“Mengapa aku harus terjebak ke dalam tempat hampa seperti ini?” keluh Adrien, sambil memperhatikan pemandangan diluar jendela limosinnya. Carter, sang pelayan yang tengah menyupir, tersenyum lembut,
“Barangkali karena memang sudah saatnya Anda memiliki pasangan, Tuan Muda. Bukankah dalam waktu satu tahun lagi Anda akan resmi menjadi Raja menggantikan Lord Alastairs? Anda tentu membutuhkan seorang perempuan untuk menjadi Ratu...”
“Apakah kita benar-benar memerlukan seorang Ratu, Carter?” potong Adrien, ingatannya berlabuh kepada ibundanya yang duduk sendirian di kelam hari, Lady Earlene. Menjadi Ratu mungkin adalah pekerjaan paling menyedihkan bagi perempuan di negeri ini, pikirnya.
“Ada banyak wartawan yang meminta konfirmasi dariku, Tuan Muda,” Carter mencoba menjelaskan dengan sangat sopan. “Mereka bertanya tentang kisah asmara...siapa yang Pangeran Adrien cintai...siapa yang akan menjadi Ratu...dan...ada beberapa perempuan juga, mantan kekasih Tuan Muda, yang menghubungiku dan memastikan siapa yang akan menempati kursi di samping Pangeran...”
“Aku tidak ingin menikah,” potong Adrien, tegas. Tatapannya tetap mengarah keluar jendela, kepada kastil-kastil dan taman-taman yang sudah ribuan-bahkan jutaan kali ia lewati.
“Baiklah, Tuan Muda,” kata Carter, tak berani untuk membantah perkataannya.
Hening.
Limosin terus melaju di kesunyian. Adrien menyandarkan kepalanya ke jendela mobil dan memejamkan mata. Gerimis malas mengiringi pagi yang meskipun sudah pagi, tak nampak ada matahari. Hawa dingin menusuk-nusuk tulang. Kabut bergelayut. Sekilas larik-larik mimpi nampak menari-nari di kepalanya, membuat mata birunya terasa nyaman dalam kantung tertutup. Ia mengingat warna-warni pelangi dan harum aroma tanah basah, segar hijau dedaunan dan kabut dingin di atas bukit yang turun ke bawah melahap semua. Percik-percik salju di pucuk gunung cadas. Bunga-bunga liar di pinggir sungai dan ia sampai di jalanan setapak dekat minaret jam. Tiba-tiba tubuhnya menjadi ringan dan seakan tertarik ke atas, ia terbang menjangkau dinding langit, melayang-layang laksana debu. Ia berputar-putar indah dan syutt, saat kakinya hendak mendarat di balkon kastil, ia terjatuh.
Boom!
“Aduh, maaf-maaf, tuan, maafkan aku...” seorang gadis berseru ketakutan. Adrien segera tersadar dari tidurnya dan melihat apa yang terjadi. Oh seorang pelayan istana menyebrang jalan sembarangan! Hampir saja limosinnya rusak karena menabrak gadis itu!
“Apa yang kau lakukan disitu? Heh!” Adrien membentak, Di dalam mulutnya sudah bersiap keluar sumpah serapah karena kehadiran gadis itu jelas-jelas telah merusak tidurnya.
“Maafkan aku, Tuan, aku tidak sengaja,” ujarnya sambil terus menundukkan kepala. Adrien tak bergeming dan hanya buang muka. Ia mengisyaratkan Carter dengan tangannya untuk segera membereskan masalah ini.
Carter langsung keluar dari mobil.
“Aduh, ya ampun, Isadora! Lain kali kalau jalan hati-hati,” seru Carter pernuh peringatan. Ia membungkuk memunguti barang-barang yang terjatuh dari genggaman Isadora. “Disini bukan taman yang bisa kau lewati seenaknya...” dan Carter mulai berbisik “Masih baik Prince Adrien hanya membentakmu.”
“Aku tahu, maafkan aku, aku tersesat,” Isadora memohon-mohon.
“Astaga! Kau baru sampai disini kurang dari satu jam dan sudah tersesat? Dimana yang lain? Kenapa tidak menemanimu?”
