Setelah mereka berdua berpisah, keduanya segera menaiki bus. Bus itu melaju dengan kencang, beberapa penumpang terlihat sedang berbincang satu sama lain, beberapa lagi terlihat sedang tidur lelap. Namun, berbeda dengan Ariana. Wanita itu memikirkan apa yang nantinya akan terjadi. "Ma, Mama mau makan jajan yang dikasih Om, nggak? Vasya mau makan jajannya. Enak banget tahu, Ma. Temen Mama baik banget, ya," ucap Vasya sembari tersenyum. "Kamu aja yang makan, Sayang. Mama lagi nggak mau makan, nih," jawab Ariana sembari tersenyum lebar. Berusaha terlihat kuat di hadapan suaminya. "Ya udah kalo gitu, Ma. Oh iya, Ma. Andai aja Ayah sifatnya baik kayak Om Adnan ya, pasti Mama seneng banget, deh," ucap Vasya sembari tersenyum. "Vasya, kamu nggak boleh gitu, tahu. Om Adnan itu memang temen Mama. Dulu Mama emang sahabatan lama banget sama dia. Tapi, dulu Om Adnan juga udah punya Istri. Pas itu, Mama juga punya Ayah kamu, hahaha. Udah, jangan bahas Om Adnan lagi, ya," kata sang ibu. "Ya amp
"Kamu bisa nggak? Nggak usah cari masalah. Aku itu udah banyak masalah dari kecil, jadi tolong, hargai dan hormati aku sebagai Kakakmu," ucap Ariana dengan tatapan tegas. Wanita itu hanya bisa mengatakan semuanya di hadapan wanita itu dengan tatapan sinis."Kakak mau dihormatin?! Cih, males banget, ngapain aku menghormati orang kayak Kakak, hah?!" tanya Tita tak kalah sinis. Mereka masih saja bertengkar, hingga mereka tak sadar bahwa seseorang datang."Assalamu'alaikum," ucap seorang laki-laki di luar pintu. Ariana mengerutkan dahi. "Bentar, suaranya kayak kenal, deh?" batin Ariana. "Wa'alaikumussalam," balas Ariana. Ia segera bergegas ke luar. Di luar rumah, dia bertemu dengan Adnan. Dan hal itu tentu saja membuat dirinya shock. "Loh, Adnan? Kamu di sini?" tanya Ariana. Ia mengucek kedua matanya karena masih tak percaya. Beberapa detik setelahnya, Adnan tertawa lirih. "Kenapa hei? Nggak usah kaget gitu, kebetulan aku ada urusan juga di sini. Bedanya, aku ke sini naik mobilku sendi
"Mbak, kamu udah lama dekat sama Mas Adnan?" tanya Tita dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Ariana dengan wajah sinis. "Kamu lupa? Aku sama Adnan itu udah lama sahabatan. Jadi, dia nggak mungkin lupa sama aku, hahaha," jawab Ariana sembari tersenyum. Tita mendengus kesal. "Oh, jadi gitu. Ya udah kalo gitu, itu tolong bantuin motong timun sama tomatnya," ucap Ariana dengan suara lirih. Tita menganggukkan kepalanya pelan. Selang beberapa saat, dia segera pergi ke dapur dan melakukan pekerjaannya. Entah kenapa perasaan Ariana ketika itu berdebar kencang. Entah apa yang membuatnya begitu. Namun, Tita yang melihatnya seakan risih dengan tingkah sang kakak."Tita, Ibu di mana?""Mana aku tahu, Mbak. Ibu dari tadi jalan terus, palingan sekarang ada di sawah. Udahlah, Mbak masak aja di sini sama Tita," jawab wanita itu dengan wajah sinis. Ariana menghembuskan nafas panjang. Pada akhirnya, masakan itu jadi. Mereka segera bergegas ke dalam rumah dan menyajikannya. "Loh, Nak. Kamu udah dat
Ketika dia berlari, Tita tiba-tiba mencegahnya. Ia meremas pundak sang kakak sambil menaikkan salah satu alisnya. "Mbak, kenapa kamu nggak bilang sama aku, ha?!" pekik Tita dengan tatapan tajam. Ariana yang melihatnya, seketika mengepalkan kedua tangan. Deg!"Tita?! Nga-ngapain kamu di sini, ha? Apa maksud kamu?" tanya Ariana dengan suara lirih, ia tak tahan dengan sikap sang adik. "Bilang sama aku, Mbak! Apa benar Mas Devan main sama cewe lain?! Kalo emang bener gitu kenyataannya! Besok aku mau ke tempat kamu!" pekik Tita. Ariana kehabisan kata-kata setelah mendengar hal itu. Ia menangis keras di hadapan sang adik. "Ka--kamu-?!""Apa, Mbak?! Aku udah dengerin semua perbincangan kamu sama Mas Adnan! Dengerin aku! Sejahat-jahatnya aku sama kamu! Aku juga masih punya nurani, Mbak! Dan kamu pikir?! Sebagai seorang perempuan! Aku tega ngebiarin kamu kayak gini, Mbak?! NGGAK!" pekik Tita sembari memeluk sang kakak. Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu menangis di pelukan sang kakak.
"Astaga! Dasar adek ipar nggak ada akhlak! Kamu apakan semuanya, ha?! Kamu pikir, apa yang ada di dalam pikiran kamu itu bener?!" tanya Devan dengan nada tinggi. "Pemikiran apa?! Orang kamu sendiri yang udah ngebuktiin kalo kelakuan kamu itu kayak Iblis, Mas! Inget, ya. Di status keluargaku, kamu itu cuman Kakak ipar. Jadi, kamu itu sama aja kayak orang asing!" jawab Tita dengan suara lantang. Wanita itu tak mau ambil pusing dengan sikap kakak iparnya. "Kak! Kita berdua harus pergi dari rumah ini! Ayo!" pekik Tita dengan nada tegas. Ariana yang melihat tingkah sang adik, lantas kebingungan. "Tita, kita baru aja sampek ke rumah Kakak. Masa iya mau pergi gitu aja?" tanya Ariana. "Aku nggak sudi terus-terusan di sini, Mbak! Kalo aku harus tinggal di sini selama tiga hari! Aku yang nggak betah! Mbak nggak usah khawatir! Kita bisa cari hotel kalo Mbak masih mau jalan-jalan di sini!" jawab Tita dengan tatapan sinis. Ariana menaikkan salah satu alisnya. Dia kebingungan dari mana Tita men
"Mbak! Tunggu dulu, Mbak! Aku nggak bohong sama kamu! Tolong dengerin penjelasan aku!" pekik wanita itu dengan suara lantang. Tita dan Ariana telah buta akan wanita itu. Mereka berdua pergi dan mengabaikan perkataannya. Namun, wanita itu sama sekali tak menyerah. Dia berlari sekuat tenaga untuk mengejar Tita dan Ariana. meski begitu, keduanya sama sekali tak peduli. "Cih, perempuan murahan itu kalo mau bohong, bisa banget ya, Mbak!" pekik Tita dengan tatapan sinis. Ariana menganggukkan kepalanya pelan. "Iya, Tita. Ya kali, dia bisa aja udah disuruh sama Mas Devan bohong! Salah sendiri, uang yang harusnya dibuat kebutuhan rumah, malah dihabisin buat foya-foya sama temen yang baru. Sekarang, bisa jadi duitnya menipis. Makanya, dia bisa kayak gitu!" balas Ariana. Ia menatap Tita dengan tatapan tajam. "Heum, bener itu, Mbak!" pekik Tita dengan suara lantang. Mereka berdua kini telah berada jauh dari hadapan wanita itu. Tak lama kemudian, angkot pun datang. Mereka berdua langsung menaik
"Mbak, sekarang gimana?" tanya Tita sembari menelan ludahnya. Ariana menoleh ke arah Tita dengan tatapan penuh keraguan. "Kamu mau ngomongin apa, Tita?" Ariana bertanya dengan hati gemetar. Dia menoleh ke arah Ariana sembari memutar kedua bola matanya. "Mas Devan, Mbak! Gimana sama dia? Kamu mau minta maaf sama dia, nggak?" tanya Tita dengan suara lirih. Wanita yang lebih muda usianya daripada Ariana itu, seketika berhenti sejenak. Ia memperhatikan raut wajah Ariana yang tergolong gelisah. "Mbak--Mbak harus ketemu sama Mas Devan, Tita. Tapi, nggak sekarang," balasnya dengan wajah sedih. "Ya udah kalo gitu, ayo cari tempat buat nginep dulu, Mbak. Daripada kita di sini dan-""Tunggu!" teriak Adnan dari kejauhan. Ariana dan Tita segera menoleh ke sumber suara. Dia tidak habis pikir karena lelaki itu masih mengejarnya. "Mas Adnan!" Ariana mengerutkan dahinya sendiri ketika mengetahui kehadiran Adnan. Lelaki itu melempar pandangan ke arahnya. "Ariana, Tita. Kalian berdua ikut saya aj
"Tita, ini kenapa Mas Devan nggak bangun-bangun, ya?" tanya Ariana dengan wajah lesu. Berkali-kali ia mengelus kepala suaminya. Tita yang berada di sampingnya, seketika menghembuskan nafas pelan. "Mbak, Mbak Ariana sabar dulu. Dia udah pasti bakalan sadar kok, Mbak. Jangan khawatir, ya," jawab Tita sembari tersenyum. Ia menoleh ke arah Ariana dengan senyum terpaksa. "Tapi, kalo nanti dia nggak bangun-bangun gimana?" tanya Ariana dengan wajah gelisah. Tita mendengus kesal sambil memukul lengan Ariana dengan pelan. "Mendingan, Mbak sekarang mandi sama sholat dulu. Mbak Ariana mandi di masjid depan rumah sakit aja. Untung aja kita bawa koper ya, Mbak," ucap Tita dengan suara lirih sambil tersenyum di hadapan Ariana. Ariana hanya berdiam diri, lantas melangkah pergi ke masjid. Dari kejauhan, Tita sadar bahwa apa yang dia lakukan nyatanya sia-sia."Hmm, Mbak Ariana sesayang itu sama Mas Devan meski udah berkali-kali disakitin?" batin Tita sambil menangis. Di hari itu, dirinya sama seka