Gavin Dolorosa Marshall, sesosok pria muda setinggi 180 centimeter dengan mantel cokelat panjang membungkus tubuhnya yang proporsional. Senyum berkelas yang dihadirkannya saat muncul dari balik pintu menandakan bahwa ia adalah seorang ekspatriat.
“Ah!” seru pria itu, menurunkan payung, membuka mantel dan memberikan keduanya kepada para pengawalnya. Ia tertunduk memandangi bercak-bercak air yang menetes dari ujung-ujung payung. “Aku tidak tahu akan hujan begini,” lanjutnya sumringah.
“Setelah bertahun-tahun menetap di Inggris, Anda tentu menjadi tidak terbiasa dengan cuaca Penthalpa yang murung ini, Mr. Marshall!” Lady Earlene menyahut. Ia mengulurkan tangannya kepada Gavin, “Selamat datang di The Great Alegra!”
Gavin tersenyum dan menyambut tangan Earlene dengan lembut, “Halo Ratu Alegra, Lady Earlene” Lalu Gavin mengulurkan tangan pada Frederich, “Halo Lord Frederich.’’ Kemudian,
“Lady Alexandrina.”
“Prince William.”
“Prince Adrien.”
“Lady Linda.”
Sampai dengan Luna, Gavin membuka kacamata hitamnya. Tampaklah sepasang mata hazel berkilauan dan bulu mata lebat melekuk indah. Untuk beberapa saat, Luna tercekat, berhenti bernafas.
“Halo Lady Luna,” ucap Gavin, senyumnya semakin mengembang, manis seperti buah delima. Luna mengangguk pelan dan membalas salam formal.
“Dahulu kau masih kecil sekali ya, sekarang sudah menjelma menjadi seorang gadis,” Gavin berkelakar, “Ah, sekarang aku merasa tua.”
Semua tertawa.
*****
Mereka berjalan melintasi koridor sepi dan sampai di ruang makan. Meja panjang berlapis emas dan kursi-kursi berlengan yang juga terbuat dari emas, teronggok anggun di tengah-tengah ruangan. Di atas meja ada puluhan menu makanan dengan lilin-lilin mahkota menyala, menghias makanan menjadi terlihat sangat ekslusif. Gelas-gelas piala berjejer. Sendok dan garpu disusun sedemikian rupa. Inilah makan malam yang khusus diadakan untuk seorang Gavin; makan malam mahal yang harganya lebih mahal dengan gaji seluruh koki yang memasak makanannya.
Lady Earlene, Frederich, semua mengambil tempatnya masing-masing. Para pelayan menggeser kursi dan tiap-tiap anggota kerajaan duduk dengan santun di atas The Royal Red Chair. Tak ada celoteh apapun terdengar. Mereka melanjutkan acara makan dalam diam, seperti semuanya berada di dunia sendiri-sendiri.
“Dia tidak pernah berhenti memperhatikannya,” tukas Isadora, mengintip makan malam itu dari ujung pintu yang terbuka.
“Apa maksudmu tidak berhenti memperhatikannya?” Georgette bertanya.
“Tuan Muda Gavin, siapa lagi? Aku rasa dia menyukai Lady Luna.”
“Seluruh negeri menyukai Lady Luna,” Carter beralasan. “Entah bagaimana, Lady Luna memang memiliki pesona tersendiri diantara anggota yang lain. Di desaku, semua mengagumi Lady Luna. Kau sudah baca koran hari ini? Semua menulis tentang Lady Luna. Kau dengar radio? Lihat TV? Semua tentang Lady Luna. Dia begitu postif di hadapan rakyat. Aku rasa dialah magnet kerajaan.”
“Ironis sekali,” Rodrigue tiba-tiba datang dan berkomentar seperti ibu mertua. “Tapi dia tidak cukup disukai oleh ibu dan kakaknya sendiri.”
Semua pelayan menoleh, “Apa maksudmu?”
“Apa maksudku? Hei, dengar, aku sudah dua puluh tahun tinggal di istana ini. Saat Lady Luna lahir, aku pertama kali bekerja disini. Rasanya seperti Tuhan memang telah memilihku untuk menjadi pelayan bagi dirinya. Aku tahu betapa kesepiannya Lady Luna disini. Hidup sendirian di kompleks yang terlalu luas? Kau bisa bayangkan?”
“Yah, dia terlihat tidak bahagia,” Georgette menyimpulkan. “Tapi tentu dia gadis yang baik.”
“Dia baik sekali,” sambung Isadora. “Itulah sebabnya Tuan Muda Gavin menyukainya.”
“Ngomong-ngomong soal Tuan Muda Gavin,” serobot Rodrigue. “Aku pernah menyaksikan suatu pengalaman yang sangat indah antara dia dan Lady Luna.”
“Benarkah? Apa?”
Rodrigue tersenyum simpul. Melihat yang lain tidak sabar menunggu ceritanya, ia merasa seperti sedang memegang kartu undian. Hmm, ia berdehem. Dengan gaya seperti seorang pendongeng, ia berbicara,
“Jadi begini...”
***
Luna Alegra dan Gavin Marshall bukanlah sepasang manusia yang baru bertemu baru-baru ini. Jauh ketika Luna masih kecil, nama Gavin Marshall memang sudah menggaung lembut di telinganya. Pertama kali ketika Luna kecil melihat Gavin Marshall, Lord Alastairs mengintruksikan Luna untuk senantiasa hormat kepada pria itu. Maka Luna hormatlah sebagaimana titah ayahnya, tetapi ia tidak tahu mengapa harus demikian. Baru ketika ia mulai masuk dunia sekolah dan sedikit mampu mencerna kata-kata politik yang berat yang saat itu seperti kode tak terpecahkan, Luna paham mengapa Gavin Marshall harus sangat dihormati. Tak lain tak bukan adalah karena pria tampan itu merupakan keturunan Wangsa B.[1]
Gavin Marshall adalah pria Eropa berdarah Arab. Nama tengahnya, Dolorosa, adalah nama tempat kelahirannya di Jerusalem. Ia terkenal sebagai seorang politisi, pebisnis, musikus, seniman, dan model. Ia telah banyak melalang buana ke berbagai negara dan menancapkan pengaruhnya. Di The Great Alegra, ia adalah penyumbang dana terbesar untuk berbagai proyek dan kebijakan pemerintah, selain Leopold Sagan, Oswald Orben dan Nicholas Nietzsche. Bergelar The Grand Master of Duke of The Great Alegra, ketiganya juga sama-sama merupakan keturunan Wangsa B dan sama-sama merupakan barisan dari pria terkaya di negeri Alegra ini.
Waktu Luna kecil, sebenarnya sedikit sekali peristiwa yang terjadi yang melibatkan dirinya dengan Gavin Marshall. Namun karena sedikit itulah, peristiwa itu tetap terkenang. Semakin sedikit yang harus diingat, semakin kekal ingatan itu. Semakin banyak yang harus diingat, semakin buyar.
“Kalau tidak salah malam itu adalah peringatan hari Supermoon Berdarah (The Bloody Supermoon),” demikian Rodrigue mengorek-ngorek memorinya. “Iya, kalau tidak salah. Malam itu Lady Luna dan Gavin Marshall bertemu.”
Bloody Supermoon adalah sebuah pesta untuk mengenang tragedi berdarah, sebuah tragedi tentang pengkhianatan kelompok partai kiri “Revolusioner” terhadap pemerintah dan keluarga Alegra. Peristiwa tersebut telah terjadi sekitar belasan tahun yang lalu dan menelan lebih dari satu juta rakyat Alegra. Disebut tragedi “Bloody Supermoon” karena peristiwa tersebut berlangsung pada malam supermoon, suatu malam yang indah ketika jarak bumi dan bulan begitu dekat dari biasanya. Malam yang indah itu berubah menjadi neraka ketika darah-darah tak berdosa, darah dari bangsa Great Alegra, membanjiri sungai-sungai dan lautan di sepanjang negeri. Sebuah pembantaian paling mengerikan dalam sejarah Great Alegra. Oleh karena itu, untuk mengenang satu juta lebih rakyat Great Alegra yang menjadi korban dalam persitiwa tersebut, diadakanlah malam pesta sebagai sebuah peringatan.
“Saat itu aku sedang berada di lantai tiga dan mendengar Lady Luna dan Prince Adrien bertengkar,” Rodrigue mengenang peristiwa itu.
*****
“Bloody-Rubin, anak haram!” demikian Adrien meludah. Ia mengibaskan rambut emasnya angkuh dan berceloteh. “Kau tidak akan mendapatkan penghormatan dari keluarga Alegra seperti kehormatan yang aku dapatkan,” lanjutnya.
Ia melempar setumpuk surat kabar dengan potret dirinya sebagai sampul. Disitu dikabarkan bahwa Adrien Moritz Alegra, Sang putra mahkota, akan memerintah Great Alegra belasan tahun yang akan datang. Ini resmi. Terikat. Harga mati.
“Akulah anak Lord Alastairs. Anak resmi. Anak satu-satunya. Tapi kau, Luna? Kau adalah seorang haram yang dengan haram menginjak istana ini dan mengubah keharmonisan keluarga Alegra menjadi neraka!”
“Aku tidak pernah bermaksud mengacaukan keluarga ini...” Luna melawan. Bahkan meski ia tidak mengetahui dengan pasti apa maksud Adrien menghina asal usulnya.
“Tapi kau telah mengacaukannya! Kau dengan ibumu si Pelacur-Rubin! Kau pikir kau akan diterima disini hanya karena ibumu-si pelacur-Rubin pernah tidur dengan ayahku? huh?”
“Ibuku bukan pelacur!”
“Seorang wanita tidur dengan seorang laki-laki lalu memeras sang lelaki, apalagi namanya kalau bukan pelacur? Bahkan sebutan pelacur saja tidak cukup untuk ibumu yang jahanam itu?!”
“Ibuku bukan pelacur, Adrien! bukan!”
Luna mendorong Adrien hingga lelaki itu nyaris terjatuh. Adrien makin naik pitam dan dengan raut pembunuhan, membalas mendorong Luna hingga benar-benar jatuh. Suara berdebum keras terdengar. Luna mengaduh. Adrien menempeleng kepala anak kecil itu dan membuktikan siapa yang lebih berkuasa. Luna menangis sejadi-jadinya. Tangisan itu bergaung, memantul di seluruh sudut istana dan membuat resah suasana pesta yang tengah berlangsung.
Maka, Lady Earlene yang berada tak jauh dari ruangan tempat kakak-adik itu bertengkar, segera terhuyung menuju lokasi. Ketika mengetahui apa yang terjadi, ia langsung memisahkan mereka. Ia tarik tangan Adrien sehingga remaja itu berdiri dibelakang tubuh ibunya.
“Dia hampir membunuhku, mama. Dia telah memukul wajahku,” bisik Adrien, penuh nada menghasut.
“Dia menghinaku mama...” jawab Luna, seakan tahu bahwa kakaknya sedang menghasut Lady Earlene untuk berbuat kejam. Lady Earlene membungkuk mendekati Luna. Ia tatap wajah anak itu. Lama. Dingin.
“Adrien akan menjadi raja di negeri ini, Luna. Malam ini, dan malam-malam selanjutnya adalah milik Adrien. Jadi lebih baik kau diam dan tidak mencari masalah dengannya.”
Untuk yang kesekian kalinya, air mata Luna mengalir hangat.
*****
[1] Wangsa B adalah salah satu keturunan paling berpengaruh di dunia, kepala dari keluarga Alegra.
Gelas-gelas saling bersulang. Sampanye. Wine. Brendi. Cocktail. Chocolat glace. Apalagi? Biskek. Salad. Daging kambing. Daging kuda. Makanan Perancis. Makanan Inggris. Skotlandia. Italia. Keju belanda. Oh jangan lupa, roti strada-makanan khas dari Alegra, semacam roti isi sayur dan daging yang dicampur dengan rempah-rempah. Macam-macam selai dan saus. Macam-macam perhiasaan. Macam-macam alunan musik. Pesta yang indah! Sungguh! Luar biasa!“Rodrigue! Tolong isi lagi gelas-gelas ini!” tukas Lady Earlene kepada Rodrigue yang sudah turun ke bawah mengikuti sang Ratu. Rodrigue mengangguk dan segera mendekati Lady Earlene berserta para bangsawan lainnya.Ha! Lord Alastairs disalami semua pejabat penting. Tertawa. Basa basi. Tertawa lagi. Terlena oleh hiruk pikuk pesta dan hanyut oleh kenikmatan.“Dimana Adrien?” tanya seorang pria tua berambut putih, Charles Rosenblum. Ia adalah ketua partai tunggal “Mata Angin&
“Mr. Marshall, bolehkah aku ikut denganmu? Bolehkah aku tinggal bersamamu?” tanya Luna, tiba-tiba tersentak dari tidurnya. Gavin seketika tercengang.“Boleh ya? Aku tidak ingin berada disini, ibu dan Adrien tidak menyukaiku.”“Bukan begitu, Luna,” Gavin mengelus rambut Luna, mencoba memberi pengertian.“Kau menyukaiku kan?” tanya Luna, polos. Gavin hanya menatap gadis kecil itu, bibirnya bergetar. Luna bertanya sekali lagi, Gavin tetap tak mengatakan apa-apa.“Kenapa kau tidak menjawab, Mr. Marshall? Jika kau menyukaiku, tolong bawa aku pergi dari sini.”“Kau tak akan pergi kemana-mana, Luna,” serobot Lady Earlene, secara mengejutkan sudah berdiri di belakang Luna dengan ekspresi sedingin es.Gavin dan Luna sama-sama tercekat.Lady Earlene menarik lengan gadis itu.“Kau jangan membuat keadaan menjadi buruk, gadis kecil. Pergilah ke kamarmu dan tidur!
Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua
Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h
“Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu
Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya
Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota
Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng
Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para
Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan
“Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw
Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng
Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota
Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya
“Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu
Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h
Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua