"Halah, itu cuman alasan kamu, kan?!" tanya Devan, ia melirik sinis ke arah Vasya. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan. "Oh, jadi Ayah nggak percaya sama kata-kata Vasya, nih?! Vasya haru gimana biar Ayah ngerti, ha?! Masa iya apa-apa harus Vasya kasih tau ke Ayah! Malu sama temen-temen di sekolah, Yah!" pekik Vasya dengan suara lantang. Deg!Devan mengerti bahwa gadis itu ingin menjatuhkan harga dirinya. Alhasil, Devan akhirnya mengalah. "Ya udahlah, yang itu buat kamu aja. Awas kamu, Vasya!" pekik Devan dengan suara lantang. Devan melangkah pergi dari gadis itu. Ia, Jarot dan juga Udin bersama-sama ke luar rumah tanpa tahu malu. "Anak kamu itu bener-bener harus dikasih pelajaran ya, Rot! Untung aja kamu sabar!" pekik Jarot dengan suara lantang. Ia sengaja melantangkan suaranya agar Vasya dapat mendengarnya. Vasya yang mengetahuinya, tak enak hati. Dia langsung bergegas pergi ke luar dan berjalan ke arah mereka bertiga. "Om tadi bilang apa?! Vasya harus dikasih pelajaran?!
"Mama itu apa-apaan, sih?! Kenapa tamunya diusir?! Emangnya, Mama nggak mikir apa?! Bisa jadi orang itu sumber rezeki buat kita, Ma!" Devan mencoba menjelaskan sesuatu yang berada di luar nalar. Lelaki itu sama sekali tak terima dengan perbuatan istrinya. Ariana yang mendengarnya, menepuk jidatnya sendiri. "Mas, aku nggak akan pernah terima kalo Mas Devan kayak gitu! Di mana akalmu, Mas?! Kamu nggak mikir apa yang bakalan terjadi kalo kamu kaya gini terus, ha?!" pekik Ariana dengan suara lantang. Brak!Devan seketika mendorong sang istri ke belakang. "Persetan sama omonganmu, Ma! Kamu mau nurut sama aku atau enggak! Itu semua pilihanmu! Yang penting, sekarang aku mau ke luar dan nemuin orangnya!" jawab Devan dengan nada tinggi. Lelaki itu bergegas ke luar pintu dan menyambut tamunya kembali. Dia berjalan mendekati orang itu sambil berharap ada keajaiban. "Tuan, tolong kembali ke rumah saya. Ayo kita bicarakan ini baik-baik. Saya-""Cukup, Mas! Saya nggak sudi diperlakukan seperti
Vasya segera berlari ke rumah dan bersembunyi di kamarnya. Di satu sisi, Ariana yang berada di depan pintu tak habis pikir dengan sikap Vasya. "Vasya! Vasya, buka pintunya, Nak!" teriak Ariana. Wanita itu menggedor pintu dengan keras. Berusaha memanggil sang anak yang bersembunyi di dalam kamar. Vasya yang berada di dalam kamar, seketika membuka pintu. Dia berjalan ke luar dan memeluk ibunya sembari menangis kencang. Gadis itu meminta maaf dan menceritakan semuanya kepada Ariana. "Astaghfirullah, Nak. Makanya, kamu jangan pernah lagi kepikiran buat bunuh diri. Itu perbuatan dosa, Vasya. Allah nggak suka sama perbuatan itu," ucap sang ibu dengan suara lirih. Vaysa menganggukkan kepalanya.Di hari itu, mereka berdua berusaha menenangkan diri. Selama beberapa hari, Devan juga tidak pulang ke rumah. Dia memilih untuk menenangkan diri. Namun, perbuatannya sungguh berada di luar nalar. Hal itu terjadi ketika dia pulang ke rumah bersama dengan sosok makelar. "Ma! Kamu di mana, ha?! Cepet
"Ma! ayo pulang ke rumah Kakek, Ma! Vasya udah nggak kuat di sini," ucap Vasya pelan. Gadis cilik itu menoleh ke arah Ariana dengan tubuh lemas. Ariana yang berada di samping anaknya, seketika bergumam pelan. "Nak, jangan gegabah. Kamu tahu kalo Mama nggak punya biaya buat ke rumah Kakek kamu. Ayo, ikut Mama bersihin rumah ini. Alhamdulillah Ayah kamu udah ngasih uang ke Mama. Jadi, lumayan banget buat makan hari ini," ucap Ariana. Ia mencoba tersenyum di hadapan Vasya. Dengan berat hati, Vasya akhirnya mengikuti keinginan sang ibu. Namun, dia tak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran Ariana. Bekali-kali gadis itu mendorong ibunya untuk angkat kaki, atau setidaknya pisah rumah dengan ayahnya. Namun, jawaban Ariana tetap sama. Tak berselang lama, keduanya langsung pergi untuk membersihkan seisi rumah. Di sana, Vasya dan Ariana berusaha keras untuk membersihkan semuanya hingga bersih. Ketika sore tiba, mereka berdua membeli bakso. Hingga malam, Devan belum tiba di rumahnya. "M
