urusin masalah Mbak, ya! Eh, nggak tahunya Mbak malah minta duit buat pengobatan Mas Devan! Lagian, kecelakaan Mas Devan nggak ada hubungannya sama Mbak dan aku!" jawab Tita dengan suara lantang. Yah, bagi Tita. Uang adalah aset berharga yang tidak boleh sembarangan diberikan kepada orang lain, termasuk Devan. Dia tak terima jika Ariana terlalu sering meminta uang kepada keluarganya sendiri. "Tolongin Mbak, Dek, Mbak mohon," ucap Ariana. "Tolong?! Mbak nggak sadar?! Mbak, dulu yang nyiapin acara pernikahan siapa? Itu semua duit dari kita loh, Mbak! Bahkan, seserahan Mbak yang harusnya dari k
"Aku nggak kenal sama dia, Ma! Makanya, aku bisa seenaknya sendiri kalo ngomong ini!" pekik lelaki itu dengan nada tinggi. Ariana menggerutu di dalam hatinya, "Ya kalo gitu, jangan sok-sok an nuduh orang, Mas. Kamu itu gimana, sih?" "Heum, iya, deh. Saya minta maaf ya, Mas. Maklum, Istri saya orangnya emang nggak bener, makanya saya suka khawatir kalo sampek dia kenapa-napa.""Heum, seyakin apa Anda kalo Istri kamu ini nggak bener? Kamu lupa sama saya, Devan?! Saya ini sahabat Ariana dari sejak kami kecil! Jangan seenaknya sendiri kami ngomong kayak gitu! Saya jauh lebih ngerti Ariana dibanding kamu!" jawab Adnan dengan suara lantang. Deg!Devan terpenjerat dengan kalimat itu. Ia tahu betul siapa Adnan. Namun, dia tidak menyangka bila lelaki itu telah berubah menjadi sosok laki-laki yang berwibawa, jauh berbeda dari yang dia kenal sebelumnya. "A--aduh, sekali lagi saya minta maaf, Adnan. Saya bener-bener nggak ngerti," ucap Devan dengan suara lirih. "Kalo kamu mau minta maaf, haru
"Baiklah kalau begitu, bagaimana kamu akan menyelesaikannya, Ariana?" tanya Adnan dengan suara lirih. Deg!Ariana lagi-lagi berpikir keras, ia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Entah kenapa pikirannya berkecamuk. Namun, wanita itu tahu apa yang harus dia lakukan. "Nan, pertama-tama. Aku harus punya pekerjaan tetap dulu buat nyukupin kehidupanku sama anak aku. Kedua, aku harus bicara pelan-pelan dan tunggu waktu yang tepat buat ngomong soal ini. Karena aku tahu, kalo Ayahku lagi sakit. Dan sekarang, pasti dia butuh banyak biaya buat pengobatan. Aku nggak bisa seegois itu, Adnan." Ariana mengatakannya meski dadanya sendiri merasa sesak. Adnan seketika terdiam untuk beberapa saat, dia sangat mengerti kondisi Ariana. Lelaki itu sama sekali tak berniat membuat sahabatnya tambah menderita bila nanti terjadi hal yang buruk setelah dia mengatakan masalahnya kepada keluarganya. "Ah, iya, aku bisa mengerti kegelisahan kamu. Ya udah, gini aja. Besok, kamu aku ajak ke cafe. Kamu ng
Di hari itu, Adnan merasa senang. Dia berangkat ke kantornya dengan wajah penuh tawa. Ingin rasanya dia cepat-cepat pulang agar dia bisa mengobrol dengan Ariana. ******"Ariana, kamu masih di ruangan suami kamu? Gimana kondisinya?" tanya Adnan dari seberang telepon. Ariana tersenyum tipis. "Iya, aku ada di rumah sakit. Alhamdulilah kondisinya membaik, ada apa Adnan?" Ariana kembali bertanya. "Oh, ya udah kalo gitu. Setelah ini, aku bakalan ke rumah sakit buat nganterin uang yang dititipin Tita ke kamu. Gitu-gitu, dia sebenernya perhatian sama kamu, Ariana. Saking aja, dia nggak mau kalo uangnya kamu gunakan buat bayar pengobatan suami kamu," ucap Adnan dari seberang telepon. Deg!Ariana seketika tertegun, dia tak mengerti kenapa adiknya melakukan hal itu. "Heum, udah kuduga sih, Adnan. Ya udah, cepetan ke sini, gih. Lagi bokek, nih kebetulan. Hahaha," ucap Ariana. "Oke-oke, kamu mau titip makanan, nggak? Sekalian aku anterin nanti," kata Adnan sembari tersenyum. Ariana menganggu
Mereka berdua melaju dengan kecepatan sedang. Tak lama kemudian, keduanya sampai ke sebuah cafe. Di dalam cafe itu, terdapat beberapa karyawan yang tengah bersiap-siap untuk membuka cafenya. "Ariana, ayo turun," ucap Adnan. Ariana menganggukkan kepalanya pelan. Setelahnya, mereka berdua masuk ke dalam cafe. Kedua mata Ariana terpana akan cafe yang indah. Beberapa meja klasik dengan ukiran dinding ala Eropa membuatnya takjub. Jauh di dalam hatinya, dia sudah lama mendambakan pergi ke benua Eropa. Namun, sampai hari ini, dia tak bisa memenuhi impiannya. "Ariana, kenapa bengong? Ayo, aku mau kenalin kamu sama karyawanku," ucap Adnan. Ariana yang berada di sampingnya, seketika menoleh ke arah Adnan. "Eh, enggak apa-apa kok, Adnan. Aku takjub aja sama lukisan dan bentuk furniture di sini. Semuanya ala Eropa. Kamu ngerti nggak sih? Dari dulu, aku pengen banget jalan-jalan ke benua Eropa," balas Ariana sembari tersenyum lebar. Adnan yang mendengarnya seketika tersenyum. "Oh, jadi kamu d
"Iya, Mas Adnan. Mohon maaf kalo suami saya keterlaluan," ucap Ariana sembari tersenyum. Adnan menganggukkan kepalanya pelan. Tak lama kemudian, Devan akhirnya bungkam.Walaupun dia sangat membenci kehadiran Adnan. Setidaknya, dia merasa tenang karena akhirnya, istrinya mendapatkan jatah untuk bekerja lagi. Dan itu berarti, istrinya akan memiliki uang. "Ya udah, maaf karena bikin keributan. Besok, aku langsung pulang.""Iya, Mas. Besok kamu pulang sendiri aja, ya. Aku besok juga mau pulang ke rumah orang tua aku, kamu belum tahu kalo Vasya lagi di-""Ngapain kamu balik ke rumah orang tua kamu?! Kamu mau minta kita cerai, ha?" tanya Devan, ia merasa curiga dengan sikap Ariana. "Apaan sih, Mas?! Aku mau bawa Vasya balik! Kamu tahu kalo dia itu juga harus sekolah, kan?! Nggak usah negthink, Mas!" pekik Ariana. Wanita itu menjawabnya dengan nada ketus. "Oh, jadi gitu. Ya udah, iya. Besok aku juga bisa pulang sendiri, kok," balas Devan dengan nada ketus. Ariana menaikkan salah satu alis
"Cih! Kamu itu! Masih aja bahas-bahas masa lalu!" pekik Devan dengan tatapan sinis. Ariana menepuk jidatnya. Tanpa basa-basi, ia langsung memasukkan uangnya ke dalam kantong. "Ya udah, Mas! Kalo kamu nggak mau, aku langsung pergi aja! Bye! Pulang aja sana sambil jalan kaki!" bentak Ariana, meski tidak terlalu keras. Apa yang dia katakan cukup untuk membuat Devan berada di ambang kesabaran. "Eh! Enak aja! Sini uangnya! Aku terima meski aku nggak ikhlas!" pekik Devan dengan tatapan sinis. Ariana menghirup nafas panjang, dan mengeluarkannya secara perlahan. Tak lama kemudian, ia menatap kedua mata lelaki itu dengan tatapan tajam. Meski ia tahu bahwa suaminya tidak memiliki perasaan, dia hanya diam dan bungkam. Tak lama kemudian, Devan menerima uang hasil pemberian dari Ariana. "Ariana!" panggil Adnan dari ambang pintu. Ariana menoleh, dia tersenyum melihat kehadiran Adnan, tapi tidak dengan Devan. Lelaki itu memberi peringatan kepada Adnan. "Nan! Saya tahu kalo kamu ini sahabat pere