Mata Kirana terlihat mengerucut artinya dia sedang tersenyum.
"Ayu kita masuk," Damar menggandeng tangan Kirana, sedang tangam satunya menggendong Fatta."Assalamualaikum," Damar memberi salam pada Chandra yang menyambut dengan tersenyum, duduk di sofa."Waalaikumsalam," Chandra menjawab salam."Fatta, salim sama Opa juga Oma." Gadis kecil ini menghampiri Chandra juga Fina yang sudah duduk disebelah Chandra."Pah, masa Mami di panggil oma, mamih berasa tua," ujar Fina manja."Kita memang sudah tua, Mih," jawab Chandra mengulurkan tangan pad Fatta. " Cantik bener ini, siapa nama kamu?" tanya Chandra mendekatkan tubuhnya pada Fatta."Fatta, Opa," jawab Fatta dengan suara khas anak kecil umur lima tahun.Setelah menggoda Fatta Chandra mendongak menatap Kirana, melihat iris hitam milik Kirana. Kirana menundukka kepala tanda menyapa."Pah ini Kirana, istri Damar, sebelum menikahiChandra tersenyum teduh melihat gelagat Kirana. "Ayo kita makan dulu nanti baru berbincang." Ajak Chandra. "Kirana, lepas saja Niqobnya mau makan biar nggak sulit, di sini kan nggak ada siapa-siapa, Kita semua kelurga," bisik Damar ketika menuju ruang makan. "Malu, Mas. Ada Pak Chandra," ujar Kirana, menyentuh wajah yang tertutup niqob. "Lagian aku sudah biasa makan pake niqob," ujar Kirana lagi. "Ya sudah." Mereka bergandengan tangan menuju meja makan. Nisa melirik tautan tangan Kirana Chandra dengan cepat Kirana melepas tautan tangannya dengan Damar. Fatta berceloteh riang, Chandra banyak mencandai Fatta si gadis kecil, bola mata Fatta berbinar indah. "Kak, buka aja, penutup wajahnya, biar leluasa makannya," ucap Nisa, pada Kirana karna terlihat sulit menyuapkan makan. "Nggak susah kok, Dek," jawab Kirana. Damar yang mendengar panggilan sebutan dua wanitanya, berdesir indah di pendengaran, hatinya tentram. Chandra melirik pada Kirana, dia juga penasaran terhadap wajah
"Kirana." Suara Damar terdengar lemah. Hatinya pilu, Kirana seolah menyerah dengan keadaan. Dia menerima semua ketidak adilan ini. Kirana tersungging penuh arti. "Ini semua untuk kebaikan kita, Mas. Aku tidak ingin ada pertengkaran di antara kita, aku harap Mas Damar tidak terbebani dengan adanya poligami ini." "Kirana! Nisa!" Otak Damar seolah tak bisa berfikir. Dia menyebut nama kedua istrinya bergantian menatap netra berembun mereka. "Kak, kaka bisa menolak jika keberatan dengan kemauanku," ujar Nisa. "Untuk apa? Toh semua yang aku harapkan jauh dari ekspektasiku selama ini, aku hanya perempuan lemah, ucapanku, keinginanku, tak ada satupun yang bisa Mas Damar kabulkan." Kaca-kaca mengembeng di pulupuk mata Kirana. Hati Damar berdenyut nyeri, Kirana masih berada di sampingnya bukan karna bahagia tetapi karna terpaksa. Damar mengikat begitu erat hingga tak ada daya untuk kirana lepas.
"Mas ,ke bawah dulu tadi bikin kopi." Damar menunjukkan gelas kopi yang dia bawa. "Malem-malem ngopi, kebiasaan," ujar Nisa melangkah menuju kamar di ikuti Damar. "Biar bisa melek sampe pagi," ujar Damar menaruh gelas kopi di atas nakas. Lalu masuk ke dalam selimut, setelah itu meraih gelas kopi lalu menenggak hingga habis. "Kok di abisin, Nisa minta," ujar Nisa berteriak melihat isi gelas yang Damar pegang. "Yaa.... Kamu nggak ngomong, ini masih sedikit." Damar memberikan sedikit yang masih tersisa. "Udah buruan tidur, Mas. Lagi baca apaan sih?" tanya Nisa melirik ponsel di tangan Damar."Sebentar, Mas baca berita bisnis terkini," ucap Damar.Nisa menutupi tubuh dengan bedcover setelah meminum kopi sisa Damar. Beberapa menit tak juga Nisa dapat memejamkan mata. "Kok Nisa jadi nggak bisa tidur, Mas," ujar Nisa. "Minum kopi sihh...," uja
"Mamah," Fata menghambur memeluk kaki Nisa. "Katanya mau berenang?" tagih gadis kecil ini lagi. "Fatta udah sarapan?" tanya Nisa membungkukkan badan, senyumnya mengembang sempurna. Damar menghampiri Kirana mendaratkan bokong disebelah wanita ayu ini. Melingkarkan tangan di pundak wanita ayu ini. Gadis kecil ini menggelang, "Fatta sudah minum susu," ujarnya manja. "Sarapan dulu nanti setelah sarapan kita berenang," ujar Nisa menuntun Fatta ke ruang makan. "Mbok, Papah belum keluar kamar?" tanya Nisa. "Tuan sedang berjemur di taman Non," jawab Darmi. Nisa menghampiri Chandra memanggil untuk sarapan sebab Fatta terus merengek minta berenang. Damar berkata-kata pada Kirana, tetapi wanita ayu ini seolah tak mendengar semua ucapan yang keluar dari mulut Damar. "Kirana!! Kamu nggak denger mas lagi ngomong?" Damar menyentuh tangan Kirana, sesaat Kirana ter
Damar duduk menyandar di kursi dakat kolam renang menatap angkasa luas, entah apa yang sedang dia pikirkan. Kirana menghampiri Fatta duduk di pinggiran kolam, lalu mencelupakan kaki ke dalam air. Nisa terlihat berkali-kali mencelupkan diri di kolam yang dalam, mengarungi kolam. Chandra mengawasi dari dalam melihat putra putrinya yang seperti sedang perang dingin. Bibirnya terus tersungging. "Memang hebat Damar ini," gumam Chandra. Damar menoleh ke arah chandra lalu dia bangun mendekati lelaki tua ini. "Pah, aku mau bicara." "Bicara apa?" tanya Chadra melangkahkan kaki menjauh dari area kolam renang menuju ruang kantor. "Pah, aku mau mempublikasikan Kirana di publik, sama halnya Nisa," ujar Damar. "Peresmian Rs besok aku mau ajak Kirana, sekalian memperkenalkannya pada publik," ujar lelaki atletis ini lagi. "Kamu tau konsekwensinya?" tanya Chandra. "Rumor wanita kedua bisa membuat goncang perus
Seorang gadis duduk di ruangan periksa, di depan ruang periksa terlulis dr Bagus Rafael. sp.jp. tercium bau obat khas Rumah Sakit. Lana memutar-mutar kursi, sambil berbincang dengan Nisa. "Paling sejam lagi gue otw, gue lagi nungguin ayang mbeb di ruang praktek di Rumah Sakit Mitra," ujar Lana. "Nanti gue ceritain, yaaa... Kising mah boleh Nis," Kekeh Lana. "Kemaren hampir, Nis. Ehh nyokap gue pulang ... Kayanya di sini enak deh Nis ...." Lana mengedarkan pandangan di ruang periksa yang tak terlalu besar. Sambil tertawa renyah. "Emang gue udah gila, Nis. Gila sama belaian Mas Bagus. Ha ha haaaa.... " Lana tertawa keras mendengar cerocosan peringatan Nisa. "Nis udah ya, ada yang buka pintu," ujar Lana tetapi dia tak mematikan ponselnya hanya menaruh di atas meja. Tersenyum pada lelaki yang memasuki ruang prakteknya. "Oh ada Dek Lana. Kapan datang?" tanya Bagus, cerah. "Udah
"Nis, itu Mamih elo, jalan ama Pram, itu cowok itu Pram, Nis. Kok bisa dia kenal Pram?" Lana menatap dua orang yang sedang melintas ditempat Nisa dan Lana duduk saat ini. Tutupin muka, seru Nisa berusaha bersembunyi dengan menutup menggunakan buku menu. Nisa dan Lana menatap punggung Pram juga Fina yang semakin menjauh. "Ada hubungan apa mereka?" tanya Lana. "Entah lah, tapi sepertinya kejadian yang menimpa kita ada campur tangan Fina," ucap Nisa. "Maksudnya?" Nisa tak menjawab atau berniat menjelaskan pada Lana. Dia meminum habis jus di dalam, gelasnya. "Pulang yuk, elo mau kemana abis ini," tanya Nisa. Lana tersenyum sumringah, "Gue mau nginap di Apartmen Mas Bagus. Duh udah deg-degan gue," ujar Lana. Nisa hanya geleng-geleng, dia tak mungkin terus-terusan mengingatkan Lana. Selama ini dia selalu mengingatkan tetapi selalu di jawab oleh Lana, seb
Lana sudah berada di Apartmen Bagus, duduk santai menunggu kedatangan lelaki yang menurutnya sangat menyayanginya. "Rapih juga Apartemen Mas Bagus," Lana bangun melihat-lihat beberapa bingkai foto yang terpajang, dia melihat satu bingkai terdapat seorang gadiscantik mirip dengannya berdiri memeluk Bagus dari belakang. "Siapa ini?" netra Lana terfokus pada bingkai foto. Aawww....Lana berteriak ketika ada tangan besar meraih pinggangnya. Lana berbalik memukul tubuh lelaki yang memeluknya dengan keras. "Sakit ... Udah Dek!" Bagus berteriak merengkuh tubuh Lana agar berhenti memukul. "Bikin kaget," ujar Lana keras. "Lagi liat apa?" tanya Bagus, langsung medaratkan cium di bibir Lana. Hingga Lana melupakan foto yang tadi dia liat. "Makan dulu. mas tadi beli makan, laper." Bagus menepuk perut. "Banyak banget kerjaan tadi," ujar Bagus lagi, dia menghampiri meja membawa bungkusan yang tadi dia taruh sembar
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal