Apa kamu bilang?!"
Aruna kembali mengangkat bahunya dengan pelan sebagai tanggapan atas teriakan ibunya itu. Tak lama kemudian, terjadi jeda di antara mereka. Belinda menatap sepasang netra Aruna dengan tatapan tidak percaya. Sementara itu, Aruna menatap mata ibunya dengan sorot santai. Mereka sama-sama tengah mencari kebenaran dari mata masing-masing. "Tante, ada apa? Kenapa teriak?" tanya Amara yang bergegas keluar dari kamarnya. Aktivitas saling tatap dari sepasang ibu dan anak itu otomatis terputus karena kehadiran Amara. "Ah, bukan apa-apa," jawab Belinda sembari mengibaskan tangannya di depan wajah. "Ayo makan malam dulu, mumpung semuanya masih hangat," tukas Belinda. Dia lalu mengambil tempat duduk di kursi yang ada di samping Aruna. Amara yang ragu hanya bisa menatap bolak-balik ke arah Aruna dan ibunya. Tapi karena melihat sikap mereka yang santai seolah memang tidak terjadi apa-apa, Amara akhirnya hanya mengangkat bahu pelan kemudian mengambil tempat duduk di kursi seberang Aruna. Bertiga mereka menyantap makan malam sederhana itu dalam kondisi yang harmonis sambil sesekali mengobrol. Mereka terus mengobrolkan segala macam hal hingga waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Dikarenakan mereka masih harus bekerja besok, Amara dan Aruna memutuskan untuk tidur lebih awal. Di rumah Amara ini, hanya ada dua kamar. Kamar Amara dan juga kamar mendiang orang tuanya yang kini ditempati oleh Aruna bersama ibunya. "Ayo, Bu. Sekarang jujur aja sama aku. Apa hubungan yang ibu miliki dengan Pak Gumelar Widjaja itu?" tanya Aruna dengan nada sedikit mendesak begitu mereka berbaring di atas ranjang yang sempit. " ... " Belinda terdiam. Dia seperti menolak untuk menjawab pertanyaan ini. Dan Aruna pun tidak memaksa. Meski begitu, dia tidak akan menyerah untuk mencari tahu. Tanpa memperdulikan apakah ibunya mendengar atau tidak, Aruna melanjutkan upayanya dengan berkata. "Tidak ada asap kalau tidak ada api. Pak Gumelar Widjaja tidak mungkin menulis surat wasiat sedemikian rupa untukku kalau bukan karena ibu. Jadi tolong beritahu aku, Bu. Pak Gumelar Widjaja ini bukan ayah kandungku, 'kan?" tanya Aruna sembari menyipitkan matanya curiga. Berkat pertanyaan ini, Belinda langsung melemparkan delikan sinis pada Aruna. "Sembarangan aja kamu kalau ngomong. Lagian kamu bodoh banget sih, kalau Pak Gumelar itu ayah kandung kamu, dia nggak mungkin mau menikahkan kamu dengan anaknya dong!" seru Belinda dengan sewot. "Ya siapa tahu Ganindra bukan anak kandungnya!" sambar Aruna dengan cepat. " ... " Belinda seketika diam. Matanya mengerjap beberapa kali. Ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh putrinya ini. "Pokoknya Gumelar Widjaja bukan ayah kandungmu!" seloroh Belinda setelah beberapa waktu lamanya. Aruna lantas mendecakkan lidahnya dengan keRa. "Selagi kita membicarakan masalah ini, ayo ceritakan juga soal siapa ayah kandungku yang sebenarnya," pinta Aruna. " ... " Belinda semakin bungkam. Dia bahkan membalik tubuhnya dengan punggung membelakangi Aruna. Gelagatnya menunjukkan penolakan yang keRa. "Ayolah, Bu. Sekarang ini usiaku sudah 30 tahun. Tidakkah menurut ibu sudah waktunya aku tahu semua hal tentang ayah kandungku?" tukas Aruna dengan nada yang terdengar sedikit memelas. Setelah mendengarkan ucapannya, Aruna bisa merasakan nafas ibunya yang sedikit agak tertahan. Aruna tahu bahwa pertanyaan ini pasti mulai mempengaruhi ibunya hingga batas tertentu. "Aku sudah hidup selama 30 tahun tanpa mengetahui siapa ayah kandungku. Dan sebenarnya aku juga tidak mau peduli tentang orang itu. Apalagi di usia yang sekarang ini. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi. Jadi apa sih yang masih ibu takutkan sampai tidak bisa memberitahu soal dia?" keluh Aruna. " ... " "Ah, benar. Dalam wasiat Pak Gumelar juga dikatakan bahwa dia menyerahkan kembali sebuah rumah yang terletak di kawasan X dan hotel The Oasis yang dulunya milik keluarga Hermawan. Serta ada juga tabungan yang telah dikumpulkan dari hasil mengelola hotel itu selama berpuluh tahun," beritahu Aruna. Belinda masih memilih untuk mengunci bibirnya rapat-rapat. Hanya nafasnya yang terdengar terkesiap saat Aruna memberitahunya hal ini. Melihat ibunya tetap diam, Aruna pun akhirnya menghela nafas pasrah. Mungkin ibunya memang ingin menyimpan ingatan soal ayah kandungnya itu hingga sampai ke liang lahat nanti. Atau mungkin ibunya memiliki trauma mendalam pada pria yang sudah menghamilinya itu? "Run, tidak bisakah kamu mengundurkan diri dari perusahaan itu, dan jangan berhubungan lagi dengan mereka?" tanya Belinda setelah waktu yang cukup lama. Namun, Aruna membalas dengan dengusan pelan. "Mengundurkan diri? Lalu kita mau makan dari mana? Ibu mau tinggal gratis di rumah Amara seumur hidup?" tanya Aruna dengan serius. "Ngomong-ngomong, aku juga lupa memberitahu ibu satu hal lagi. Kalau aku menikah dengan Ganindra, dia akan memberikan kita uang sejumlah 100 juta setiap bulan selama satu tahun. Dan aku juga bisa memiliki rumah, hotel dan tabungan yang ditinggalkan Pak Gumelar begitu sah menjadi istri Ganindra nanti," tukas Aruna. Belinda perlahan memutar tubuhnya menghadap Aruna. "Run~" panggilnya dengan nada sedikit merengek. Akan tetapi, kali ini giliran Aruna yang membelakangi ibunya. * * *"Run, ayolah. Tidak ada gunanya berhubungan dengan orang-orang itu. Berurusan dengan mereka cuma akan mendatangkan petaka bagi kita," tukas Belinda memohon pada putrinya.Tanpa menoleh ke arah sang ibu, Aruna berkata. "Sama aja. Mau berurusan dengan mereka atau tidak, hidup kita sudah terjebak dalam petaka. Dan itu semua gara-gara ibu!""Run~"Dengan kesal Aruna memutar tubuh menghadap kepada ibunya. "Aku belum cerita sama ibu kalau si Bimo datang ke perusahaan tempatku bekerja dan membuat onar di sana 'kan?""Apa?!""Bu, setidaknya kalau kita punya uang, beberapa masalah yang kita hadapi akan bisa diselesaikan dengan lebih mudah!" seru Aruna."Tapi, Run. Kamu nggak tahu seberapa berbahayanya berurusan dengan orang-orang di kalangan mereka!" tukas Belinda dengan nada yang hampir terdengar frustrasi."Ya makanya jelaskan padaku seberbahaya apa?!" sambar Aruna dengan tidak sabar." ... "Namun, Belinda te
"Sekarang karena kamu sudah tahu semuanya, tidak bisakah kamu menjauh saja dari mereka?" tanya Belinda masih dengan nada penuh permohonan seperti tadi.Namun, Aruna menggelengkan kepala dengan tegas. "Aku sudah menandatangani perjanjian dengan Ganindra. Seandainya pun belum, aku tetap menginginkan kekayaan keluarga Hermawan yang disebutkan Pak Gumelar dalam wasiatnya," tukas Aruna."Run~""Bu, aku mengerti kalau mereka pasti sudah membuat ibu trauma. Tapi aku hanya menikah dengan Ganindra, bukan mau menabuh genderang perang sama mereka," ucap Aruna." ... "Belinda langsung terdiam. Putrinya ini memang paling tahu bagaimana cara membungkam dirinya. "Dasar keras kepala!" seru Belinda seraya menjentikkan jarinya pada kening Aruna."Hehehe,""Tapi kamu harus ingat baik-baik. Setelah menikah dengan Ganindra, kamu harus bersikap rendah hati. Jangan mencari masalah dengan siapapun," ujar Belinda mengingatkan.
Di sebuah club malam bernama Moonlight, suara musik yang memekakkan telinga mengalun tanpa henti memenuhi ruangan itu. Tubuh yang bergoyang kesana-kemari dapat dilihat dimana-mana. Segala postur menggoda juga disuguhkan untuk memikat target."Sialan. Tempat ini sudah tidak eksklusif lagi. Siapa saja sudah bisa masuk ke tempat ini. Bahkan yang tidak berduit pun bisa ditemukan dimana-mana," Seorang pria tampan yang sedang duduk di pojok ruangan menatap bagian tengah ruangan tempat dance floor berada. Tempat yang sedang dipadati oleh manusia itu menguarkan aroma-aroma yang cukup mengganggu hidungnya."Makanya segera resmikan klub malam milikmu sendiri agar kita tidak perlu datang ke tempat ini lagi," tukas temannya."Tsk. Kita masih harus bersabar hingga tiga bulan kedepan!" Di meja ini ada sekitar delapan orang yang duduk melingkar. Empat di antaranya adalah laki-laki, dan empat lainnya adalah perempuan. Pria yang baru saja melo
"Run, kamu disuruh segera ke ruangan Pak Ganindra," beritahu salah seorang rekan kerja kepada Aruna.Aruna yang baru saja membersihkan toilet di lantai pertama itu pun menatap rekan kerjanya yang bernama Heru dengan alis terangkat tinggi. Dia tidak tahu untuk apa lagi Ganindra mencarinya?"Oke. Terima kasih, Her!" ucap Aruna seraya hendak langsung beranjak pergi.Akan tetapi langkahnya tertahan oleh pertanyaan yang diajukan Heru. "Run, kamu ada hubungan apa sih sama Pak Ganindra? Kok kayaknya belakang ini kamu sering banget dipanggil ke ruangannya?" Dengan senyum setipis tisu dibagi lima, Aruna memberikan jawaban standar. "Bukan apa-apa kok.""Masa sih?" timpal Heru tampak sanksi.Aruna menolak menjawab dengan kata-kata. Dia hanya menyunggingkan senyum tipis yang justru membuat orang semakin penasaran meski dia tidak ada maksud untuk itu.Dan sebelum Heru semakin banyak bertanya, Aruna buru-buru meninggalkan pria yang s
"Ngomong-ngomong, Ra. Siapa saja boleh masuk ke sasana tinju yang ada di depan rumah kamu itu, nggak?" tanya Aruna mengalihkan topik pembicaraan dari segala hal tentang Ganindra."Boleh aja sih. Emang kenapa?" "Aku mau belajar tinju. Kira-kira di sana bakal ada yang ngajarin, nggak? Atau di sana tuh cuma tempat orang main-main aja?""Kurang tahu juga. Kenapa kamu tiba-tiba mau belajar tinju?" tanya Amara dengan penasaran. "Biar bisa membela diri, melindungi diri dan memberika kesempatan pada diri untuk melarikan kalau kebetulan dalam kondisi terdesak," jawab Aruna sekenanya.Amara pun menganggukkan kepala mengerti tanpa banyak tanya lagi. Dia masih ingat kondisi hubungan Aruna dengan ayah tirinya yang tidak harmonis. Dan memang perlu bagi sahabatnya ini untuk bisa melindungi diri sendiri."Aku kurang tahu sih apakah ada orang yang akan melatih di sana atau tidak, tapi aku kenal istri yang punya sasana tinju itu. Coba nanti aku
Di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi perabotan-perabotan mewah dan mahal, terdengar suara alunan musik klasik yang keluar dari sebuah piringan hitam yang berputar pelan di atas gramophone. Seorang wanita cantik memejamkan matanya dengan ringan untuk menikmati alunan musik yang menenangkan itu. Ini adalah kebiasaan yang sudah dia lakukan sejak masa remaja ketika sedang menikmati teh sore. Semilir angin sejuk sore hari berhembus pelan melalui celah jendela yang memang sengaja dibiarkan terbuka. Aroma halus bunga melati yang sengaja ditanam di bawah jendela menerbangkan semerbak aroma kesukaannya. "Mam, sore!" sapa Kanina dengan nada sembarangan.Tanpa mengucap permisi, dia menghempaskan tubuhnya pada kursi yang ada di samping ibunya."Kalau kamu ke sini, minimal bawa Daniel juga dong. Jangan bawa diri sendiri aja," tegur wanita paruh baya yang menguarkan aura aristokrat kental dari tubuhnya itu."Daniel sibuk les," jawab Kanina dengan na
Setelah pertemuannya dengan Kanina siang tadi, Aruna jadi diliputi rasa penasaran menggebu mengenai keluarga Subiantoro. Tetapi karena keterbatasan dirinya, Aruna tidak bisa langsung mencari tahu secara mendalam. Dia hanya bisa menemukan informasi umum dari laman pencarian dunia itu.Dan melalui apa yang dia temukan, Aruna tahu bahwa pria bernama Bagas Subiantoro itu menikah dengan seorang wanita bernama Elizabeth Rozkov. Dari pernikahan mereka, dia dikaruniai dua anak. Satu anak perempuan yang sudah Aruna ketahui akrab dipanggil Kanina, dan satu anak laki-laki bernama Kelvan Subiantoro. Tidak peduli bagaimana Aruna mengubek kata sandi pencarian, dia tetap tidak menemukan hal lain yang lebih penting. Sama halnya dengan keluarga Widjaja. Tidak banyak mengenai kehidupan orang-orang itu yang tersebar di dunia maya.Akan tetapi, Aruna tidak menyerah. Dia dengan cepat berpindah ke aplikasi media sosial yang hampir semua orang miliki, yakni aplikasi insta.
[Aku sudah memutuskan waktunya. Pernikahan kita akan dilaksanakan hari kamis dua minggu yang akan datang di KUA daerah X pada jam 9 pagi. Kamu jangan sampai lupa!]Aruna menatap lama pada satu pesan dari nomor tak dikenal. Tetapi meskipun begitu, dia tahu nomor siapa gerangan itu. Siapa lagi kalau bukan Ganindra.[Oke,]Aruna memberikan balasan singkat. Sekalipun dia telah bertekad untuk mendapatkan Ganindra, tapi Aruna belum akan menunjukkan obsesinya sekarang. Dia pertama-tama akan membiarkan Ganindra berpikir bahwa kesepakatan di antara mereka akan berjalan lancar. Nanti begitu pria itu lengah, barulah dia akan menebarkan jaring cintanya.Apa yang Aruna pikirkan memang tampak indah. Dia sadar pikirannya terlalu muluk, tapi biarkan saja dia bahagia sebentar karena hal ini."Hari pernikahanku sudah ditentukan," ujar Aruna menunjukkan pada Amara isi pesan yang dikirimkan oleh Ganindra." ... "Untuk beberapa menit lamany