Home / Fiksi Sejarah / Alegoria / Makan Malam di Flikjuse I

Share

Makan Malam di Flikjuse I

Author: Red Maira
last update Last Updated: 2021-04-01 09:10:26

Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.

“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.

Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.

Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Alegoria   Makan Malam di Filkjuse II

    Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng

    Last Updated : 2021-04-01
  • Alegoria   Pementasan Gavin

    “Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw

    Last Updated : 2021-04-01
  • Alegoria   Kepergian Luna

    Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan

    Last Updated : 2021-05-01
  • Alegoria   Sebuah Konspirasi

    Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para

    Last Updated : 2021-05-16
  • Alegoria   Sepuluh Dosa Besar

    SEPULUH DOSA BESAR. Demikian batu tulis raksasa itu mengukir diri, tegak berdiri berhadapan dengan gerbang emas setinggi tiga meter. Di bawah judul adalah rentetan dosa yang dimaksud,Pengkhianatan terhadap negaraNasionalisme tanpa pengorbananHukum tanpa keadilanSuara tanpa kebebasanIlmu tanpa moralitasPendidikan tanpa karakterManusia tanpa kemanusiaanMenyerah tanpa berusahaMeminta tanpa memberiHidup tanpa prinsip.Inilah filsafat hidup Negeri The Great Alegra. Masyarakat dunia menyebutnya prasasti. Tetapi rakyat Alegra lebih senang memanggilnya secara lebih nyentrik, “Monumen batu berukir”. Artinya semata-mata karena batu itu diukir dan dipoles membentuk huruf-huruf yang menjadi tiang-tiang dasar negara.Monumen itu terpajang ditengah-tengah air mancu

    Last Updated : 2021-03-07
  • Alegoria   Awal Mula

    “Mengapa aku harus terjebak ke dalam tempat hampa seperti ini?” keluh Adrien, sambil memperhatikan pemandangan diluar jendela limosinnya. Carter, sang pelayan yang tengah menyupir, tersenyum lembut,“Barangkali karena memang sudah saatnya Anda memiliki pasangan, Tuan Muda. Bukankah dalam waktu satu tahun lagi Anda akan resmi menjadi Raja menggantikan Lord Alastairs? Anda tentu membutuhkan seorang perempuan untuk menjadi Ratu...”“Apakah kita benar-benar memerlukan seorang Ratu, Carter?” potong Adrien, ingatannya berlabuh kepada ibundanya yang duduk sendirian di kelam hari, Lady Earlene. Menjadi Ratu mungkin adalah pekerjaan paling menyedihkan bagi perempuan di negeri ini, pikirnya.“Ada banyak wartawan yang meminta konfirmasi dariku, Tuan Muda,” Carter mencoba menjelaskan dengan sangat sopan. “Mereka bertanya tentang kisah asmara...siapa yang Pangeran Adrien cintai...siapa yang akan menjadi Ratu...dan..

    Last Updated : 2021-03-11
  • Alegoria   Keluarga Alegra

    “Kalau kau ingin mencari uang, disinilah tempatnya. Tapi sayang, disini tidak ada kehidupan.” seru Rodrigue, sesaat setelah ia dan Isadora sampai di dapur. Oh sebuah perjuangan yang panjang! Butuh melewati berlapis pemeriksaan untuk akhirnya tiba di dapur utama. Untunglah tadi sempat ada Lady Luna yang membuat hatinya terasa adem dan tentram.“Lord Alastairs, Lady Earlene, Prince Adrien dan Lady Luna, dan saudara-saudaranya, mereka semua hampir tidak pernah berbicara lebih dari lima menit terhadap sesamanya,” sambungnya, ia sangat semangat ketika obrolan sudah menjurus ke arah gosip-gosip keluarga kerajaan. Setelah tengok kanan dan kiri dan merasa aman bahwa cctv atau alat pengintai semacam itu tidak akan mencurigai tingkahnya dan Lady Luna yang tengah berada di istana utama tidak akan mendengar obrolan ini, ia mencondongkan wajahnya ke arah Isadora dan berbicara dengan serius,“Bohong kalau media bilang mereka semua tinggal di istana utam

    Last Updated : 2021-03-12
  • Alegoria   Gavin Dolorosa Marshall

    Gavin Dolorosa Marshall, sesosok pria muda setinggi 180 centimeter dengan mantel cokelat panjang membungkus tubuhnya yang proporsional. Senyum berkelas yang dihadirkannya saat muncul dari balik pintu menandakan bahwa ia adalah seorang ekspatriat.“Ah!” seru pria itu, menurunkan payung, membuka mantel dan memberikan keduanya kepada para pengawalnya. Ia tertunduk memandangi bercak-bercak air yang menetes dari ujung-ujung payung. “Aku tidak tahu akan hujan begini,” lanjutnya sumringah.“Setelah bertahun-tahun menetap di Inggris, Anda tentu menjadi tidak terbiasa dengan cuaca Penthalpa yang murung ini, Mr. Marshall!” Lady Earlene menyahut. Ia mengulurkan tangannya kepada Gavin, “Selamat datang di The Great Alegra!”Gavin tersenyum dan menyambut tangan Earlene dengan lembut, “Halo Ratu Alegra, Lady Earlene” Lalu Gavin mengulurkan tangan pada Frederich, “Halo Lord Frederich.’’ Kemudian,

    Last Updated : 2021-03-12

Latest chapter

  • Alegoria   Sebuah Konspirasi

    Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para

  • Alegoria   Kepergian Luna

    Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan

  • Alegoria   Pementasan Gavin

    “Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw

  • Alegoria   Makan Malam di Filkjuse II

    Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng

  • Alegoria   Makan Malam di Flikjuse I

    Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota

  • Alegoria   Pengekangan Luna

    Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya

  • Alegoria   Pesona Prince Adrien

    “Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu

  • Alegoria   Rapat Nasional

    Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h

  • Alegoria   Luna Dan Gavin

    Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua

DMCA.com Protection Status