Beranda / Fiksi Sejarah / Alegoria / Keluarga Alegra

Share

Keluarga Alegra

Penulis: Red Maira
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-12 03:56:33

“Kalau kau ingin mencari uang, disinilah tempatnya. Tapi sayang, disini tidak ada kehidupan.” seru Rodrigue, sesaat setelah ia dan Isadora sampai di dapur. Oh sebuah perjuangan yang panjang! Butuh melewati berlapis pemeriksaan untuk akhirnya tiba di dapur utama. Untunglah tadi sempat ada Lady Luna yang membuat hatinya terasa adem dan tentram.

“Lord Alastairs, Lady Earlene, Prince Adrien dan Lady Luna, dan saudara-saudaranya, mereka semua hampir tidak pernah berbicara lebih dari lima menit terhadap sesamanya,” sambungnya, ia sangat semangat ketika obrolan sudah menjurus ke arah gosip-gosip keluarga kerajaan. Setelah tengok kanan dan kiri dan merasa aman bahwa cctv atau alat pengintai semacam itu tidak akan mencurigai tingkahnya dan Lady Luna yang tengah berada di istana utama tidak akan mendengar obrolan ini, ia mencondongkan wajahnya ke arah Isadora dan berbicara dengan serius,

“Bohong kalau media bilang mereka semua tinggal di istana utama ini. Nyatanya, hanya Lord Alastairs saja, sedangkan Lady Earlene, Prince Adrien, Lady Luna dan saudara-saudaranya tinggal di kastil pribadi mereka masing-masing. Jika tidak ada acara kenegaraan, sebetulnya mereka jarang bertemu.”

Langit menjelang sore di Penthalpa masih sesuram waktu subuh. Sepi menggelayut. Hanya angin dan angin yang lalu lalang di sepanjang kompleks. Aroma musim semi nyaris tak tercium, tergulung oleh mendung yang menghadirkan dingin dan kesedihan.

“Aku hanya ingin bekerja saja disini,” tutur Isadora, pasrah. Melihat langit murung, ia seakan melihat akhir dari masa depannya. Rodrigue menggeleng-geleng, “Beruntungnya dirimu sempat memperkenalkan diri kepada Lady Luna. Dia adalah gadis yang baik.”

“Iya ya, dia sangat baik,” Isadora girang bukan main. Ia mengenang pertemuannya dengan Luna. Oh rambut merahnya yang alami, strawberry blond. Oh mata birunya sedalam samudera, seindah safir. Hidung mancung sempurna. Bibir tipis serwarna delima. Kulit mulus dan bersih. Garis wajah yang lembut. Luna bahkan lebih cantik dari penampakannya di koran-koran dan majalah nasional.

“Jelita sekali, melebihi rembulan manapun,” jelas Isadora. “Lady Luna Lavina Alegra adalah perwujudan dari kesempurnaan seorang gadis!” Ia mengulanginya sampai tiga kali, sampai Carter datang dengan lelah. Tak lama, Suzanne, Georgette, Julian, dan para pelayan lain juga sudah berkumpul untuk bersama-sama membentuk paduan suara demi menceritakan pengalaman mereka kepada Isadora.

“Yah, Lady Luna Lavina Alegra, dia adalah yang terbaik,” seru Carter, “Ia yang paling murah senyum dan paling tidak merepotkan kita. Sebenarnya ia hanya kurang beruntung,” Carter mengingat kejadian tadi pagi dengan Adrien, “Sayang, Prince Adrien tidak terlalu menyukainya.”

“Kalau aku jadi ibunya, aku pasti sudah sangat menyayanginya,” Rodrigue berandai-andai. Ia adalah seorang ibu dari pulau Gullviva[1]. Ia terobsesi menjadi perempuan sejati karena dahulu orang tuanya terobsesi memiliki anak laki-laki sehingga latah memanggilnya, “Rodrigue”. Ia perempuan, tapi namanya Rodrigue. Sekarang, anak semata wayangnya di Gulviva adalah seorang gadis, dan Rodrigue memanggilnya Julia. Ia berharap Julia dapat memiliki pasangan seperti Julius, sahabat terdekat Lady Luna.

“Sebenarnya apa yang menimpa Lady Luna?” Isadora penasaran.

Para pelayan saling berpandangan. Satu detik. Dua detik.

Hanya gelengan kepala yang bereaksi.

“Aku sering melihat Prince Adrien ribut dengan Lady Luna dan ia mengata-ngatai Lady Luna dengan ucapan ‘anak haram’, ‘pelacur’, ‘perusak rumah tangga orang’, semacam itulah. Tapi kami tidak tahu apa masalahnya.”

“Itu pasti rahasia yang sangat rahasia ya.”

Semua orang sepakat.  “Iya, obrolan ini juga rahasia ya.”

Tiba-tiba semua jadi takut atas kerahasiaan ini dan ngeri membayangkan kalau-kalau ada intel yang menyelinap secara rahasia ke dalam obrolan rahasia mereka dan secara rahasia pula, melaporkan obrolan rahasia mereka ke Lord Alastairs. Atas pertimbangan itu, majelis akhirnya bubar.

*****

Bayang-bayang senja pelan-pelan merayap menyapu bumi. Di kompleks istana, sinar melembut dan lampu-lampu dinyalakan, menghadirkan kehidupan malam yang lambat. Semua orang dibenam kelelahan. Luna telah kembali dari Kastil Frederich ke istana utama. Kali ini ia datang bersama Lady Earlene, Prince Adrien, Lady Alexandrina, Lord Frederich dan William-anak tunggal Frederich. Para prajurit, pelayan, dan petugas istana berbaris hormat kepada mereka hingga mereka sampai ke ruang utama. Patuh. Tertib. Formal. Kaku. Semua orang menjadi waspada atas sedikit tingkah yang dilakukannya, kalau-kalau hal itu memalukan atau membuat gaduh ruangan.

“Benar-benar pemandangan yang luar biasa,” gumam Isadora. Ia yang berasal dari keluarga miskin di ujung pulau Cottonmouth, diam-diam merasa tersanjung karena di hari pertamanya bekerja, hampir semua anggota kerajaan berkumpul. “Benar-benar cantik,” bisiknya lagi saat melihat Lady Luna. Sebentuk gaun panjang menyapu lantai dengan detail elemen beads yang sewarna dengan korsase mawar merah yang menghiasi rambut Sang Lady. Harga pakaian Luna pastilah tidak sebanding dengan gajinya disini, pikir Isadora.

“Ssst,” Rodrigue menyuruh Isadora berhenti berbicara. “Apa kau ingin dipecat?” tegurnya. Beberapa orang yang mendengar terkikik pelan.

“Letakkan lukisan itu disana,” tutur Lady Earlene, dingin. Maka beberapa petugas dengan sigap memindahkan lukisan sebesar tembok itu ke tempat yang Lady Earlene perintahkan.

“Letakkan piano dan biola disini,” sambungnya lagi.

“Apakah itu akan banyak berarti?” tanya Adrien, sangsi.

“Tentu saja,” Lady Earlene membalas. “Aku dengar Tuan Marshall menyukai lukisan dan biola. Lebih dari itu, ia menyukai keistimewaan. Meletakan apa yang disukainya adalah sebuah keistimewaan.”

“Oh apa aku terlambat? Maafkan aku ya,” seru seorang gadis berambut cokelat yang tergopoh-gopoh memasuki ruang utama. Ia memberi salam dengan heboh kepada seluruh anggota kerajaan sambil terus menghamburkan kata maaf. Lady Earlene melenguh panjang.

“Tenanglah, sweetheart. Dia belum datang,” William menenangkan dengan manja. Gadis yang dipanggil sweetheart itu adalah Lindyana Eyleen Pearce, anak dari bangsawan Pearce. Namun orang-orang lebih akrab memanggilnya Linda. Setelah resmi bertunangan dengan William Wermelinger Alegra, Linda mulai aktif ikut serta dalam kegiatan internal kerajaan-walau kadang kala Lady Earlene dan Alexandrina protes karena gadis itu selalu membuat heboh dengan tingkah konyolnya. Sangat tidak bangsawan, demikian singkatnya Lady Earlene menyimpulkan.

“Apa yang akan dia lakukan disini?” Adrien memecah keheningan. Namun semua mengangkat bahu hingga keheningan yang pecah berubah menjadi semakin hening.

“Mungkin, dia akan makan malam bersama kita,” Lord Frederich memberi tanda-tanda kehidupan. “Setelah itu adalah tergantung apa yang akan dia sampaikan kepada kita.”

“Aku pernah dengar dia bertanya tentang Luna,” tukas William. Semua memandang kepada Luna. Gadis itu tampak terkejut.

“Apa yang dia tanyakan?” Alexandrina penasaran.

William mengangkat bahu, “Hanya sebuah keformalan seperti biasa, tentang kabar dan remeh-temehnya.”

“Yah, dari hal-hal biasa yang ditanyakan itu, dia memilih Luna,” Adrien  kesal. “Tidakkah aneh bahwa dia tidak bertanya bagaimana kabar Lord Alastairs terlebih dahulu melainkan menanyakan si anak haramnya?”

Luna tercekat. Tapi seperti biasa, ia hanya membisu. Tidak ada yang akan membelanya di keluarga ini, semua sepakat dengan ucapan Adrien, betapapun menyakitkannya. Hidup di kalangan yang amat mengagungkan keturunan, Luna nyaris tak memiliki kans untuk membela asal usulnya.

“Luna gadis yang baik,” kata Alexandrina, satu-satunya orang yang bersimpati. Maksudnya ingin membela, tapi ia sendiri tidak bisa berbuat banyak. Linda tersenyum, tak tahu bagaimana harus bersikap. Senyum, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk Luna ketika kebanyakan dari yang lain bersikap dingin.

*****

Lonceng berdentang. Bergema ke seluruh kompleks istana. Di luar pintu istana utama, berbaris ratusan prajurit berseragam lengkap dengan senjata laras panjangnya. Karpet merah digelar membungkus aspal. Bendera raksasa berkibar, diangkat oleh ratusan prajurit, menghadap ke arah patung Lord George, pendiri kerajaan The Great Alegra dan patung Lord Alastairs, Raja The Great Alegra saat ini. Seorang pria gagah perkasa berdiri di tengah lautan prajurit, di dekat raksasa air mancur yang ditengahnya berkibar pula dengan amat sangat tinggi, bendera The Great Alegra, The Holy Flag.[2]Ia berteriak lantang, memberi komando. Serentak, semua bergerak sesuai arahan.

Lonceng berdentang-dentang lagi dan terlihatlah, di langit angkasa, sebuah helikopter bergerak menuju istana. Cepat, sigap, helikopter itu berhenti di ujung karpet merah yang telah disiapkan. Baling-baling berhenti berputar, pintu terbuka. Dalam beberapa detik, keluarlah... ia yang ditunggu-tunggu.

*****

“Dia datang!” seru salah satu prajurit, tegas berlari menuju istana utama. Seluruh anggota kerajaan siap siaga menunggu di balik pintu.

Satu menit. Dua menit. Lima menit. Waktu berlalu. Terdengar bunyi geluduk dan tetes-tetes hujan membintik di kaca jendela. Kilat bersambaran. Hawa semakin dingin. Suasana semakin sepi. Kegelapan, kebekuan, ditanam oleh dinding sedalam beberapa kaki.

“Barangkali ia memutuskan untuk berteduh dulu,” Linda berkomentar dari balik pintu istana.

“Ada limosin yang siap membawanya kemari,” Lady Earlene menjawab telak. Ia memandang teguh kepada pintu masuk setinggi dan selebar monumen. Menit-menit semakin meninggalkan waktu dan akhirnya, akhirnya... pintu raksasa itu berderik melengking. Semua terkesiap.

[1] Salah satu pulau di selatan Great Alegra. Terkenal dengan kereligiusannya, Gulviva memiliki berbagai bangunan keagamaan, dari masjid, gereja, kuil, vihara, hingga sinagog serta makam-makam para tokoh agama berpengaruh. Oleh karena itu, Gulviva dianggap sebagai pusat spiritual nasional.

[2] Bendera Resmi Great Alegra, berwarna Putih dengan gambar burung merpati di tengah dan mahkota keluarga kerajaan Alegra di atas kepala burung.

Bab terkait

  • Alegoria   Gavin Dolorosa Marshall

    Gavin Dolorosa Marshall, sesosok pria muda setinggi 180 centimeter dengan mantel cokelat panjang membungkus tubuhnya yang proporsional. Senyum berkelas yang dihadirkannya saat muncul dari balik pintu menandakan bahwa ia adalah seorang ekspatriat.“Ah!” seru pria itu, menurunkan payung, membuka mantel dan memberikan keduanya kepada para pengawalnya. Ia tertunduk memandangi bercak-bercak air yang menetes dari ujung-ujung payung. “Aku tidak tahu akan hujan begini,” lanjutnya sumringah.“Setelah bertahun-tahun menetap di Inggris, Anda tentu menjadi tidak terbiasa dengan cuaca Penthalpa yang murung ini, Mr. Marshall!” Lady Earlene menyahut. Ia mengulurkan tangannya kepada Gavin, “Selamat datang di The Great Alegra!”Gavin tersenyum dan menyambut tangan Earlene dengan lembut, “Halo Ratu Alegra, Lady Earlene” Lalu Gavin mengulurkan tangan pada Frederich, “Halo Lord Frederich.’’ Kemudian,

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-12
  • Alegoria   Pesta Malam Itu

    Gelas-gelas saling bersulang. Sampanye. Wine. Brendi. Cocktail. Chocolat glace. Apalagi? Biskek. Salad. Daging kambing. Daging kuda. Makanan Perancis. Makanan Inggris. Skotlandia. Italia. Keju belanda. Oh jangan lupa, roti strada-makanan khas dari Alegra, semacam roti isi sayur dan daging yang dicampur dengan rempah-rempah. Macam-macam selai dan saus. Macam-macam perhiasaan. Macam-macam alunan musik. Pesta yang indah! Sungguh! Luar biasa!“Rodrigue! Tolong isi lagi gelas-gelas ini!” tukas Lady Earlene kepada Rodrigue yang sudah turun ke bawah mengikuti sang Ratu. Rodrigue mengangguk dan segera mendekati Lady Earlene berserta para bangsawan lainnya.Ha! Lord Alastairs disalami semua pejabat penting. Tertawa. Basa basi. Tertawa lagi. Terlena oleh hiruk pikuk pesta dan hanyut oleh kenikmatan.“Dimana Adrien?” tanya seorang pria tua berambut putih, Charles Rosenblum. Ia adalah ketua partai tunggal “Mata Angin&

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-13
  • Alegoria   Makan Malam Yang Usai

    “Mr. Marshall, bolehkah aku ikut denganmu? Bolehkah aku tinggal bersamamu?” tanya Luna, tiba-tiba tersentak dari tidurnya. Gavin seketika tercengang.“Boleh ya? Aku tidak ingin berada disini, ibu dan Adrien tidak menyukaiku.”“Bukan begitu, Luna,” Gavin mengelus rambut Luna, mencoba memberi pengertian.“Kau menyukaiku kan?” tanya Luna, polos. Gavin hanya menatap gadis kecil itu, bibirnya bergetar. Luna bertanya sekali lagi, Gavin tetap tak mengatakan apa-apa.“Kenapa kau tidak menjawab, Mr. Marshall? Jika kau menyukaiku, tolong bawa aku pergi dari sini.”“Kau tak akan pergi kemana-mana, Luna,” serobot Lady Earlene, secara mengejutkan sudah berdiri di belakang Luna dengan ekspresi sedingin es.Gavin dan Luna sama-sama tercekat.Lady Earlene menarik lengan gadis itu.“Kau jangan membuat keadaan menjadi buruk, gadis kecil. Pergilah ke kamarmu dan tidur!

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-15
  • Alegoria   Luna Dan Gavin

    Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-16
  • Alegoria   Rapat Nasional

    Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-16
  • Alegoria   Pesona Prince Adrien

    “Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-17
  • Alegoria   Pengekangan Luna

    Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-01
  • Alegoria   Makan Malam di Flikjuse I

    Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-01

Bab terbaru

  • Alegoria   Sebuah Konspirasi

    Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para

  • Alegoria   Kepergian Luna

    Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan

  • Alegoria   Pementasan Gavin

    “Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw

  • Alegoria   Makan Malam di Filkjuse II

    Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng

  • Alegoria   Makan Malam di Flikjuse I

    Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota

  • Alegoria   Pengekangan Luna

    Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya

  • Alegoria   Pesona Prince Adrien

    “Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional di The Great Alegra?” seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu.“Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres.”“Ini monarki absolut!” Anne de Collins menimpali. “Raja bebas bertindak!”“Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat,” Glen Moritz membalas. “Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!”“Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya.”“Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih,” Marie Roose bersedekap. &ldqu

  • Alegoria   Rapat Nasional

    Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala h

  • Alegoria   Luna Dan Gavin

    Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu, antara ingin membantu tetapi takut hal itu akan terlalu menarik perhatian.“Baiklah,” katanya kemudian. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle.” Waktu mengatakan ini, Gavin sedikit melirik ke arah Luna. Namun, sayangnya, gadis itu tidak menyadarinya.“Yah, baiklah,” Lady Earlene mengambil alih, “Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu.” Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-bua

DMCA.com Protection Status