"Mamah," Fata menghambur memeluk kaki Nisa. "Katanya mau berenang?" tagih gadis kecil ini lagi. "Fatta udah sarapan?" tanya Nisa membungkukkan badan, senyumnya mengembang sempurna. Damar menghampiri Kirana mendaratkan bokong disebelah wanita ayu ini. Melingkarkan tangan di pundak wanita ayu ini. Gadis kecil ini menggelang, "Fatta sudah minum susu," ujarnya manja. "Sarapan dulu nanti setelah sarapan kita berenang," ujar Nisa menuntun Fatta ke ruang makan. "Mbok, Papah belum keluar kamar?" tanya Nisa. "Tuan sedang berjemur di taman Non," jawab Darmi. Nisa menghampiri Chandra memanggil untuk sarapan sebab Fatta terus merengek minta berenang. Damar berkata-kata pada Kirana, tetapi wanita ayu ini seolah tak mendengar semua ucapan yang keluar dari mulut Damar. "Kirana!! Kamu nggak denger mas lagi ngomong?" Damar menyentuh tangan Kirana, sesaat Kirana ter
Damar duduk menyandar di kursi dakat kolam renang menatap angkasa luas, entah apa yang sedang dia pikirkan. Kirana menghampiri Fatta duduk di pinggiran kolam, lalu mencelupakan kaki ke dalam air. Nisa terlihat berkali-kali mencelupkan diri di kolam yang dalam, mengarungi kolam. Chandra mengawasi dari dalam melihat putra putrinya yang seperti sedang perang dingin. Bibirnya terus tersungging. "Memang hebat Damar ini," gumam Chandra. Damar menoleh ke arah chandra lalu dia bangun mendekati lelaki tua ini. "Pah, aku mau bicara." "Bicara apa?" tanya Chadra melangkahkan kaki menjauh dari area kolam renang menuju ruang kantor. "Pah, aku mau mempublikasikan Kirana di publik, sama halnya Nisa," ujar Damar. "Peresmian Rs besok aku mau ajak Kirana, sekalian memperkenalkannya pada publik," ujar lelaki atletis ini lagi. "Kamu tau konsekwensinya?" tanya Chandra. "Rumor wanita kedua bisa membuat goncang perus
Seorang gadis duduk di ruangan periksa, di depan ruang periksa terlulis dr Bagus Rafael. sp.jp. tercium bau obat khas Rumah Sakit. Lana memutar-mutar kursi, sambil berbincang dengan Nisa. "Paling sejam lagi gue otw, gue lagi nungguin ayang mbeb di ruang praktek di Rumah Sakit Mitra," ujar Lana. "Nanti gue ceritain, yaaa... Kising mah boleh Nis," Kekeh Lana. "Kemaren hampir, Nis. Ehh nyokap gue pulang ... Kayanya di sini enak deh Nis ...." Lana mengedarkan pandangan di ruang periksa yang tak terlalu besar. Sambil tertawa renyah. "Emang gue udah gila, Nis. Gila sama belaian Mas Bagus. Ha ha haaaa.... " Lana tertawa keras mendengar cerocosan peringatan Nisa. "Nis udah ya, ada yang buka pintu," ujar Lana tetapi dia tak mematikan ponselnya hanya menaruh di atas meja. Tersenyum pada lelaki yang memasuki ruang prakteknya. "Oh ada Dek Lana. Kapan datang?" tanya Bagus, cerah. "Udah
"Nis, itu Mamih elo, jalan ama Pram, itu cowok itu Pram, Nis. Kok bisa dia kenal Pram?" Lana menatap dua orang yang sedang melintas ditempat Nisa dan Lana duduk saat ini. Tutupin muka, seru Nisa berusaha bersembunyi dengan menutup menggunakan buku menu. Nisa dan Lana menatap punggung Pram juga Fina yang semakin menjauh. "Ada hubungan apa mereka?" tanya Lana. "Entah lah, tapi sepertinya kejadian yang menimpa kita ada campur tangan Fina," ucap Nisa. "Maksudnya?" Nisa tak menjawab atau berniat menjelaskan pada Lana. Dia meminum habis jus di dalam, gelasnya. "Pulang yuk, elo mau kemana abis ini," tanya Nisa. Lana tersenyum sumringah, "Gue mau nginap di Apartmen Mas Bagus. Duh udah deg-degan gue," ujar Lana. Nisa hanya geleng-geleng, dia tak mungkin terus-terusan mengingatkan Lana. Selama ini dia selalu mengingatkan tetapi selalu di jawab oleh Lana, seb
Lana sudah berada di Apartmen Bagus, duduk santai menunggu kedatangan lelaki yang menurutnya sangat menyayanginya. "Rapih juga Apartemen Mas Bagus," Lana bangun melihat-lihat beberapa bingkai foto yang terpajang, dia melihat satu bingkai terdapat seorang gadiscantik mirip dengannya berdiri memeluk Bagus dari belakang. "Siapa ini?" netra Lana terfokus pada bingkai foto. Aawww....Lana berteriak ketika ada tangan besar meraih pinggangnya. Lana berbalik memukul tubuh lelaki yang memeluknya dengan keras. "Sakit ... Udah Dek!" Bagus berteriak merengkuh tubuh Lana agar berhenti memukul. "Bikin kaget," ujar Lana keras. "Lagi liat apa?" tanya Bagus, langsung medaratkan cium di bibir Lana. Hingga Lana melupakan foto yang tadi dia liat. "Makan dulu. mas tadi beli makan, laper." Bagus menepuk perut. "Banyak banget kerjaan tadi," ujar Bagus lagi, dia menghampiri meja membawa bungkusan yang tadi dia taruh sembar
Di ruang gedung tertinggi Hadiyata group, dua pria sedang berbincang. "Pelaksanaan peresmian Rumah Sakit sudah di depan mata, semoga semua usaha kita membuahkan hasil." ujar Bagus. "Setelah ini, beberapa mega proyek pembangunan Rumah Sakit selanjutnya akan kita kerjakan, usahakan berikan Pelayanan terbaik untuk masyarakat. Jangan sampai mereka mendapatkan kesulitan dalam mendapat pelayanan kesehatan," ucap Damar. Damar mengingat kembali sakit yang pernah dia rasa dulu. Sungguh sakit sebagai orang miskin hanya sekedar mengobati ibunya saja dia tak memiliki kemampuan. Jangankan membawa ibunya ke klinik, untuk makan pun mereka sungguh kesulitan saat itu. "Aku ingin mengembangkan proyek lanjutan, kita buat Klinik-klinik untuk memudahkan warga mendapatkan pengobatan. Jika sakit mereka membutuhkan rujukan rumah sakit kita rujuk juga ke rumah sakit milik kita, berikan biaya terjangkau, jangan ambil keuntungan terlalu besar, berikan keringanan pada warga yang Benar-benar tak mampu
Damar menggandeng Nisa berjalan menuju aula Rumah Sakit tempat acara di lakukan, pita membentang, siap di potong. Nisa tersenyum penuh pesona, hari ini dia memang begitu cantik. Tangan menaut pada lengan kekar Damar. Kilatan cahaya kamera membidik pasangan paling di tunggu malam ini. Roni menghampiri Damar, "Di mana?" tanya Damar. "Ada di ruang ekslusif, Pak. Disediakan oleh penyelenggara," jawab Roni menunduk sopan. Roni menyapa Nisa hanya dengan menundukkan kepala. "Ayo kita ke sana, dulu," ujar Damar. Mereka mengikuti arah Roni berjalan mendahului. Betapa terkejutnya Nisa ketika pintu terbuka Kirana sedang duduk anggun di sofa sambil menyuapi Fatta makanan kecil. "Assalamualaikum." Salam Damar pada Kirana."Waalaikumsalam," jawab Kirana lirih. Fatta berhambur langsung di gendong oleh Damar. "Lama nggak nunggunya? Tadi papah nungguin mama Nisa lama, tuh jadi cantik Mamah." Tunjuk Damar pada Nisa.
Damar pulang ke kediamannya dengan wajah terlihat lelah, Nisa menyambut Damar dengan baik. Semenjak dia di jadikan istri sesungguhnya oleh Damar, Nisa melakukan kewajiban sebagai istri dengan baik. "Mas kayanya capek banget?" Nisa menyahut tas yang Damar bawa. Mereka menaiki anak tangga menuju kamar. Damar membuka jas menaruh di sandaran sofa. Lalu duduk di sofa dengan merebahkan kepala di sandaran. Wanita ayu ini membuka sepatu suaminya. "Capek ya, Mas?" tanya Nisa. "Sini duduk di sini," Damar menepuk tempat kosong di sebelahnya. Bukannya mendekat Nisa menjauhi Damar. "Mau kemana?" tanya Damar pelan. Nisa kembali mendekat membawa teh hangat. "Minum dulu, biar capeknya ilang." Nis menyodorkan cangkir berisi air teh camomile. Lelaki atletis ini menerima gelas dari Nisa, menghirup aroma camomile yang menenangkan. Lalu menyeruput perlahan. "Seger banget, sama segernya kaya liat kamu," gombal Damar. Gestur tubuh Nisa tak dapat disembunyikan, wajahnya lansung terliha