Share

Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat
Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat
Penulis: Mokaciinoo

1. Ditawari Pernikahan

"Aruna Anastasia, cepat keluar kamu!"

"Jangan berani-beraninya sembunyi dariku!"

Aruna Anastasia yang disebutkan oleh pria itu tengah bersembunyi di balik pilar besar yang ada di lobi perusahaan Widjaja Group tempatnya bekerja. Wanita yang akrab disapa Aruna itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat sambil merutuki kebodohan diri sendiri.

Bagaimana bisa dia melupakan kalau ayah tirinya yang belangsak itu mengetahui dengan baik tempat kerjanya?

"Kamu tunggu saja, Aruna. Aku pasti akan menemukanmu. Sekalipun kamu bersembunyi di lubang cacing, aku pasti akan menemukanmu!" teriak Bimo –nama pria itu.

"Permisi, Pak. Dilarang membuat keributan di tempat ini. Silakan keluar!"

Dari persembunyiannya, Aruna dapat melihat seorang satpam tengah berusaha untuk mengusir Bimo agar tidak terus berbuat rusuh di lobi kantor.

"Lepaskan aku. Aku mencari Aruna. Kamu jangan berani-beraninya menyembunyikan wanita tidak tahu diuntung itu dariku!" seru Bimo seraya menepis dengan kasar tangan satpam yang hendak menyeretnya pergi.

"Tidak ada orang bernama Aruna yang bekerja di tempat ini. Sekarang tolong keluar!" usir satpam itu.

"Jangan bohong kamu. Aku tahu betul kalau dia bekerja sebagai cleaning service di tempat ini. Sekarang suruh dia keluar dengan cepat. Kalau tidak, akan aku hancurkan perusahaan ini!" teriak Bimo.

Tongkat baseball yang tergenggam erat di tangannya diayunkan dengan cepat hingga menghantam pot bunga mewah yang dipajang tidak jauh dari pintu masuk.

Aruna yang melihat tindakan gila ayah tirinya itu hanya bisa terkesiap di tempat tanpa ada nyali untuk menampakkan diri. Sudah beberapa hari ini dia dan ibunya kabur dari rumah kontrakan mereka lantaran Aruna tidak ingin dinikahkan paksa dengan seorang pria tua bau tanah.

Pria tua itu bernama Pak Dewo. Di lingkungan tempat tinggal mereka, pria tua yang sudah memiliki tiga istri itu juga terkenal sebagai rentenir. Dikarenakan hutang ayah tirinya sudah menumpuk, jadilah Aruna ingin digunakan sebagai alat transaksi untuk melunasi hutang yang seabrek itu.

Jelas saja Aruna menolak dengan keras. Jangan lihat dia sebagai wanita berumur 30 tahun dan masih jomblo, bahkan jika dia seusia sang ibu, Aruna tetap tidak akan mau menikah dengan pria tua macam Pak Dewo itu.

"Ssstt, Run. Orang itu siapa? Kenapa dia mencari kamu?" bisikan pelan dari arah belakangnya membuat jantung Aruna hampir copot.

Dengan tergesa-gesa, dia menempelkan jari telunjuknya di bibir. Meminta orang yang baru saja berbisik di belakangnya untuk segera tutup mulut.

"Sssst, Ra. Kamu jangan ngomong keras-keras. Itu dia ayah tiri yang aku ceritakan tempo hari. Kalau aku sampai ketahuan olehnya, aku benar-benar bakal dijual," desis Aruna dengan nada yang begitu lirih.

"Tapi terus bersembunyi di sini juga bukan solusi. Kalau orang-orang sudah jengah dengan perilaku onarnya, mereka pasti akan memberitahukan keberadaanmu," bisik rekan sejawat sekaligus sahabat Aruna yang bernama Amara.

"Aku juga tahu. Tapi belum ada celah buat keluar dari sini. Dari tadi tuh orang udah kayak jin penjaga pintu!" tukas Aruna tanpa daya.

Dia sangat membenci ayah tirinya ini, tapi ibunya yang bodoh selalu memilih bertahan dengan pria tidak berguna macam si Bimo itu. Kalau saja si Bimo tidak memiliki wacana untuk menjadikan dirinya alat transaksi pelunasan hutang, entah kapan mata ibunya akan terbuka bahwa pria yang dinikahi itu tidak cocok dijadikan sebagai kepala keluarga. Sudahlah kasar, pengangguran, pemabuk, dan penjudi pula.

"Tunggu sebentar, nanti waktu Pak Satpam mulai fokus untuk mengusirnya, baru kita mengendap-endap keluar bersama karyawan lain. Kamu siap-siap!" bisik Amara .

Aruna menganggukkan kepalanya dengan patuh sembari tanpa sadar menelan ludah. Dia kemudian mengintip ke arah tempat dimana ayah tirinya dan beberapa satpam mulai berdebat.

"Saya sudah katakan berulang kalau di tempat ini tidak ada orang bernama Aruna. Keluar!" usir Pak Satpam itu sembari mendorong Bimo hingga terpojok di sudut.

"Jangan mendekat. Kalau kalian berani mendekat, jangan salahkan aku jika kalian terkena pukulan tongkat ini!" seru Bimo sembari mengayun tongkat baseball di tangannya secara sembarangan.

Melihat sikap Bimo yang tidak bisa diajak kompromi, tiga orang satpam yang bertugas itupun mulai mengambil langkah defensif. Satu bersiap membekuk Bimo dari belakang. Satu lagi bersiap untuk merebut tongkat baseball yang dipegang oleh Bimo. Sementara yang satunya lagi membiarkan dirinya menerima kalimat ancaman itu.

"Ayo keluar sekarang. Pelan-pelan aja, jangan panik!" bisik Amara seraya merangkul bahu Aruna dengan gerakan yang begitu luwes.

Dengan jantung yang berdebar kencang, Aruna mengikuti langkah tenang Amara menuju ke arah pintu keluar. Dan dia baru bisa menghela nafas lega saat dirinya sudah duduk dengan nyaman di atas jok penumpang sepeda motor Amara yang tengah melaju di jalanan padat ibu kota.

* * *

Keesokan harinya, walaupun hati Aruna diliputi banyak kekhawatiran, tapi dia tetap menyeret langkahnya ke perusahaan. Dia masih membutuhkan uang untuk makan dan menyewa rumah kontrakan.

Dia hanya bisa berharap kalau satpam perusahaan yang menangani Bimo kemarin dapat memberikan efek jera pada ayah tirinya itu. Sehingga pria itu tidak lagi datang ke tempat ini untuk mencarinya.

"Eh, Run. Kemarin kayaknya ada orang yang mencari kamu deh," sapa salah satu rekan kerja Aruna.

"Iya, Nat. Orang itu ngamuk-ngamuk sampai mecahin pot bunga mahal yang ada di lobi," timpal rekan yang satunya lagi.

Aruna diam-diam menelan ludah. "Oh ya? Siapa?" tanyanya pura-pura tidak tahu.

"Nggak tahu. Kemarin itu kondisinya kacau banget. Sampai Pak Ganindra turun tangan langsung!"

"Hah?!" pekik Aruna dengan kaget. "Pak Ganindra turun tangan langsung?!"

"Ho-oh!"

"Terus gimana?" tanya Aruna dengan panik.

"Nggak tahu. Pokoknya setelah berbicara sebentar dengan Pak Ganindra, orang itu langsung pergi begitu aja."

'Mampus!' batin Aruna.

Fakta kalau pemilik perusahaan ini turun tangan langsung untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh ayah tirinya itu membuat Aruna sedikit linglung. Bahkan jantung di balik dadanya terus berdetak tidak karuan. Berbagai macam pikiran buruk pun menghantuinya hingga Aruna tidak bisa konsentrasi dalam bekerja.

"Bagaimana kalau aku sampai dipecat karena masalah yang disebabkan oleh si Bimo sialan itu?" gumam Aruna mengeluh pada dirinya sendiri.

Bertepatan dengan itu, sebuah sepatu pantofel berwarna hitam mengkilap berhenti di depan Aruna. Dengan hati-hati, Aruna pun mengangkat kepalanya untuk melihat sosok itu.

Dan alangkah terkejutnya Aruna saat melihat sosok tegap Dimas Agustiawan yang merupakan sekretaris dari Ganindra Karta Widjaja selaku pemilik perusahaan Widjaja Group ini sedang berdiri tanpa ekspresi di depannya.

"Kamu adalah Aruna Anastasia?" tanya Dimas. Nada datar yang dilontarkan oleh orang ini membuat Aruna entah kenapa merasa ngeri.

"I-Iya ... " jawab Aruna dengan terbata-bata.

"Ikuti saya ke ruangan bos," ajak pria itu.

Dengan langkah terseret berat, Aruna berjalan mengekori Dimas memasuki lift khusus VIP yang akan membawa mereka ke lantai tertinggi perusahaan ini.

"Kamu sudah ditunggu oleh Pak Ganindra di dalam. Kamu bisa langsung masuk saja," beritahu Dimas.

Akan tetapi, Aruna tidak langsung melakukan hal yang disuruh. Dia pertama-tama menarik nafas panjang, menahannya sebentar, lalu menghembuskannya dengan pelan.

"P-Permisi, Pak ... " sapa Aruna dengan kikuk.

Saat ini kakinya sudah gemetar hebat hanya sesaat setelah menjejak di dalam ruangan yang penuh dengan aura maskulin itu.

"Kamu Aruna Anastasia?" tanya Ganindra dengan suara beratnya yang terdengar seksi.

"I-Iya, Pak!" jawab Aruna.

Sayang sekali sekarang bukan waktu yang tepat bagi Aruna untuk mengagumi pria super tampan yang tengah duduk di kursi kerjanya itu.

"Silakan duduk," ujar Ganindra seraya menunjuk sofa panjang berwarna hitam yang terletak tepat di tengah-tengah ruangan.

"Terima kasih, Pak!" ucap Aruna.

Setelah Aruna duduk dengan nyaman di atas sofa, barulah Ganindra berjalan menghampirinya.

"Silakan dibaca dulu," ujar Ganindra seraya menyodorkan sebuah map berwarna hitam ke hadapan Aruna.

Aruna tidak langsung membuka map tersebut. Dia pertama-tama mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk dengan cara menelan ludah dengan susah payah. Setelah dirasakan dirinya sudah cukup siap, barulah Aruna membuka map itu.

Akan tetapi, apa yang Aruna temukan dibalik sampul map itu bukanlah sesuatu yang dia pikirkan. Melainkan sesuatu yang jauh lebih mengejutkan.

"Perjanjian Pernikahan Kontrak?"

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status