"Ini soal keluargaku, Ma. Bapak mau rumah ini direnovasi," ucap Devan. Deg!Ariana menghela nafas panjang. Baru saja dia pindah dan membereskan semua pekerjaan rumah bersama Vasya. Namun, dia malah mendapat kabar buruk. "Mas, kenapa harus direnovasi, sih? Rumah ini masih bagus dan masih kuat, nggak perlu, Mas. Uangnya bisa kamu gunain buat yang keperluan yang penting, misalnya beli sepeda motor baru, biar Vasya nanti pas gede bisa langsung make, Mas. Kamu mikirnya ke depan gitu loh, Mas. Jangan mikirin hidup di masa ini aja," ucap Ariana dengan suara lantang. Ia sengaja melantangkan suaranya agar suaminya mengerti bahwa dia tengah marah. "Ma! Kamu kok marah-marah, sih?! Lagian, Ma! Kita ini hidup di hari ini! Ya udah, yang dipikir ya hari ini dulu! Jangan mikir ke depannya kayak gimana! Semua itu dijalanin dulu, Ma! Sisanya, serahin sama yang Di atas! Yang Di atas lebih tahu apa yang terbaik buat kita!" pekik Devan tak kalah lantang. "Mas! Kamu itu gimana sih, pola pikirnya?! Aku n
"Mbak, percaya sama saya. Saya ini bukan orang baru di daerah sini. Saya juga sering ngamatin orang-orang di sini!" teriak wanita itu dari kejauhan. Namun, semuanya terlambat. Ariana tak lagi memperdulikan perempuan itu. Ia berjalan ke dalam dan bertemu dengan ruangan tengah. Di sana, ia hanya bisa berdiam diri sembari mengambil air putih. Diminumnya air itu sampai dia merasa lega. "Astaghfirullah, ada-ada aja kelakuan perempuan zaman sekarang. Kenapa dia bisa nuduh Mas Devan sembarangan, sih?" batin Ariana. Ia sama sekali tak terima bila ada yang menghina suaminya. Terlebih, dia masih percaya bahwa suaminya bisa berubah menjadi orang yang baik, tidak sama dengan sebelumnya. Di malam hari, ketika suaminya pulang, Ariana lebih banyak diam."Ma, makanannya mana? Aku udah laper ini, lo. Kamu jangan lemot, dong," ucap Devan, ia menyindir sang istri dengan wajah sinis. Devan yang berada di dapur, segera bergegas ke ruang makan dan duduk sambil meminum kopi. "Ini makanannya," kata Arian
Keesokan harinya, Ariana mengerjakan aktivitasnya seperti biasa. Dia menyapu halaman depan rumah sembari menitikkan air mata. "Haduh, Mas Devan bener-bener nggak ke rumah ya, kemarin malem?" batin Ariana. Wanita itu menoleh ke halaman depan. Tak lama kemudian, Devan datang menghampirinya."Ariana! Cepet beliin Mas makanan! Mas laper!" pekik Devan sembari melempar uang yang berasal dari sakunya. Ariana yang melihatnya, seketika menghapus air matanya. Ia segera mengambil uang dan melemparkannya di hadapan suaminya. "Kamu beli aja sendiri, Mas! Ariana udah nggak mau lagi ngomong sama, Mas!" pekik Ariana dengan suara lantang. Wanita itu menatap kedua mata Devan dengan tatapan tajam."Cih! Ya udah, mendingan kamu keluar aja dari rumah! Dasar tolol!" Devan dengan suara lantang. Dari kejauhan, wanita yang mengetahui hubungan Devan dengan perempuan itu menggelengkan kepala. "Astaghfirullah, dia harus tahu soal ini," ucap wanita itu dengan suara lirih. Lelaki itu pergi dengan rasa kesal. Ar
Beberapa orang berjalan dan membawanya sampai ke rumah. Setibanya di rumah, ia sadar bahwa pintu rumah itu tidak dikunci. Alhasil, Ariana ditempatkan di sebuah sofa. Di sana, beberapa orang nampak saling melempar pandangan. "Ada apa sebenarnya, Mbak?" tanya salah seorang warga yang tadi membantunya.Deg!Karena merasa hal itu adalah privasi, dia memilih untuk menyembunyikannya. "Mohon maaf, Mbak. Tadi itu dia lagi shock. Tapi, saya nggak bisa menjelaskan kenapa dia begitu," ucap wanita itu sembari tersenyum tipis. "Oalah, jadi gitu, Mbak. Ya udah kalo gitu, nggak papa," jawab warga itu. Setelah kejadian itu, mereka semua pergi. Wanita itu mencari keberadaan suami Ariana. Ia yakin bahwa suaminya ada di rumah, karena ia melihat semuanya. Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan ke ara h wanita itu. Sebenarnya, wanita itu sangat ketakutan setelah melihat Devan. Namun, ia meniatkan semua ini untuk membantu Ariana, meski dia tidak kenal betul dengannya. "Ada apa ini?! Kenapa ini Istr