"Non," Darmi menghampiri Nisa, perlahan duduk di hadapan Nisa. Wanita muda ini mengayun perlahan setelah Darmi duduk. Suara derit gesekan besi terdengar lebih keras, karna beban yang bertambah.
Tangan keriput Darmi menggenggam tangan lembut Nisa, "Non, seumur hidup Non Nisa apa yang tidak Non Nisa dapatkan?" Dengan cepat Nisa menggeleng, "Semua Nisa dapatkan, Mbok." "Tadi Mbok bilang, di dunia ini mustahil kita meraih kesempurnaan, karna kesempurnaan hanya milik Allah, mungkin dengan kejadian seperti ini akan mengajarkan Non Nisa untuk berbagi, untuk saling mengerti, untuk saling mengasihi." panjang lebar Darmi menasehati anak asuhnya. Mendengar ucapan Darmi Nisa termenung. Hati terdalam masih belum terima jika dia harus berbagi. Selama ini apapun yang dia inginkan selalu dia dapat, tetapi dengan Damar, sepertinya akan sulit mendapatkan Damar seutuhnya. Pasalnya Damarpun memiliki sifat teguh pendirian, seMata Kirana terlihat mengerucut artinya dia sedang tersenyum. "Ayu kita masuk," Damar menggandeng tangan Kirana, sedang tangam satunya menggendong Fatta. "Assalamualaikum," Damar memberi salam pada Chandra yang menyambut dengan tersenyum, duduk di sofa."Waalaikumsalam," Chandra menjawab salam."Fatta, salim sama Opa juga Oma." Gadis kecil ini menghampiri Chandra juga Fina yang sudah duduk disebelah Chandra. "Pah, masa Mami di panggil oma, mamih berasa tua," ujar Fina manja. "Kita memang sudah tua, Mih," jawab Chandra mengulurkan tangan pad Fatta. " Cantik bener ini, siapa nama kamu?" tanya Chandra mendekatkan tubuhnya pada Fatta. "Fatta, Opa," jawab Fatta dengan suara khas anak kecil umur lima tahun. Setelah menggoda Fatta Chandra mendongak menatap Kirana, melihat iris hitam milik Kirana. Kirana menundukka kepala tanda menyapa. "Pah ini Kirana, istri Damar, sebelum menikahi
Chandra tersenyum teduh melihat gelagat Kirana. "Ayo kita makan dulu nanti baru berbincang." Ajak Chandra. "Kirana, lepas saja Niqobnya mau makan biar nggak sulit, di sini kan nggak ada siapa-siapa, Kita semua kelurga," bisik Damar ketika menuju ruang makan. "Malu, Mas. Ada Pak Chandra," ujar Kirana, menyentuh wajah yang tertutup niqob. "Lagian aku sudah biasa makan pake niqob," ujar Kirana lagi. "Ya sudah." Mereka bergandengan tangan menuju meja makan. Nisa melirik tautan tangan Kirana Chandra dengan cepat Kirana melepas tautan tangannya dengan Damar. Fatta berceloteh riang, Chandra banyak mencandai Fatta si gadis kecil, bola mata Fatta berbinar indah. "Kak, buka aja, penutup wajahnya, biar leluasa makannya," ucap Nisa, pada Kirana karna terlihat sulit menyuapkan makan. "Nggak susah kok, Dek," jawab Kirana. Damar yang mendengar panggilan sebutan dua wanitanya, berdesir indah di pendengaran, hatinya tentram. Chandra melirik pada Kirana, dia juga penasaran terhadap wajah
"Kirana." Suara Damar terdengar lemah. Hatinya pilu, Kirana seolah menyerah dengan keadaan. Dia menerima semua ketidak adilan ini. Kirana tersungging penuh arti. "Ini semua untuk kebaikan kita, Mas. Aku tidak ingin ada pertengkaran di antara kita, aku harap Mas Damar tidak terbebani dengan adanya poligami ini." "Kirana! Nisa!" Otak Damar seolah tak bisa berfikir. Dia menyebut nama kedua istrinya bergantian menatap netra berembun mereka. "Kak, kaka bisa menolak jika keberatan dengan kemauanku," ujar Nisa. "Untuk apa? Toh semua yang aku harapkan jauh dari ekspektasiku selama ini, aku hanya perempuan lemah, ucapanku, keinginanku, tak ada satupun yang bisa Mas Damar kabulkan." Kaca-kaca mengembeng di pulupuk mata Kirana. Hati Damar berdenyut nyeri, Kirana masih berada di sampingnya bukan karna bahagia tetapi karna terpaksa. Damar mengikat begitu erat hingga tak ada daya untuk kirana lepas.
