"Ma! ayo pulang ke rumah Kakek, Ma! Vasya udah nggak kuat di sini," ucap Vasya pelan. Gadis cilik itu menoleh ke arah Ariana dengan tubuh lemas. Ariana yang berada di samping anaknya, seketika bergumam pelan. "Nak, jangan gegabah. Kamu tahu kalo Mama nggak punya biaya buat ke rumah Kakek kamu. Ayo, ikut Mama bersihin rumah ini. Alhamdulillah Ayah kamu udah ngasih uang ke Mama. Jadi, lumayan banget buat makan hari ini," ucap Ariana. Ia mencoba tersenyum di hadapan Vasya. Dengan berat hati, Vasya akhirnya mengikuti keinginan sang ibu. Namun, dia tak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran Ariana. Bekali-kali gadis itu mendorong ibunya untuk angkat kaki, atau setidaknya pisah rumah dengan ayahnya. Namun, jawaban Ariana tetap sama. Tak berselang lama, keduanya langsung pergi untuk membersihkan seisi rumah. Di sana, Vasya dan Ariana berusaha keras untuk membersihkan semuanya hingga bersih. Ketika sore tiba, mereka berdua membeli bakso. Hingga malam, Devan belum tiba di rumahnya. "M
"Ini soal keluargaku, Ma. Bapak mau rumah ini direnovasi," ucap Devan. Deg!Ariana menghela nafas panjang. Baru saja dia pindah dan membereskan semua pekerjaan rumah bersama Vasya. Namun, dia malah mendapat kabar buruk. "Mas, kenapa harus direnovasi, sih? Rumah ini masih bagus dan masih kuat, nggak perlu, Mas. Uangnya bisa kamu gunain buat yang keperluan yang penting, misalnya beli sepeda motor baru, biar Vasya nanti pas gede bisa langsung make, Mas. Kamu mikirnya ke depan gitu loh, Mas. Jangan mikirin hidup di masa ini aja," ucap Ariana dengan suara lantang. Ia sengaja melantangkan suaranya agar suaminya mengerti bahwa dia tengah marah. "Ma! Kamu kok marah-marah, sih?! Lagian, Ma! Kita ini hidup di hari ini! Ya udah, yang dipikir ya hari ini dulu! Jangan mikir ke depannya kayak gimana! Semua itu dijalanin dulu, Ma! Sisanya, serahin sama yang Di atas! Yang Di atas lebih tahu apa yang terbaik buat kita!" pekik Devan tak kalah lantang. "Mas! Kamu itu gimana sih, pola pikirnya?! Aku n
"Mbak, percaya sama saya. Saya ini bukan orang baru di daerah sini. Saya juga sering ngamatin orang-orang di sini!" teriak wanita itu dari kejauhan. Namun, semuanya terlambat. Ariana tak lagi memperdulikan perempuan itu. Ia berjalan ke dalam dan bertemu dengan ruangan tengah. Di sana, ia hanya bisa berdiam diri sembari mengambil air putih. Diminumnya air itu sampai dia merasa lega. "Astaghfirullah, ada-ada aja kelakuan perempuan zaman sekarang. Kenapa dia bisa nuduh Mas Devan sembarangan, sih?" batin Ariana. Ia sama sekali tak terima bila ada yang menghina suaminya. Terlebih, dia masih percaya bahwa suaminya bisa berubah menjadi orang yang baik, tidak sama dengan sebelumnya. Di malam hari, ketika suaminya pulang, Ariana lebih banyak diam."Ma, makanannya mana? Aku udah laper ini, lo. Kamu jangan lemot, dong," ucap Devan, ia menyindir sang istri dengan wajah sinis. Devan yang berada di dapur, segera bergegas ke ruang makan dan duduk sambil meminum kopi. "Ini makanannya," kata Arian
Keesokan harinya, Ariana mengerjakan aktivitasnya seperti biasa. Dia menyapu halaman depan rumah sembari menitikkan air mata. "Haduh, Mas Devan bener-bener nggak ke rumah ya, kemarin malem?" batin Ariana. Wanita itu menoleh ke halaman depan. Tak lama kemudian, Devan datang menghampirinya."Ariana! Cepet beliin Mas makanan! Mas laper!" pekik Devan sembari melempar uang yang berasal dari sakunya. Ariana yang melihatnya, seketika menghapus air matanya. Ia segera mengambil uang dan melemparkannya di hadapan suaminya. "Kamu beli aja sendiri, Mas! Ariana udah nggak mau lagi ngomong sama, Mas!" pekik Ariana dengan suara lantang. Wanita itu menatap kedua mata Devan dengan tatapan tajam."Cih! Ya udah, mendingan kamu keluar aja dari rumah! Dasar tolol!" Devan dengan suara lantang. Dari kejauhan, wanita yang mengetahui hubungan Devan dengan perempuan itu menggelengkan kepala. "Astaghfirullah, dia harus tahu soal ini," ucap wanita itu dengan suara lirih. Lelaki itu pergi dengan rasa kesal. Ar
Beberapa orang berjalan dan membawanya sampai ke rumah. Setibanya di rumah, ia sadar bahwa pintu rumah itu tidak dikunci. Alhasil, Ariana ditempatkan di sebuah sofa. Di sana, beberapa orang nampak saling melempar pandangan. "Ada apa sebenarnya, Mbak?" tanya salah seorang warga yang tadi membantunya.Deg!Karena merasa hal itu adalah privasi, dia memilih untuk menyembunyikannya. "Mohon maaf, Mbak. Tadi itu dia lagi shock. Tapi, saya nggak bisa menjelaskan kenapa dia begitu," ucap wanita itu sembari tersenyum tipis. "Oalah, jadi gitu, Mbak. Ya udah kalo gitu, nggak papa," jawab warga itu. Setelah kejadian itu, mereka semua pergi. Wanita itu mencari keberadaan suami Ariana. Ia yakin bahwa suaminya ada di rumah, karena ia melihat semuanya. Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan ke ara h wanita itu. Sebenarnya, wanita itu sangat ketakutan setelah melihat Devan. Namun, ia meniatkan semua ini untuk membantu Ariana, meski dia tidak kenal betul dengannya. "Ada apa ini?! Kenapa ini Istr
"Udah cukup, Lisa! Pergi kamu dari sini!" pekik Devan dengan nada tinggi. Lelaki itu mengusir Lisa dari hadapannya. Tak lama kemudian, Lisa yang ada di hadapannya langsung memukul punggung lelaki itu. "Dasar buaya! Kamu apain aku, Mas?! Kamu nggak inget malam itu kita ngapain, ha?!" tanya Lisa dengan suara lantang. Devan yang ada di hadapannya, hanya bisa berdiam diri dan menengok Lisa dengan tatapan datar. "Gak usah macam-macam kamu, Lisa! Pergi!" teriak Devan dengan suara lantang. Ariana seketika berdiri, ia menoleh ke arah Devan dengan tatapan marah. "Mas, kamu udah ngapain aja sama dia?! Kenapa dia tanya hal begituan sama kamu, ha?! Jujur sama aku, Mas! Kamu udah main sama dia, ha?!" pekik Ariana. Wanita itu menepuk punggung lelaki itu dengan sisa tenaga yang dia punya. "Ariana, tunggu Ariana! Jangan marah-marah dulu kamu sama aku, Ariana! Kamu masa percaya sama kata-kata wanita itu, ha?! Jangan percaya Ariana!" Devan berusaha meyakinkan perempuan yang ada di hadapannya. "Cuku
"Ariana, kamu kenapa pergi sendirian sama anakmu? Suamimu nggak ikut kamu pergi ke rumah orang tua kamu?" tanya Adnan dengan suara lirih. Deg!Ariana sekilas menatap lurus ke depan, dia tak tahu mengerti sikap apa yang harus dia ambil ketika berhadapan dengan Adnan. Karena dia tahu, Adnan tidak pernah mengetahui kehidupannya lagi setelah dirinya menikah. "Dia-- dia lagi ada kerjaan, Adnan. Kenapa?" tanya Ariana dengan suara lirih. Adnan seketika terdiam untuk beberapa saat, ia berusaha mengamati gerak-gerik Ariana yang begitu mencurigakan. Dan benar saja, dilihat dari caranya berbicara. Terutama mimik wajahnya, Adnan tahu bahwa Ariana ada masalah. "Hahahah, kamu kayak nggak kenal aku aja. Kamu pikir, aku nggak ngerti gitu?" tanya Adnan dengan suara lirih. Ia mencoba melihat ke arah kaca lagi sembari tersenyum tipis. "Kamu ngomong apa sih, Adnan? Aku nggak kenapa-napa, kok. Udah, ah. Ayo jalan," jawab Ariana sembari menelan ludahnya sendiri. Adnan menelan ludahnya sendiri, ia seca
Setelah mereka berdua berpisah, keduanya segera menaiki bus. Bus itu melaju dengan kencang, beberapa penumpang terlihat sedang berbincang satu sama lain, beberapa lagi terlihat sedang tidur lelap. Namun, berbeda dengan Ariana. Wanita itu memikirkan apa yang nantinya akan terjadi. "Ma, Mama mau makan jajan yang dikasih Om, nggak? Vasya mau makan jajannya. Enak banget tahu, Ma. Temen Mama baik banget, ya," ucap Vasya sembari tersenyum. "Kamu aja yang makan, Sayang. Mama lagi nggak mau makan, nih," jawab Ariana sembari tersenyum lebar. Berusaha terlihat kuat di hadapan suaminya. "Ya udah kalo gitu, Ma. Oh iya, Ma. Andai aja Ayah sifatnya baik kayak Om Adnan ya, pasti Mama seneng banget, deh," ucap Vasya sembari tersenyum. "Vasya, kamu nggak boleh gitu, tahu. Om Adnan itu memang temen Mama. Dulu Mama emang sahabatan lama banget sama dia. Tapi, dulu Om Adnan juga udah punya Istri. Pas itu, Mama juga punya Ayah kamu, hahaha. Udah, jangan bahas Om Adnan lagi, ya," kata sang ibu. "Ya amp
Keesokan harinya, tepat di hari Senin pagi. Farel menyarankan bibinya untuk mendatangi Ariana. Tak hanya itu, Beliau juga diminta untuk menjelaskan pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh Ariana. Alhasil, dirinya pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ariana. Di sana, Farel menyuruh Devan untuk meninggalkan keduanya. Sebelum itu, dia mengucapkannya melalui telepon yang dia miliki. Tak lama kemudian, ketika Farel berangkat dengan sang bibi, Beliau pun bertanya dengan sopan kepada keponakannya. "Farel, gimana kalo Bibi nanti nggak bisa bayar perempuan itu? Kamu kan tahu, Bibi memang baru aja pindah di sini. Sebenernya, kalo untuk makan dan biaya kehidupan sehari-hari, uangnya masih cukup. Tapi, kalo untuk bayarin perempuan itu, gimana? Bibi bingung loh, Farel." Wanita berkerudung hitam itu melihat ke arah Farel dengan wajah gelisahnya. Namun, tak lama kemudian, Farel menghembuskan nafas panjang. "Nggak papa, Bi. Nanti, Farel juga ikut bantuin Bibi untuk bayar gajinya. Lag
Farel dan Devan saling beradu dalam diam, keduanya hendak menimbang satu sama lain. Lalu, tak lama setelah itu, Devan kembali angkat bicara. "Ariana, Farel sama aku berusaha menyelamatkan kamu, tadi. Terus, pas itu, Farel nyamar jadi pemulung. Tapi, nggak taunya dia itu udah bawa temennya. Keduanya langsung nyergap orang yang udah jahatin kamu, kemarin. Makanya itu, hehehe," ucap Devan sambil tertawa. Lelaki itu hanya bisa diam ketika dirinya berusaha untuk tak mengerti apa-apa. "Hah?! Yang bener aja dong, Devan! Apa katamu tadi?! Beneran, nih?! Jadi, kalian berdua berusaha menangkap orang itu, ya?!" Ariana menaikkan salah satu alisnya. Lantas, keduanya mengangguk kan kepala. Ariana langsung menghembuskan nafas panjang, mengusap peluh di kepalanya, sambil menunggu momen yang tepat, untuknya berbicara. "Huh, untung aja kalo gitu," balas Ariana dengan perasaan ragu. Meski demikian, kedua matanya menoleh ke beberapa arah. Lantas, dirinya langsung memberi salam dan pergi ke dalam ruma
"Siapa yang menyelamatkan siapa, Farel?! Jangan mengada-ngada! Kalo kamu membongkar kasus ini, bisa-bisa Istriku kenapa-napa lagi!" bentak Devan dari dalam mobil. Lelaki itu melirik Farel sekilas. Lantas, ia meneguk ludahnya sendiri. "Seratus! Aku nggak nyangka kamu sepintar itu. Tapi, kamu tenang aja. Aku ke sini untuk ngasih pilihan ke kamu. Yang penting, aku kan udah ngasih tahu kamu lokasinya di sini. Kalo urusan kamu mau ngehajar dia atau enggak, itu urusan kamu. Lagian, aku udah tahu satu korban yang berhasil kabur dari rumah itu," ucap Farel."Apa maksudmu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Lelaki itu merasa geram setengah mati. Ingin rasanya dia menghajar Farel, karena baginya, apa yang dia lakukan sama saja membuang waktu percuma."Enggak ada. Aku cuman mau kamu amati aja, siapa orang-orang mereka. Lihat, mereka semua sedang mengobrol di halaman depan rumah. Berpakaian seperti orang biasa. Terlihat seperti orang baik pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Rumah mereka juga
Dari kejadian itu, Devan semakin gencar melindungi Ariana. Dirinya tak segan-segan menelepon wanitanya, sekalipun dia berada di hari yang sibuk. Beberapa jam sekali, Devan menyempatkan diri untuk ke kamar mandi dan menelpon istrinya. Ketika jam kerja selesai, dirinya juga tak segan-segan untuk langsung pulang. Sementara itu, Farel langsung bergegas mencari tahu. Tentu saja, dia tidak melakukannya sendiri. Karena, setelah lima hari lamanya, dia menghubungi Devan dan mengajaknya ke suatu tempat. "Van, kamu ada waktu luang, nggak? Kayaknya, aku udah menemukan pelakunya. Dan berita baiknya, aku tahu siapa orang ini. Kamu mau ngasih dia pelajaran?" tanya Farel sembari tersenyum sinis, di balik teleponnya. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Mulanya, ia kebingungan dengan kalimat Farel yang agak dominan mengarah ke perkelahian. "Tunggu dulu, apa dia adalah seorang wanita? Atau laki-laki? Ariana sebelumnya sudah pernah bercerita denganku. Hanya saja, aku tidak tahu apakah yang meneror
Devan yang di hari itu bekerja, sama sekali tak bisa konsen terhadap pekerjaannya. Ia kebingungan memikirkan sang istri yang bertahan di rumah. "Ya Allah, tolong lindungi Istriku," batinnya meraung keras. Sementara itu, Ariana yang sedari tadi di rumah, menghela napas panjang. Dia merasa sedikit tenang ketika seorang wanita yang merupakan tetangga sebelah rumahnya datang dan menghampirinya. "Assalamu'alaikum, Mbak Ariana." Wanita bernama Yunita itu, memanggil nama Ariana dengan suara lantang. Tak lama kemudian, Ariana berlari kecil ke depan rumah. "Wa'alaikumussalam, Mbak Yunita," balas wanita itu dengan suara lirih. "Ya Allah, Mbak. Untung Mbak Ariana nggak kenapa-napa. Saya tuh cemas loh, Mbak. Dari tadi, saya lihat kalo Mbak didatengin sama dua orang itu. Orang yang biasa nyari perempuan buat dijadiin pekerja kayak gitu," ucap wanita itu dengan suara lirih. Kedua matanya melihat ke kanan dan kiri, mengawasi daerah sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun yang ada di
Ariana yang masih berada di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan diri. Alhasil, dia benar-benar menghubungi suaminya melalui sebuah pesan. Devan yang saat itu masih berada di jam kerja, tidak sempat melihatnya. Namun, karena hp Devan diletakkan di sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan kursi milik ayah Farel. Beliau langsung memberitahukan hal itu kepada Devan. "Van, ada SMS dari Istri kamu," ucap sang ayah dengan wajah gelisah. Beliau menoleh ke arah Devan. Lelaki itu spontan menoleh ke arah ayah Farel. Lalu, dia berjalan ke meja dan mengambil hpnya. "Iya, Pak. Makasih, saya lihat dulu, ya," balas Devan sembari tersenyum. Devan mengambil hp dan kemudian membaca isi pesannya. "Astaghfirullah, Ariana? Kenapa ini?" batin Devan dengan wajah gelisah. Ayah Farel yang mengetahuinya, langsung menoleh ke arah Devan. "Ada masalah apa, Van? Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Devan segera menoleh, menceritakan apa yang terjadi. "Ini, Istri saya lagi a
Ariana menelan ludah ketika dia berada di posisi terdesak. Dia benar-benar tidak ingin berada di tempat itu sebetulnya. Tapi dia harus mencari cara agar bisa kabur dengan cara yang mulus. Alhasil, dia berusaha untuk tetap tenang. “Oh, ya udah kalo gitu. Mbak Jihan bisa ikut sama saya ke toilet, kok,” ucap perempuan itu dengan suara lirih. Ariana dan jihan langsung pergi ke toilet bersama-sama. Ariana segera melesat ke toilet. Lalu, di sana dia mencoba untuk mencari cara. “Heum, gimana, ya? Apa aku minta tolong temenku aja biar bisa anterin aku ke sini? Kayaknya, aku masih inget kalo Mbak Arum tinggal di sekitar sini,” batin Ariana. Wanita itu mengambil hp dari saku dan memberikan sebuah pesan untuk Mbak Arum. Dia langsung meminta agar Mbak Arum datang dan menjemutnya. Pada akhirnya, dia menungu sampai Mbak Arum tiba. Selang beberapa saat setelahnya, Mbak Arum datang dengan seorang lelaki yang memakai pakaian seperti polisi. Di satu sisi, Ariana masih saja bertahan di dalam kamar m
Devan menghabiskan waktunya sembari menangis di pelukan sang istri. Di hari itu, mereka seakan merasa dekat satu sama lain. "Mas, janji sama aku kalo kamu nggak bakalan aneh-aneh lagi," ucap Ariana, wanita itu mencoba melakukan kompromi dengan suaminya. Devan menganggukkan kepala, bilang bahwa dia berjanji akan melakukannya. "Ma, ini nggak papa kan, kalo perhiasannya kita gadaikan?" tanya Devan sekali lagi, wanita itu menoleh ke arah sang suami dengan wajah gelisah."Iya, Mas. Nggak papa, kok. Masalahnya, emang uangnya cukup apa kalo dibuat bayar kos-kosan? Biasanya, kan. Ada kos yang maunya dibayar setahun untuk di tahun awal," balas Ariana dengan wajah cemas. Wanita itu sungguh penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Iya juga ya, Ma. Nanti aku bicarakan lagi sama Farel ya," ucap Devan dengan suara lirih. Lelaki itu kembali terpenjara dengan masalahnya sendiri. Entah kenapa, apa yang dikatakan oleh Ariana memang selalu benar. Alhasil, ketika Devan pergi rumahnya. Ari
Devan mengenal napas, mengiyakan perkataan sang kakak. Lalu, diam-diam dia keluar dari rumah. Mengerjakan hal lain tanpa sibuk membahas hal tadi. ******"Van, kamu salah naruh itu, loh. Kenapa kamu?" tanya Farel dengan suara lirih. Lelaki itu mendaratkan debrakan di meja. Lalu setelahnya, orang itu menggelengkan kepala. "Aku nggak kenapa-napa, kok. Kamu ngapain di sini? Mau ketemu sama Bapak, Rel?" Farel melontarkan pertanyaan yang membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Iya, aku mau ketemu Bapak, sekalian mau ketemu kamu. Denger-denger, kamu lagi ada masalah, ya? Kenapa? Mau ngobrol sama aku?" Farel menaikkan alisnya ke atas. "Heum, enggak juga, sih. Cuman aku bingung aja, nggak ngerti harus gimana lagi. Kemarin, aku udah nyoba ngomong sama orang tuaku, tapi mereka nggak ada yang mau bantu buat ngasih modal. Jadi, kayaknya aku nggak ada uang buat pindah kos," Devan mengatakannya dengan frontal. Tidak ingin basa-basi. Lalu, Farel menganggukkan kepala."Aku paham, tapi kamu ngg