“Mr. Marshall, bolehkah aku ikut denganmu? Bolehkah aku tinggal bersamamu?” tanya Luna, tiba-tiba tersentak dari tidurnya. Gavin seketika tercengang.
“Boleh ya? Aku tidak ingin berada disini, ibu dan Adrien tidak menyukaiku.”
“Bukan begitu, Luna,” Gavin mengelus rambut Luna, mencoba memberi pengertian.
“Kau menyukaiku kan?” tanya Luna, polos. Gavin hanya menatap gadis kecil itu, bibirnya bergetar. Luna bertanya sekali lagi, Gavin tetap tak mengatakan apa-apa.
“Kenapa kau tidak menjawab, Mr. Marshall? Jika kau menyukaiku, tolong bawa aku pergi dari sini.”
“Kau tak akan pergi kemana-mana, Luna,” serobot Lady Earlene, secara mengejutkan sudah berdiri di belakang Luna dengan ekspresi sedingin es.
Gavin dan Luna sama-sama tercekat.
Lady Earlene menarik lengan gadis itu.
“Kau jangan membuat keadaan menjadi buruk, gadis kecil. Pergilah ke kamarmu dan tidur! Kau tidak akan kemana-mana. Mr. Marshall tidak menyukaimu dan tidak akan membawamu pergi. Kau tahu kenapa? Karena kau adalah anak haram. Kau sama sekali tidak berarti!”
Luna menangis. Ia menoleh kepada Mr. Marshall dengan tatapan memohon, berharap lelaki itu segera membantah pernyataan Lady Earlene. Tetapi hanya angin yang keluar dari mulut lelaki itu. Tidak ada kata. Tidak ada suara. Ia bahkan berbalik dan melangkah melewati Luna, meninggalkannya dengan bekas pandangan penuh pertanyaan.
“Lihat, dia tidak peduli padamu! Berhentilah berkhayal bahwa seseorang akan membawamu pergi dari kesengsaraanmu. Kau tidak berhak mendapatkannya. Kau adalah anak haram. Itulah yang pantas kau dapatkan! Kau hanyalah seonggok daging! Kau tidak berarti!”
Lady Earlene menarik Luna dan membawanya ke kamarnya. Ia membuka pintu dan melempar tubuh Luna begitu saja seperti melempar sesuatu ke dalam kandang. Klek. Ia mengunci pintu kamar. Luna menggedor-gedor pintu tetapi tak ada yang peduli. Dengan raut penuh kemenangan, Lady Earlene meninggalkan Luna sendirian.
Pada suatu titik di langit, burung-burung malam sahut menyahut.
*****
Air mata Rodrigue berderai-derai mengenang ini, bahwa sebagai Kepala Pelayan, ia tak mampu melakukan apapun untuk membantu majikan yang dikasihinya. Ia hanya bisa memeluk dan menghibur, yang sebenarnya tak banyak berarti karena seorang pelayan dengan Putri Kerajaan tak dapat hidup terlalu akrab. Demikian aturannya. Demikian rantai kekangnya.
Malam ini, setelah bertahun-tahun ia tinggal di Inggris, Gavin Marshall hadir kembali. Rodrigue tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Lady Luna sekarang. Betapa pun teman-temannya terbius oleh betapa mereka yakin Gavin Marshall menyukai, bahkan mencintai Luna. Ia sendiri sangsi. Setelah lelaki itu berani meninggalkan Luna dalam keterpurukan, mungkinkah cinta itu benar-benar ada?
***
Denting sendok dan garpu bertemu piring-piring putih memantul ke tiang-tiang, menciptakan sepi yang sempurna. Tangan kanan Gavin tidak sengaja menyenggol tangan Luna ketika dirinya tengah mengiris daging. Luna terkesiap bukan main. Membeku sejenak dan dengan gemetar, berusaha memasukkan seiris daging ke dalam mulutnya. Lady Earlene dan Adrien tersenyum sinis.
“Jadi, Mr. Marshall, apa yang kau lakukan selama di Inggris?” Alexandrina memecah kebekuan. Frederich memandang Gavin.
“Bisnis, tentu saja,” pria itu menjawab sebisanya.
“Bagus sekali, bisnis adalah alasan utama mengapa seseorang menetap dan berpindah-pindah,” balas Lady Earlene. Ia telah menggabungkan sikap keterbukaan yang dingin dengan sikap angkuh dan kesedihan yang membuat caranya memilih kata-kata tampak dibuat-buat.
Menu makanan diputar, Linda mengambil sebongkah daging. Sunyi lagi.
“Ayah juga tengah berada di Vancouver untuk urusan bisnisnya,” giliran Adrien bersua. “Mungkin untuk sebulan ini, dia tidak akan berada di istana.”
“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu, sebelum beliau ke Vancouver, beliau terbang ke Wina terlebih dahulu.”
“Kalian bertemu di Wina, Mr.Marshall?”
“Yah, ada pameran lukisan dan konser musik klasik disana.”