"Mas ,ke bawah dulu tadi bikin kopi." Damar menunjukkan gelas kopi yang dia bawa. "Malem-malem ngopi, kebiasaan," ujar Nisa melangkah menuju kamar di ikuti Damar. "Biar bisa melek sampe pagi," ujar Damar menaruh gelas kopi di atas nakas. Lalu masuk ke dalam selimut, setelah itu meraih gelas kopi lalu menenggak hingga habis. "Kok di abisin, Nisa minta," ujar Nisa berteriak melihat isi gelas yang Damar pegang. "Yaa.... Kamu nggak ngomong, ini masih sedikit." Damar memberikan sedikit yang masih tersisa. "Udah buruan tidur, Mas. Lagi baca apaan sih?" tanya Nisa melirik ponsel di tangan Damar."Sebentar, Mas baca berita bisnis terkini," ucap Damar.Nisa menutupi tubuh dengan bedcover setelah meminum kopi sisa Damar. Beberapa menit tak juga Nisa dapat memejamkan mata. "Kok Nisa jadi nggak bisa tidur, Mas," ujar Nisa. "Minum kopi sihh...," uja
"Mamah," Fata menghambur memeluk kaki Nisa. "Katanya mau berenang?" tagih gadis kecil ini lagi. "Fatta udah sarapan?" tanya Nisa membungkukkan badan, senyumnya mengembang sempurna. Damar menghampiri Kirana mendaratkan bokong disebelah wanita ayu ini. Melingkarkan tangan di pundak wanita ayu ini. Gadis kecil ini menggelang, "Fatta sudah minum susu," ujarnya manja. "Sarapan dulu nanti setelah sarapan kita berenang," ujar Nisa menuntun Fatta ke ruang makan. "Mbok, Papah belum keluar kamar?" tanya Nisa. "Tuan sedang berjemur di taman Non," jawab Darmi. Nisa menghampiri Chandra memanggil untuk sarapan sebab Fatta terus merengek minta berenang. Damar berkata-kata pada Kirana, tetapi wanita ayu ini seolah tak mendengar semua ucapan yang keluar dari mulut Damar. "Kirana!! Kamu nggak denger mas lagi ngomong?" Damar menyentuh tangan Kirana, sesaat Kirana ter
Damar duduk menyandar di kursi dakat kolam renang menatap angkasa luas, entah apa yang sedang dia pikirkan. Kirana menghampiri Fatta duduk di pinggiran kolam, lalu mencelupakan kaki ke dalam air. Nisa terlihat berkali-kali mencelupkan diri di kolam yang dalam, mengarungi kolam. Chandra mengawasi dari dalam melihat putra putrinya yang seperti sedang perang dingin. Bibirnya terus tersungging. "Memang hebat Damar ini," gumam Chandra. Damar menoleh ke arah chandra lalu dia bangun mendekati lelaki tua ini. "Pah, aku mau bicara." "Bicara apa?" tanya Chadra melangkahkan kaki menjauh dari area kolam renang menuju ruang kantor. "Pah, aku mau mempublikasikan Kirana di publik, sama halnya Nisa," ujar Damar. "Peresmian Rs besok aku mau ajak Kirana, sekalian memperkenalkannya pada publik," ujar lelaki atletis ini lagi. "Kamu tau konsekwensinya?" tanya Chandra. "Rumor wanita kedua bisa membuat goncang perus
Seorang gadis duduk di ruangan periksa, di depan ruang periksa terlulis dr Bagus Rafael. sp.jp. tercium bau obat khas Rumah Sakit. Lana memutar-mutar kursi, sambil berbincang dengan Nisa. "Paling sejam lagi gue otw, gue lagi nungguin ayang mbeb di ruang praktek di Rumah Sakit Mitra," ujar Lana. "Nanti gue ceritain, yaaa... Kising mah boleh Nis," Kekeh Lana. "Kemaren hampir, Nis. Ehh nyokap gue pulang ... Kayanya di sini enak deh Nis ...." Lana mengedarkan pandangan di ruang periksa yang tak terlalu besar. Sambil tertawa renyah. "Emang gue udah gila, Nis. Gila sama belaian Mas Bagus. Ha ha haaaa.... " Lana tertawa keras mendengar cerocosan peringatan Nisa. "Nis udah ya, ada yang buka pintu," ujar Lana tetapi dia tak mematikan ponselnya hanya menaruh di atas meja. Tersenyum pada lelaki yang memasuki ruang prakteknya. "Oh ada Dek Lana. Kapan datang?" tanya Bagus, cerah. "Udah
"Nis, itu Mamih elo, jalan ama Pram, itu cowok itu Pram, Nis. Kok bisa dia kenal Pram?" Lana menatap dua orang yang sedang melintas ditempat Nisa dan Lana duduk saat ini. Tutupin muka, seru Nisa berusaha bersembunyi dengan menutup menggunakan buku menu. Nisa dan Lana menatap punggung Pram juga Fina yang semakin menjauh. "Ada hubungan apa mereka?" tanya Lana. "Entah lah, tapi sepertinya kejadian yang menimpa kita ada campur tangan Fina," ucap Nisa. "Maksudnya?" Nisa tak menjawab atau berniat menjelaskan pada Lana. Dia meminum habis jus di dalam, gelasnya. "Pulang yuk, elo mau kemana abis ini," tanya Nisa. Lana tersenyum sumringah, "Gue mau nginap di Apartmen Mas Bagus. Duh udah deg-degan gue," ujar Lana. Nisa hanya geleng-geleng, dia tak mungkin terus-terusan mengingatkan Lana. Selama ini dia selalu mengingatkan tetapi selalu di jawab oleh Lana, seb