Home / Fiksi Sejarah / Alegoria / Rapat Nasional

Share

Rapat Nasional

Author: Red Maira
last update Last Updated: 2021-03-16 09:05:45

Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.

Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.

Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala hormat, mengetahui bahwa Gavin Marshall masihlah seorang ekspatriat keturunan bangsawan ternama, Wangsa B, Luna pun menjauhkan dirinya dari pria itu, takut kalau-kalau Gavin bangun dan menuduh dirinya melakukan hal yang tidak sopan. Akhirnya, ia bangkit dan mencari kesibukan lain.

“Lady Luna,” gumam Gavin, sayu. Matanya masih lemah dibayangi mimpi.

Luna yang sedang duduk di meja riasnya tercekat. Dengan senyum manis bercampur rasa takut, ia menoleh, “Selamat pagi, Mr. Marshall.”

“Selamat pagi, Putri.”

Gavin membalas senyum Luna dengan lembut. “Ah, sudah berapa lama aku tertidur disini?” Gavin bangkit dan meregangkan otot-ototnya. “Hooaaahh, aku tidak pernah tahu kalau tidur di sofa di kamar seorang gadis ternyata enak juga.”

Gadis cantik itu tidak menjawab dan hanya menunduk.

“Sudahlah, jangan bersedih, Lady. Kau tahu asrama Honeysuckle itu sebenarnya sangat menyenangkan. Ah, aku tak sabar untuk ada disana," Gavin sumringah.

“Kau akan ada disana?” tanya Luna, pelan.

“Ya. Tentu saja. Aku akan menemanimu dan menuntunmu.”

“Aku tidak mengerti. Bagaimana caranya?”

“Nanti kau juga akan tahu sendiri.”

Gavin bangkit dan berjalan membuka gerendel pintu. Pintu terbuka. Gavin menoleh sekali lagi kepada gadis yang masih duduk di meja rias,

“Sebaiknya kau bersiap-siap, nona manis.”

Gadis bermata safir itu mengangguk pelan.

Gavin tersenyum lebar dan menutup pintu tanpa suara.

Hening.

*****

Dering telepon nyaring di sudut istana.

Seorang petugas mengangkatnya. Setelah mengucap halo dan mengangguk, ia memencet nomor lain. Dering telepon memekak di ruang lain. Seorang petugas lain mengangkatnya. Setelah mengucap halo dan mengangguk, ia memencet nomor lain lagi. Begitulah seterusnya sampai dering telepon menembus lapisan penjagaan ketujuh untuk akhirnya mengalun di telinga Lady Earlene.

Sesaat, dunia berhenti.

*****

Di dalam sebuah ruangan yang sangat besar, dengan langit-langit setinggi monumen, jendela besar-besar, arsitektur melengkung yang diberi banyak lukisan, dipoles sedemikian rupa, mereka disini: Adrien, Gavin, Frederich, Alexandrina, beberapa menteri serta seluruh anggota konggres. Mereka bergumul membicarakan berbagai kasus dan berdebat tentang cara penyelesaian yang paling ampuh. Konggres berlangsung sengit dan semakin sengit ketika rapat mulai menjurus ke permasalahan krisis dan inflasi.

“Konggres telah voting dan menolak kenaikan pajak sebagai solusi,’’ kata Guillaume Delbonel, ketua Konggres. Para anggota Konggres mengangguk-angguk. Adrien sedikit gusar. Ia bertanya meyakinkan Konggres dan sekali lagi, Guillaume Delbonel mengangguk.

“Sebagai gantinya, kami mengusulkan ditutupnya bank sentral, Prince Adrien,” lanjut Guillaume. “Para bankir itu yang lewat kegiatan peminjaman uang yang bergerak bebas sekarang ini benar-benar akan menghancurkan peradaban kita ke lembah hutang, Prince Adrien. Hemat saya...”

“Apakah ada yang pernah mendengar kisah Andrew Jackson?” potong Adrien. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, menguji intelektualitas semua pejabatnya. “Kalian berbicara tentang bank sentral seakan-akan kalian manusia suci. Jika kalian ingin menutup bank sentral, maka peredaran uang di Great Alegra juga harus dihentikan. Jika peredaran uang di Great Alegra dihentikan, maka kerajaan ini akan ambruk!”

“Apa kalian tidak mengerti?” Adrien bertanya di keheningan. “Apa yang ada dipikiran kalian ketika memutuskan hal ini?”

“Maaf, Yang Mulia,” seorang perempuan dari salah satu anggota Konggres, Marie Roose, berdiri. “Prince Adrien tentu tahu bahwa saat ini, dengan segala kesusahan, banyak rakyat kecil yang terpaksa meminjam uang ke bank dan menggadaikan tanah mereka demi bertahan hidup? Saya curiga atas apa yang telah dilakukan bank sentral dengan meminjamkan rakyat kecil uang yang banyak, dengan bunga yang besar, tetapi menyusutkan peredaran uang di masyarakat hampir dua kali lipat dari seluruh uang yang dipinjam rakyat dari bank tersebut. Bukankah sistem ini sama berlakunya di dalam keuangan negara? Kita telah menjual surat hutang pada bank sentral, dan ya, kita dapat uang dari itu semua. Lalu apa? Mereka menjatuhkan ekonomi kita, sehingga dengan begini kita akan kekurangan lagi dan meminjam lagi, kita meminjam tanpa kita tahu apakah kita bisa membayarnya atau tidak? Sekarang, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika harga pajak dinaikkan? Mengapa begitu sulit untuk menutup bank sentral?”

Adrien terkekeh, melecehkan. Bau anggur masih menyeruak dari mulutnya dan matanya masih sedikit berkunang-kunang.

“Marie Roose, memungut pajak dari masyarakat yang kesusahan memang hampir dicap sebagai kekejian. Tapi menutup bank sentral? Itu adalah bunuh diri massal!”

“Barangkali kita bisa melemparkan kepada Eropa untuk mencairkan dana talangan bagi negeri ini...’’ seseorang bernama Glen Moritz berdiri di Konggres.

“Tidak akan ada dana talangan dari Eropa karena mereka kurang percaya kepada kita bahwa kita dapat membayarnya,’’ Anna de Collins menjawab. “Lagipula memang negara-negara besar di Eropa seperti Perancis, Inggris, dan Jerman sedang dilanda krisis pasca perang, dan dunia kini terbelah menjadi blok barat dan blok timur. Menurut hemat saya, saudara-saudara, andai saja negeri ini mau memihak salah satu blok tersebut, keadaannya mungkin tidak sesulit ini.’’

“Memihak kepada salah satu blok tidak akan menyelesaikan masalah!’’ Marie Roose mulai hilang kesabaran. “Sejak awal Great Alegra konsisten untuk tidak pro barat ataupun pro timur, liberal ataupun komunis. Tidak boleh ada yang diubah dari itu semua, dan asal kalian tahu saja bahwa memihak salah satu dari mereka bukan berarti kita akan mendapatkan dana, kecuali kita punya pengaruh yang besar pada dunia. Jadi sesuai dengan kesepakatan anggota Konggres, Yang Mulia, kita semestinya membekukan bank sentral.”

“Kerajaan tidak akan pernah setuju Bank Sentral dibekukan!” Adrien menentang, mantap. Dengan isyarat matanya yang menyala, ia menyuruh Marie Roose untuk duduk dan diam. Marie Roose tertunduk tak berkutik. Ketegangan menyeruak.

“Jadi bagaimana kita akan mengatasi krisis?” tanya Guillaume. Adrien menyipitkan mata, memandang sinis kepada pria paruh baya itu. “Kerajaan akan memakai caranya sendiri.”

*****

Apakah cara yang dipakai Kerajaan? Semua orang bertanya-tanya. Saat itulah, Gavin yang sedari tadi hanya menyimak, mulai bersuara.

“Menaikkan pajak akan menimbulkan pemberontakan,” kata Gavin, serius. Seketika semua jadi teringat dengan kelompok bawah tanah, Rebelution, yang eksistensinya perlahan-lahan mulai menggerogoti pemerintah.

“Namun masalah negeri ini bukan hanya inflasi dan krisis ekonomi. Ada gerakan bawah tanah, menurunnya tingkat kepercayaan terhadap pusat, pembungkaman media dan...opium.” Gavin mengatakan semua ini dengan begitu tenang, bahkan ia sempat tersenyum meski seluruh manusia lainnya saling waspada.

“Apa solusi yang Anda tawarkan sebenarnya, Mr.Marshall?” Lord Frederich langsung bertanya ke pangkalnya. Gavin menoleh kepada Frederich, “Solusinya adalah pajak.”

“Tetapi tadi Anda bilang sendiri bahwa menaikkan pajak akan menimbulkan pemberontakan, Mr. Marshall!” Marie Roose naik pitam.

“Kita tidak perlu menyebutnya sebagai pajak, Mrs. Roose. Kita hanya perlu mengganti istilah dan sistemnya sedikit.”

Marie Roose menaikkan alisnya. Semua tampak berfikir.

“Oh baiklah, mungkin Anda belum memahaminya sekarang. Akan tetapi, percayalah, langkah ini bisa menjadi solusi yang bagus bagi kita semua.”

Tak ada anggukan. Tak ada gelengan. Tiba-tiba Adrien mengetuk palu. Rapat berakhir. Riuh rendah para anggota Konggres berbisik-bisik. Adrien mengetuk-ngetuk palunya lagi, menenangkan suasana. Gavin menoleh ke Adrien, tersenyum. Adrien yang masih setengah mabuk, hanya mengangguk pelan dan balik ke ruangannya tanpa suara. Alexandrina dan Frederich yang melihat kejadian ini hanya bisa menghela napas dan ikutan pergi. Perlahan, semua pergi, bubar jalan dengan tertib.

Related chapters

  • Alegoria   Pesona Prince Adrien

    “Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu

    Last Updated : 2021-03-17
  • Alegoria   Pengekangan Luna

    Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya

    Last Updated : 2021-04-01
  • Alegoria   Makan Malam di Flikjuse I

    Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota

    Last Updated : 2021-04-01
  • Alegoria   Makan Malam di Filkjuse II

    Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng

    Last Updated : 2021-04-01
  • Alegoria   Pementasan Gavin

    “Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw

    Last Updated : 2021-04-01
  • Alegoria   Kepergian Luna

    Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan

    Last Updated : 2021-05-01
  • Alegoria   Sebuah Konspirasi

    Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para

    Last Updated : 2021-05-16
  • Alegoria   Sepuluh Dosa Besar

    SEPULUH DOSA BESAR. Demikian batu tulis raksasa itu mengukir diri, tegak berdiri berhadapan dengan gerbang emas setinggi tiga meter. Di bawah judul adalah rentetan dosa yang dimaksud,Pengkhianatan terhadap negaraNasionalisme tanpa pengorbananHukum tanpa keadilanSuara tanpa kebebasanIlmu tanpa moralitasPendidikan tanpa karakterManusia tanpa kemanusiaanMenyerah tanpa berusahaMeminta tanpa memberiHidup tanpa prinsip.Inilah filsafat hidup Negeri The Great Alegra. Masyarakat dunia menyebutnya prasasti. Tetapi rakyat Alegra lebih senang memanggilnya secara lebih nyentrik, “Monumen batu berukir”. Artinya semata-mata karena batu itu diukir dan dipoles membentuk huruf-huruf yang menjadi tiang-tiang dasar negara.Monumen itu terpajang ditengah-tengah air mancu

    Last Updated : 2021-03-07

Latest chapter

  • Alegoria   Sebuah Konspirasi

    Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para

  • Alegoria   Kepergian Luna

    Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan

  • Alegoria   Pementasan Gavin

    “Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw

  • Alegoria   Makan Malam di Filkjuse II

    Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng

  • Alegoria   Makan Malam di Flikjuse I

    Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota

  • Alegoria   Pengekangan Luna

    Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya

  • Alegoria   Pesona Prince Adrien

    “Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu

  • Alegoria   Rapat Nasional

    Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h

  • Alegoria   Luna Dan Gavin

    Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua

DMCA.com Protection Status