Keesokan harinya, Aruna kembali ke ruangan Ganindra untuk menandatangani perjanjian pernikahan kontrak yang telah mereka bicarakan sebelumnya. Namun, berbeda dengan kemarin, kali ini di dalam ruangan Ganindra ada orang lain selain mereka berdua.
"Aruna, perkenalkan. Ini adalah Pak Bambang Wijatmiko. Dia adalah pengacara saya," beritahu Ganindra. "Halo, Pak. Saya Aruna," pungkas Aruna seraya menyodorkan tangannya ke hadapan pria paruh baya bertubuh tambun yang katanya bernama Pak Bambang Wijatmiko ini. "Bambang Wijatmiko," ucap Pak Bambang seraya membalas jabatan tangan Aruna. Setelah melakukan perkenalan singkat dengan Pak Bambang, Ganindra kembali menyodorkan sebuah map hitam ke hadapan Aruna. "Itu adalah perjanjian yang sudah diperbaharui. Kamu bisa membacanya dulu," ujar Ganindra. Setelah mengatakan hal ini, Ganindra tidak ikut duduk di sofa panjang yang berada di tengah ruangan bersama mereka. Pria itu justru berjalan ke arah kaca besar yang menampakkan bangunan-bangunan tinggi di seberang. Sambil tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana dan tangan kanannya memegang cerutu. Dari tempat Aruna duduk, dia hanya bisa melihat punggung lebar Ganindra yang tampak nyaman untuk dijadikan sebagai tempat bersandar. 'Aruna bodoh, sekarang bukan waktunya untuk mengagumi pria itu!' maki Aruna dalam hati. Dia lalu menundukkan kepala untuk menatap map hitam yang ada di hadapannya. Kalimat yang sama masih menjadi judul besar yang tertulis paling depan. Perjanjian Pernikahan Kontrak 1. Dilarang mencampuri urusan satu sama lain. 2. Dilarang jatuh cinta. 3. Bercerai setelah satu tahun menikah. 4. Pernikahan ini tidak boleh diketahui orang lain selain keluarga dan pengacara kedua belah pihak. 5. Ganindra Karta Widjaja akan memberikan nafkah sebanyak 100 juta setiap bulan kepada Aruna Anastasia. 6. Ganindra Karta Widjaja akan membantu Aruna Anastasia untuk menyingkirkan preman yang mengganggunya. Aruna membaca setiap poin perjanjian ini berulang kali hingga dia tidak menemukan ada keanehan di dalamnya. Setelah merasa mantap, barulah Aruna membubuhkan tanda tangannya di atas materai. "Baiklah. Karena Anda sudah menandatangani surat perjanjian ini, maka sekarang saya akan memberitahukan alasan kenapa Pak Ganindra ingin menikah dengan Anda. Dan saya juga yakin, Anda pasti penasaran dengan alasannya 'kan?" tukas Pak Bambang. Aruna yang tidak menduga akan hal ini sebelumnya pun mengangguk gamang sebagai jawaban. Tadinya Aruna berpikir bahwa akan membutuhkan waktu lama baginya untuk menguak tabir misteri soal pernikahan ini. Siapa yang tahu akan menjadi secepat ini? "Jadi begini, sebelum Pak Gumelar Adi Widjaja meninggal dunia, beliau secara khusus menulis surat wasiat untuk Anda. Pertama-tama nama Anda adalah Aruna Anastasia yang juga merupakan putri dari Ibu Belinda Wirawan, benar?" tanya Pak Bambang memastikan. Aruna masih menganggukkan kepala dengan kaku seperti robot karena orang ini bahkan mengetahui nama lengkap ibunya. "Benar," jawab Aruna. "Di dalam surat wasiatnya, Pak Gumelar mengatakan bahwa jika dalam waktu satu tahun setelah meninggalnya beliau, sang putra Ganindra Karta Widjaja tidak kunjung menikahi Aruna Anastasia, maka setengah dari harta warisan keluarga Widjaja akan secara otomatis jatuh ke tangan Aruna Anastasia, selaku putri dari Ibu Belinda Hermawan. Dan jika Aruna Anastasia menolak untuk menikah dengan Ganindra Karta Widjaja, maka setengah dari harta warisan keluarga Widjaja juga akan secara otomatis jatuh ke tangan Aruna Anastasia. Tapi jika Aruna Anastasia bersedia menikah dengan Ganindra Karta Widjaja, maka harta warisan keluarga Widjaja akan jatuh sepenuhnya ke tangan Ganindra. Tentu saja pernikahan antara Aruna Anastasia dan Ganindra Karta Widjaja harus sah secara agama maupun negara," ungkap Pak Bambang. Sepanjang Pak Bambang membeberkan isi surat wasiat yang dimaksudkan, Aruna sama sekali tidak melakukan interupsi. Hanya saja nafasnya tercekat dan bibirnya terus terbuka lebar. Matanya juga beberapa kali mengerjap dengan penuh ketidakpercayaan. Begitu Pak Bambang selesai menyampaikan informasinya, Aruna otomatis menatap penuh arti ke arah punggung Ganindra yang sedang berdiri membelakanginya. Pantas saja Ganindra menolak memberitahukan alasan pernikahan ini padanya. Ternyata karena pria ini takut kalau setengah dari harta warisan keluarga Widjaja akan jatuh ke tangannya. Betapapun sukanya Aruna pada Ganindra, dia hanya bisa mendecih agak sinis saat ini. "Tidak hanya itu saja, Pak Gumelar Widjaja juga berpesan untuk menyerahkan kembali sebuah rumah di kawasan X dan sebuah hotel bernama The Oasis untuk kalian. Rumah dan hotel itu dulunya adalah milik keluarga Hermawan. Kemudian ada juga sejumlah tabungan yang merupakan hasil dari pengelolaan hotel The Oasis selama puluhan tahun ini. Pak Gumelar mengatakan bahwa beliau sangat menyesal karena tidak bisa membantu banyak. Beliau juga sangat menyesal karena baru menemukan kalian saat dirinya dilanda sakit keras dan umurnya sudah tidak lama lagi," pungkas Pak Bambang menambahkan. " ... " Lidah Aruna semakin kelu. Dia tidak bisa mengatakan apapun untuk menimpali rentetan kalimat panjang yang disampaikan Pak Bambang karena dirinya terlalu syok. Aruna masih tidak mempercayai apa yang baru saja didengar. Dan butuh banyak waktu baginya untuk mencerna informasi mengejutkan ini. Terutama tentang Pak Gumelar serta hubungan apa yang dimiliki dengan sang ibu. "Jadi begitu ... " Hanya itu kata yang mampu Aruna keluarkan setelah waktu yang cukup lama. "Begitulah," balas Pak Bambang sambil terus menyunggingkan senyum bisnis. Jika begini ceritanya, entah kenapa Aruna merasa dirinya baru saja ditipu oleh Ganindra. "Tapi Pak Bambang, kalau saya boleh tahu, ada hubungan apa antara ibu saya dengan Pak Gumelar?" tanya Aruna mengemukakan pertanyaan yang mengganggunya ini. Akan tetapi, bukannya memberikan jawaban yang gamblang, Pak Bambang justru hanya tersenyum tipis seraya berkata. "Mungkin nanti Anda bisa menanyakan langsung soal ini pada Ibu Belinda Hermawan saja." "Ah~" Aruna berdengung agak kecewa. "Untuk sertifikat kepemilikan rumah, hotel The Oasis dan juga tabungan, nanti baru akan diserahkan kepada Anda begitu Anda sudah sah menjadi istri Ganindra," Aruna pun menganggukkan kepalanya asal-asalan. Hanya dalam satu kedipan mata, dia diberitahu bahwa sebenarnya dia bukan orang miskin? Hanya saja kekayaannya dititipkan pada orang lain? * * *Aruna duduk bengong untuk waktu yang lama di dalam ruangan Ganindra. Dia bahkan tidak menyadari kalau Pak Bambang sudah tidak ada lagi bersama mereka."Sampai kapan kamu mau terus duduk di situ?" teguran Ganindra menyadarkan Aruna dari lamunan panjangnya.Dengan lamat-lamat, dia kemudian menatap ke arah Ganindra yang sudah entah kapan duduk kembali di balik meja kerjanya. Hanya dengan melihat wajah tampan pria itu, mampu membuat Aruna jatuh hati berkali-kali. Ganindra ini orangnya memang tampan sekali. Mungkin dia adalah pria paling tampan yang pernah Aruna temui. Ganindra memiliki rahang yang tegas, hidungnya mancung, dan sorot matanya tajam. Di antara semua itu, Ganindra juga memiliki punggung yang lebar dan dada bidang yang terlihat nyaman untuk dijadikan sebagai tempat untuk bersandar. Sayang sekali, belum menjadi giliran Aruna untuk menikmati hal-hal ini. Bahkan meski nantinya status antara dia dan Ganindra berubah menjadi hubungan suami istri, tapi ada poin yang mengatakan bah
Aruna terkekeh ringan saat melihat ekspresi keterkejutan di wajah Amara. Terutama dengan mata melotot yang hampir keluar dari rongganya itu."Aku yakin kamu pasti tidak percaya kalau aku bisa, 'kan? Kamu tunggu saja, Ra. Aku akan membuktikannya padamu," ujar Aruna penuh dengan senyum percaya diri.Amara lantas menggulung matanya dengan terang-terangan. "Lalu bagaimana dengan Tante Belinda? Apa dia sudah tahu soal keputusan yang kamu buat ini?" Sambil bibirnya dimajukan dua senti, Aruna menggelengkan kepala pelan. "Ibu belum tahu soal ini," jawabnya.Amara pun mendecakkan lidah dengan keras. "Terus gimana? Tante Belinda pasti syok berat kalau tahu anaknya yang semula jomblo ini tiba-tiba bilang mau nikah sama anak konglomerat,"Aruna lalu menghela nafas panjang. "Syok sih pasti. Tapi mau bagaimana lagi? Tawaran pernikahan yang aku terima ini juga gara-gara ibu sih," pungkas Aruna."Hah? Kenapa begitu?""Sebenarnya aku ju
Apa kamu bilang?!" Aruna kembali mengangkat bahunya dengan pelan sebagai tanggapan atas teriakan ibunya itu. Tak lama kemudian, terjadi jeda di antara mereka. Belinda menatap sepasang netra Aruna dengan tatapan tidak percaya. Sementara itu, Aruna menatap mata ibunya dengan sorot santai. Mereka sama-sama tengah mencari kebenaran dari mata masing-masing. "Tante, ada apa? Kenapa teriak?" tanya Amara yang bergegas keluar dari kamarnya. Aktivitas saling tatap dari sepasang ibu dan anak itu otomatis terputus karena kehadiran Amara. "Ah, bukan apa-apa," jawab Belinda sembari mengibaskan tangannya di depan wajah. "Ayo makan malam dulu, mumpung semuanya masih hangat," tukas Belinda. Dia lalu mengambil tempat duduk di kursi yang ada di samping Aruna. Amara yang ragu hanya bisa menatap bolak-balik ke arah Aruna dan ibunya. Tapi karena melihat sikap mereka yang santai seolah memang tidak terjadi apa-apa, Amara akhirnya h
"Run, ayolah. Tidak ada gunanya berhubungan dengan orang-orang itu. Berurusan dengan mereka cuma akan mendatangkan petaka bagi kita," tukas Belinda memohon pada putrinya.Tanpa menoleh ke arah sang ibu, Aruna berkata. "Sama aja. Mau berurusan dengan mereka atau tidak, hidup kita sudah terjebak dalam petaka. Dan itu semua gara-gara ibu!""Run~"Dengan kesal Aruna memutar tubuh menghadap kepada ibunya. "Aku belum cerita sama ibu kalau si Bimo datang ke perusahaan tempatku bekerja dan membuat onar di sana 'kan?""Apa?!""Bu, setidaknya kalau kita punya uang, beberapa masalah yang kita hadapi akan bisa diselesaikan dengan lebih mudah!" seru Aruna."Tapi, Run. Kamu nggak tahu seberapa berbahayanya berurusan dengan orang-orang di kalangan mereka!" tukas Belinda dengan nada yang hampir terdengar frustrasi."Ya makanya jelaskan padaku seberbahaya apa?!" sambar Aruna dengan tidak sabar." ... "Namun, Belinda te
"Sekarang karena kamu sudah tahu semuanya, tidak bisakah kamu menjauh saja dari mereka?" tanya Belinda masih dengan nada penuh permohonan seperti tadi.Namun, Aruna menggelengkan kepala dengan tegas. "Aku sudah menandatangani perjanjian dengan Ganindra. Seandainya pun belum, aku tetap menginginkan kekayaan keluarga Hermawan yang disebutkan Pak Gumelar dalam wasiatnya," tukas Aruna."Run~""Bu, aku mengerti kalau mereka pasti sudah membuat ibu trauma. Tapi aku hanya menikah dengan Ganindra, bukan mau menabuh genderang perang sama mereka," ucap Aruna." ... "Belinda langsung terdiam. Putrinya ini memang paling tahu bagaimana cara membungkam dirinya. "Dasar keras kepala!" seru Belinda seraya menjentikkan jarinya pada kening Aruna."Hehehe,""Tapi kamu harus ingat baik-baik. Setelah menikah dengan Ganindra, kamu harus bersikap rendah hati. Jangan mencari masalah dengan siapapun," ujar Belinda mengingatkan.
Di sebuah club malam bernama Moonlight, suara musik yang memekakkan telinga mengalun tanpa henti memenuhi ruangan itu. Tubuh yang bergoyang kesana-kemari dapat dilihat dimana-mana. Segala postur menggoda juga disuguhkan untuk memikat target."Sialan. Tempat ini sudah tidak eksklusif lagi. Siapa saja sudah bisa masuk ke tempat ini. Bahkan yang tidak berduit pun bisa ditemukan dimana-mana," Seorang pria tampan yang sedang duduk di pojok ruangan menatap bagian tengah ruangan tempat dance floor berada. Tempat yang sedang dipadati oleh manusia itu menguarkan aroma-aroma yang cukup mengganggu hidungnya."Makanya segera resmikan klub malam milikmu sendiri agar kita tidak perlu datang ke tempat ini lagi," tukas temannya."Tsk. Kita masih harus bersabar hingga tiga bulan kedepan!" Di meja ini ada sekitar delapan orang yang duduk melingkar. Empat di antaranya adalah laki-laki, dan empat lainnya adalah perempuan. Pria yang baru saja melo
"Run, kamu disuruh segera ke ruangan Pak Ganindra," beritahu salah seorang rekan kerja kepada Aruna.Aruna yang baru saja membersihkan toilet di lantai pertama itu pun menatap rekan kerjanya yang bernama Heru dengan alis terangkat tinggi. Dia tidak tahu untuk apa lagi Ganindra mencarinya?"Oke. Terima kasih, Her!" ucap Aruna seraya hendak langsung beranjak pergi.Akan tetapi langkahnya tertahan oleh pertanyaan yang diajukan Heru. "Run, kamu ada hubungan apa sih sama Pak Ganindra? Kok kayaknya belakang ini kamu sering banget dipanggil ke ruangannya?" Dengan senyum setipis tisu dibagi lima, Aruna memberikan jawaban standar. "Bukan apa-apa kok.""Masa sih?" timpal Heru tampak sanksi.Aruna menolak menjawab dengan kata-kata. Dia hanya menyunggingkan senyum tipis yang justru membuat orang semakin penasaran meski dia tidak ada maksud untuk itu.Dan sebelum Heru semakin banyak bertanya, Aruna buru-buru meninggalkan pria yang s
"Ngomong-ngomong, Ra. Siapa saja boleh masuk ke sasana tinju yang ada di depan rumah kamu itu, nggak?" tanya Aruna mengalihkan topik pembicaraan dari segala hal tentang Ganindra."Boleh aja sih. Emang kenapa?" "Aku mau belajar tinju. Kira-kira di sana bakal ada yang ngajarin, nggak? Atau di sana tuh cuma tempat orang main-main aja?""Kurang tahu juga. Kenapa kamu tiba-tiba mau belajar tinju?" tanya Amara dengan penasaran. "Biar bisa membela diri, melindungi diri dan memberika kesempatan pada diri untuk melarikan kalau kebetulan dalam kondisi terdesak," jawab Aruna sekenanya.Amara pun menganggukkan kepala mengerti tanpa banyak tanya lagi. Dia masih ingat kondisi hubungan Aruna dengan ayah tirinya yang tidak harmonis. Dan memang perlu bagi sahabatnya ini untuk bisa melindungi diri sendiri."Aku kurang tahu sih apakah ada orang yang akan melatih di sana atau tidak, tapi aku kenal istri yang punya sasana tinju itu. Coba nanti aku