Beranda / Romansa / Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat / 45. Aku Mau Dia Lumpuh Seumur Hidup

Share

45. Aku Mau Dia Lumpuh Seumur Hidup

Penulis: Mokaciinoo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Loh, kalian disitu?” sapa Belinda dengan nada sedikit keheranan saat melihat Aruna dan Amara bukannya masuk ke rumah dulu, tapi malah asyik mengobrol di depan sasana tinju. Belum lagi tampang mereka yang kumal tidak seperti biasanya membuat lebih curiga.

“Bu,”

“Tante,”

Aruna dan Amara menyapa Belinda dengan serentak.

“Kalian kenapa? Kok tampang kalian kumel begitu?” tanya Belinda seraya berjalan mendekat.

“Ceritanya panjang. Nanti aja kita certain di rumah,” jawab Aruna seraya bangkit dari posisi terduduknya di atas lantai semen. Tindakannya pun diikuti oleh Amara.

“Mbak Eka, kami pulang dulu. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya,” ucap Aruna sambal menggoyangkan botol air yang sudah tandas isinya.

“Sama-sama. Berarti untuk hari ini kalian nggak berlatih?” tanya Mbak Eka,

“Besok ajalah, Mbak,” jawab Aruna sembari mering
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    46. Rencana Mengeksekusi Bimo

    Sesuai dengan apa yang dia rencanakan kemari, hari ini Aruna membantu ibunya mengurus gugatan cerai untuk Bimo di pengadilan agama. Setelah itu, dia membantu Amara mencari sepeda motor yang dia tinggalkan di jalan kemarin. Setiap rumah dan warung yang ada di pinggir jalan itu mereka tanyai, tapi jawaban yang mereka terima tetap nihil. Tidak ada orang yang mengetahui siapa yang mengangmbil sepeda motor itu. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari deh. Tapi karena motor itu beneran hilang, jadinya kita beli yang baru aja buat Amara,” tukas Aruna pada ibunya. “Ya udah. Ayo pergi beli,” timpal Belinda. “Tapi nanti dulu deh, Bu. Aku nggak punya pengalaman beli-beli begini. Gimana kalau kita minta tolong sama Mbak Eka dan Mas Dandi?” “Oke,” jawab Belinda mengangguk setuju. Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Aruna segera men

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    47. Mulai Eksekusi

    Keesokan harinya, Ganindra membawa Aruna menuju sebuah gudang kosong yang letaknya berada di pinggiran kota. Lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan juga jalan besar. Melihat jalan raya yang semakin sunyi, Aruna tidak bisa berhenti membuat praduga terkait kehidupan orang kaya. Melihat Ganindra dengan mudahnya melakukan hal semacam ini, itu artinya orang kaya lain juga pasti bisa melakukan hal serupa. “Sudah sampai, ayo turun!” ajak Ganindra. Tegurannya membuat Aruna segera tersadar dari lamunan panjangnya. “Oh, sudah sampai?” tanyanya. “Iya,” jawab Ganindra. Turun dari mobil Ganindra, Aruna mengedarkan tatapan matanya ke segala penjuru mata angin. Di depan Aruna saat ini terdapat satu-satunya Gudang yang dikelilingi oleh semak belukar. Berada di tempat ini saat malam hari pasti akan terasa menyeramkan. Bahkan saat kondisi matahari tengah terik, tempat ini terlihat tampak suram. Hal i

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    48. Mulai Eksekusi (2)

    Rahang Aruna mengetat, dan gigi gerahamnya bergemeretak menahan amarah. Dengan langkah pelan, dia lantas mengikis jarak antara dirinya dan juga Bimo. Dia kemudian menunduk agar garis mata mereka berada dalam satu bidang yang sejajar. “Kamu kenapa tertawa?” tanya Aruna di depan wajah Bimo. “Apakah ada yang lucu?” “Aku menertawakan kamu.” “Kenapa kamu menertawakan aku?” tanya Aruna. “Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” Aruna mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Menyenangkan!” jawabnya. “Dengan uang, aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Termasuk juga menghabisimu!” “Kamu mau menghabisiku?” Aruna tidak ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Benar. Aku sudah muak terus dimanfaatkan oleh pria sepertimu. Dan hanya kematianlah yang bisa membuat hal itu terjadi. Apa kamu sudah siap?” Setelah mengatakan hal ini, Aruna dapa

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    1. Ditawari Pernikahan

    "Aruna Anastasia, cepat keluar kamu!""Jangan berani-beraninya sembunyi dariku!"Aruna Anastasia yang disebutkan oleh pria itu tengah bersembunyi di balik pilar besar yang ada di lobi perusahaan Widjaja Group tempatnya bekerja. Wanita yang akrab disapa Aruna itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat sambil merutuki kebodohan diri sendiri. Bagaimana bisa dia melupakan kalau ayah tirinya yang belangsak itu mengetahui dengan baik tempat kerjanya?"Kamu tunggu saja, Aruna. Aku pasti akan menemukanmu. Sekalipun kamu bersembunyi di lubang cacing, aku pasti akan menemukanmu!" teriak Bimo –nama pria itu. "Permisi, Pak. Dilarang membuat keributan di tempat ini. Silakan keluar!"Dari persembunyiannya, Aruna dapat melihat seorang satpam tengah berusaha untuk mengusir Bimo agar tidak terus berbuat rusuh di lobi kantor."Lepaskan aku. Aku mencari Aruna. Kamu jangan berani-beraninya menyembunyikan wanita tidak tahu diuntung itu dariku!" seru Bimo seraya menepis dengan kasar tangan satpam yang hendak

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    2. Perjanjian Pernikahan Kontrak

    Perjanjian Pernikahan Kontrak1. Dilarang mencampuri urusan satu sama lain.2. Dilarang jatuh cinta.3. Bercerai setelah satu tahun menikah.Mata Aruna seketika mengerjap beberapa kali setelah membaca setiap kata yang tertulis di atas kertas HVS itu. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Bukankah seharusnya dia dipecat karena kelakuan ayah tirinya yang berbuat onar kemarin? Tetapi kenapa dia malah ditawarkan pernikahan? Belum lagi dengan ajaibnya orang yang menawarkan pernikahan padanya adalah orang yang sudah cukup lama Aruna kagumi. Sayangnya, berapa kali pun Aruna mengajak kepalanya untuk berpikir, dia tetap tidak menemukan jawaban yang paling mungkin. Alhasil dia dengan takut-takut mengangkat kepala untuk menanyakan langsung maksud dari semua ini."Maaf, Pak. Tapi apa maksud dari semua ini ya?" tanya Aruna dengan hati-hati."Kamu tidak perlu tahu. Dan jangan banyak tanya. Tanda tangani saja surat perjanjian itu!" tukas Ganindra." ... "Nada sengit yang

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    3. Persyaratan Tambahan

    Aruna berjalan dengan linglung menuju pantry yang berada di lantai dasar sekembalinya dia dari ruangan Ganindra. Di sana sahabatnya yang bernama Amara Windania itu sudah menunggu sambil berjalan mondar-mandir tampak senewen."Run, gimana? Apa yang terjadi? Kenapa kamu dipanggil ke ruangan Pak Ganindra? Kamu nggak dipecat gara-gara kejadian kemarin 'kan?" Amara memberondong Aruna dengan berbagai pertanyaan begitu melihat kemunculannya.Saat Aruna dipanggil oleh Ganindra ke ruangannya, kebetulan Amara tengah bertugas membersihkan toilet yang ada di lantai empat. Dia tidak melihat langsung apa yang terjadi pada Aruna. Hanya selentingan gosip yang dia dengar dari orang-orang. "Aku diajak nikah sama Pak Ganindra," jawab Aruna sekenanya."Hah?!""Aku serius."Walaupun kata serius meluncur dari bibir Aruna, tapi cara menjawabnya yang setengah menerawang jauh membuat Amara tidak mudah percaya. Dia lantas menempelkan punggung tangannya ke dahi Aruna."Tidak panas kok," ucapnya yang seketika m

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    4. Ternyata Karena Wasiat

    Keesokan harinya, Aruna kembali ke ruangan Ganindra untuk menandatangani perjanjian pernikahan kontrak yang telah mereka bicarakan sebelumnya. Namun, berbeda dengan kemarin, kali ini di dalam ruangan Ganindra ada orang lain selain mereka berdua."Aruna, perkenalkan. Ini adalah Pak Bambang Wijatmiko. Dia adalah pengacara saya," beritahu Ganindra."Halo, Pak. Saya Aruna," pungkas Aruna seraya menyodorkan tangannya ke hadapan pria paruh baya bertubuh tambun yang katanya bernama Pak Bambang Wijatmiko ini."Bambang Wijatmiko," ucap Pak Bambang seraya membalas jabatan tangan Aruna.Setelah melakukan perkenalan singkat dengan Pak Bambang, Ganindra kembali menyodorkan sebuah map hitam ke hadapan Aruna. "Itu adalah perjanjian yang sudah diperbaharui. Kamu bisa membacanya dulu," ujar Ganindra. Setelah mengatakan hal ini, Ganindra tidak ikut duduk di sofa panjang yang berada di tengah ruangan bersama mereka. Pria itu justru berjalan ke arah kaca besar yang menampakkan bangunan-bangunan tinggi

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    5. Merasa Ditipu

    Aruna duduk bengong untuk waktu yang lama di dalam ruangan Ganindra. Dia bahkan tidak menyadari kalau Pak Bambang sudah tidak ada lagi bersama mereka."Sampai kapan kamu mau terus duduk di situ?" teguran Ganindra menyadarkan Aruna dari lamunan panjangnya.Dengan lamat-lamat, dia kemudian menatap ke arah Ganindra yang sudah entah kapan duduk kembali di balik meja kerjanya. Hanya dengan melihat wajah tampan pria itu, mampu membuat Aruna jatuh hati berkali-kali. Ganindra ini orangnya memang tampan sekali. Mungkin dia adalah pria paling tampan yang pernah Aruna temui. Ganindra memiliki rahang yang tegas, hidungnya mancung, dan sorot matanya tajam. Di antara semua itu, Ganindra juga memiliki punggung yang lebar dan dada bidang yang terlihat nyaman untuk dijadikan sebagai tempat untuk bersandar. Sayang sekali, belum menjadi giliran Aruna untuk menikmati hal-hal ini. Bahkan meski nantinya status antara dia dan Ganindra berubah menjadi hubungan suami istri, tapi ada poin yang mengatakan bah

Bab terbaru

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    48. Mulai Eksekusi (2)

    Rahang Aruna mengetat, dan gigi gerahamnya bergemeretak menahan amarah. Dengan langkah pelan, dia lantas mengikis jarak antara dirinya dan juga Bimo. Dia kemudian menunduk agar garis mata mereka berada dalam satu bidang yang sejajar. “Kamu kenapa tertawa?” tanya Aruna di depan wajah Bimo. “Apakah ada yang lucu?” “Aku menertawakan kamu.” “Kenapa kamu menertawakan aku?” tanya Aruna. “Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” Aruna mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Menyenangkan!” jawabnya. “Dengan uang, aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Termasuk juga menghabisimu!” “Kamu mau menghabisiku?” Aruna tidak ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Benar. Aku sudah muak terus dimanfaatkan oleh pria sepertimu. Dan hanya kematianlah yang bisa membuat hal itu terjadi. Apa kamu sudah siap?” Setelah mengatakan hal ini, Aruna dapa

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    47. Mulai Eksekusi

    Keesokan harinya, Ganindra membawa Aruna menuju sebuah gudang kosong yang letaknya berada di pinggiran kota. Lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan juga jalan besar. Melihat jalan raya yang semakin sunyi, Aruna tidak bisa berhenti membuat praduga terkait kehidupan orang kaya. Melihat Ganindra dengan mudahnya melakukan hal semacam ini, itu artinya orang kaya lain juga pasti bisa melakukan hal serupa. “Sudah sampai, ayo turun!” ajak Ganindra. Tegurannya membuat Aruna segera tersadar dari lamunan panjangnya. “Oh, sudah sampai?” tanyanya. “Iya,” jawab Ganindra. Turun dari mobil Ganindra, Aruna mengedarkan tatapan matanya ke segala penjuru mata angin. Di depan Aruna saat ini terdapat satu-satunya Gudang yang dikelilingi oleh semak belukar. Berada di tempat ini saat malam hari pasti akan terasa menyeramkan. Bahkan saat kondisi matahari tengah terik, tempat ini terlihat tampak suram. Hal i

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    46. Rencana Mengeksekusi Bimo

    Sesuai dengan apa yang dia rencanakan kemari, hari ini Aruna membantu ibunya mengurus gugatan cerai untuk Bimo di pengadilan agama. Setelah itu, dia membantu Amara mencari sepeda motor yang dia tinggalkan di jalan kemarin. Setiap rumah dan warung yang ada di pinggir jalan itu mereka tanyai, tapi jawaban yang mereka terima tetap nihil. Tidak ada orang yang mengetahui siapa yang mengangmbil sepeda motor itu. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari deh. Tapi karena motor itu beneran hilang, jadinya kita beli yang baru aja buat Amara,” tukas Aruna pada ibunya. “Ya udah. Ayo pergi beli,” timpal Belinda. “Tapi nanti dulu deh, Bu. Aku nggak punya pengalaman beli-beli begini. Gimana kalau kita minta tolong sama Mbak Eka dan Mas Dandi?” “Oke,” jawab Belinda mengangguk setuju. Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Aruna segera men

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    45. Aku Mau Dia Lumpuh Seumur Hidup

    “Loh, kalian disitu?” sapa Belinda dengan nada sedikit keheranan saat melihat Aruna dan Amara bukannya masuk ke rumah dulu, tapi malah asyik mengobrol di depan sasana tinju. Belum lagi tampang mereka yang kumal tidak seperti biasanya membuat lebih curiga. “Bu,” “Tante,” Aruna dan Amara menyapa Belinda dengan serentak. “Kalian kenapa? Kok tampang kalian kumel begitu?” tanya Belinda seraya berjalan mendekat. “Ceritanya panjang. Nanti aja kita certain di rumah,” jawab Aruna seraya bangkit dari posisi terduduknya di atas lantai semen. Tindakannya pun diikuti oleh Amara. “Mbak Eka, kami pulang dulu. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya,” ucap Aruna sambal menggoyangkan botol air yang sudah tandas isinya. “Sama-sama. Berarti untuk hari ini kalian nggak berlatih?” tanya Mbak Eka, “Besok ajalah, Mbak,” jawab Aruna sembari mering

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    44. Nama Pemuda itu Alvin

    “Hiyaaaa!” Teriakan Aruna bergema di langit sore yang mulai terlihat kelabu. Dengan sekuat tenaga dia lalu mengayunkan tangannya yang memegang balok kayu dan menghantamkannya dengan keras pada selangkangan pria yang hendak ingin membekuknya. Amara pun melakukan hal yang serupa. Jerita seperti babi kemudian terdengar saling bersahut-sahutan dengan dramatis. “Kerja bagus, Mbak. Sekarang ayo lari!” seru pemuda itu. Baru beberapa saat dirinya berlatih tinju, tapi refleks Aruna dan Amara sudah mulai menunjukkan hasil walau samar. Setidaknya dalam kondisi darurat seperti saat ini mereka tidak hanya bisa bengong seperti orang bodoh. Sebelum rasa sakit yang melanda orang-orang itu mulai mereda, Aruna dan Amara sudah melarikan diri bersama pemuda yang belum mereka ketahui namanya itu hingga ke tempat yang aman. “Terima kasih, sudah membantu kami bebas dari orang-orang

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    43. Diselamatkan Pemuda Tak Dikenal

    “Cih, dasar ayam. Beraninya Cuma sama perempuan saja. Sudah gitu pakai keroyokan lagi!” cibir salah seorang pemuda pada Bimo dan antek-anteknya. Aruna dan Amara lantas dengan kompak menatap ea rah pemuda tampan yang baru saja berbicara untuk mereka. “Heh, bocah. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan orang dewasa!” seru Bimo dengan galak. Matanya melotot lebar. Tetapi bukannya merasa gentar, pria muda itu justru membalas tatapan Bimo dengan sorot mata menantang. “Apa kamu?” seru pria itu. “Sialan!” Bimo berseru dengan kesal. Ayah tiri Aruna itu lalu melangkah menghampiri pemuda itu. Tangannya terangkat tinggi berniat untuk melayangkan pukulan pada pemuda tak dikenal itu agar menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut campur dalam urusannya. Namun, pria itu dengan sigap menangkis tangan Bimo. “Berani-beraninya kamu

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    42. Dicegat Bimo

    “Yah, mulai besok aku nggak bakal punya teman makan siang lagi,” celetuk Amara dikala mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja. Aruna pun lantas mendengus pelan. “Cih, habisnya kamu sih. Kenapa juga nggak mau langsung ikut aku aja buat resign terus kita buka bisnis bareng.” “Tsk,” Amara mendecakkan lidahnya dengan keras. “Sudahlah tidak usah dipikirkan. Palingan juga rasa mellow ini cuma akan bertahan selama beberapa hari,” tukas Amara untuk mengusir kesenduan yang berputar di antara mereka. “ … “ Aruna tidak menanggapi. Mereka sudah membicarakan soal ini beberapa waktu lalu. Tidak ada gunanya untuk terus ngotot meminta Amara selalu mengikuti jejaknya. Sahabatnya ini jelas memiliki pendapar sendiri. Dia hanya perlu menghormatinya. “Rencama kamu apa setelah ini?” tanya Amara mengalihkan topik pembicaraan. “Em, belajar nyetir deh aku rasa,” jawab Aruna s

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    41. Dijadikan Bahan Taruhan (2)

    "Pernahkah kamu jatuh hati padaku?" Pertanyaan dari Ganindra ini membuat Aruna terpana dalam waktu yang cukup lama. Dia bahkan bernafas sepelan mungkin agar tidak menggangu momen semi panas di antara mereka. "Menurut kamu sendiri, gimana?" Aruna bertanya balik sembari memainkan alisnya. "Menurutku sih, iya. Tapi aku tidak yakin," bisik Ganindra. Aruna tersenyum tipis. "Rasa sukaku tergantung bagaimana kamu memperlakukanku. Aku akan sangat menyukaimu jika kamu bisa memperlakukan dengan manis. Dan percaya atau tidak, aku juga bisa dengan mudah menepis rasa suka itu jika kamu tidak bisa bersikap lembut padaku," pungkas Aruna dengan percaya diri. Ganindra mendengus sanksi. "Tidak mungkin. Rasa yang telah terlanjur hadir di dalam hati itu tidak mungkin bisa dikontrol dengan mudah." "Akan selalu ada pengecualian di dunia ini," ucap Aruna. Ganindra perlahan menarik kembali tubuhnya unt

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    40. Dijadikan Bahan Taruhan

    Haaahhh~ Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Ganindra menghela nafas panjang. Dia mendengar apa saja yang dibicarakan oleh Kanina dan juga Aruna di luar sana. Tetapi jika dia ingin menyela kesepakatan yang dibuat oleh kedua wanita itu terkait dengan dirinya, Ganindra tidak mau dihadapkan pada situasi yang lebih rumit daripada ini. Lebih dari siapapun, dia sangat mengenal perangai Kanina yang tidak pernah mau kalah dengan orang lain. Tok tok tok, "Ndra, aku mau ngomong sebentar aja. Kamu bisa keluar, nggak?" suara Kanina terdengar dari balik pintu kamar. Namun, Ganindra meremas jemari tangannya dengan kuat untuk menahan diri agar tidak membuka pintu kamar itu. Dia tidak ingin pertahanannya runtuh karena bertatap muka dengan Kanina. Setelah momen dirinya hampir tenggelam malam itu, Ganindra mulai memikirkan setiap kata-kata yang dilontarkan oleh Aruna. Jika wanita yang tidak sepadan dengan dirinya itu

DMCA.com Protection Status