Share

7. Siapa Ayah Kandungku?

Apa kamu bilang?!"

Aruna kembali mengangkat bahunya dengan pelan sebagai tanggapan atas teriakan ibunya itu. Tak lama kemudian, terjadi jeda di antara mereka. Belinda menatap sepasang netra Aruna dengan tatapan tidak percaya. Sementara itu, Aruna menatap mata ibunya dengan sorot santai. Mereka sama-sama tengah mencari kebenaran dari mata masing-masing.

"Tante, ada apa? Kenapa teriak?" tanya Amara yang bergegas keluar dari kamarnya.

Aktivitas saling tatap dari sepasang ibu dan anak itu otomatis terputus karena kehadiran Amara.

"Ah, bukan apa-apa," jawab Belinda sembari mengibaskan tangannya di depan wajah. "Ayo makan malam dulu, mumpung semuanya masih hangat," tukas Belinda. Dia lalu mengambil tempat duduk di kursi yang ada di samping Aruna.

Amara yang ragu hanya bisa menatap bolak-balik ke arah Aruna dan ibunya. Tapi karena melihat sikap mereka yang santai seolah memang tidak terjadi apa-apa, Amara akhirnya hanya mengangkat bahu pelan kemudian mengambil tempat duduk di kursi seberang Aruna.

Bertiga mereka menyantap makan malam sederhana itu dalam kondisi yang harmonis sambil sesekali mengobrol. Mereka terus mengobrolkan segala macam hal hingga waktu menunjukkan pukul sepuluh malam.

Dikarenakan mereka masih harus bekerja besok, Amara dan Aruna memutuskan untuk tidur lebih awal. Di rumah Amara ini, hanya ada dua kamar. Kamar Amara dan juga kamar mendiang orang tuanya yang kini ditempati oleh Aruna bersama ibunya.

"Ayo, Bu. Sekarang jujur aja sama aku. Apa hubungan yang ibu miliki dengan Pak Gumelar Widjaja itu?" tanya Aruna dengan nada sedikit mendesak begitu mereka berbaring di atas ranjang yang sempit.

" ... "

Belinda terdiam. Dia seperti menolak untuk menjawab pertanyaan ini. Dan Aruna pun tidak memaksa. Meski begitu, dia tidak akan menyerah untuk mencari tahu.

Tanpa memperdulikan apakah ibunya mendengar atau tidak, Aruna melanjutkan upayanya dengan berkata. "Tidak ada asap kalau tidak ada api. Pak Gumelar Widjaja tidak mungkin menulis surat wasiat sedemikian rupa untukku kalau bukan karena ibu. Jadi tolong beritahu aku, Bu. Pak Gumelar Widjaja ini bukan ayah kandungku, 'kan?" tanya Aruna sembari menyipitkan matanya curiga.

Berkat pertanyaan ini, Belinda langsung melemparkan delikan sinis pada Aruna. "Sembarangan aja kamu kalau ngomong. Lagian kamu bodoh banget sih, kalau Pak Gumelar itu ayah kandung kamu, dia nggak mungkin mau menikahkan kamu dengan anaknya dong!" seru Belinda dengan sewot.

"Ya siapa tahu Ganindra bukan anak kandungnya!" sambar Aruna dengan cepat.

" ... "

Belinda seketika diam. Matanya mengerjap beberapa kali. Ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh putrinya ini.

"Pokoknya Gumelar Widjaja bukan ayah kandungmu!" seloroh Belinda setelah beberapa waktu lamanya.

Aruna lantas mendecakkan lidahnya dengan keRa. "Selagi kita membicarakan masalah ini, ayo ceritakan juga soal siapa ayah kandungku yang sebenarnya," pinta Aruna.

" ... "

Belinda semakin bungkam. Dia bahkan membalik tubuhnya dengan punggung membelakangi Aruna. Gelagatnya menunjukkan penolakan yang keRa.

"Ayolah, Bu. Sekarang ini usiaku sudah 30 tahun. Tidakkah menurut ibu sudah waktunya aku tahu semua hal tentang ayah kandungku?" tukas Aruna dengan nada yang terdengar sedikit memelas.

Setelah mendengarkan ucapannya, Aruna bisa merasakan nafas ibunya yang sedikit agak tertahan. Aruna tahu bahwa pertanyaan ini pasti mulai mempengaruhi ibunya hingga batas tertentu.

"Aku sudah hidup selama 30 tahun tanpa mengetahui siapa ayah kandungku. Dan sebenarnya aku juga tidak mau peduli tentang orang itu. Apalagi di usia yang sekarang ini. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi. Jadi apa sih yang masih ibu takutkan sampai tidak bisa memberitahu soal dia?" keluh Aruna.

" ... "

"Ah, benar. Dalam wasiat Pak Gumelar juga dikatakan bahwa dia menyerahkan kembali sebuah rumah yang terletak di kawasan X dan hotel The Oasis yang dulunya milik keluarga Hermawan. Serta ada juga tabungan yang telah dikumpulkan dari hasil mengelola hotel itu selama berpuluh tahun," beritahu Aruna.

Belinda masih memilih untuk mengunci bibirnya rapat-rapat. Hanya nafasnya yang terdengar terkesiap saat Aruna memberitahunya hal ini.

Melihat ibunya tetap diam, Aruna pun akhirnya menghela nafas pasrah. Mungkin ibunya memang ingin menyimpan ingatan soal ayah kandungnya itu hingga sampai ke liang lahat nanti. Atau mungkin ibunya memiliki trauma mendalam pada pria yang sudah menghamilinya itu?

"Run, tidak bisakah kamu mengundurkan diri dari perusahaan itu, dan jangan berhubungan lagi dengan mereka?" tanya Belinda setelah waktu yang cukup lama.

Namun, Aruna membalas dengan dengusan pelan. "Mengundurkan diri? Lalu kita mau makan dari mana? Ibu mau tinggal gratis di rumah Amara seumur hidup?" tanya Aruna dengan serius.

"Ngomong-ngomong, aku juga lupa memberitahu ibu satu hal lagi. Kalau aku menikah dengan Ganindra, dia akan memberikan kita uang sejumlah 100 juta setiap bulan selama satu tahun. Dan aku juga bisa memiliki rumah, hotel dan tabungan yang ditinggalkan Pak Gumelar begitu sah menjadi istri Ganindra nanti," tukas Aruna.

Belinda perlahan memutar tubuhnya menghadap Aruna. "Run~" panggilnya dengan nada sedikit merengek.

Akan tetapi, kali ini giliran Aruna yang membelakangi ibunya.

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status