"Gak usah banyak drama, Ma! Aku mau tidur!" pekik Devan dengan nada tinggi. Ia mendorong tubuh Ariana. Namun, wanita itu terbiasa untuk bangkit dan berdiri lagi. Sehingga, ia langsung pergi ke arahnya dan mencengkeram tangan suaminya. "Mas, aku nggak mau tau! Kamu harus minta maaf sama Vasya!" pekik Ariana dengan nada menuntut. Persetan dengan apa yang terjadi. Dia hanya ingin meminta suaminya mengakui kesalahannya. "Kamu itu apa-apaan sih, Ma! Lepasin tanganku!' Devan kemudian melepaskan diri dari genggamannya. Ia berjalan ke kamar, berusaha menghalangi perbincangan. "Mas! Tunggu dulu! Jangan pergi!" pekik Ariana, ia masih menahan suaminya. Devan merengutkan dahi dan mendorong istrinya sambil bertanya, "Apa maumu, Ma?!" pekik Ariana. Lelaki itu menghirup nafas pelan. "Minta maaf sama Vasya, Mas! Minta maaf itu nggak susah, lo! Nggak ada salahnya kamu minta maaf ke dia!" teriak Ariana dengan suara lantang. "Oke! Aku bakalan minta maaf!" pekik Devan sembari tersenyum sinis. Lelaki
"Halah, kamu itu. Kayak nggak tahu kelasku aja, Sya. Kamu kan tau, di kelasku barang sering hilang, soalnya diambil sama hantunya. Kamu nggak inget? Sebulan yang lalu, temen-temen nyari sepatu Robi yang hilang sebelah. Udah dicariin muter-muter, nggak taunya di pohon belakang, nyangkutnya di batang yang paling tinggi. Kamu kan tahu, di sini ada unsur-unsur mistisnya, Sya. Udah, ya. Bye," ucap Arif dengan wajah ketus. Ia segera pergi dari tempatnya.Vasya yang mendengarnya, seketika berdiam diri. Ia mengingat kejadian satu bulan yang lalu. "Oh, kejadian yang itu? Hahaha, apes banget tuh, si Robi," batin gadis itu sembari tertawa lirih. Ia kembali ke kelas tanpa berpikir macam-macam. Diam-diam, Arif segera memberikan pesan kepada teman-temannya. Ketika sore, Arif dan Vasya saling melempar pandangan satu sama lain. Vasya yang berada di samping Arif sering menundukkan kepala. "Sya, kenapa dari tadi nundukin kepala terus?" tanya Arif dengan suara lirih. Vasya menggelengkan kepala, seray
Ketika sampai di rumah Arif, keduanya langsung memasuki ruang tengah dan duduk bersama dengan ibu Arif. Baik Arif dan juga ibunya, keduanya sama-sama membuatkan sebuah makanan untuk dinikmati bersama. Di sela-sela itu, mereka saling berbincang-bincang. "Oh iya, Vasya. Bibi hari ini mau kasih bonus ke kamu. Soalnya, Bibi lihat, kerja kamu bagus. Ini uangnya," ucap ibu Arif. Beliau mengambil sebuah amplop dan memberikannya kepada Vasya. "Alhamdulillah, makasih, Bi," balas Vasya sembari mengambil uang itu. Dia hendak melihat ke arahnya sembari tersenyum lebar. "Iya, Vasya. Semangat ya, kerjanya. Oh iya, Bibi juga mau ngasih tau kamu. Bibi kan ada pesenan, nih. Nah, kebetulan banget, habis ini di rumah Bibi ada pengajian. Jadi, kamu sama Arif aja ya, yang anterin. Habis itu, kalian terserah, mau ngapain. Kalian mau jalan-jalan, juga nggak papa, kok. Asal, pulangnya jangan malem-malem, ya." Ibu Arif tersenyum lebar. "Oke, Bi. Nggak masalah," ucap Vasya. Mereka saling melontarkan senyum
Vasya yang berada di dalam ruangan, memilih mengabaikan teriakan dari ayahnya. Ia bergegas ke dalam kamar dan menutup pintu. Di sana, dia memilih untuk berdiam diri. Selang beberapa minggu kemudian, Vasya mengikuti perlombaan. Dia mendapatkan juara tiga di kotanya. Tak lama kemudian, dia menjalankan ujian kenaikan kelas.Seharusnya, di waktu seperti itu, dia dapat belajar dengan serius. Namun, semua hanyalah ilusi. Hal itu terjadi ketika Devan dan Ariana berebut sertifikat rumah. "Ma! Mana sertifikat rumahnya" pekik Devan dengan nada tinggi. Ariana yang berdiri di belakangnya, menyembunyikan sertifikat itu di dalam tasnya."Apa mau kamu, Mas! Aku udah pernah bilang kalo rumah ini aset satu-satunya milik kita!" teriak Ariana, dia tidak terima dengan sikap Devan. "Ba*** kamu! Mana sertifikatnya! Kamu kasihin sekarang, apa aku yang minggat dari rumah ini, hah?! Pilih mana kamu!" pekik Devan. "Kalo kamu mau ngurus sertifikat rumah ini! Aku mendingan ikut! Jangan kamu sendirian, Mas! Ak
"Heh, Devan! Kamu kalo ngomong jangan asal! Aku yakin Ariana nggak pernah bohong! Jangan bohong kamu di hadapan Kakak!" pekik Raihan dengan nada tinggi. "Oh, bagus kamu, Mas!" teriak Devan, ia sama sekali tak terima dengan perlakuan sang kakak. Namun, dia sama sekali tak memperdulikan apa yang dikatakan sang kakak. "Ariana! Sini kamu! Di mana kamu, ha?!" tanya Devan. Ia mendobrak setiap pintu ruangan dengan amarah di kepalanya. Nafasnya tersengal, sesekali ia menatap sekitar dengan wajah gelisah. Sampai akhirnya, dia bertemu dengan kedua putri Raihan. "O--Om? Om ngapain di sini?" tanya mereka dengan suara lirih, jangan ditanya lagi perihal kondisi mereka. Sudah pasti keduanya ketakutan. "Kamu liat Vasya?! Gadis brengsek itu harus Om kasih pelajaran, Raya! Jangan sampek kamu kayak dia!" pekik Devan, ia berkacak pinggang sambil menatap kedua mata mereka dengan tatapan ganas. "Kita berdua nggak tahu, Om," balas salah satu dari mereka. "Halah, bohong kalian!" pekik Devan, ia mengham
"Ariana, kamu nggak papa?" tanya Raihan, lelaki itu menoleh ke arah Ariana. Ia berlari kecil ke arah Vasya dan mengelus kepalanya. "Kamu nggak papa kan, Nak?" Raihan nampak gelisah ketika melihat tubuh Vasya gemetar. Gadis yang ada di pelukan sang ibu hanya menggelengkan kepala, ia tertunduk dan menyembunyikan wajahnya di bahu sang ibu. "Ariana, sebenernya apa yang terjadi? Kenapa Devan bisa kayak gitu?" tanya Raihan, ia menatap Ariana dengan tatapan gusar. "I--ini semua gara-gara dia tahu identitasnya, Mas. Sekarang, saya mau tanya sama Mas Raihan. Kalo emang Mas Devan itu anak pungut, terus kenapa identitas orang tuanya disembunyikan? Itu nggak bener, Mas. Mas Devan berhak tahu siapa orang tuanya," ucap Ariana, wanita itu menahan air matanya. Deg!Batin Raihan seketika teriris mendengar apa yang dikatakan oleh Ariana. Lelaki itu menelan ludahnya sendiri. Ia kebingungan dengan pertanyaan Ariana. "Ariana, aku sendiri nggak ngerti kenapa Bapak sama Ibuk nggak mau jujur soal ini. T
Ariana memilih diam dan segera pergi ke kasur. Ia merebahkan dirinya sendiri dan segera tertidur lelap. Di satu sisi, sang anak yang tadinya mandi, segera bergegas ke dalam kamar. "Haduh, ujiannya besok gimana, ya?" batin Vasya dengan suara lirih. Ia merasa cemas dengan apa yang akan dia hadapi. Alhasil, keesokan harinya, Vasya hanya mengerjakan sebisanya. Ariana yang masih bertahan di rumah mertuanya, hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Dia mengerjakan pekerjaan rumah sebagaimana yang dia lakukan di rumahnya sendiri. "Ariana, tolong bikinin kopi. Habis itu, kamu jangan lupa masak, ya," ucap Fero dengan suara lantang."Iya, Pak," balas Ariana. Wanita itu mengerjakan semua hal yang diperintahkan oleh mertuanya. Tak lama kemudian, ketika dia mengirimkan kopi kepada Fero. Ia kembali mendapat tatapan sinis. "Pak, ini kopinya," ucap Ariana. Wanita itu menaruh segelas kopi di meja kecil yang ada di samping Ariana. "Duduk kamu, Bapak mau ngobrol sama kamu," katanya dengan suara lir
"Kamu yang apa-apaan, Vasya. Jangan merasa kamu ini paling tersakiti, dong. Kamu nggak mikirin perasaan Mama?" tanya Ariana, ia berusaha menekan sang anak. "Iya enggak dong, Ma. Mama kira, Vasya segitunya sama Mama?! Justru, Vasya itu dari dulu berusaha ngelindungin Mama sama diri Vasya sendiri," balas gadis itu. Ia segera pergi meninggalkan tempat agar perdebatan itu tidak semakin panjang. Ariana kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa peduli dengan Vasya. Hampir setengah hari penuh dia membersihkan rumah setelah seminggu lebih tidak dia tempati. Ketika selesai, Vasya dan Ariana duduk di ruang keluarga sambil melihat ke arah sekitar. "Ma, kalo rumahnya kosong, keliatan serem juga, ya," ucap Vasya sembari tertawa. Gadis itu berushaa berbaikan dengan sang ibu. "Hahaha, iya juga, ya. Ya bener, sih. Keliatannya itu putih, bersih. Tapi, serem juga kalo nggak ada apa-apa, Vasya.""Heum, Vasya jadi penasaran, kira-kira, nanti ada hantunya nggak, ya?" tanya gadis itu sembari tertawa lirih