Tgl 2 April, libur dulu, ya. ^^
"Ariana, kamu kenapa pergi sendirian sama anakmu? Suamimu nggak ikut kamu pergi ke rumah orang tua kamu?" tanya Adnan dengan suara lirih. Deg!Ariana sekilas menatap lurus ke depan, dia tak tahu mengerti sikap apa yang harus dia ambil ketika berhadapan dengan Adnan. Karena dia tahu, Adnan tidak pernah mengetahui kehidupannya lagi setelah dirinya menikah. "Dia-- dia lagi ada kerjaan, Adnan. Kenapa?" tanya Ariana dengan suara lirih. Adnan seketika terdiam untuk beberapa saat, ia berusaha mengamati gerak-gerik Ariana yang begitu mencurigakan. Dan benar saja, dilihat dari caranya berbicara. Terutama mimik wajahnya, Adnan tahu bahwa Ariana ada masalah. "Hahahah, kamu kayak nggak kenal aku aja. Kamu pikir, aku nggak ngerti gitu?" tanya Adnan dengan suara lirih. Ia mencoba melihat ke arah kaca lagi sembari tersenyum tipis. "Kamu ngomong apa sih, Adnan? Aku nggak kenapa-napa, kok. Udah, ah. Ayo jalan," jawab Ariana sembari menelan ludahnya sendiri. Adnan menelan ludahnya sendiri, ia seca
Setelah mereka berdua berpisah, keduanya segera menaiki bus. Bus itu melaju dengan kencang, beberapa penumpang terlihat sedang berbincang satu sama lain, beberapa lagi terlihat sedang tidur lelap. Namun, berbeda dengan Ariana. Wanita itu memikirkan apa yang nantinya akan terjadi. "Ma, Mama mau makan jajan yang dikasih Om, nggak? Vasya mau makan jajannya. Enak banget tahu, Ma. Temen Mama baik banget, ya," ucap Vasya sembari tersenyum. "Kamu aja yang makan, Sayang. Mama lagi nggak mau makan, nih," jawab Ariana sembari tersenyum lebar. Berusaha terlihat kuat di hadapan suaminya. "Ya udah kalo gitu, Ma. Oh iya, Ma. Andai aja Ayah sifatnya baik kayak Om Adnan ya, pasti Mama seneng banget, deh," ucap Vasya sembari tersenyum. "Vasya, kamu nggak boleh gitu, tahu. Om Adnan itu memang temen Mama. Dulu Mama emang sahabatan lama banget sama dia. Tapi, dulu Om Adnan juga udah punya Istri. Pas itu, Mama juga punya Ayah kamu, hahaha. Udah, jangan bahas Om Adnan lagi, ya," kata sang ibu. "Ya amp
"Kamu bisa nggak? Nggak usah cari masalah. Aku itu udah banyak masalah dari kecil, jadi tolong, hargai dan hormati aku sebagai Kakakmu," ucap Ariana dengan tatapan tegas. Wanita itu hanya bisa mengatakan semuanya di hadapan wanita itu dengan tatapan sinis."Kakak mau dihormatin?! Cih, males banget, ngapain aku menghormati orang kayak Kakak, hah?!" tanya Tita tak kalah sinis. Mereka masih saja bertengkar, hingga mereka tak sadar bahwa seseorang datang."Assalamu'alaikum," ucap seorang laki-laki di luar pintu. Ariana mengerutkan dahi. "Bentar, suaranya kayak kenal, deh?" batin Ariana. "Wa'alaikumussalam," balas Ariana. Ia segera bergegas ke luar. Di luar rumah, dia bertemu dengan Adnan. Dan hal itu tentu saja membuat dirinya shock. "Loh, Adnan? Kamu di sini?" tanya Ariana. Ia mengucek kedua matanya karena masih tak percaya. Beberapa detik setelahnya, Adnan tertawa lirih. "Kenapa hei? Nggak usah kaget gitu, kebetulan aku ada urusan juga di sini. Bedanya, aku ke sini naik mobilku sendi
"Mbak, kamu udah lama dekat sama Mas Adnan?" tanya Tita dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Ariana dengan wajah sinis. "Kamu lupa? Aku sama Adnan itu udah lama sahabatan. Jadi, dia nggak mungkin lupa sama aku, hahaha," jawab Ariana sembari tersenyum. Tita mendengus kesal. "Oh, jadi gitu. Ya udah kalo gitu, itu tolong bantuin motong timun sama tomatnya," ucap Ariana dengan suara lirih. Tita menganggukkan kepalanya pelan. Selang beberapa saat, dia segera pergi ke dapur dan melakukan pekerjaannya. Entah kenapa perasaan Ariana ketika itu berdebar kencang. Entah apa yang membuatnya begitu. Namun, Tita yang melihatnya seakan risih dengan tingkah sang kakak."Tita, Ibu di mana?""Mana aku tahu, Mbak. Ibu dari tadi jalan terus, palingan sekarang ada di sawah. Udahlah, Mbak masak aja di sini sama Tita," jawab wanita itu dengan wajah sinis. Ariana menghembuskan nafas panjang. Pada akhirnya, masakan itu jadi. Mereka segera bergegas ke dalam rumah dan menyajikannya. "Loh, Nak. Kamu udah dat
Ketika dia berlari, Tita tiba-tiba mencegahnya. Ia meremas pundak sang kakak sambil menaikkan salah satu alisnya. "Mbak, kenapa kamu nggak bilang sama aku, ha?!" pekik Tita dengan tatapan tajam. Ariana yang melihatnya, seketika mengepalkan kedua tangan. Deg!"Tita?! Nga-ngapain kamu di sini, ha? Apa maksud kamu?" tanya Ariana dengan suara lirih, ia tak tahan dengan sikap sang adik. "Bilang sama aku, Mbak! Apa benar Mas Devan main sama cewe lain?! Kalo emang bener gitu kenyataannya! Besok aku mau ke tempat kamu!" pekik Tita. Ariana kehabisan kata-kata setelah mendengar hal itu. Ia menangis keras di hadapan sang adik. "Ka--kamu-?!""Apa, Mbak?! Aku udah dengerin semua perbincangan kamu sama Mas Adnan! Dengerin aku! Sejahat-jahatnya aku sama kamu! Aku juga masih punya nurani, Mbak! Dan kamu pikir?! Sebagai seorang perempuan! Aku tega ngebiarin kamu kayak gini, Mbak?! NGGAK!" pekik Tita sembari memeluk sang kakak. Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu menangis di pelukan sang kakak.
"Astaga! Dasar adek ipar nggak ada akhlak! Kamu apakan semuanya, ha?! Kamu pikir, apa yang ada di dalam pikiran kamu itu bener?!" tanya Devan dengan nada tinggi. "Pemikiran apa?! Orang kamu sendiri yang udah ngebuktiin kalo kelakuan kamu itu kayak Iblis, Mas! Inget, ya. Di status keluargaku, kamu itu cuman Kakak ipar. Jadi, kamu itu sama aja kayak orang asing!" jawab Tita dengan suara lantang. Wanita itu tak mau ambil pusing dengan sikap kakak iparnya. "Kak! Kita berdua harus pergi dari rumah ini! Ayo!" pekik Tita dengan nada tegas. Ariana yang melihat tingkah sang adik, lantas kebingungan. "Tita, kita baru aja sampek ke rumah Kakak. Masa iya mau pergi gitu aja?" tanya Ariana. "Aku nggak sudi terus-terusan di sini, Mbak! Kalo aku harus tinggal di sini selama tiga hari! Aku yang nggak betah! Mbak nggak usah khawatir! Kita bisa cari hotel kalo Mbak masih mau jalan-jalan di sini!" jawab Tita dengan tatapan sinis. Ariana menaikkan salah satu alisnya. Dia kebingungan dari mana Tita men
"Mbak! Tunggu dulu, Mbak! Aku nggak bohong sama kamu! Tolong dengerin penjelasan aku!" pekik wanita itu dengan suara lantang. Tita dan Ariana telah buta akan wanita itu. Mereka berdua pergi dan mengabaikan perkataannya. Namun, wanita itu sama sekali tak menyerah. Dia berlari sekuat tenaga untuk mengejar Tita dan Ariana. meski begitu, keduanya sama sekali tak peduli. "Cih, perempuan murahan itu kalo mau bohong, bisa banget ya, Mbak!" pekik Tita dengan tatapan sinis. Ariana menganggukkan kepalanya pelan. "Iya, Tita. Ya kali, dia bisa aja udah disuruh sama Mas Devan bohong! Salah sendiri, uang yang harusnya dibuat kebutuhan rumah, malah dihabisin buat foya-foya sama temen yang baru. Sekarang, bisa jadi duitnya menipis. Makanya, dia bisa kayak gitu!" balas Ariana. Ia menatap Tita dengan tatapan tajam. "Heum, bener itu, Mbak!" pekik Tita dengan suara lantang. Mereka berdua kini telah berada jauh dari hadapan wanita itu. Tak lama kemudian, angkot pun datang. Mereka berdua langsung menaik
"Mbak, sekarang gimana?" tanya Tita sembari menelan ludahnya. Ariana menoleh ke arah Tita dengan tatapan penuh keraguan. "Kamu mau ngomongin apa, Tita?" Ariana bertanya dengan hati gemetar. Dia menoleh ke arah Ariana sembari memutar kedua bola matanya. "Mas Devan, Mbak! Gimana sama dia? Kamu mau minta maaf sama dia, nggak?" tanya Tita dengan suara lirih. Wanita yang lebih muda usianya daripada Ariana itu, seketika berhenti sejenak. Ia memperhatikan raut wajah Ariana yang tergolong gelisah. "Mbak--Mbak harus ketemu sama Mas Devan, Tita. Tapi, nggak sekarang," balasnya dengan wajah sedih. "Ya udah kalo gitu, ayo cari tempat buat nginep dulu, Mbak. Daripada kita di sini dan-""Tunggu!" teriak Adnan dari kejauhan. Ariana dan Tita segera menoleh ke sumber suara. Dia tidak habis pikir karena lelaki itu masih mengejarnya. "Mas Adnan!" Ariana mengerutkan dahinya sendiri ketika mengetahui kehadiran Adnan. Lelaki itu melempar pandangan ke arahnya. "Ariana, Tita. Kalian berdua ikut saya aj
Keesokan harinya, tepat di hari Senin pagi. Farel menyarankan bibinya untuk mendatangi Ariana. Tak hanya itu, Beliau juga diminta untuk menjelaskan pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh Ariana. Alhasil, dirinya pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ariana. Di sana, Farel menyuruh Devan untuk meninggalkan keduanya. Sebelum itu, dia mengucapkannya melalui telepon yang dia miliki. Tak lama kemudian, ketika Farel berangkat dengan sang bibi, Beliau pun bertanya dengan sopan kepada keponakannya. "Farel, gimana kalo Bibi nanti nggak bisa bayar perempuan itu? Kamu kan tahu, Bibi memang baru aja pindah di sini. Sebenernya, kalo untuk makan dan biaya kehidupan sehari-hari, uangnya masih cukup. Tapi, kalo untuk bayarin perempuan itu, gimana? Bibi bingung loh, Farel." Wanita berkerudung hitam itu melihat ke arah Farel dengan wajah gelisahnya. Namun, tak lama kemudian, Farel menghembuskan nafas panjang. "Nggak papa, Bi. Nanti, Farel juga ikut bantuin Bibi untuk bayar gajinya. Lag
Farel dan Devan saling beradu dalam diam, keduanya hendak menimbang satu sama lain. Lalu, tak lama setelah itu, Devan kembali angkat bicara. "Ariana, Farel sama aku berusaha menyelamatkan kamu, tadi. Terus, pas itu, Farel nyamar jadi pemulung. Tapi, nggak taunya dia itu udah bawa temennya. Keduanya langsung nyergap orang yang udah jahatin kamu, kemarin. Makanya itu, hehehe," ucap Devan sambil tertawa. Lelaki itu hanya bisa diam ketika dirinya berusaha untuk tak mengerti apa-apa. "Hah?! Yang bener aja dong, Devan! Apa katamu tadi?! Beneran, nih?! Jadi, kalian berdua berusaha menangkap orang itu, ya?!" Ariana menaikkan salah satu alisnya. Lantas, keduanya mengangguk kan kepala. Ariana langsung menghembuskan nafas panjang, mengusap peluh di kepalanya, sambil menunggu momen yang tepat, untuknya berbicara. "Huh, untung aja kalo gitu," balas Ariana dengan perasaan ragu. Meski demikian, kedua matanya menoleh ke beberapa arah. Lantas, dirinya langsung memberi salam dan pergi ke dalam ruma
"Siapa yang menyelamatkan siapa, Farel?! Jangan mengada-ngada! Kalo kamu membongkar kasus ini, bisa-bisa Istriku kenapa-napa lagi!" bentak Devan dari dalam mobil. Lelaki itu melirik Farel sekilas. Lantas, ia meneguk ludahnya sendiri. "Seratus! Aku nggak nyangka kamu sepintar itu. Tapi, kamu tenang aja. Aku ke sini untuk ngasih pilihan ke kamu. Yang penting, aku kan udah ngasih tahu kamu lokasinya di sini. Kalo urusan kamu mau ngehajar dia atau enggak, itu urusan kamu. Lagian, aku udah tahu satu korban yang berhasil kabur dari rumah itu," ucap Farel."Apa maksudmu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Lelaki itu merasa geram setengah mati. Ingin rasanya dia menghajar Farel, karena baginya, apa yang dia lakukan sama saja membuang waktu percuma."Enggak ada. Aku cuman mau kamu amati aja, siapa orang-orang mereka. Lihat, mereka semua sedang mengobrol di halaman depan rumah. Berpakaian seperti orang biasa. Terlihat seperti orang baik pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Rumah mereka juga
Dari kejadian itu, Devan semakin gencar melindungi Ariana. Dirinya tak segan-segan menelepon wanitanya, sekalipun dia berada di hari yang sibuk. Beberapa jam sekali, Devan menyempatkan diri untuk ke kamar mandi dan menelpon istrinya. Ketika jam kerja selesai, dirinya juga tak segan-segan untuk langsung pulang. Sementara itu, Farel langsung bergegas mencari tahu. Tentu saja, dia tidak melakukannya sendiri. Karena, setelah lima hari lamanya, dia menghubungi Devan dan mengajaknya ke suatu tempat. "Van, kamu ada waktu luang, nggak? Kayaknya, aku udah menemukan pelakunya. Dan berita baiknya, aku tahu siapa orang ini. Kamu mau ngasih dia pelajaran?" tanya Farel sembari tersenyum sinis, di balik teleponnya. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Mulanya, ia kebingungan dengan kalimat Farel yang agak dominan mengarah ke perkelahian. "Tunggu dulu, apa dia adalah seorang wanita? Atau laki-laki? Ariana sebelumnya sudah pernah bercerita denganku. Hanya saja, aku tidak tahu apakah yang meneror
Devan yang di hari itu bekerja, sama sekali tak bisa konsen terhadap pekerjaannya. Ia kebingungan memikirkan sang istri yang bertahan di rumah. "Ya Allah, tolong lindungi Istriku," batinnya meraung keras. Sementara itu, Ariana yang sedari tadi di rumah, menghela napas panjang. Dia merasa sedikit tenang ketika seorang wanita yang merupakan tetangga sebelah rumahnya datang dan menghampirinya. "Assalamu'alaikum, Mbak Ariana." Wanita bernama Yunita itu, memanggil nama Ariana dengan suara lantang. Tak lama kemudian, Ariana berlari kecil ke depan rumah. "Wa'alaikumussalam, Mbak Yunita," balas wanita itu dengan suara lirih. "Ya Allah, Mbak. Untung Mbak Ariana nggak kenapa-napa. Saya tuh cemas loh, Mbak. Dari tadi, saya lihat kalo Mbak didatengin sama dua orang itu. Orang yang biasa nyari perempuan buat dijadiin pekerja kayak gitu," ucap wanita itu dengan suara lirih. Kedua matanya melihat ke kanan dan kiri, mengawasi daerah sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun yang ada di
Ariana yang masih berada di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan diri. Alhasil, dia benar-benar menghubungi suaminya melalui sebuah pesan. Devan yang saat itu masih berada di jam kerja, tidak sempat melihatnya. Namun, karena hp Devan diletakkan di sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan kursi milik ayah Farel. Beliau langsung memberitahukan hal itu kepada Devan. "Van, ada SMS dari Istri kamu," ucap sang ayah dengan wajah gelisah. Beliau menoleh ke arah Devan. Lelaki itu spontan menoleh ke arah ayah Farel. Lalu, dia berjalan ke meja dan mengambil hpnya. "Iya, Pak. Makasih, saya lihat dulu, ya," balas Devan sembari tersenyum. Devan mengambil hp dan kemudian membaca isi pesannya. "Astaghfirullah, Ariana? Kenapa ini?" batin Devan dengan wajah gelisah. Ayah Farel yang mengetahuinya, langsung menoleh ke arah Devan. "Ada masalah apa, Van? Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Devan segera menoleh, menceritakan apa yang terjadi. "Ini, Istri saya lagi a
Ariana menelan ludah ketika dia berada di posisi terdesak. Dia benar-benar tidak ingin berada di tempat itu sebetulnya. Tapi dia harus mencari cara agar bisa kabur dengan cara yang mulus. Alhasil, dia berusaha untuk tetap tenang. “Oh, ya udah kalo gitu. Mbak Jihan bisa ikut sama saya ke toilet, kok,” ucap perempuan itu dengan suara lirih. Ariana dan jihan langsung pergi ke toilet bersama-sama. Ariana segera melesat ke toilet. Lalu, di sana dia mencoba untuk mencari cara. “Heum, gimana, ya? Apa aku minta tolong temenku aja biar bisa anterin aku ke sini? Kayaknya, aku masih inget kalo Mbak Arum tinggal di sekitar sini,” batin Ariana. Wanita itu mengambil hp dari saku dan memberikan sebuah pesan untuk Mbak Arum. Dia langsung meminta agar Mbak Arum datang dan menjemutnya. Pada akhirnya, dia menungu sampai Mbak Arum tiba. Selang beberapa saat setelahnya, Mbak Arum datang dengan seorang lelaki yang memakai pakaian seperti polisi. Di satu sisi, Ariana masih saja bertahan di dalam kamar m
Devan menghabiskan waktunya sembari menangis di pelukan sang istri. Di hari itu, mereka seakan merasa dekat satu sama lain. "Mas, janji sama aku kalo kamu nggak bakalan aneh-aneh lagi," ucap Ariana, wanita itu mencoba melakukan kompromi dengan suaminya. Devan menganggukkan kepala, bilang bahwa dia berjanji akan melakukannya. "Ma, ini nggak papa kan, kalo perhiasannya kita gadaikan?" tanya Devan sekali lagi, wanita itu menoleh ke arah sang suami dengan wajah gelisah."Iya, Mas. Nggak papa, kok. Masalahnya, emang uangnya cukup apa kalo dibuat bayar kos-kosan? Biasanya, kan. Ada kos yang maunya dibayar setahun untuk di tahun awal," balas Ariana dengan wajah cemas. Wanita itu sungguh penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Iya juga ya, Ma. Nanti aku bicarakan lagi sama Farel ya," ucap Devan dengan suara lirih. Lelaki itu kembali terpenjara dengan masalahnya sendiri. Entah kenapa, apa yang dikatakan oleh Ariana memang selalu benar. Alhasil, ketika Devan pergi rumahnya. Ari
Devan mengenal napas, mengiyakan perkataan sang kakak. Lalu, diam-diam dia keluar dari rumah. Mengerjakan hal lain tanpa sibuk membahas hal tadi. ******"Van, kamu salah naruh itu, loh. Kenapa kamu?" tanya Farel dengan suara lirih. Lelaki itu mendaratkan debrakan di meja. Lalu setelahnya, orang itu menggelengkan kepala. "Aku nggak kenapa-napa, kok. Kamu ngapain di sini? Mau ketemu sama Bapak, Rel?" Farel melontarkan pertanyaan yang membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Iya, aku mau ketemu Bapak, sekalian mau ketemu kamu. Denger-denger, kamu lagi ada masalah, ya? Kenapa? Mau ngobrol sama aku?" Farel menaikkan alisnya ke atas. "Heum, enggak juga, sih. Cuman aku bingung aja, nggak ngerti harus gimana lagi. Kemarin, aku udah nyoba ngomong sama orang tuaku, tapi mereka nggak ada yang mau bantu buat ngasih modal. Jadi, kayaknya aku nggak ada uang buat pindah kos," Devan mengatakannya dengan frontal. Tidak ingin basa-basi. Lalu, Farel menganggukkan kepala."Aku paham, tapi kamu ngg