Beranda / Historical / Alegoria / Pesona Prince Adrien

Share

Pesona Prince Adrien

Penulis: Red Maira
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-17 08:12:58

“Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.

“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”

“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”

“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”

“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”

“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. “Kita cuma hiasan.”

“Munafik!” Anne de Collins mengingatkan. “Kalian mengeluh tentang kerajaan sementara kalian sendiri berdiri disini dengan uang kerajaan. Sudah sepantasnya kalian sadar posisi dan tugas kalian. Tidak lain dan tidak lebih, supaya rakyat mengira negeri ini demokratis.”

“Oh ya? Dasar kau si pembela kerajaan?” Glen Moritz meledek.

Beberapa saat kemudian, Adrien lewat di depan mereka. Semua berbaris rapi dan memberi hormat. Pria itu memandangi para anggota Konggres satu per satu. Air mukanya serius. Saat berada dihadapan Glen Moritz, ia menancapkan matanya tajam, “Jangan terlalu cepat menghakimiku, bung. Kau tidak tahu apa yang telah aku lalui.”

Glen Moritz mengangguk perlahan. Adrien beralih mendekati Marie Roose, ia melipat tangannya dengan angkuh, “Berhati-hatilah dengan siapa Anda berbicara, nyonya.”

Marie Roose tak bergeming. Adrien berbalik dengan kesal. Bersamaan dengan itu, Sang Ketua Parlemen dan Menteri Keuangan hadir. Setelah berjabat tangan dan berbasa basi formal, mereka bertiga berjalan beriringan melewati para anggota Konggres, berbelok mekanis di sudut ruangan dan menghilang dibalik dinding. Glen Moritz dan Marie Roose menarik napas lega.

“Ah, biar bagaimanapun juga, Prince Adrien itu sangat tampan!” Anne de Collins girang sendirian. Siapapun yang mendengarnya jadi tersenyum geli. Ya ampun!

*****

Adrien bertemu dengan ibunya di ujung koridor. Sontak saja wajahnya berubah tegang. Lady Earlene mencoba lewat begitu saja dengan pengawal-pengawalnya, namun lelaki itu menahan.

“Kau berkeliaran di gedung parlemen tapi kau tidak menghadiri rapat?” Adrien tak habis pikir. “Mau kemana kau, Ratu?”

“Berhentilah mencampuri urusanku!” Lady Earlene terperanjat. “Aku memberikan Gavin Marshall ruang, kalau aku datang, maka dia tidak seharusnya datang. Ini hanya trik.”

“Tapi kau tidak mencoba untuk memanfaatkannya bukan?” Adrien mengantisipasi. “Mau kemana, mama?” Adrien melunakkan cara bicaranya.

“Kau ingin menemui dia lagi?” lanjutnya ketika Lady Earlene tak kunjung menjawab. “Bukankah sangat berbahaya jika kau menemuinya?”

“Sudahlah,” Lady Earlene mengeluh. Dengan sangat anggun, ia tersenyum penuh kekesalan pada anaknya. Kemudian, ia mengatakan hal yang biasa ia katakan kepada Adrien, betapapun ia menyayangi anak semata wayangnya itu.

“Ada hal-hal yang tidak kau mengerti, sayang. Tapi tidak apa-apa, karena itu bukan urusanmu.”

Adrien membisu. Lady Earlene dan pengawal-pengawalnya berjalan melewati Adrien, melanjutkan perjalanan dan meninggalkannya sendirian.

***

Decit suara mobil nyaring menggesek jalanan, berhenti tepat di depan pintu istana utama. Adrien keluar dari La Ferrarinya dan langsung disambut sejumlah petugas dengan hormat. Ia terus berjalan tegak menuju ruang tengah, diikuti oleh Carter dan beberapa pelayan istana.

“Apa Lady Earlene sudah kembali?” tanyanya sambil melepas jas hitamnya dan memberikannya kepada Carter. Pelayan itu menggeleng. Adrien menghela napas dan terduduk di sofa. Ia sedikit mengendurkan dasi dan membuka kancing teratas kemejanya, membuatnya tampak sedikit berandal. Tapi disitulah daya tariknya; Sang Pangeran berambut emas yang nampak brutal. Beberapa pelayan wanita lewat di dekat Adrien, pura-pura mengelap sesuatu untuk kemudian kembali ke dapur dan kegirangan melihat pesona Adrien yang sedang lelah.

“Oh ya ampun, jarang-jarang Prince Adrien berkunjung ke istana utama, hari ini benar-benar anugrah!” seru Gina. Rodrigue ikut tertawa. Isadora, si anak baru, sama sekali tidak mengerti. Selama ini ia hanya melihat Adrien dari surat kabar atau televisi, itu pun tidak banyak. Adrien selalu digambarkan sebagai sosok baik yang diidamkan semua orang, tapi juga sulit digapai. Seakan-akan mestilah seorang putri dengan kecantikan luar biasa yang mampu menggaet sang Pangeran, seperti layaknya cerita negeri dongeng. Tetapi sejak awal, bahkan sejak kemunculannya di media nasional hingga kemarin ketika Adrien menjamu Gavin Marshall, Isadora merasa pria itu sebenarnya biasa-biasa saja.

“Kemarin kalian bilang dia kasar suka bertengkar dengan Lady Luna. Sekarang kalian memuji-muji ketampanannya.” Isadora tak habis pikir.

“Heh, permasalahan dia dengan Lady Luna dan ketampanannya adalah dua hal yang berbeda,” Gina tak terima.

“Kau hanya belum pernah berbicara dengannya,” Rodrigue menerangkan. “Dia memang agak nakal, tapi itulah yang disukai para gadis.”

“Aku takut dia tidak bisa memperlakukan wanita dengan baik.” Isadora ceplas-ceplos. “Kalian seperti melihat monster di depan mata, dan kemudian jatuh cinta! Tidak masuk akal!”

“Sejak kapan cinta masuk akal, heh?” Rodrigue menyiapkan segelas jus melon di atas nampan dan memberikannya kepada Isadora. “Antarkan ini padanya.”

Sontak pelayan lain bersungut-sungut, riuh rendah keributan berkumandang.

“Astaga, kemarin kalian bilang Lady Luna yang terbaik?”

“Hidup Lady Luna!” Gina bersorak. “Tapi Prince Adrien adalah putra mahkota dan dia tampan dan aku perempuan. Aku menyukai Lady Luna, tapi tentu aku hanya tertarik dengan laki-laki!”

Semua terbahak-bahak.

*****

Dengan terpaksa, Isadora berangkat mengantarkan segelas jus melon kepada Adrien, sesosok pria yang tengah berlelah-lelah di atas sofa. Jarak antara ruang tengah dan dapur begitu jauhnya, melewati berbagai ruangan, koridor berkelok-kelok dan pengecekan berulang-ulang. Isadora merasa tengah membawa baki bendera, begitu sakral dan khidmat. Semua prajurit yang berjaga di istana memperhatikannya, menyuruhnya berhenti, mengecek minumannya, lagi dan lagi, terus sampai ia melihat sosok Adrien dengan kemeja putihnya. Rambut emasnya berantakan dan tubuhnya berkeringat, menyeruakkan aroma laki-laki yang khas. Isadora membungkuk di hadapan The Duke of The Young Majesty of Alegra.

“Taruh disitu,” kata Adrien, suaranya dalam dan dingin. Isadora patuh, meletakkan segelas jus melon di atas meja dengan hati-hati. Adrien mengangkat kakinya dan meletakkannya di atas meja.

“Pijat kakiku,” perintahnya lagi, lebih dingin. Perempuan itu merunduk hormat. Pelan-pelan sekali, tangannya memijit. Dari tempurung hingga ke mata kaki. Dari mata kaki ke tempurung. Terus bergiliran. Waktu berjalan tanpa suara.

“Kau pelayan baru?”

Tiba-tiba pertanyaan itu mengagetkan Isadora. Ia mengangkat wajahnya dan mendapati Adrien sedang memandang dirinya. Mata birunya menusuk dalam. Sesuatu di dalam jiwa Isadora mendadak bergejolak kencang. Pandangannya...

“Siapa namamu?”

Pertanyaan itu terdengar seperti lecutan. Isadora menjawab dengan terbata-bata. Tapi Adrien tidak mendengarkan dan langsung mengalihkan matanya kepada Carter yang datang sambil membawa gagang telepon.

“Ini tentang kelompok Rebelution,” kata William, dari seberang telepon.

“Ya?” Adrien mengerang. Kemudian terjadi percakapan satu arah manakala William terus bercerita dan Adrien mendengarkan dengan berang. Wajahnya merah padam. Ketika telepon selesai, ia membantingnya, membuat Carter dan Isadora terkejut bukan main. Carter lalu mengambil gagang telepon yang tergeletak di lantai itu dan dengan gemetaran, ia permisi pergi. Sementara Isadora, tetap memijit kaki tuannya dalam ketakutan. Waktu berjalan tanpa suara lagi. Di dalam hati, secara ganjil Isadora merasa dikecewakan.

Adrien menarik kakinya ke bawah meja. Ia tampak gelisah. Dengan isyarat tangan, bahkan tanpa memandang wajahnya, ia menyuruh Isadora pergi. Maka, gadis itu bangkit dan mengangguk pergi. Di tikungan, ia melirik sebentar ke arah Adrien. Pria itu tidak memandangnya lagi, pikir Isadora. Sekali lagi, secara aneh, hatinya mendadak sedih.

Bab terkait

  • Alegoria   Pengekangan Luna

    Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-01
  • Alegoria   Makan Malam di Flikjuse I

    Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-01
  • Alegoria   Makan Malam di Filkjuse II

    Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-01
  • Alegoria   Pementasan Gavin

    “Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-01
  • Alegoria   Kepergian Luna

    Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-01
  • Alegoria   Sebuah Konspirasi

    Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-16
  • Alegoria   Sepuluh Dosa Besar

    SEPULUH DOSA BESAR. Demikian batu tulis raksasa itu mengukir diri, tegak berdiri berhadapan dengan gerbang emas setinggi tiga meter. Di bawah judul adalah rentetan dosa yang dimaksud,Pengkhianatan terhadap negaraNasionalisme tanpa pengorbananHukum tanpa keadilanSuara tanpa kebebasanIlmu tanpa moralitasPendidikan tanpa karakterManusia tanpa kemanusiaanMenyerah tanpa berusahaMeminta tanpa memberiHidup tanpa prinsip.Inilah filsafat hidup Negeri The Great Alegra. Masyarakat dunia menyebutnya prasasti. Tetapi rakyat Alegra lebih senang memanggilnya secara lebih nyentrik, “Monumen batu berukir”. Artinya semata-mata karena batu itu diukir dan dipoles membentuk huruf-huruf yang menjadi tiang-tiang dasar negara.Monumen itu terpajang ditengah-tengah air mancu

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-07
  • Alegoria   Awal Mula

    “Mengapa aku harus terjebak ke dalam tempat hampa seperti ini?” keluh Adrien, sambil memperhatikan pemandangan diluar jendela limosinnya. Carter, sang pelayan yang tengah menyupir, tersenyum lembut,“Barangkali karena memang sudah saatnya Anda memiliki pasangan, Tuan Muda. Bukankah dalam waktu satu tahun lagi Anda akan resmi menjadi Raja menggantikan Lord Alastairs? Anda tentu membutuhkan seorang perempuan untuk menjadi Ratu...”“Apakah kita benar-benar memerlukan seorang Ratu, Carter?” potong Adrien, ingatannya berlabuh kepada ibundanya yang duduk sendirian di kelam hari, Lady Earlene. Menjadi Ratu mungkin adalah pekerjaan paling menyedihkan bagi perempuan di negeri ini, pikirnya.“Ada banyak wartawan yang meminta konfirmasi dariku, Tuan Muda,” Carter mencoba menjelaskan dengan sangat sopan. “Mereka bertanya tentang kisah asmara...siapa yang Pangeran Adrien cintai...siapa yang akan menjadi Ratu...dan..

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-11

Bab terbaru

  • Alegoria   Sebuah Konspirasi

    Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para

  • Alegoria   Kepergian Luna

    Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan

  • Alegoria   Pementasan Gavin

    “Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw

  • Alegoria   Makan Malam di Filkjuse II

    Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng

  • Alegoria   Makan Malam di Flikjuse I

    Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota

  • Alegoria   Pengekangan Luna

    Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya

  • Alegoria   Pesona Prince Adrien

    “Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu

  • Alegoria   Rapat Nasional

    Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h

  • Alegoria   Luna Dan Gavin

    Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status