"Ariana, kamu nggak papa?" tanya Raihan, lelaki itu menoleh ke arah Ariana. Ia berlari kecil ke arah Vasya dan mengelus kepalanya. "Kamu nggak papa kan, Nak?" Raihan nampak gelisah ketika melihat tubuh Vasya gemetar. Gadis yang ada di pelukan sang ibu hanya menggelengkan kepala, ia tertunduk dan menyembunyikan wajahnya di bahu sang ibu. "Ariana, sebenernya apa yang terjadi? Kenapa Devan bisa kayak gitu?" tanya Raihan, ia menatap Ariana dengan tatapan gusar. "I--ini semua gara-gara dia tahu identitasnya, Mas. Sekarang, saya mau tanya sama Mas Raihan. Kalo emang Mas Devan itu anak pungut, terus kenapa identitas orang tuanya disembunyikan? Itu nggak bener, Mas. Mas Devan berhak tahu siapa orang tuanya," ucap Ariana, wanita itu menahan air matanya. Deg!Batin Raihan seketika teriris mendengar apa yang dikatakan oleh Ariana. Lelaki itu menelan ludahnya sendiri. Ia kebingungan dengan pertanyaan Ariana. "Ariana, aku sendiri nggak ngerti kenapa Bapak sama Ibuk nggak mau jujur soal ini. T
Ariana memilih diam dan segera pergi ke kasur. Ia merebahkan dirinya sendiri dan segera tertidur lelap. Di satu sisi, sang anak yang tadinya mandi, segera bergegas ke dalam kamar. "Haduh, ujiannya besok gimana, ya?" batin Vasya dengan suara lirih. Ia merasa cemas dengan apa yang akan dia hadapi. Alhasil, keesokan harinya, Vasya hanya mengerjakan sebisanya. Ariana yang masih bertahan di rumah mertuanya, hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Dia mengerjakan pekerjaan rumah sebagaimana yang dia lakukan di rumahnya sendiri. "Ariana, tolong bikinin kopi. Habis itu, kamu jangan lupa masak, ya," ucap Fero dengan suara lantang."Iya, Pak," balas Ariana. Wanita itu mengerjakan semua hal yang diperintahkan oleh mertuanya. Tak lama kemudian, ketika dia mengirimkan kopi kepada Fero. Ia kembali mendapat tatapan sinis. "Pak, ini kopinya," ucap Ariana. Wanita itu menaruh segelas kopi di meja kecil yang ada di samping Ariana. "Duduk kamu, Bapak mau ngobrol sama kamu," katanya dengan suara lir
"Kamu yang apa-apaan, Vasya. Jangan merasa kamu ini paling tersakiti, dong. Kamu nggak mikirin perasaan Mama?" tanya Ariana, ia berusaha menekan sang anak. "Iya enggak dong, Ma. Mama kira, Vasya segitunya sama Mama?! Justru, Vasya itu dari dulu berusaha ngelindungin Mama sama diri Vasya sendiri," balas gadis itu. Ia segera pergi meninggalkan tempat agar perdebatan itu tidak semakin panjang. Ariana kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa peduli dengan Vasya. Hampir setengah hari penuh dia membersihkan rumah setelah seminggu lebih tidak dia tempati. Ketika selesai, Vasya dan Ariana duduk di ruang keluarga sambil melihat ke arah sekitar. "Ma, kalo rumahnya kosong, keliatan serem juga, ya," ucap Vasya sembari tertawa. Gadis itu berushaa berbaikan dengan sang ibu. "Hahaha, iya juga, ya. Ya bener, sih. Keliatannya itu putih, bersih. Tapi, serem juga kalo nggak ada apa-apa, Vasya.""Heum, Vasya jadi penasaran, kira-kira, nanti ada hantunya nggak, ya?" tanya gadis itu sembari tertawa lirih
"Halah, itu cuman alasan kamu, kan?!" tanya Devan, ia melirik sinis ke arah Vasya. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan. "Oh, jadi Ayah nggak percaya sama kata-kata Vasya, nih?! Vasya haru gimana biar Ayah ngerti, ha?! Masa iya apa-apa harus Vasya kasih tau ke Ayah! Malu sama temen-temen di sekolah, Yah!" pekik Vasya dengan suara lantang. Deg!Devan mengerti bahwa gadis itu ingin menjatuhkan harga dirinya. Alhasil, Devan akhirnya mengalah. "Ya udahlah, yang itu buat kamu aja. Awas kamu, Vasya!" pekik Devan dengan suara lantang. Devan melangkah pergi dari gadis itu. Ia, Jarot dan juga Udin bersama-sama ke luar rumah tanpa tahu malu. "Anak kamu itu bener-bener harus dikasih pelajaran ya, Rot! Untung aja kamu sabar!" pekik Jarot dengan suara lantang. Ia sengaja melantangkan suaranya agar Vasya dapat mendengarnya. Vasya yang mengetahuinya, tak enak hati. Dia langsung bergegas pergi ke luar dan berjalan ke arah mereka bertiga. "Om tadi bilang apa?! Vasya harus dikasih pelajaran?!
"Mama itu apa-apaan, sih?! Kenapa tamunya diusir?! Emangnya, Mama nggak mikir apa?! Bisa jadi orang itu sumber rezeki buat kita, Ma!" Devan mencoba menjelaskan sesuatu yang berada di luar nalar. Lelaki itu sama sekali tak terima dengan perbuatan istrinya. Ariana yang mendengarnya, menepuk jidatnya sendiri. "Mas, aku nggak akan pernah terima kalo Mas Devan kayak gitu! Di mana akalmu, Mas?! Kamu nggak mikir apa yang bakalan terjadi kalo kamu kaya gini terus, ha?!" pekik Ariana dengan suara lantang. Brak!Devan seketika mendorong sang istri ke belakang. "Persetan sama omonganmu, Ma! Kamu mau nurut sama aku atau enggak! Itu semua pilihanmu! Yang penting, sekarang aku mau ke luar dan nemuin orangnya!" jawab Devan dengan nada tinggi. Lelaki itu bergegas ke luar pintu dan menyambut tamunya kembali. Dia berjalan mendekati orang itu sambil berharap ada keajaiban. "Tuan, tolong kembali ke rumah saya. Ayo kita bicarakan ini baik-baik. Saya-""Cukup, Mas! Saya nggak sudi diperlakukan seperti
Vasya segera berlari ke rumah dan bersembunyi di kamarnya. Di satu sisi, Ariana yang berada di depan pintu tak habis pikir dengan sikap Vasya. "Vasya! Vasya, buka pintunya, Nak!" teriak Ariana. Wanita itu menggedor pintu dengan keras. Berusaha memanggil sang anak yang bersembunyi di dalam kamar. Vasya yang berada di dalam kamar, seketika membuka pintu. Dia berjalan ke luar dan memeluk ibunya sembari menangis kencang. Gadis itu meminta maaf dan menceritakan semuanya kepada Ariana. "Astaghfirullah, Nak. Makanya, kamu jangan pernah lagi kepikiran buat bunuh diri. Itu perbuatan dosa, Vasya. Allah nggak suka sama perbuatan itu," ucap sang ibu dengan suara lirih. Vaysa menganggukkan kepalanya.Di hari itu, mereka berdua berusaha menenangkan diri. Selama beberapa hari, Devan juga tidak pulang ke rumah. Dia memilih untuk menenangkan diri. Namun, perbuatannya sungguh berada di luar nalar. Hal itu terjadi ketika dia pulang ke rumah bersama dengan sosok makelar. "Ma! Kamu di mana, ha?! Cepet
"Ma! ayo pulang ke rumah Kakek, Ma! Vasya udah nggak kuat di sini," ucap Vasya pelan. Gadis cilik itu menoleh ke arah Ariana dengan tubuh lemas. Ariana yang berada di samping anaknya, seketika bergumam pelan. "Nak, jangan gegabah. Kamu tahu kalo Mama nggak punya biaya buat ke rumah Kakek kamu. Ayo, ikut Mama bersihin rumah ini. Alhamdulillah Ayah kamu udah ngasih uang ke Mama. Jadi, lumayan banget buat makan hari ini," ucap Ariana. Ia mencoba tersenyum di hadapan Vasya. Dengan berat hati, Vasya akhirnya mengikuti keinginan sang ibu. Namun, dia tak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran Ariana. Bekali-kali gadis itu mendorong ibunya untuk angkat kaki, atau setidaknya pisah rumah dengan ayahnya. Namun, jawaban Ariana tetap sama. Tak berselang lama, keduanya langsung pergi untuk membersihkan seisi rumah. Di sana, Vasya dan Ariana berusaha keras untuk membersihkan semuanya hingga bersih. Ketika sore tiba, mereka berdua membeli bakso. Hingga malam, Devan belum tiba di rumahnya. "M
"Ini soal keluargaku, Ma. Bapak mau rumah ini direnovasi," ucap Devan. Deg!Ariana menghela nafas panjang. Baru saja dia pindah dan membereskan semua pekerjaan rumah bersama Vasya. Namun, dia malah mendapat kabar buruk. "Mas, kenapa harus direnovasi, sih? Rumah ini masih bagus dan masih kuat, nggak perlu, Mas. Uangnya bisa kamu gunain buat yang keperluan yang penting, misalnya beli sepeda motor baru, biar Vasya nanti pas gede bisa langsung make, Mas. Kamu mikirnya ke depan gitu loh, Mas. Jangan mikirin hidup di masa ini aja," ucap Ariana dengan suara lantang. Ia sengaja melantangkan suaranya agar suaminya mengerti bahwa dia tengah marah. "Ma! Kamu kok marah-marah, sih?! Lagian, Ma! Kita ini hidup di hari ini! Ya udah, yang dipikir ya hari ini dulu! Jangan mikir ke depannya kayak gimana! Semua itu dijalanin dulu, Ma! Sisanya, serahin sama yang Di atas! Yang Di atas lebih tahu apa yang terbaik buat kita!" pekik Devan tak kalah lantang. "Mas! Kamu itu gimana sih, pola pikirnya?! Aku n
Keesokan harinya, tepat di hari Senin pagi. Farel menyarankan bibinya untuk mendatangi Ariana. Tak hanya itu, Beliau juga diminta untuk menjelaskan pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh Ariana. Alhasil, dirinya pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ariana. Di sana, Farel menyuruh Devan untuk meninggalkan keduanya. Sebelum itu, dia mengucapkannya melalui telepon yang dia miliki. Tak lama kemudian, ketika Farel berangkat dengan sang bibi, Beliau pun bertanya dengan sopan kepada keponakannya. "Farel, gimana kalo Bibi nanti nggak bisa bayar perempuan itu? Kamu kan tahu, Bibi memang baru aja pindah di sini. Sebenernya, kalo untuk makan dan biaya kehidupan sehari-hari, uangnya masih cukup. Tapi, kalo untuk bayarin perempuan itu, gimana? Bibi bingung loh, Farel." Wanita berkerudung hitam itu melihat ke arah Farel dengan wajah gelisahnya. Namun, tak lama kemudian, Farel menghembuskan nafas panjang. "Nggak papa, Bi. Nanti, Farel juga ikut bantuin Bibi untuk bayar gajinya. Lag
Farel dan Devan saling beradu dalam diam, keduanya hendak menimbang satu sama lain. Lalu, tak lama setelah itu, Devan kembali angkat bicara. "Ariana, Farel sama aku berusaha menyelamatkan kamu, tadi. Terus, pas itu, Farel nyamar jadi pemulung. Tapi, nggak taunya dia itu udah bawa temennya. Keduanya langsung nyergap orang yang udah jahatin kamu, kemarin. Makanya itu, hehehe," ucap Devan sambil tertawa. Lelaki itu hanya bisa diam ketika dirinya berusaha untuk tak mengerti apa-apa. "Hah?! Yang bener aja dong, Devan! Apa katamu tadi?! Beneran, nih?! Jadi, kalian berdua berusaha menangkap orang itu, ya?!" Ariana menaikkan salah satu alisnya. Lantas, keduanya mengangguk kan kepala. Ariana langsung menghembuskan nafas panjang, mengusap peluh di kepalanya, sambil menunggu momen yang tepat, untuknya berbicara. "Huh, untung aja kalo gitu," balas Ariana dengan perasaan ragu. Meski demikian, kedua matanya menoleh ke beberapa arah. Lantas, dirinya langsung memberi salam dan pergi ke dalam ruma
"Siapa yang menyelamatkan siapa, Farel?! Jangan mengada-ngada! Kalo kamu membongkar kasus ini, bisa-bisa Istriku kenapa-napa lagi!" bentak Devan dari dalam mobil. Lelaki itu melirik Farel sekilas. Lantas, ia meneguk ludahnya sendiri. "Seratus! Aku nggak nyangka kamu sepintar itu. Tapi, kamu tenang aja. Aku ke sini untuk ngasih pilihan ke kamu. Yang penting, aku kan udah ngasih tahu kamu lokasinya di sini. Kalo urusan kamu mau ngehajar dia atau enggak, itu urusan kamu. Lagian, aku udah tahu satu korban yang berhasil kabur dari rumah itu," ucap Farel."Apa maksudmu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Lelaki itu merasa geram setengah mati. Ingin rasanya dia menghajar Farel, karena baginya, apa yang dia lakukan sama saja membuang waktu percuma."Enggak ada. Aku cuman mau kamu amati aja, siapa orang-orang mereka. Lihat, mereka semua sedang mengobrol di halaman depan rumah. Berpakaian seperti orang biasa. Terlihat seperti orang baik pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Rumah mereka juga
Dari kejadian itu, Devan semakin gencar melindungi Ariana. Dirinya tak segan-segan menelepon wanitanya, sekalipun dia berada di hari yang sibuk. Beberapa jam sekali, Devan menyempatkan diri untuk ke kamar mandi dan menelpon istrinya. Ketika jam kerja selesai, dirinya juga tak segan-segan untuk langsung pulang. Sementara itu, Farel langsung bergegas mencari tahu. Tentu saja, dia tidak melakukannya sendiri. Karena, setelah lima hari lamanya, dia menghubungi Devan dan mengajaknya ke suatu tempat. "Van, kamu ada waktu luang, nggak? Kayaknya, aku udah menemukan pelakunya. Dan berita baiknya, aku tahu siapa orang ini. Kamu mau ngasih dia pelajaran?" tanya Farel sembari tersenyum sinis, di balik teleponnya. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Mulanya, ia kebingungan dengan kalimat Farel yang agak dominan mengarah ke perkelahian. "Tunggu dulu, apa dia adalah seorang wanita? Atau laki-laki? Ariana sebelumnya sudah pernah bercerita denganku. Hanya saja, aku tidak tahu apakah yang meneror
Devan yang di hari itu bekerja, sama sekali tak bisa konsen terhadap pekerjaannya. Ia kebingungan memikirkan sang istri yang bertahan di rumah. "Ya Allah, tolong lindungi Istriku," batinnya meraung keras. Sementara itu, Ariana yang sedari tadi di rumah, menghela napas panjang. Dia merasa sedikit tenang ketika seorang wanita yang merupakan tetangga sebelah rumahnya datang dan menghampirinya. "Assalamu'alaikum, Mbak Ariana." Wanita bernama Yunita itu, memanggil nama Ariana dengan suara lantang. Tak lama kemudian, Ariana berlari kecil ke depan rumah. "Wa'alaikumussalam, Mbak Yunita," balas wanita itu dengan suara lirih. "Ya Allah, Mbak. Untung Mbak Ariana nggak kenapa-napa. Saya tuh cemas loh, Mbak. Dari tadi, saya lihat kalo Mbak didatengin sama dua orang itu. Orang yang biasa nyari perempuan buat dijadiin pekerja kayak gitu," ucap wanita itu dengan suara lirih. Kedua matanya melihat ke kanan dan kiri, mengawasi daerah sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun yang ada di
Ariana yang masih berada di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan diri. Alhasil, dia benar-benar menghubungi suaminya melalui sebuah pesan. Devan yang saat itu masih berada di jam kerja, tidak sempat melihatnya. Namun, karena hp Devan diletakkan di sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan kursi milik ayah Farel. Beliau langsung memberitahukan hal itu kepada Devan. "Van, ada SMS dari Istri kamu," ucap sang ayah dengan wajah gelisah. Beliau menoleh ke arah Devan. Lelaki itu spontan menoleh ke arah ayah Farel. Lalu, dia berjalan ke meja dan mengambil hpnya. "Iya, Pak. Makasih, saya lihat dulu, ya," balas Devan sembari tersenyum. Devan mengambil hp dan kemudian membaca isi pesannya. "Astaghfirullah, Ariana? Kenapa ini?" batin Devan dengan wajah gelisah. Ayah Farel yang mengetahuinya, langsung menoleh ke arah Devan. "Ada masalah apa, Van? Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Devan segera menoleh, menceritakan apa yang terjadi. "Ini, Istri saya lagi a
Ariana menelan ludah ketika dia berada di posisi terdesak. Dia benar-benar tidak ingin berada di tempat itu sebetulnya. Tapi dia harus mencari cara agar bisa kabur dengan cara yang mulus. Alhasil, dia berusaha untuk tetap tenang. “Oh, ya udah kalo gitu. Mbak Jihan bisa ikut sama saya ke toilet, kok,” ucap perempuan itu dengan suara lirih. Ariana dan jihan langsung pergi ke toilet bersama-sama. Ariana segera melesat ke toilet. Lalu, di sana dia mencoba untuk mencari cara. “Heum, gimana, ya? Apa aku minta tolong temenku aja biar bisa anterin aku ke sini? Kayaknya, aku masih inget kalo Mbak Arum tinggal di sekitar sini,” batin Ariana. Wanita itu mengambil hp dari saku dan memberikan sebuah pesan untuk Mbak Arum. Dia langsung meminta agar Mbak Arum datang dan menjemutnya. Pada akhirnya, dia menungu sampai Mbak Arum tiba. Selang beberapa saat setelahnya, Mbak Arum datang dengan seorang lelaki yang memakai pakaian seperti polisi. Di satu sisi, Ariana masih saja bertahan di dalam kamar m
Devan menghabiskan waktunya sembari menangis di pelukan sang istri. Di hari itu, mereka seakan merasa dekat satu sama lain. "Mas, janji sama aku kalo kamu nggak bakalan aneh-aneh lagi," ucap Ariana, wanita itu mencoba melakukan kompromi dengan suaminya. Devan menganggukkan kepala, bilang bahwa dia berjanji akan melakukannya. "Ma, ini nggak papa kan, kalo perhiasannya kita gadaikan?" tanya Devan sekali lagi, wanita itu menoleh ke arah sang suami dengan wajah gelisah."Iya, Mas. Nggak papa, kok. Masalahnya, emang uangnya cukup apa kalo dibuat bayar kos-kosan? Biasanya, kan. Ada kos yang maunya dibayar setahun untuk di tahun awal," balas Ariana dengan wajah cemas. Wanita itu sungguh penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Iya juga ya, Ma. Nanti aku bicarakan lagi sama Farel ya," ucap Devan dengan suara lirih. Lelaki itu kembali terpenjara dengan masalahnya sendiri. Entah kenapa, apa yang dikatakan oleh Ariana memang selalu benar. Alhasil, ketika Devan pergi rumahnya. Ari
Devan mengenal napas, mengiyakan perkataan sang kakak. Lalu, diam-diam dia keluar dari rumah. Mengerjakan hal lain tanpa sibuk membahas hal tadi. ******"Van, kamu salah naruh itu, loh. Kenapa kamu?" tanya Farel dengan suara lirih. Lelaki itu mendaratkan debrakan di meja. Lalu setelahnya, orang itu menggelengkan kepala. "Aku nggak kenapa-napa, kok. Kamu ngapain di sini? Mau ketemu sama Bapak, Rel?" Farel melontarkan pertanyaan yang membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Iya, aku mau ketemu Bapak, sekalian mau ketemu kamu. Denger-denger, kamu lagi ada masalah, ya? Kenapa? Mau ngobrol sama aku?" Farel menaikkan alisnya ke atas. "Heum, enggak juga, sih. Cuman aku bingung aja, nggak ngerti harus gimana lagi. Kemarin, aku udah nyoba ngomong sama orang tuaku, tapi mereka nggak ada yang mau bantu buat ngasih modal. Jadi, kayaknya aku nggak ada uang buat pindah kos," Devan mengatakannya dengan frontal. Tidak ingin basa-basi. Lalu, Farel menganggukkan kepala."Aku paham, tapi kamu ngg