"Aruna Anastasia, cepat keluar kamu!"
"Jangan berani-beraninya sembunyi dariku!" Aruna Anastasia yang disebutkan oleh pria itu tengah bersembunyi di balik pilar besar yang ada di lobi perusahaan Widjaja Group tempatnya bekerja. Wanita yang akrab disapa Aruna itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat sambil merutuki kebodohan diri sendiri. Bagaimana bisa dia melupakan kalau ayah tirinya yang belangsak itu mengetahui dengan baik tempat kerjanya? "Kamu tunggu saja, Aruna. Aku pasti akan menemukanmu. Sekalipun kamu bersembunyi di lubang cacing, aku pasti akan menemukanmu!" teriak Bimo –nama pria itu. "Permisi, Pak. Dilarang membuat keributan di tempat ini. Silakan keluar!" Dari persembunyiannya, Aruna dapat melihat seorang satpam tengah berusaha untuk mengusir Bimo agar tidak terus berbuat rusuh di lobi kantor. "Lepaskan aku. Aku mencari Aruna. Kamu jangan berani-beraninya menyembunyikan wanita tidak tahu diuntung itu dariku!" seru Bimo seraya menepis dengan kasar tangan satpam yang hendak menyeretnya pergi. "Tidak ada orang bernama Aruna yang bekerja di tempat ini. Sekarang tolong keluar!" usir satpam itu. "Jangan bohong kamu. Aku tahu betul kalau dia bekerja sebagai cleaning service di tempat ini. Sekarang suruh dia keluar dengan cepat. Kalau tidak, akan aku hancurkan perusahaan ini!" teriak Bimo. Tongkat baseball yang tergenggam erat di tangannya diayunkan dengan cepat hingga menghantam pot bunga mewah yang dipajang tidak jauh dari pintu masuk. Aruna yang melihat tindakan gila ayah tirinya itu hanya bisa terkesiap di tempat tanpa ada nyali untuk menampakkan diri. Sudah beberapa hari ini dia dan ibunya kabur dari rumah kontrakan mereka lantaran Aruna tidak ingin dinikahkan paksa dengan seorang pria tua bau tanah. Pria tua itu bernama Pak Dewo. Di lingkungan tempat tinggal mereka, pria tua yang sudah memiliki tiga istri itu juga terkenal sebagai rentenir. Dikarenakan hutang ayah tirinya sudah menumpuk, jadilah Aruna ingin digunakan sebagai alat transaksi untuk melunasi hutang yang seabrek itu. Jelas saja Aruna menolak dengan keras. Jangan lihat dia sebagai wanita berumur 30 tahun dan masih jomblo, bahkan jika dia seusia sang ibu, Aruna tetap tidak akan mau menikah dengan pria tua macam Pak Dewo itu. "Ssstt, Run. Orang itu siapa? Kenapa dia mencari kamu?" bisikan pelan dari arah belakangnya membuat jantung Aruna hampir copot. Dengan tergesa-gesa, dia menempelkan jari telunjuknya di bibir. Meminta orang yang baru saja berbisik di belakangnya untuk segera tutup mulut. "Sssst, Ra. Kamu jangan ngomong keras-keras. Itu dia ayah tiri yang aku ceritakan tempo hari. Kalau aku sampai ketahuan olehnya, aku benar-benar bakal dijual," desis Aruna dengan nada yang begitu lirih. "Tapi terus bersembunyi di sini juga bukan solusi. Kalau orang-orang sudah jengah dengan perilaku onarnya, mereka pasti akan memberitahukan keberadaanmu," bisik rekan sejawat sekaligus sahabat Aruna yang bernama Amara. "Aku juga tahu. Tapi belum ada celah buat keluar dari sini. Dari tadi tuh orang udah kayak jin penjaga pintu!" tukas Aruna tanpa daya. Dia sangat membenci ayah tirinya ini, tapi ibunya yang bodoh selalu memilih bertahan dengan pria tidak berguna macam si Bimo itu. Kalau saja si Bimo tidak memiliki wacana untuk menjadikan dirinya alat transaksi pelunasan hutang, entah kapan mata ibunya akan terbuka bahwa pria yang dinikahi itu tidak cocok dijadikan sebagai kepala keluarga. Sudahlah kasar, pengangguran, pemabuk, dan penjudi pula. "Tunggu sebentar, nanti waktu Pak Satpam mulai fokus untuk mengusirnya, baru kita mengendap-endap keluar bersama karyawan lain. Kamu siap-siap!" bisik Amara . Aruna menganggukkan kepalanya dengan patuh sembari tanpa sadar menelan ludah. Dia kemudian mengintip ke arah tempat dimana ayah tirinya dan beberapa satpam mulai berdebat. "Saya sudah katakan berulang kalau di tempat ini tidak ada orang bernama Aruna. Keluar!" usir Pak Satpam itu sembari mendorong Bimo hingga terpojok di sudut. "Jangan mendekat. Kalau kalian berani mendekat, jangan salahkan aku jika kalian terkena pukulan tongkat ini!" seru Bimo sembari mengayun tongkat baseball di tangannya secara sembarangan. Melihat sikap Bimo yang tidak bisa diajak kompromi, tiga orang satpam yang bertugas itupun mulai mengambil langkah defensif. Satu bersiap membekuk Bimo dari belakang. Satu lagi bersiap untuk merebut tongkat baseball yang dipegang oleh Bimo. Sementara yang satunya lagi membiarkan dirinya menerima kalimat ancaman itu. "Ayo keluar sekarang. Pelan-pelan aja, jangan panik!" bisik Amara seraya merangkul bahu Aruna dengan gerakan yang begitu luwes. Dengan jantung yang berdebar kencang, Aruna mengikuti langkah tenang Amara menuju ke arah pintu keluar. Dan dia baru bisa menghela nafas lega saat dirinya sudah duduk dengan nyaman di atas jok penumpang sepeda motor Amara yang tengah melaju di jalanan padat ibu kota. * * * Keesokan harinya, walaupun hati Aruna diliputi banyak kekhawatiran, tapi dia tetap menyeret langkahnya ke perusahaan. Dia masih membutuhkan uang untuk makan dan menyewa rumah kontrakan. Dia hanya bisa berharap kalau satpam perusahaan yang menangani Bimo kemarin dapat memberikan efek jera pada ayah tirinya itu. Sehingga pria itu tidak lagi datang ke tempat ini untuk mencarinya. "Eh, Run. Kemarin kayaknya ada orang yang mencari kamu deh," sapa salah satu rekan kerja Aruna. "Iya, Nat. Orang itu ngamuk-ngamuk sampai mecahin pot bunga mahal yang ada di lobi," timpal rekan yang satunya lagi. Aruna diam-diam menelan ludah. "Oh ya? Siapa?" tanyanya pura-pura tidak tahu. "Nggak tahu. Kemarin itu kondisinya kacau banget. Sampai Pak Ganindra turun tangan langsung!" "Hah?!" pekik Aruna dengan kaget. "Pak Ganindra turun tangan langsung?!" "Ho-oh!" "Terus gimana?" tanya Aruna dengan panik. "Nggak tahu. Pokoknya setelah berbicara sebentar dengan Pak Ganindra, orang itu langsung pergi begitu aja." 'Mampus!' batin Aruna. Fakta kalau pemilik perusahaan ini turun tangan langsung untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh ayah tirinya itu membuat Aruna sedikit linglung. Bahkan jantung di balik dadanya terus berdetak tidak karuan. Berbagai macam pikiran buruk pun menghantuinya hingga Aruna tidak bisa konsentrasi dalam bekerja. "Bagaimana kalau aku sampai dipecat karena masalah yang disebabkan oleh si Bimo sialan itu?" gumam Aruna mengeluh pada dirinya sendiri. Bertepatan dengan itu, sebuah sepatu pantofel berwarna hitam mengkilap berhenti di depan Aruna. Dengan hati-hati, Aruna pun mengangkat kepalanya untuk melihat sosok itu. Dan alangkah terkejutnya Aruna saat melihat sosok tegap Dimas Agustiawan yang merupakan sekretaris dari Ganindra Karta Widjaja selaku pemilik perusahaan Widjaja Group ini sedang berdiri tanpa ekspresi di depannya. "Kamu adalah Aruna Anastasia?" tanya Dimas. Nada datar yang dilontarkan oleh orang ini membuat Aruna entah kenapa merasa ngeri. "I-Iya ... " jawab Aruna dengan terbata-bata. "Ikuti saya ke ruangan bos," ajak pria itu. Dengan langkah terseret berat, Aruna berjalan mengekori Dimas memasuki lift khusus VIP yang akan membawa mereka ke lantai tertinggi perusahaan ini. "Kamu sudah ditunggu oleh Pak Ganindra di dalam. Kamu bisa langsung masuk saja," beritahu Dimas. Akan tetapi, Aruna tidak langsung melakukan hal yang disuruh. Dia pertama-tama menarik nafas panjang, menahannya sebentar, lalu menghembuskannya dengan pelan. "P-Permisi, Pak ... " sapa Aruna dengan kikuk. Saat ini kakinya sudah gemetar hebat hanya sesaat setelah menjejak di dalam ruangan yang penuh dengan aura maskulin itu. "Kamu Aruna Anastasia?" tanya Ganindra dengan suara beratnya yang terdengar seksi. "I-Iya, Pak!" jawab Aruna. Sayang sekali sekarang bukan waktu yang tepat bagi Aruna untuk mengagumi pria super tampan yang tengah duduk di kursi kerjanya itu. "Silakan duduk," ujar Ganindra seraya menunjuk sofa panjang berwarna hitam yang terletak tepat di tengah-tengah ruangan. "Terima kasih, Pak!" ucap Aruna. Setelah Aruna duduk dengan nyaman di atas sofa, barulah Ganindra berjalan menghampirinya. "Silakan dibaca dulu," ujar Ganindra seraya menyodorkan sebuah map berwarna hitam ke hadapan Aruna. Aruna tidak langsung membuka map tersebut. Dia pertama-tama mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk dengan cara menelan ludah dengan susah payah. Setelah dirasakan dirinya sudah cukup siap, barulah Aruna membuka map itu. Akan tetapi, apa yang Aruna temukan dibalik sampul map itu bukanlah sesuatu yang dia pikirkan. Melainkan sesuatu yang jauh lebih mengejutkan. "Perjanjian Pernikahan Kontrak?" * * *Perjanjian Pernikahan Kontrak1. Dilarang mencampuri urusan satu sama lain.2. Dilarang jatuh cinta.3. Bercerai setelah satu tahun menikah.Mata Aruna seketika mengerjap beberapa kali setelah membaca setiap kata yang tertulis di atas kertas HVS itu. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Bukankah seharusnya dia dipecat karena kelakuan ayah tirinya yang berbuat onar kemarin? Tetapi kenapa dia malah ditawarkan pernikahan? Belum lagi dengan ajaibnya orang yang menawarkan pernikahan padanya adalah orang yang sudah cukup lama Aruna kagumi. Sayangnya, berapa kali pun Aruna mengajak kepalanya untuk berpikir, dia tetap tidak menemukan jawaban yang paling mungkin. Alhasil dia dengan takut-takut mengangkat kepala untuk menanyakan langsung maksud dari semua ini."Maaf, Pak. Tapi apa maksud dari semua ini ya?" tanya Aruna dengan hati-hati."Kamu tidak perlu tahu. Dan jangan banyak tanya. Tanda tangani saja surat perjanjian itu!" tukas Ganindra." ... "Nada sengit yang
Aruna berjalan dengan linglung menuju pantry yang berada di lantai dasar sekembalinya dia dari ruangan Ganindra. Di sana sahabatnya yang bernama Amara Windania itu sudah menunggu sambil berjalan mondar-mandir tampak senewen."Run, gimana? Apa yang terjadi? Kenapa kamu dipanggil ke ruangan Pak Ganindra? Kamu nggak dipecat gara-gara kejadian kemarin 'kan?" Amara memberondong Aruna dengan berbagai pertanyaan begitu melihat kemunculannya.Saat Aruna dipanggil oleh Ganindra ke ruangannya, kebetulan Amara tengah bertugas membersihkan toilet yang ada di lantai empat. Dia tidak melihat langsung apa yang terjadi pada Aruna. Hanya selentingan gosip yang dia dengar dari orang-orang. "Aku diajak nikah sama Pak Ganindra," jawab Aruna sekenanya."Hah?!""Aku serius."Walaupun kata serius meluncur dari bibir Aruna, tapi cara menjawabnya yang setengah menerawang jauh membuat Amara tidak mudah percaya. Dia lantas menempelkan punggung tangannya ke dahi Aruna."Tidak panas kok," ucapnya yang seketika m
Keesokan harinya, Aruna kembali ke ruangan Ganindra untuk menandatangani perjanjian pernikahan kontrak yang telah mereka bicarakan sebelumnya. Namun, berbeda dengan kemarin, kali ini di dalam ruangan Ganindra ada orang lain selain mereka berdua."Aruna, perkenalkan. Ini adalah Pak Bambang Wijatmiko. Dia adalah pengacara saya," beritahu Ganindra."Halo, Pak. Saya Aruna," pungkas Aruna seraya menyodorkan tangannya ke hadapan pria paruh baya bertubuh tambun yang katanya bernama Pak Bambang Wijatmiko ini."Bambang Wijatmiko," ucap Pak Bambang seraya membalas jabatan tangan Aruna.Setelah melakukan perkenalan singkat dengan Pak Bambang, Ganindra kembali menyodorkan sebuah map hitam ke hadapan Aruna. "Itu adalah perjanjian yang sudah diperbaharui. Kamu bisa membacanya dulu," ujar Ganindra. Setelah mengatakan hal ini, Ganindra tidak ikut duduk di sofa panjang yang berada di tengah ruangan bersama mereka. Pria itu justru berjalan ke arah kaca besar yang menampakkan bangunan-bangunan tinggi
Aruna duduk bengong untuk waktu yang lama di dalam ruangan Ganindra. Dia bahkan tidak menyadari kalau Pak Bambang sudah tidak ada lagi bersama mereka."Sampai kapan kamu mau terus duduk di situ?" teguran Ganindra menyadarkan Aruna dari lamunan panjangnya.Dengan lamat-lamat, dia kemudian menatap ke arah Ganindra yang sudah entah kapan duduk kembali di balik meja kerjanya. Hanya dengan melihat wajah tampan pria itu, mampu membuat Aruna jatuh hati berkali-kali. Ganindra ini orangnya memang tampan sekali. Mungkin dia adalah pria paling tampan yang pernah Aruna temui. Ganindra memiliki rahang yang tegas, hidungnya mancung, dan sorot matanya tajam. Di antara semua itu, Ganindra juga memiliki punggung yang lebar dan dada bidang yang terlihat nyaman untuk dijadikan sebagai tempat untuk bersandar. Sayang sekali, belum menjadi giliran Aruna untuk menikmati hal-hal ini. Bahkan meski nantinya status antara dia dan Ganindra berubah menjadi hubungan suami istri, tapi ada poin yang mengatakan bah
Aruna terkekeh ringan saat melihat ekspresi keterkejutan di wajah Amara. Terutama dengan mata melotot yang hampir keluar dari rongganya itu."Aku yakin kamu pasti tidak percaya kalau aku bisa, 'kan? Kamu tunggu saja, Ra. Aku akan membuktikannya padamu," ujar Aruna penuh dengan senyum percaya diri.Amara lantas menggulung matanya dengan terang-terangan. "Lalu bagaimana dengan Tante Belinda? Apa dia sudah tahu soal keputusan yang kamu buat ini?" Sambil bibirnya dimajukan dua senti, Aruna menggelengkan kepala pelan. "Ibu belum tahu soal ini," jawabnya.Amara pun mendecakkan lidah dengan keras. "Terus gimana? Tante Belinda pasti syok berat kalau tahu anaknya yang semula jomblo ini tiba-tiba bilang mau nikah sama anak konglomerat,"Aruna lalu menghela nafas panjang. "Syok sih pasti. Tapi mau bagaimana lagi? Tawaran pernikahan yang aku terima ini juga gara-gara ibu sih," pungkas Aruna."Hah? Kenapa begitu?""Sebenarnya aku ju
Apa kamu bilang?!" Aruna kembali mengangkat bahunya dengan pelan sebagai tanggapan atas teriakan ibunya itu. Tak lama kemudian, terjadi jeda di antara mereka. Belinda menatap sepasang netra Aruna dengan tatapan tidak percaya. Sementara itu, Aruna menatap mata ibunya dengan sorot santai. Mereka sama-sama tengah mencari kebenaran dari mata masing-masing. "Tante, ada apa? Kenapa teriak?" tanya Amara yang bergegas keluar dari kamarnya. Aktivitas saling tatap dari sepasang ibu dan anak itu otomatis terputus karena kehadiran Amara. "Ah, bukan apa-apa," jawab Belinda sembari mengibaskan tangannya di depan wajah. "Ayo makan malam dulu, mumpung semuanya masih hangat," tukas Belinda. Dia lalu mengambil tempat duduk di kursi yang ada di samping Aruna. Amara yang ragu hanya bisa menatap bolak-balik ke arah Aruna dan ibunya. Tapi karena melihat sikap mereka yang santai seolah memang tidak terjadi apa-apa, Amara akhirnya h
"Run, ayolah. Tidak ada gunanya berhubungan dengan orang-orang itu. Berurusan dengan mereka cuma akan mendatangkan petaka bagi kita," tukas Belinda memohon pada putrinya.Tanpa menoleh ke arah sang ibu, Aruna berkata. "Sama aja. Mau berurusan dengan mereka atau tidak, hidup kita sudah terjebak dalam petaka. Dan itu semua gara-gara ibu!""Run~"Dengan kesal Aruna memutar tubuh menghadap kepada ibunya. "Aku belum cerita sama ibu kalau si Bimo datang ke perusahaan tempatku bekerja dan membuat onar di sana 'kan?""Apa?!""Bu, setidaknya kalau kita punya uang, beberapa masalah yang kita hadapi akan bisa diselesaikan dengan lebih mudah!" seru Aruna."Tapi, Run. Kamu nggak tahu seberapa berbahayanya berurusan dengan orang-orang di kalangan mereka!" tukas Belinda dengan nada yang hampir terdengar frustrasi."Ya makanya jelaskan padaku seberbahaya apa?!" sambar Aruna dengan tidak sabar." ... "Namun, Belinda te
"Sekarang karena kamu sudah tahu semuanya, tidak bisakah kamu menjauh saja dari mereka?" tanya Belinda masih dengan nada penuh permohonan seperti tadi.Namun, Aruna menggelengkan kepala dengan tegas. "Aku sudah menandatangani perjanjian dengan Ganindra. Seandainya pun belum, aku tetap menginginkan kekayaan keluarga Hermawan yang disebutkan Pak Gumelar dalam wasiatnya," tukas Aruna."Run~""Bu, aku mengerti kalau mereka pasti sudah membuat ibu trauma. Tapi aku hanya menikah dengan Ganindra, bukan mau menabuh genderang perang sama mereka," ucap Aruna." ... "Belinda langsung terdiam. Putrinya ini memang paling tahu bagaimana cara membungkam dirinya. "Dasar keras kepala!" seru Belinda seraya menjentikkan jarinya pada kening Aruna."Hehehe,""Tapi kamu harus ingat baik-baik. Setelah menikah dengan Ganindra, kamu harus bersikap rendah hati. Jangan mencari masalah dengan siapapun," ujar Belinda mengingatkan.
Rahang Aruna mengetat, dan gigi gerahamnya bergemeretak menahan amarah. Dengan langkah pelan, dia lantas mengikis jarak antara dirinya dan juga Bimo. Dia kemudian menunduk agar garis mata mereka berada dalam satu bidang yang sejajar. “Kamu kenapa tertawa?” tanya Aruna di depan wajah Bimo. “Apakah ada yang lucu?” “Aku menertawakan kamu.” “Kenapa kamu menertawakan aku?” tanya Aruna. “Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” Aruna mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Menyenangkan!” jawabnya. “Dengan uang, aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Termasuk juga menghabisimu!” “Kamu mau menghabisiku?” Aruna tidak ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Benar. Aku sudah muak terus dimanfaatkan oleh pria sepertimu. Dan hanya kematianlah yang bisa membuat hal itu terjadi. Apa kamu sudah siap?” Setelah mengatakan hal ini, Aruna dapa
Keesokan harinya, Ganindra membawa Aruna menuju sebuah gudang kosong yang letaknya berada di pinggiran kota. Lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan juga jalan besar. Melihat jalan raya yang semakin sunyi, Aruna tidak bisa berhenti membuat praduga terkait kehidupan orang kaya. Melihat Ganindra dengan mudahnya melakukan hal semacam ini, itu artinya orang kaya lain juga pasti bisa melakukan hal serupa. “Sudah sampai, ayo turun!” ajak Ganindra. Tegurannya membuat Aruna segera tersadar dari lamunan panjangnya. “Oh, sudah sampai?” tanyanya. “Iya,” jawab Ganindra. Turun dari mobil Ganindra, Aruna mengedarkan tatapan matanya ke segala penjuru mata angin. Di depan Aruna saat ini terdapat satu-satunya Gudang yang dikelilingi oleh semak belukar. Berada di tempat ini saat malam hari pasti akan terasa menyeramkan. Bahkan saat kondisi matahari tengah terik, tempat ini terlihat tampak suram. Hal i
Sesuai dengan apa yang dia rencanakan kemari, hari ini Aruna membantu ibunya mengurus gugatan cerai untuk Bimo di pengadilan agama. Setelah itu, dia membantu Amara mencari sepeda motor yang dia tinggalkan di jalan kemarin. Setiap rumah dan warung yang ada di pinggir jalan itu mereka tanyai, tapi jawaban yang mereka terima tetap nihil. Tidak ada orang yang mengetahui siapa yang mengangmbil sepeda motor itu. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari deh. Tapi karena motor itu beneran hilang, jadinya kita beli yang baru aja buat Amara,” tukas Aruna pada ibunya. “Ya udah. Ayo pergi beli,” timpal Belinda. “Tapi nanti dulu deh, Bu. Aku nggak punya pengalaman beli-beli begini. Gimana kalau kita minta tolong sama Mbak Eka dan Mas Dandi?” “Oke,” jawab Belinda mengangguk setuju. Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Aruna segera men
“Loh, kalian disitu?” sapa Belinda dengan nada sedikit keheranan saat melihat Aruna dan Amara bukannya masuk ke rumah dulu, tapi malah asyik mengobrol di depan sasana tinju. Belum lagi tampang mereka yang kumal tidak seperti biasanya membuat lebih curiga. “Bu,” “Tante,” Aruna dan Amara menyapa Belinda dengan serentak. “Kalian kenapa? Kok tampang kalian kumel begitu?” tanya Belinda seraya berjalan mendekat. “Ceritanya panjang. Nanti aja kita certain di rumah,” jawab Aruna seraya bangkit dari posisi terduduknya di atas lantai semen. Tindakannya pun diikuti oleh Amara. “Mbak Eka, kami pulang dulu. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya,” ucap Aruna sambal menggoyangkan botol air yang sudah tandas isinya. “Sama-sama. Berarti untuk hari ini kalian nggak berlatih?” tanya Mbak Eka, “Besok ajalah, Mbak,” jawab Aruna sembari mering
“Hiyaaaa!” Teriakan Aruna bergema di langit sore yang mulai terlihat kelabu. Dengan sekuat tenaga dia lalu mengayunkan tangannya yang memegang balok kayu dan menghantamkannya dengan keras pada selangkangan pria yang hendak ingin membekuknya. Amara pun melakukan hal yang serupa. Jerita seperti babi kemudian terdengar saling bersahut-sahutan dengan dramatis. “Kerja bagus, Mbak. Sekarang ayo lari!” seru pemuda itu. Baru beberapa saat dirinya berlatih tinju, tapi refleks Aruna dan Amara sudah mulai menunjukkan hasil walau samar. Setidaknya dalam kondisi darurat seperti saat ini mereka tidak hanya bisa bengong seperti orang bodoh. Sebelum rasa sakit yang melanda orang-orang itu mulai mereda, Aruna dan Amara sudah melarikan diri bersama pemuda yang belum mereka ketahui namanya itu hingga ke tempat yang aman. “Terima kasih, sudah membantu kami bebas dari orang-orang
“Cih, dasar ayam. Beraninya Cuma sama perempuan saja. Sudah gitu pakai keroyokan lagi!” cibir salah seorang pemuda pada Bimo dan antek-anteknya. Aruna dan Amara lantas dengan kompak menatap ea rah pemuda tampan yang baru saja berbicara untuk mereka. “Heh, bocah. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan orang dewasa!” seru Bimo dengan galak. Matanya melotot lebar. Tetapi bukannya merasa gentar, pria muda itu justru membalas tatapan Bimo dengan sorot mata menantang. “Apa kamu?” seru pria itu. “Sialan!” Bimo berseru dengan kesal. Ayah tiri Aruna itu lalu melangkah menghampiri pemuda itu. Tangannya terangkat tinggi berniat untuk melayangkan pukulan pada pemuda tak dikenal itu agar menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut campur dalam urusannya. Namun, pria itu dengan sigap menangkis tangan Bimo. “Berani-beraninya kamu
“Yah, mulai besok aku nggak bakal punya teman makan siang lagi,” celetuk Amara dikala mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja. Aruna pun lantas mendengus pelan. “Cih, habisnya kamu sih. Kenapa juga nggak mau langsung ikut aku aja buat resign terus kita buka bisnis bareng.” “Tsk,” Amara mendecakkan lidahnya dengan keras. “Sudahlah tidak usah dipikirkan. Palingan juga rasa mellow ini cuma akan bertahan selama beberapa hari,” tukas Amara untuk mengusir kesenduan yang berputar di antara mereka. “ … “ Aruna tidak menanggapi. Mereka sudah membicarakan soal ini beberapa waktu lalu. Tidak ada gunanya untuk terus ngotot meminta Amara selalu mengikuti jejaknya. Sahabatnya ini jelas memiliki pendapar sendiri. Dia hanya perlu menghormatinya. “Rencama kamu apa setelah ini?” tanya Amara mengalihkan topik pembicaraan. “Em, belajar nyetir deh aku rasa,” jawab Aruna s
"Pernahkah kamu jatuh hati padaku?" Pertanyaan dari Ganindra ini membuat Aruna terpana dalam waktu yang cukup lama. Dia bahkan bernafas sepelan mungkin agar tidak menggangu momen semi panas di antara mereka. "Menurut kamu sendiri, gimana?" Aruna bertanya balik sembari memainkan alisnya. "Menurutku sih, iya. Tapi aku tidak yakin," bisik Ganindra. Aruna tersenyum tipis. "Rasa sukaku tergantung bagaimana kamu memperlakukanku. Aku akan sangat menyukaimu jika kamu bisa memperlakukan dengan manis. Dan percaya atau tidak, aku juga bisa dengan mudah menepis rasa suka itu jika kamu tidak bisa bersikap lembut padaku," pungkas Aruna dengan percaya diri. Ganindra mendengus sanksi. "Tidak mungkin. Rasa yang telah terlanjur hadir di dalam hati itu tidak mungkin bisa dikontrol dengan mudah." "Akan selalu ada pengecualian di dunia ini," ucap Aruna. Ganindra perlahan menarik kembali tubuhnya unt
Haaahhh~ Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Ganindra menghela nafas panjang. Dia mendengar apa saja yang dibicarakan oleh Kanina dan juga Aruna di luar sana. Tetapi jika dia ingin menyela kesepakatan yang dibuat oleh kedua wanita itu terkait dengan dirinya, Ganindra tidak mau dihadapkan pada situasi yang lebih rumit daripada ini. Lebih dari siapapun, dia sangat mengenal perangai Kanina yang tidak pernah mau kalah dengan orang lain. Tok tok tok, "Ndra, aku mau ngomong sebentar aja. Kamu bisa keluar, nggak?" suara Kanina terdengar dari balik pintu kamar. Namun, Ganindra meremas jemari tangannya dengan kuat untuk menahan diri agar tidak membuka pintu kamar itu. Dia tidak ingin pertahanannya runtuh karena bertatap muka dengan Kanina. Setelah momen dirinya hampir tenggelam malam itu, Ganindra mulai memikirkan setiap kata-kata yang dilontarkan oleh Aruna. Jika wanita yang tidak sepadan dengan dirinya itu