“Mr.Marshall memiliki gedung kesenian megah di Wina,” celetuk Linda. William membenarkan. “Aku pernah kesana, sungguh luar biasa sekali tempatnya!”
Semua tersenyum. Sesi makan malam selesai tanpa percakapan lagi.
***
Malam semakin mendekati pagi. Mereka berjalan menyusuri koridor, menuju ruang utama. Sepanjang perjalanan, lukisan-lukisan klasik terpajang dan patung-patung malaikat berdiri kokoh. Gavin, Sang Kurator Seni, mengamati dalam-dalam lukisan dan patung yang memanjang dikedua sisi. Ia berdecak kagum dan sesekali memuji sang pelukis. Frederich menjelaskan dan membeberkan dengan dramatis bagaimana perjalanan patung-patung dan lukisan-lukisan tersebut dari museum seni di Louvre ke Istana Alegra. Betapa mahal harganya! Betapa berat! Betapa Oh betapa! Gavin mengangguk-angguk.
“Tidak banyak yang berubah kecuali ada tambahan untuk Picasso dan Michaengelo,” tuturnya, santun. Ia merapatkan jas hitam panjangnya dan lanjut berjalan. Di depannya berjalan, adalah Sang Putri Luna Alegra. Gavin mempercepat langkahnya sehingga dapat sejajar dengan Luna.
“Bagaimana menurutmu jika aku menambahkan sedikit lukisan untuk istana ini, Lady?” tanyanya, dengan sopan.
“Ya, silahkan saja, Tuan.” Luna menjawab dengan tak kalah santun. Ia mencoba bersikap biasa saja kepada lelaki itu, seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka.
“Bagaimana jika sedikit ada polesan De Caprio disini?”
“Ya, boleh saja, Tuan. Anda boleh ambil lukisan Leonardo De Caprio dari seluruh dunia dan membawanya kemari. Anda pasti mampu melakukannya.”
Luna berjalan cepat-cepat meninggalkan Gavin di belakang. Gavin menggelengkan kepala heran seraya tersimpul menahan tawa atas apa yang dianggapnya lucu tersebut.
*****
Sampai di ruang utama, Lady Earlene dan Frederich lebih banyak mengambil alih pembicaraan, terutama berkaitan dengan jadwal kunjungan Gavin Marshall yang padat. Kedatangan Gavin Marshall ke istana Alegra memiliki jadwal yang padat. Selama beberapa hari ke depan, ia akan mengikuti rapat bersama Kongres, juga menemui beberapa pebisnis ulung dan menerapkan beberapa strategi guna rencana The Great Alegra ke depan. Ia memang bukan Raja, namun Lord Alastairs telah setuju dengan Grand Master of Wangsa B untuk mengutusnya langsung dan siapapun tidak ada yang sanggup membantah.
“Ia akan menyelamatkan kita,” demikian ungkap Lord Alastairs tempo lalu kepada Frederich di telepon. “Grand Master bilang dia yang terbaik.”
“Kau tahu, sesungguhnya aku merasa terancam,” Frederich tidak menutup-nutupi kekesalannya. “Jika kau terlalu menuruti ucapan Grand Master itu, aku takut nantinya akan menjadi bumerang.”
“Aku tidak selalu mengikuti ucapan Grand Master, tapi aku mempertimbangkannya dan aku setuju.” Lord Alastairs tersinggung. “Apa kau punya ide yang lebih bagus? Untuk menumpas para pemberontak Rebelution itu? Untuk menutupi defisit negara? Untuk menyelamatkan bisnis-bisnismu? Carikan aku solusi selain mendatangkan dia?”
“Kalau begitu kenapa kau tidak datang kemari dan hadapi dia?”
“Kalau aku disana dan menemui dia, apa kau sanggup disini dan menemui Grand Master?”
Frederich tertohok. Lalu untuk menyembunyikan kekecewaannya, ia menghamburkan kata minta maaf. Lord Alastairs tak cukup ramah untuk merespon basa basi itu dan telepon ditutup sepihak.
*****
Luna adalah orang terakhir yang sampai di ruang utama. Entah bagaimana, padahal ia pikir mungkin masih ada orang lain, Gavin misalnya, di belakangnya. Tetapi ternyata ia salah. Maka ia duduk dengan canggung di sofa di sebelah Linda. Gavin melirik The Duchess of The Honorable of Alegra itu penuh kelembutan, “Apa kau baik-baik saja, Lady Luna?”
“Ya,” jawab Luna, nyaris tak terdengar. Linda, William, Adrien, Frederich dan Alexandrina saling memandang kedua orang itu bergiliran, rasa heran menggelayut. Lady Earlene berdehem kesal.
“Bisa kita mulai, Mr. Marshall?” tanyanya.
“Oh, ya, baiklah,” Gavin bersua, “Jadi aku datang kemari untuk menyelamatkan negeri ini dari hmmm... kelompok pemberontak Rebelution dan... hutang negara. Benar bukan, Ratu?”
Lady Earlene tertawa kecil, “Benar sekali, Tuan Muda Marshall. Jadi, apa rencanamu?”
“Aku punya banyak rencana. Kepalaku penuh dengan segudang ide,” Gavin berkata dengan optimis. “Dari mana aku harus memulainya ya? Oh ya, mungkin dari masalah hutang. Ratu, bukankah besok kita akan ada rapat di parlemen dengan agenda merancang APBN dan menanggulangi defisit negara?”
“Ya, benar.”
“Aku yang akan memimpin rapat itu, Mr. Marshall,” Adrien menimpali. “Ini adalah pembekalan bagiku sebagai Putra Mahkota.”
Lady Earlene tersenyum anggun menyetujui ucapan Adrien.
“Oh, baguslah!” seru Gavin. “Jadi aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar disini. Intinya, aku akan mengusahakan peningkatan pajak dan transparansi dari perusahaan-perusahaan swasta yang bercokol disini. Beres.”
“Kau akan datang rapat besok, Mr.Marshall?” William penasaran.
“Oh, ya, tentu saja, Will. Aku harus berada disana untuk menjalankan rencanaku.”
Tak ada jawaban. Carter dan beberapa pelayan datang membawa senampan minuman dalam gelas-gelas piala. Masing-masing orang mengambilnya takzim.
Hening.
“Lalu bagaimana dengan masalah pemberontak itu?” Lady Earlene melirik Luna, “Aku dengar kau akan membawa ‘putri kesayanganku’ ini ke Asrama Honeysuckle, Mr. Marshall?”
Yang disebut namanya hanya mampu meneguk setengah gelas anggur dalam satu tegukan. Ia teringat bahwa ia harus bersikap sopan, namun ia nyaris tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Sikap Lady Earlene benar-benar menyiksanya.
Gavin memandang Luna, “Ya, dia akan ikut bersamaku untuk satu tahun ke depan. Kita akan menumpas pemberontak itu langsung di markasnya.”
Semua tercekat.
“Aku tidak mengerti,” Linda memberanikan diri bertanya, “Bagaimana?”
“Luna akan meneruskan sekolahnya di Asrama Honeysuckle bersamaku,” jawab Gavin, santai. “Asrama itu diduga menjadi pusat aktivitas para pemberontak. Kita harus adakan inspeksi langsung kesana.”
“Kenapa tidak suruh saja agen intelijenmu untuk menyelidikinya?” Luna spontan bertanya, suaranya bergetar ketakutan.
“Karena kasus ini tidak bisa dilimpahkan begitu saja kepada anggota diluar kerajaan,” jawab Gavin, tanpa memandang ke arah Luna. “Salah satu yang tidak dipahami para pemberontak itu adalah bahwa mereka tidak mengenal kalian begitu baik. Maka kita butuh sukarelawan. Salah satu dari keluarga kerajaan harus turun ke lapangan dan berhadapan dengan mereka. Dan aku memilih Lady Luna Lavina Alegra, The Duchess of The Honorable of Alegra.”
“Apa maksudmu? Aku akan dijadikan umpan?” Luna nyaris kehilangan kendali. Matanya berkaca-kaca, menahan jatuhnya air bah.
“Aku tidak bisa melakukan ini,” lanjutnya. “Ini sangat berbahaya. Mereka bisa membunuhku. Kalian tidak bisa mengorbankan aku begitu saja.”
“Luna, kalau bukan kau lantas siapa?” Lady Earlene blak-blakan. “Kau pikir aku yang harus turun kotor-kotor menghadapi mereka? Atau Adrien? Alexandrina? Lord Frederich? Kami semua sibuk mengurusi pemerintahan dan parlemen. Lalu siapa? Huh? William dan Linda? Mereka sedang sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Apa kau tega menghancurkan impian yang bertahun-tahun yang mereka rajut?”
“Aku pun memiliki mimpiku sendiri, Mama...” Luna terisak. “Apa yang telah kau rencanakan untukku seolah-olah aku tidak pernah ada. Kau mengatur hidupku seakan kau ingin membuangku.”
Plak! Tamparan itu mendarat keras di pipi Luna. Gadis itu jatuh tersungkur ke lantai. Kepalanya sedikit membentur kaki meja. Ia mengaduh kesakitan.
“Apa yang telah kau katakan padaku, anak haram? Kau telah hidup bertahun-tahun disini dengan segala kemewahan yang ada. Aku, semua yang ada disini memberikan segala materi yang kau mau. Lalu apa yang akan kau berikan untuk kami? Huh? Apa kau pikir kau akan enak-enakan saja berleha-leha disini, anak haram?” Lady Earlene naik pitam.
Suasana menjadi benar-benar tegang. Semua diam. Baik Adrien, Alexandrina, Frederich, William dan Linda, tidak ada yang berani menjawab ucapan Lady Earlene, bahkan memotong perkataannya pun tidak. Dia adalah Sang Ratu. Siapakah yang berani melawan kehendak Sang Ratu?
“Sebaiknya kau tahu diri,” timpal Adrien, datar.
Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua
Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h
“Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu
Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya
Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota
Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng
“Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw
Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan
Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para
Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan
“Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw
Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng
Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota
Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya
“Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu
Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h
Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua