SEPULUH DOSA BESAR. Demikian batu tulis raksasa itu mengukir diri, tegak berdiri berhadapan dengan gerbang emas setinggi tiga meter. Di bawah judul adalah rentetan dosa yang dimaksud,
Inilah filsafat hidup Negeri The Great Alegra. Masyarakat dunia menyebutnya prasasti. Tetapi rakyat Alegra lebih senang memanggilnya secara lebih nyentrik, “Monumen batu berukir”. Artinya semata-mata karena batu itu diukir dan dipoles membentuk huruf-huruf yang menjadi tiang-tiang dasar negara.
Monumen itu terpajang ditengah-tengah air mancur yang dilingkari pohon-pohon hijau dengan tinggi sejajar. Tak jauh dari situ, himpunan bunga begonia, margot, krisan, mawar dan akasia berjejer rapi dalam petak-petak lahan yang teratur, menebar harum kepada keanggunan alam yang berwarna-warni.
Ramai dan damai. Monumen batu berukir selalu menyita perhatian, ditonton khalayak umum, disanjung-sanjung dan dikeramatkan. Inilah salah satu ikon kebanggaan nasional. Wajah pertama yang dilihat dunia jika menengok The Great Alegra.
Kontras dengan monumen tersebut, adalah rangkaian bangunan konstruksi kuno, kastil-kastil serta menara-menara panjang bernuanasa abad pertengahan dengan arsitektur yang begitu detail. Pembatas keduanya adalah pintu gerbang setinggi mercusuar. Gerbang utama berbentuk kotak, bertabur mozaik dekorasi rumit yang dibuat dengan ketelitian tinggi, diatasnya melengkung dengan apik, tulisan bersepuh emas dalam karakter Perancis kuno, “A Palace of Alegra”. Kompleks Istana Alegra, demikian rakyat Alegra menyebutnya. Istana Alegra, singkatnya.
Terletak tepat di jantung ibukota Penthalpa, kompleks Istana Alegra adalah perumahan paling diimpikan; anugerah kecil yang jatuh ke bumi. Ia adalah landmark bangsa sejak zaman The Great Alegra masih dipimpin oleh Raja Humbert dan Ratu Bethany. Usia Istana Alegra bahkan lebih tua dari keluarga Alegra sendiri. Dengan kubahnya yang super megah, bertahtakan emas berlian, Istana Alegra seperti gadis cantik yang tak pernah tua. Ia duduk disana, memandang pada keluasan kota, memandang pada garis hidup tiap-tiap rakyat, memandang kepada para pemuja dibawah kakinya, memandang berbagai pergolakan, suka cita dan duka negeri. Ia tidak berbicara, tidak mengeluh. Ia diam disitu, tetap muda dan ekslusif melewati berbagai zaman. Ia adalah permaisuri abadi.
Jauh lurus ke barat, timur, utara dan selatan dari Istana Alegra, adalah jalan aspal menuju istana utama, sebuah tempat maha luas dengan pesona tak tergapai. Diiringi rimbunan pohon-pohon tinggi yang ditunggangi anggrek di sepanjang sisi di beberapa titik, perjalanan menuju istana utama terasa seteduh musim semi. Menara-menara dan minaret jam menjulang, berwarna selembut krim, bersaing menjaga kompleks istana yang memiliki luas, tinggi, dan lebar melebihi luas, tinggi, dan lebar apapun di tanah air ini.
Tidak ada yang benar-benar tahu ada berapa bangunan, ada berapa kastil, minaret jam dan menara di kompleks itu, sebab berjalan seharian keliling tempat itu pun tidak akan mampu mencakup semua bagian, pun setengahnya tidak. Satu-satunya yang berhak tahu tentang keluasan kompleks itu adalah keluarga kerajaan Alegra dan satu-satunya orang yang paling tahu dari keluarga Alegra itu adalah tidak lain tidak bukan, Sang Raja, The Grand Duke of The Great Alegra, Lord Alastairs Yael Alegra.
*****
Untuk suatu alasan, bagi rakyat Alegra, Kompleks Istana Alegra adalah suatu misteri tak terjangkau. Apabila pesona monumen batu berukir dapat dinikmati publik, kehidupan dibalik gerbang Istana Alegra adalah sebuah ekslusivitas. Kehidupan apa yang berada dibaliknya? Apakah benar bahwa para keluarga Alegra harus menggunakan kereta api jika ingin berkeliling istana? Bahwa kompleks itu katanya memiliki bandara sendiri? Dengan landasan pacu, lapangan golf dan bukit salju sendiri? Seluas itukah? Semegah itukah? Pertanyaan-pertanyaan ini melampaui batas-batas imajinasi mereka. Ada rasa haru disana. Ada kebanggaan, bahwa peradaban negeri ini telah maju sedemikian rupa. Tetapi ada rasa pilu juga, seandaianya mereka adalah bagian dari keluarga Alegra. Ah, seandaianya...
Tapi rakyat Great Alegra sangat menghormati Lord Alastairs dan Lady Earlene selaku Raja dan Ratu, serta Prince Adrien dan Lady Luna selaku Pangeran dan Putri. Figur kerajaan tergambar sebagai keluarga sempurna. Baik Sang Raja, Sang Ratu, dan anak-anaknya adalah panutan. Semua jatuh pada kepatuhan total. Mencintai keluarga Alegra adalah bagian dari nasionalisme dan taat kepada Sang Raja adalah pengorbanan rakyat yang paling sempurna terhadap negara. Berkhianat kepada mereka adalah dosa yang tak terampuni.
*****
Oh ombak yang berdebur di bibir laut
Sungai jernih yang mengiris daratan
Pada gunung cadas yang diselimuti kabut
Angin lembah membawa kelembutan.
Oh tanah airku, Alegra Raya
Terbenam dalam doa,
Terlukis dalam gembira,
Aku adalah merpati yang lahir dari rahimmu.
Oh sejahteralah, Alegra
Engkaulah sang penyelamat dari petaka besar
Engkaulah sang pemimpin yang tak pernah gentar
Aku adalah merpati yang berlutut padamu.
Langit senja, merah muda,
Harum anggur menyeruak sampai samudera,
Kerudung suci disematkan pada Alegra Raya,
Takdir baik selalu bersama Alegra dan keluarga.
Terpujilah Alegra Raya, terpujilah Alegra!
Hiduplah tanah airku, hiduplah Alegra!
Terpujilah Alegra Raya, terpujilah Alegra!
Hiduplah tanah airku, hiduplah Alegra!
“Oh haruskah nyanyian itu diputar setiap pagi dan digemakan di seluruh negeri?” keluh Adrien, sesosok pemuda tampan berambut emas dan bermata biru.Waktu itu adalah kedua musim semi 1955, dan gaung paduan suara melambung, meledak di seluruh langit negeri; sebuah rutinitas yang tiap pagi hari dilakukan oleh segenap bangsa Alegra.
Luna, gadis lembut yang tengah duduk tak jauh dari taman tempat kakaknya berada itu, segera menoleh. Adrien hanya menyunggingkan senyum lelah. Raut mukanya menyiratkan kekecewaan.
“Nasionalisme harus selalu dipupuk, Tuan muda,” tukas Carter, pelayan istana hampir lima tahun belakangan ini. Ia yang bertugas membuntuti Adrien di sepanjang perjalanannya mengelilingi taman, telah terbiasa untuk meladeni keluhan-keluhan Sang Pangeran. Lagi, Adrien menarik napas lelah.
“Nasionalisme, Carter, adalah bukan tentang seberapa sering kau mendengar lagu-lagu penyemangat itu. Namun nasionalisme hanyalah tentang siapa yang rela berkorban demi tanah air ketika tanah air itu sendiri tak memberikan ia apa-apa.”
Carter mengangguk, otomatis. Anggukan adalah hal wajib yang harus ia lakukan saat Adrien tengah berpendapat. Ia telah mengangguk sejak pertama kali bekerja untuk istana dan akan terus mengangguk sampai istana berhenti memperkerjakannya-yang ia harap tidak perlu terjadi.
“Tapi khusus untuk orang-orang tertentu, lagu-lagu seperti itu penting, mengapa? Karena kadangkala ia harus terus diperingatkan tentang darimana ia berasal dan apa sikap yang patutnya ia tunjukkan terkait dengan asalnya itu.”
Luna menghela napas, sadar kepada siapa ucapan itu ditujukan. Gadis bermata sebiru safir itu menoleh ke arah Adrien, sesuatu di dalam mulutnya ingin keluar sebagai kata-kata melawan namun sampai di ujung tenggorokan, kata-kata itu lenyap, menyisakan bibir yang bergetar.
“Lihatlah, sebentar lagi Putri Cantik kita akan pergi sambil berurai air mata. Oh malangnya, bahkan untuk membela dirinya sendiri pun ia tidak mampu.”
Adrien menyuruh Carter tertawa, maka Carter dengan enggan pura-pura tertawa. Luna memalingkan wajah kepada dua pemuda itu dan pergi dengan perasaan sedih yang mendalam. Tak terasa, tepat seperti dugaan kakaknya, air mata Luna merembes. Adrien memalingkan muka, tak peduli.
*****
Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra, calon penerus Raja. Tinggi. Tampan. Mapan. Tidak ada yang lebih diinginkan para gadis muda Great Alegra selain menjadi istrinya. Adrien menjanjikan apapun yang dicita-citakan seorang gadis muda; kehidupan gemah ripah gemilang sentosa. Adrien Moritz Alegra, 25 tahun, lulusan ilmu politik di Universitas Alegra. Pesona pangerannya membius. Ia adalah mutiara. Ia adalah emas. Ia adalah berlian. Ia adalah... fantasi sempurna dari kehidupan yang sempurna.
“Lewat sini,” seru Adrien mengarahkan Carter ke garasi di dekat sebuah kastil pribadi milik ibunya, Lady Earlene, The Grand Duchess of The Great Alegra. Mahkota di atas kepalanya menandakan bahwa ia adalah Sang Ratu. Perempuan paruh baya itu tengah sibuk duduk di beranda bersama dengan anjing pudel kesayangannya waktu Adrien datang.
“Mama,” sahut Adrien. Lady Earlene hanya menoleh, kemudian tersenyum sebentar dan kembali tenggelam dalam pikirannya.
“Apakah dia akan datang hari ini?” tanyanya.
“Ya, tentu saja, Tuan Gavin Marshall akan datang dan menjelaskan apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan negeri ini.”
“Oh, tidak, bukan itu maksudku, mama,” sela Adrien. “Maksudku “dia” yang kau rindukan?”
Lady Earlene merasa tertohok.
“Dia tidak akan datang,” tegas Adrien.
“Diamlah! Kau tak berhak mengatakannya,” serobot Lady Earlene, menjawab dengan nyelekit. “Kau tidak tahu apa-apa.”
Selanjutnya, keluar kalimat-kalimat andalan yang biasa diluncurkan pada saat-saat seperti ini, bahwa masalah seseorang adalah masalah seorang itu saja dan masalah seseorang akan diatasi oleh seorang itu juga. Jadi berhentilah berbicara, apalagi tidak ada yang memintanya berbicara.
Lady Earlene pergi bersama anjing pudelnya, meninggalkan Adrien yang naik pitam sendirian.
“Carter, cepat keluarkan limosinku!” gertaknya kepada asistennya.
Gemetaran, Carter mengeluarkan limosin hitam dari garasi. Lady Earlene menoleh sekilas dan mengamati tanpa ekspresi, tapi kemudian ia kembali berjalan tanpa peduli. Sementara secepat kilat, tubuh Adrien melesak masuk ke dalam mobil yang melaju kencang melintasi pemandangan: pepohonan, patung-patung, kastil, kolam dan air mancur. Di suatu tikungan, bayangan mobil lenyap tertelan kabut hawa dingin. Hilang di peradaban.
“Mengapa aku harus terjebak ke dalam tempat hampa seperti ini?” keluh Adrien, sambil memperhatikan pemandangan diluar jendela limosinnya. Carter, sang pelayan yang tengah menyupir, tersenyum lembut,“Barangkali karena memang sudah saatnya Anda memiliki pasangan, Tuan Muda. Bukankah dalam waktu satu tahun lagi Anda akan resmi menjadi Raja menggantikan Lord Alastairs? Anda tentu membutuhkan seorang perempuan untuk menjadi Ratu...”“Apakah kita benar-benar memerlukan seorang Ratu, Carter?” potong Adrien, ingatannya berlabuh kepada ibundanya yang duduk sendirian di kelam hari, Lady Earlene. Menjadi Ratu mungkin adalah pekerjaan paling menyedihkan bagi perempuan di negeri ini, pikirnya.“Ada banyak wartawan yang meminta konfirmasi dariku, Tuan Muda,” Carter mencoba menjelaskan dengan sangat sopan. “Mereka bertanya tentang kisah asmara...siapa yang Pangeran Adrien cintai...siapa yang akan menjadi Ratu...dan..
“Kalau kau ingin mencari uang, disinilah tempatnya. Tapi sayang, disini tidak ada kehidupan.” seru Rodrigue, sesaat setelah ia dan Isadora sampai di dapur. Oh sebuah perjuangan yang panjang! Butuh melewati berlapis pemeriksaan untuk akhirnya tiba di dapur utama. Untunglah tadi sempat ada Lady Luna yang membuat hatinya terasa adem dan tentram.“Lord Alastairs, Lady Earlene, Prince Adrien dan Lady Luna, dan saudara-saudaranya, mereka semua hampir tidak pernah berbicara lebih dari lima menit terhadap sesamanya,” sambungnya, ia sangat semangat ketika obrolan sudah menjurus ke arah gosip-gosip keluarga kerajaan. Setelah tengok kanan dan kiri dan merasa aman bahwa cctv atau alat pengintai semacam itu tidak akan mencurigai tingkahnya dan Lady Luna yang tengah berada di istana utama tidak akan mendengar obrolan ini, ia mencondongkan wajahnya ke arah Isadora dan berbicara dengan serius,“Bohong kalau media bilang mereka semua tinggal di istana utam
Gavin Dolorosa Marshall, sesosok pria muda setinggi 180 centimeter dengan mantel cokelat panjang membungkus tubuhnya yang proporsional. Senyum berkelas yang dihadirkannya saat muncul dari balik pintu menandakan bahwa ia adalah seorang ekspatriat.“Ah!” seru pria itu, menurunkan payung, membuka mantel dan memberikan keduanya kepada para pengawalnya. Ia tertunduk memandangi bercak-bercak air yang menetes dari ujung-ujung payung. “Aku tidak tahu akan hujan begini,” lanjutnya sumringah.“Setelah bertahun-tahun menetap di Inggris, Anda tentu menjadi tidak terbiasa dengan cuaca Penthalpa yang murung ini, Mr. Marshall!” Lady Earlene menyahut. Ia mengulurkan tangannya kepada Gavin, “Selamat datang di The Great Alegra!”Gavin tersenyum dan menyambut tangan Earlene dengan lembut, “Halo Ratu Alegra, Lady Earlene” Lalu Gavin mengulurkan tangan pada Frederich, “Halo Lord Frederich.’’ Kemudian,
Gelas-gelas saling bersulang. Sampanye. Wine. Brendi. Cocktail. Chocolat glace. Apalagi? Biskek. Salad. Daging kambing. Daging kuda. Makanan Perancis. Makanan Inggris. Skotlandia. Italia. Keju belanda. Oh jangan lupa, roti strada-makanan khas dari Alegra, semacam roti isi sayur dan daging yang dicampur dengan rempah-rempah. Macam-macam selai dan saus. Macam-macam perhiasaan. Macam-macam alunan musik. Pesta yang indah! Sungguh! Luar biasa!“Rodrigue! Tolong isi lagi gelas-gelas ini!” tukas Lady Earlene kepada Rodrigue yang sudah turun ke bawah mengikuti sang Ratu. Rodrigue mengangguk dan segera mendekati Lady Earlene berserta para bangsawan lainnya.Ha! Lord Alastairs disalami semua pejabat penting. Tertawa. Basa basi. Tertawa lagi. Terlena oleh hiruk pikuk pesta dan hanyut oleh kenikmatan.“Dimana Adrien?” tanya seorang pria tua berambut putih, Charles Rosenblum. Ia adalah ketua partai tunggal “Mata Angin&
“Mr. Marshall, bolehkah aku ikut denganmu? Bolehkah aku tinggal bersamamu?” tanya Luna, tiba-tiba tersentak dari tidurnya. Gavin seketika tercengang.“Boleh ya? Aku tidak ingin berada disini, ibu dan Adrien tidak menyukaiku.”“Bukan begitu, Luna,” Gavin mengelus rambut Luna, mencoba memberi pengertian.“Kau menyukaiku kan?” tanya Luna, polos. Gavin hanya menatap gadis kecil itu, bibirnya bergetar. Luna bertanya sekali lagi, Gavin tetap tak mengatakan apa-apa.“Kenapa kau tidak menjawab, Mr. Marshall? Jika kau menyukaiku, tolong bawa aku pergi dari sini.”“Kau tak akan pergi kemana-mana, Luna,” serobot Lady Earlene, secara mengejutkan sudah berdiri di belakang Luna dengan ekspresi sedingin es.Gavin dan Luna sama-sama tercekat.Lady Earlene menarik lengan gadis itu.“Kau jangan membuat keadaan menjadi buruk, gadis kecil. Pergilah ke kamarmu dan tidur!
Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua
Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h
“Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu
Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para
Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan
“Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw
Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng
Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota
Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya
“Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu
Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h
Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua