[Aku sudah memutuskan waktunya. Pernikahan kita akan dilaksanakan hari kamis dua minggu yang akan datang di KUA daerah X pada jam 9 pagi. Kamu jangan sampai lupa!]
Aruna menatap lama pada satu pesan dari nomor tak dikenal. Tetapi meskipun begitu, dia tahu nomor siapa gerangan itu. Siapa lagi kalau bukan Ganindra.[Oke,]Aruna memberikan balasan singkat. Sekalipun dia telah bertekad untuk mendapatkan Ganindra, tapi Aruna belum akan menunjukkan obsesinya sekarang. Dia pertama-tama akan membiarkan Ganindra berpikir bahwa kesepakatan di antara mereka akan berjalan lancar. Nanti begitu pria itu lengah, barulah dia akan menebarkan jaring cintanya.Apa yang Aruna pikirkan memang tampak indah. Dia sadar pikirannya terlalu muluk, tapi biarkan saja dia bahagia sebentar karena hal ini."Hari pernikahanku sudah ditentukan," ujar Aruna menunjukkan pada Amara isi pesan yang dikirimkan oleh Ganindra." ... "Untuk beberapa menit lamanyMatahari terbit dan terbenam silih berganti. Hari pernikahan yang dinantikan Aruna kini akhirnya tiba. Meski bukan pernikahan impian, senyum bahagia tidak pernah absen dari bibir Aruna sejak subuh tadi. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini, dia berdandan dengan serius. Dia menggunakan kebaya lama berwarna putih milik ibunya yang masih sangat bagus dan melekat pas di tubuh. Untuk bagian bawahnya dia menggunakan kain jarik batik berwarna coklat tua. Kemudian wajahnya ditaburi make up tipis yang sedikit lebih baik dari gaya sehari-hari andalannya. Hanya bibirnya yang disapukan lipstik merah darah untuk menampilkan kesan berani. Adapun rambut hitam sebahunya hanya disanggul sederhana. "Kamu cantik," puji Amara dengan tulus. Dia hampir tidak bisa mengalihkan pandangannya dari penampilan elegan dan ayu sahabatnya itu. "Kamu juga cantik, " balas Aruna pada Amara. Hari ini Amara mengenakan long dress berwarna biru muda yang memang sengaja dibeli khu
"Coba lihat dirimu. Primadona kampus yang dulu selalu dielu-elukan kini terlihat tidak lebih dari seorang gembel. Kalau bukan karena suamiku yang tergila-gila padamu, mungkin kamu bahkan tidak akan pernah bisa setara lagi dengan kita. Kalau sampai teman-teman yang lain melihat, mereka pasti sudah menertawakanmu!" cibir Brenda. Matanya digerakkan naik turun dengan sorot meremehkan. Belakangan ini cerita soal pengalaman hidup ibunya telah menjadi titik sakit bagi Aruna. Dan disebutkan dengan cara menghina seperti ini membuat gigi Aruna bergemeretak dengan keRa. "Dengan kekayaan yang kalian miliki, pasti menyenangkan ya menertawakan orang lain?" tanya Aruna dengan nada sarkastik yang terkesan begitu dingin. Namun, sindiran Aruna itu tidak berpengaruh pada Brenda. Wanita itu justru beralih menatap Aruna dengan sorot mata miring. "Tentu saja menyenangkan," timpal calon ibu mertuanya itu pada Aruna. "Dan terkhusus untuk kamu, seb
"Bagaimana pernikahannya? Apakah berjalan dengan lancar?" Setibanya di ruang kerja, Ganindra langsung disambut oleh pertanyaan dari Kanina yang sedang duduk dengan anggun di kursi kerjanya. "Begitulah!" jawab Ganindra sembari melonggarkan dasi yang menjerat lehernya. Dia tidak mengusir Kanina dari kursi kebesarannya, dan lebih memilih untuk menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Karena dirinya sedang tidak dalam mood untuk melakukan apapun, Ganindra menutup matanya dengan menggunakan lengan kanan. "Kamu terlihat sangat stress," ucap Kanina sembari beranjak dari kursi yang dia duduki. "Tentu saja stres. Aku dituntut untuk tinggal satu atap dengan wanita itu selama satu tahun," ujar Ganindra tanpa membuka matanya. "Tsk tsk tsk!" Kanina mendecakkan lidah dengan keras sambil menggelengkan kepala pelan. "Kok bisa sih Om Gumelar setega itu sama kalian? Padahal apa is
"Bu, ini kita nggak mimpi berjamaah 'kan?" tanya Aruna pada ibunya. Sudah tiga jam berlalu sejak Pak Bambang memberikan apa yang katanya menjadi hak mereka. Dan saat ini Aruna dan ibunya tengah terduduk lesu di sofa keras ruang tamu rumah Amara. "Nih, minum teh hangat dulu," ujar Amara sembari menyodorkan gelas teh hangat ke hadapan mereka masing-masing. "Terima kasih, Ra." "Ini kayaknya dulu Pak Gumelar kecintaan banget sama Tante Belinda. Sampai-sampai segini diperjuanginnya," komentar Amara saat melihat mereka berdua masih terbengong tidak percaya dengan apa yang terjadi sepanjang hari ini. Tetapi bukannya merasa senang dengan perkataan sahabat putrinya ini, Belinda justru meringis sedih. Bukan bermaksud untuk tidak bersyukur, dia hanya sedih kenapa hal heroik macam ini tidak dilakukan oleh pria yang pernah mengaku bahwa dia adalah satu-satunya cinta di hidup orang itu. "Dengan uang sebanya
"Cih, dasar orang kaya baru!" cibir Brianna setelah mendengar laporan dari orang suruhan ibunya yang baru saja mengikuti setiap gerak-gerik Aruna dan keluarganya. "Kak, wanita macam ini nggak cocok jadi menantu keluarga Widjaja. Bagaimana kalau dia membawa kehancuran bagi keluarga kita? Belakangan ini banyak keluarga kaya jadi berantakan gara-gara menantu yang tidak bisa menempatkan dirinya pada posisi yang seharusnya!" dumelnya lagi menghadap sang kakak. "Mau bagaimana lagi. Ini semua permintaan mendiang ayah," ucap Ganindra dengan santai. Brianna mendecakkan lidah dengan kesal. "Kakak sendiri gimana? Apa kakak nggak punya pendapat soal masalah ini?" "Mau bagaimana lagi? Pilihannya cuma ada dua. Setuju untuk menjalankan yang ada di surat wasiat ayah, atau menggugatnya di pengadilan. Terlalu melelahkan untuk melakukan opsi nomor dua," jawab Ganindra dengan tenang. "Tapi tetap saja. Emangnya kakak nggak memikirkan apa kata
"Ups, sorry!" seru Aruna. Saking terkejutnya dia dengan pemandangan yang dilihat barusan, Aruna secara refleks menutup kembali pintu di depannya dengan sedikit bantingan. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu main nyelonong aja?" tegur Dimas dari balik gigi yang terkatup rapat. Dia terlihat sangat geram dengan tindakan yang baru saja Aruna lakukan. "Maaf ... " ucap Aruna tanpa ada niatan untuk melontarkan alasan apapun. "Kamu tahu tidak, kalau tindakan yang baru saja kamu lakukan itu sangat fatal. Kamu harus bersiap dimarahi oleh Bos!" ujar Dimas. Aruna tanpa sadar menelan ludah dengan susah payah sambil merutuki diri sendiri di dalam hati. Kedatangan Bimo hari ini membuatnya terlalu gugup hingga dirinya bertindak berlebihan. "Dasar wanita nggak punya adab!" maki wanita itu saat keluar dari ruangan Ganindra. Dia menatap Aruna dengan sorot mata miring penuh dengan ketidakpuasan. "M
"Untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya, aku akan memaafkanmu. Tapi kalau hal seperti ini terulang lagi, jangan harap aku akan berbaik hati. Apa kamu mengerti?!" desis Ganindra tepat di depan wajah Aruna yang sudah pucat pasi. Aroma kayu yang menenangkan dari parfum yang digunakan oleh Ganindra pun tidak bisa membuat debaran di balik dada Aruna sedikit lebih tenang. "A-Aku mengerti. sekali lagi aku minta maaf," ujar Aruna dengan sungguh-sungguh. Pengalaman seperti ini cukup sekali saja dia rasakan. Dia tidak mau mengulanginya lagi. "Ingat saja baik-baik. Hanya karena kita terjerat dalam hubungan pernikahan, bukan berarti sesuatu akan berubah di antara kita. Di perusahaan ini, aku tetap bosnya. Sedangkan kamu adalah karyawan. Jangan pernah bertingkah sok dekat. Aku tidak suka!" tukas Ganindra menahan geram. Kata demi kata yang dilontarkan oleh pria di depannya ini membuat hati Aruna entah kenapa serasa ditusuk-tusuk.
Aruna duduk di dalam pantry sambil menyesap teh dinginnya ketika tiga orang wanita tiba-tiba mendobrak pintu untuk masuk. Para wanita yang berpenampilan rapi ala-ala wanita karir yang bekerja di balik meja sepanjang hari itu menatap dengan tatapan mencibir ke arah Aruna. "Heh! Apa benar kamu yang namanya Aruna Anastasia?" tanya salah seorang wanita berambut sebahu pada Aruna. Cara bicaranya yang agak kasar membuat sudut mata Aruna berkedut pelan. "Benar!" jawab Aruna dengan kooperatif. "Iuuuh, padahal kamu nggak cantik-cantik banget. Tapi kok bisa Pak Ganindra mau sama kamu?" tukas seorang wanita berambut pendek padanya. Mata wanita itu bergerak naik turun menatap Aruna dengan sorot jijik. "Ayo ikuti kami ke toilet," perintah wanita lain berambut panjang bergelombang yang diwarnai dengan warna pirang. "Untuk apa kita ke toilet. Kalau ada yang ingin kalian bicarakan, kita bisa melakukannya di sini," tolak Arun
Rahang Aruna mengetat, dan gigi gerahamnya bergemeretak menahan amarah. Dengan langkah pelan, dia lantas mengikis jarak antara dirinya dan juga Bimo. Dia kemudian menunduk agar garis mata mereka berada dalam satu bidang yang sejajar. “Kamu kenapa tertawa?” tanya Aruna di depan wajah Bimo. “Apakah ada yang lucu?” “Aku menertawakan kamu.” “Kenapa kamu menertawakan aku?” tanya Aruna. “Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” Aruna mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Menyenangkan!” jawabnya. “Dengan uang, aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Termasuk juga menghabisimu!” “Kamu mau menghabisiku?” Aruna tidak ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Benar. Aku sudah muak terus dimanfaatkan oleh pria sepertimu. Dan hanya kematianlah yang bisa membuat hal itu terjadi. Apa kamu sudah siap?” Setelah mengatakan hal ini, Aruna dapa
Keesokan harinya, Ganindra membawa Aruna menuju sebuah gudang kosong yang letaknya berada di pinggiran kota. Lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan juga jalan besar. Melihat jalan raya yang semakin sunyi, Aruna tidak bisa berhenti membuat praduga terkait kehidupan orang kaya. Melihat Ganindra dengan mudahnya melakukan hal semacam ini, itu artinya orang kaya lain juga pasti bisa melakukan hal serupa. “Sudah sampai, ayo turun!” ajak Ganindra. Tegurannya membuat Aruna segera tersadar dari lamunan panjangnya. “Oh, sudah sampai?” tanyanya. “Iya,” jawab Ganindra. Turun dari mobil Ganindra, Aruna mengedarkan tatapan matanya ke segala penjuru mata angin. Di depan Aruna saat ini terdapat satu-satunya Gudang yang dikelilingi oleh semak belukar. Berada di tempat ini saat malam hari pasti akan terasa menyeramkan. Bahkan saat kondisi matahari tengah terik, tempat ini terlihat tampak suram. Hal i
Sesuai dengan apa yang dia rencanakan kemari, hari ini Aruna membantu ibunya mengurus gugatan cerai untuk Bimo di pengadilan agama. Setelah itu, dia membantu Amara mencari sepeda motor yang dia tinggalkan di jalan kemarin. Setiap rumah dan warung yang ada di pinggir jalan itu mereka tanyai, tapi jawaban yang mereka terima tetap nihil. Tidak ada orang yang mengetahui siapa yang mengangmbil sepeda motor itu. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari deh. Tapi karena motor itu beneran hilang, jadinya kita beli yang baru aja buat Amara,” tukas Aruna pada ibunya. “Ya udah. Ayo pergi beli,” timpal Belinda. “Tapi nanti dulu deh, Bu. Aku nggak punya pengalaman beli-beli begini. Gimana kalau kita minta tolong sama Mbak Eka dan Mas Dandi?” “Oke,” jawab Belinda mengangguk setuju. Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Aruna segera men
“Loh, kalian disitu?” sapa Belinda dengan nada sedikit keheranan saat melihat Aruna dan Amara bukannya masuk ke rumah dulu, tapi malah asyik mengobrol di depan sasana tinju. Belum lagi tampang mereka yang kumal tidak seperti biasanya membuat lebih curiga. “Bu,” “Tante,” Aruna dan Amara menyapa Belinda dengan serentak. “Kalian kenapa? Kok tampang kalian kumel begitu?” tanya Belinda seraya berjalan mendekat. “Ceritanya panjang. Nanti aja kita certain di rumah,” jawab Aruna seraya bangkit dari posisi terduduknya di atas lantai semen. Tindakannya pun diikuti oleh Amara. “Mbak Eka, kami pulang dulu. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya,” ucap Aruna sambal menggoyangkan botol air yang sudah tandas isinya. “Sama-sama. Berarti untuk hari ini kalian nggak berlatih?” tanya Mbak Eka, “Besok ajalah, Mbak,” jawab Aruna sembari mering
“Hiyaaaa!” Teriakan Aruna bergema di langit sore yang mulai terlihat kelabu. Dengan sekuat tenaga dia lalu mengayunkan tangannya yang memegang balok kayu dan menghantamkannya dengan keras pada selangkangan pria yang hendak ingin membekuknya. Amara pun melakukan hal yang serupa. Jerita seperti babi kemudian terdengar saling bersahut-sahutan dengan dramatis. “Kerja bagus, Mbak. Sekarang ayo lari!” seru pemuda itu. Baru beberapa saat dirinya berlatih tinju, tapi refleks Aruna dan Amara sudah mulai menunjukkan hasil walau samar. Setidaknya dalam kondisi darurat seperti saat ini mereka tidak hanya bisa bengong seperti orang bodoh. Sebelum rasa sakit yang melanda orang-orang itu mulai mereda, Aruna dan Amara sudah melarikan diri bersama pemuda yang belum mereka ketahui namanya itu hingga ke tempat yang aman. “Terima kasih, sudah membantu kami bebas dari orang-orang
“Cih, dasar ayam. Beraninya Cuma sama perempuan saja. Sudah gitu pakai keroyokan lagi!” cibir salah seorang pemuda pada Bimo dan antek-anteknya. Aruna dan Amara lantas dengan kompak menatap ea rah pemuda tampan yang baru saja berbicara untuk mereka. “Heh, bocah. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan orang dewasa!” seru Bimo dengan galak. Matanya melotot lebar. Tetapi bukannya merasa gentar, pria muda itu justru membalas tatapan Bimo dengan sorot mata menantang. “Apa kamu?” seru pria itu. “Sialan!” Bimo berseru dengan kesal. Ayah tiri Aruna itu lalu melangkah menghampiri pemuda itu. Tangannya terangkat tinggi berniat untuk melayangkan pukulan pada pemuda tak dikenal itu agar menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut campur dalam urusannya. Namun, pria itu dengan sigap menangkis tangan Bimo. “Berani-beraninya kamu
“Yah, mulai besok aku nggak bakal punya teman makan siang lagi,” celetuk Amara dikala mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja. Aruna pun lantas mendengus pelan. “Cih, habisnya kamu sih. Kenapa juga nggak mau langsung ikut aku aja buat resign terus kita buka bisnis bareng.” “Tsk,” Amara mendecakkan lidahnya dengan keras. “Sudahlah tidak usah dipikirkan. Palingan juga rasa mellow ini cuma akan bertahan selama beberapa hari,” tukas Amara untuk mengusir kesenduan yang berputar di antara mereka. “ … “ Aruna tidak menanggapi. Mereka sudah membicarakan soal ini beberapa waktu lalu. Tidak ada gunanya untuk terus ngotot meminta Amara selalu mengikuti jejaknya. Sahabatnya ini jelas memiliki pendapar sendiri. Dia hanya perlu menghormatinya. “Rencama kamu apa setelah ini?” tanya Amara mengalihkan topik pembicaraan. “Em, belajar nyetir deh aku rasa,” jawab Aruna s
"Pernahkah kamu jatuh hati padaku?" Pertanyaan dari Ganindra ini membuat Aruna terpana dalam waktu yang cukup lama. Dia bahkan bernafas sepelan mungkin agar tidak menggangu momen semi panas di antara mereka. "Menurut kamu sendiri, gimana?" Aruna bertanya balik sembari memainkan alisnya. "Menurutku sih, iya. Tapi aku tidak yakin," bisik Ganindra. Aruna tersenyum tipis. "Rasa sukaku tergantung bagaimana kamu memperlakukanku. Aku akan sangat menyukaimu jika kamu bisa memperlakukan dengan manis. Dan percaya atau tidak, aku juga bisa dengan mudah menepis rasa suka itu jika kamu tidak bisa bersikap lembut padaku," pungkas Aruna dengan percaya diri. Ganindra mendengus sanksi. "Tidak mungkin. Rasa yang telah terlanjur hadir di dalam hati itu tidak mungkin bisa dikontrol dengan mudah." "Akan selalu ada pengecualian di dunia ini," ucap Aruna. Ganindra perlahan menarik kembali tubuhnya unt
Haaahhh~ Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Ganindra menghela nafas panjang. Dia mendengar apa saja yang dibicarakan oleh Kanina dan juga Aruna di luar sana. Tetapi jika dia ingin menyela kesepakatan yang dibuat oleh kedua wanita itu terkait dengan dirinya, Ganindra tidak mau dihadapkan pada situasi yang lebih rumit daripada ini. Lebih dari siapapun, dia sangat mengenal perangai Kanina yang tidak pernah mau kalah dengan orang lain. Tok tok tok, "Ndra, aku mau ngomong sebentar aja. Kamu bisa keluar, nggak?" suara Kanina terdengar dari balik pintu kamar. Namun, Ganindra meremas jemari tangannya dengan kuat untuk menahan diri agar tidak membuka pintu kamar itu. Dia tidak ingin pertahanannya runtuh karena bertatap muka dengan Kanina. Setelah momen dirinya hampir tenggelam malam itu, Ganindra mulai memikirkan setiap kata-kata yang dilontarkan oleh Aruna. Jika wanita yang tidak sepadan dengan dirinya itu