“Aku tidak tahu. Tadi kabutnya sangat tebal dan aku berpisah dari rombongan. Ya Tuhan, aku takut sekali... aku baru pertama kali bekerja disini tapi sudah membuat kacau...”
Kata-kata tak beraturan itu keluar dari mulut Isadora begitu saja, membuatnya tampak menyedihkan di bawah langit kelabu. Carter mengalirkan napas panjang. Sepasang matanya mulai memandang iba kepada gadis di depannya. Ia menoleh sebentar ke arah Adrien dan mendapati sang Tuan Muda tak bergeming sama sekali. Matanya yang sedalam samudera menatap tajam kepada Carter dan Isadora secara bergiliran, tapi tak ada sesuatu pun yang dikatakannya. Raut mukanya sulit dideteksi.
“Maafkan aku... aku tak akan mengulanginya...”
“Sssst!” serobot Carter. “Sudah-sudah, ini...” Carter memberikan barang bawaan Isadora yang terjatuh, “Cepatlah kembali ke istana dan bekerjalah dengan profesional...jangan pernah keluar sendirian sebelum kau benar-benar hapal jalanan ini, mengerti?”
Isadora mengangguk. Kemudian, ia berjalan pelan ke pinggir jalan, lalu menunduk dengan tegang di tepian. Ia mempersilahkan limosin super mewah itu untuk lewat, dan tanpa memperhatikan keadaannya, limosin itu melaju cepat.
*****
Oh, hampir saja, pikir Isadora seraya bernafas lega.
“Oii Isadora!!” seorang wanita bertubuh gempal memanggilnya di kejauhan. Isadora bersorak bukan main melihat siapa yang datang. Ia berlari mendekati sang wanita dan bahkan, sebelum ia benar-benar sampai, kata-kata penuh resah berhamburan dari mulutnya.
“Rodrigue, apakah aku akan dipecat atas insiden tadi?”
“Tenanglah, tenang,” demikian Rodrigue, sang Kepala Pelayan Istana Utama menenangkan. “Prince Adrien tidak seburuk yang kau pikirkan, tetapi dia memang tak suka melihat kesalahan.”
“Apakah kabut turun setiap hari, Rodrigue?” Isadora langsung mengalihkan pembicaraan. Ia tak mau mengingat kejadian mengerikan itu lagi.
Rodrigue tersenyum ramah. “Yah, kau harus mulai terbiasa dengan iklim Penthalpa yang berkabut dan...emm...sedikit kelam.”
“Ah,” keluh Isadora. Kekecewaannya sangat dalam. “Ternyata memang tidak lebih baik daripada kampungku di Cottonmouth. Disana bahkan saat musim panas, salju bisa turun setiap hari!”
Rodrigue setengah tertawa, setengah menggeleng-gelengkan kepala menanggapi ucapan gadis itu. Kemudian, dituntunnya sang gadis kembali menuju Istana Utama, tempat dimana ia bekerja dan memulai hidup barunya. Selama perjalanan, Rodrigue menjelaskan satu per satu tentang kastil-kastil di Istana, tentang tikungan jalan yang membingungkan, tentang taman hiburan, stasiun kereta dan bangunan-bangunan klasik lain yang entah untuk apa saja digunakan
Suaranya semakin lama semakin rendah dan rendah, dan akhirnya menghilang dibelokan jalan setapak.
Pada suatu titik di langit, terdengar suara seekor burung bersenandung, suara sayap lebar yang mengepak seperti baling-baling.
*****
Sementara itu, saat siang semakin murung dan sepi, Luna berjalan tergesa-gesa menuju ruang utama di istana utama. Tangis di mata safirnya telah mengering, menimbulkan bekas dan rasa kantuk yang berat. Angin sepoi-sepoi, menarikan rambut panjangnya yang pirang kemerah-merahan. Gadis cantik itu seakan ingin menyerah kepada kelembutan mimpi. Namun ia tidak bisa melakukannya. Sebab dering telepon dari seberang telah berdering dan dalam satu tarikan, Luna segera menjumpai Alexandrina, salah satu penasihat keluarga kerajaan sekaligus istri dari Frederich Ford Alegra, adik dari Lord Alastairs.
“Dia akan datang malam ini, Alexa,” sahut Luna, terengah-engah.
“Siapa?” Alexandrina tidak mengerti. “Dia?”
Luna mengangguk. “Charles Rosenblum menelpon tadi. Aku tidak menyangka akan mendadak seperti ini. Kenapa tidak ada yang memberitahuku sebelumnya?”
“Ssstt,” Alexandrina mengingatkan. Matanya memutar keliling ruangan, takut-takut kalau ada yang mendengar percakapan mereka. “Jangan panik,” nada suaranya memelan. “Aku pikir Adrien dan Ratu sudah memberitahumu.”
Luna terdiam. Bekas air mata yang mengering telah menjawabnya. Alexandrina paham maksudnya. Ia menghela napas.
“Apakah Tuan Marshall benar-benar akan membawaku ke Asrama Honeysuckle sekarang?” Luna bertanya dengan nada cemas. “Lord Alastairs tidak ada disini. Apa yang harus aku lakukan, Alexa?”
“Tenanglah, sayang,” Alexandrina menenangkan. “Aku akan pergi sebentar menemui Adrien dan Lady Earlene untuk mendiskusikan ini semua. Aku juga akan menelpon Lord Alastairs secepatnya.” Ada jeda sejenak. “Aku juga akan memberitahu mereka kau keberatan dengan misi ini, jika kau mau.”
Lalu, tanpa basa basi, Alexandrina pergi. Tinggalah Luna sendirian dan dengan letih, ia terduduk di sofa. Ia menangkupkan seluruh wajahnya dengan kedua tangan. Ia tampak berpikir keras. Satu menit, dua menit, sepuluh menit berlalu. Tidak ada ide bagus muncul di kepalanya. Sekali lagi, Luna menangkupkan seluruh wajahnya dengan kedua tangan. Lelah.
“Permisi, nona, mau aku bawakan segelas teh?” Rodrigue, Sang Kepala Pelayan yang baru saja sampai bersama Isadora, menawarkan bantuan.
“Ya, terima kasih,” Luna tersenyum. Tetapi tetap saja tak mampu menghilangkan gelisah di raut wajahnya. Rodrigue yang telah mengenal Luna sejak gadis itu masih bayi pun merasa bersimpati.
“Anda terlihat kurang sehat, nona. Apa ingin aku bawakan sesuatu lagi, nona? Makanan atau buah-buahan misalnya?”
“Tidak perlu, Rodrigue. Aku hanya akan duduk istirahat sebentar,” Luna mengalirkan napas panjang. “Seharusnya aku sudah terbiasa dengan ini.”
“Barangkali ini hanya hari yang buruk, nona, tetapi bukan hidup yang buruk,” Luna menoleh kepada Isadora dan Isadora menunduk dengan segala hormat. Luna mengulum senyum manis.
“Oh kau pasti temannya Rodrigue ya,” serunya. Isadora mengangguk. Di dalam hati, ia kagum betapa Lady Luna menghargainya. Alih-alih berkata bahwa ia adalah pelayan baru, Luna justru mengatakan teman.
“Namaku Isadora Deirde. Aku datang dari Cottonmouth, nona.”
“Nama yang bagus,” puji Luna, tulus. “Aku Luna. Senang bertemu denganmu,” Luna mengulurkan tangannya dengan sangat ramah, senyum di wajahnya tak memudar. Isadora menyambut tangan itu penuh kelembutan. Ia ikut tersenyum dan Rodrigue juga tersenyum. Sesaat, berhentilah segala kesusahan yang baru saja dialami mereka dan berganti menjadi keceriaan persahabatan.
“Kalau kau ingin mencari uang, disinilah tempatnya. Tapi sayang, disini tidak ada kehidupan.” seru Rodrigue, sesaat setelah ia dan Isadora sampai di dapur. Oh sebuah perjuangan yang panjang! Butuh melewati berlapis pemeriksaan untuk akhirnya tiba di dapur utama. Untunglah tadi sempat ada Lady Luna yang membuat hatinya terasa adem dan tentram.“Lord Alastairs, Lady Earlene, Prince Adrien dan Lady Luna, dan saudara-saudaranya, mereka semua hampir tidak pernah berbicara lebih dari lima menit terhadap sesamanya,” sambungnya, ia sangat semangat ketika obrolan sudah menjurus ke arah gosip-gosip keluarga kerajaan. Setelah tengok kanan dan kiri dan merasa aman bahwa cctv atau alat pengintai semacam itu tidak akan mencurigai tingkahnya dan Lady Luna yang tengah berada di istana utama tidak akan mendengar obrolan ini, ia mencondongkan wajahnya ke arah Isadora dan berbicara dengan serius,“Bohong kalau media bilang mereka semua tinggal di istana utam
Gavin Dolorosa Marshall, sesosok pria muda setinggi 180 centimeter dengan mantel cokelat panjang membungkus tubuhnya yang proporsional. Senyum berkelas yang dihadirkannya saat muncul dari balik pintu menandakan bahwa ia adalah seorang ekspatriat.“Ah!” seru pria itu, menurunkan payung, membuka mantel dan memberikan keduanya kepada para pengawalnya. Ia tertunduk memandangi bercak-bercak air yang menetes dari ujung-ujung payung. “Aku tidak tahu akan hujan begini,” lanjutnya sumringah.“Setelah bertahun-tahun menetap di Inggris, Anda tentu menjadi tidak terbiasa dengan cuaca Penthalpa yang murung ini, Mr. Marshall!” Lady Earlene menyahut. Ia mengulurkan tangannya kepada Gavin, “Selamat datang di The Great Alegra!”Gavin tersenyum dan menyambut tangan Earlene dengan lembut, “Halo Ratu Alegra, Lady Earlene” Lalu Gavin mengulurkan tangan pada Frederich, “Halo Lord Frederich.’’ Kemudian,
Gelas-gelas saling bersulang. Sampanye. Wine. Brendi. Cocktail. Chocolat glace. Apalagi? Biskek. Salad. Daging kambing. Daging kuda. Makanan Perancis. Makanan Inggris. Skotlandia. Italia. Keju belanda. Oh jangan lupa, roti strada-makanan khas dari Alegra, semacam roti isi sayur dan daging yang dicampur dengan rempah-rempah. Macam-macam selai dan saus. Macam-macam perhiasaan. Macam-macam alunan musik. Pesta yang indah! Sungguh! Luar biasa!“Rodrigue! Tolong isi lagi gelas-gelas ini!” tukas Lady Earlene kepada Rodrigue yang sudah turun ke bawah mengikuti sang Ratu. Rodrigue mengangguk dan segera mendekati Lady Earlene berserta para bangsawan lainnya.Ha! Lord Alastairs disalami semua pejabat penting. Tertawa. Basa basi. Tertawa lagi. Terlena oleh hiruk pikuk pesta dan hanyut oleh kenikmatan.“Dimana Adrien?” tanya seorang pria tua berambut putih, Charles Rosenblum. Ia adalah ketua partai tunggal “Mata Angin&
“Mr. Marshall, bolehkah aku ikut denganmu? Bolehkah aku tinggal bersamamu?” tanya Luna, tiba-tiba tersentak dari tidurnya. Gavin seketika tercengang.“Boleh ya? Aku tidak ingin berada disini, ibu dan Adrien tidak menyukaiku.”“Bukan begitu, Luna,” Gavin mengelus rambut Luna, mencoba memberi pengertian.“Kau menyukaiku kan?” tanya Luna, polos. Gavin hanya menatap gadis kecil itu, bibirnya bergetar. Luna bertanya sekali lagi, Gavin tetap tak mengatakan apa-apa.“Kenapa kau tidak menjawab, Mr. Marshall? Jika kau menyukaiku, tolong bawa aku pergi dari sini.”“Kau tak akan pergi kemana-mana, Luna,” serobot Lady Earlene, secara mengejutkan sudah berdiri di belakang Luna dengan ekspresi sedingin es.Gavin dan Luna sama-sama tercekat.Lady Earlene menarik lengan gadis itu.“Kau jangan membuat keadaan menjadi buruk, gadis kecil. Pergilah ke kamarmu dan tidur!
Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua
Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h
“Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu
Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya
Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para
Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan
“Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw
Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng
Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota
Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya
“Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu
Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h
Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua