"Bu, ini kita nggak mimpi berjamaah 'kan?" tanya Aruna pada ibunya.
Sudah tiga jam berlalu sejak Pak Bambang memberikan apa yang katanya menjadi hak mereka. Dan saat ini Aruna dan ibunya tengah terduduk lesu di sofa keras ruang tamu rumah Amara. "Nih, minum teh hangat dulu," ujar Amara sembari menyodorkan gelas teh hangat ke hadapan mereka masing-masing. "Terima kasih, Ra." "Ini kayaknya dulu Pak Gumelar kecintaan banget sama Tante Belinda. Sampai-sampai segini diperjuanginnya," komentar Amara saat melihat mereka berdua masih terbengong tidak percaya dengan apa yang terjadi sepanjang hari ini. Tetapi bukannya merasa senang dengan perkataan sahabat putrinya ini, Belinda justru meringis sedih. Bukan bermaksud untuk tidak bersyukur, dia hanya sedih kenapa hal heroik macam ini tidak dilakukan oleh pria yang pernah mengaku bahwa dia adalah satu-satunya cinta di hidup orang itu. "Dengan uang sebanya"Cih, dasar orang kaya baru!" cibir Brianna setelah mendengar laporan dari orang suruhan ibunya yang baru saja mengikuti setiap gerak-gerik Aruna dan keluarganya. "Kak, wanita macam ini nggak cocok jadi menantu keluarga Widjaja. Bagaimana kalau dia membawa kehancuran bagi keluarga kita? Belakangan ini banyak keluarga kaya jadi berantakan gara-gara menantu yang tidak bisa menempatkan dirinya pada posisi yang seharusnya!" dumelnya lagi menghadap sang kakak. "Mau bagaimana lagi. Ini semua permintaan mendiang ayah," ucap Ganindra dengan santai. Brianna mendecakkan lidah dengan kesal. "Kakak sendiri gimana? Apa kakak nggak punya pendapat soal masalah ini?" "Mau bagaimana lagi? Pilihannya cuma ada dua. Setuju untuk menjalankan yang ada di surat wasiat ayah, atau menggugatnya di pengadilan. Terlalu melelahkan untuk melakukan opsi nomor dua," jawab Ganindra dengan tenang. "Tapi tetap saja. Emangnya kakak nggak memikirkan apa kata
"Ups, sorry!" seru Aruna. Saking terkejutnya dia dengan pemandangan yang dilihat barusan, Aruna secara refleks menutup kembali pintu di depannya dengan sedikit bantingan. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu main nyelonong aja?" tegur Dimas dari balik gigi yang terkatup rapat. Dia terlihat sangat geram dengan tindakan yang baru saja Aruna lakukan. "Maaf ... " ucap Aruna tanpa ada niatan untuk melontarkan alasan apapun. "Kamu tahu tidak, kalau tindakan yang baru saja kamu lakukan itu sangat fatal. Kamu harus bersiap dimarahi oleh Bos!" ujar Dimas. Aruna tanpa sadar menelan ludah dengan susah payah sambil merutuki diri sendiri di dalam hati. Kedatangan Bimo hari ini membuatnya terlalu gugup hingga dirinya bertindak berlebihan. "Dasar wanita nggak punya adab!" maki wanita itu saat keluar dari ruangan Ganindra. Dia menatap Aruna dengan sorot mata miring penuh dengan ketidakpuasan. "M
"Untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya, aku akan memaafkanmu. Tapi kalau hal seperti ini terulang lagi, jangan harap aku akan berbaik hati. Apa kamu mengerti?!" desis Ganindra tepat di depan wajah Aruna yang sudah pucat pasi. Aroma kayu yang menenangkan dari parfum yang digunakan oleh Ganindra pun tidak bisa membuat debaran di balik dada Aruna sedikit lebih tenang. "A-Aku mengerti. sekali lagi aku minta maaf," ujar Aruna dengan sungguh-sungguh. Pengalaman seperti ini cukup sekali saja dia rasakan. Dia tidak mau mengulanginya lagi. "Ingat saja baik-baik. Hanya karena kita terjerat dalam hubungan pernikahan, bukan berarti sesuatu akan berubah di antara kita. Di perusahaan ini, aku tetap bosnya. Sedangkan kamu adalah karyawan. Jangan pernah bertingkah sok dekat. Aku tidak suka!" tukas Ganindra menahan geram. Kata demi kata yang dilontarkan oleh pria di depannya ini membuat hati Aruna entah kenapa serasa ditusuk-tusuk.
Aruna duduk di dalam pantry sambil menyesap teh dinginnya ketika tiga orang wanita tiba-tiba mendobrak pintu untuk masuk. Para wanita yang berpenampilan rapi ala-ala wanita karir yang bekerja di balik meja sepanjang hari itu menatap dengan tatapan mencibir ke arah Aruna. "Heh! Apa benar kamu yang namanya Aruna Anastasia?" tanya salah seorang wanita berambut sebahu pada Aruna. Cara bicaranya yang agak kasar membuat sudut mata Aruna berkedut pelan. "Benar!" jawab Aruna dengan kooperatif. "Iuuuh, padahal kamu nggak cantik-cantik banget. Tapi kok bisa Pak Ganindra mau sama kamu?" tukas seorang wanita berambut pendek padanya. Mata wanita itu bergerak naik turun menatap Aruna dengan sorot jijik. "Ayo ikuti kami ke toilet," perintah wanita lain berambut panjang bergelombang yang diwarnai dengan warna pirang. "Untuk apa kita ke toilet. Kalau ada yang ingin kalian bicarakan, kita bisa melakukannya di sini," tolak Arun
"Aku selalu ketinggalan gosip soal kamu dan Pak Ganindra di kantor," keluh Amara saat mereka baru saja pulang kerja. "Menjadi bahan gosip seseorang itu tidak menyenangkan. Bagus kalau kamu tidak tahu banyak," timpal Aruna dengan asal-asalan. "Tsk! Jadi gimana? Aku dengar si Bimo datang lagi? Kali ini dia koar-koar kalau kamu akan menikah dengan Pak Ganindra 'kan. Tahu darimana dia soal ini? Terus kamu juga katanya dibully sama karyawan kantor itu?" rentetan pertanyaan Amara membuat Aruna menggulung mata dengan dramatis. "Ya gitu deh," jawab Aruna singkat. "Lalu apa rencanamu terkait ini semua?" Aruna mengangkat bahu pelan. Dia belum memiliki ide untuk apapun. Saat ini kepalanya terlalu penuh akan segala hal. Dia perlu mengurai masalah ini satu demi satu. "Pokoknya yang pasti aku harus berlatih tinju dengan lebih giat. Biar nanti kalau a
Sebuah koper berwarna merah menyala tergeletak di samping kaki jenjang Aruna. Saat ini dia telah tiba di depan Azura Penthouse yang akan menjadi tempat tinggal barunya. "Baik-baik di sini ya, kakakku!" seloroh Amara tanpa turun dari sepeda motor bututnya. "Kamu juga jaga diri sendiri dan ibu baik-baik ya, adikku!" balas Aruna tidak kalah mendramatisir suasana. "Sudah pasti, kakak!" "Huek!" Mereka lantas berseru dengan kompak, lalu tertawa renyah bersama. Setelah berpamitan karena harus segera berangkat kerja, Amara pun meninggalkan Aruna seorang diri di depan gerbang bangunan mewah yang menjulang tinggi itu. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Ganindra, Aruna terlebih dahulu harus melaporkan kedatangannya pada penjaga yang sedang bertugas. "Permisi, Pak. Nama saya Aruna. Pak Ganindra meminta saya melapor dulu agar diizinkan untuk masuk," sapa Aruna pada seorang penjaga
"Kamu sudah datang? Kamu sudah makan malam belum? Mau makan bareng nggak?" Aruna memberondong Ganindra dengan berbagai macam pertanyaan begitu pria itu masuk ke dalam Penthouse. Namun, Ganindra hanya menoleh sekilas melalui sudut matanya sebelum kemudian melanjutkan langkah menuju kamar tidur utama. Suara yang sempat terbentuk di dalam Penthouse mewah tapi dingin itu kembali tenggelam. Hanya menyisakan keheningan kikuk. Aruna yang perutnya sudah keroncong sejak tadi pun menyeret langkahnya dengan gontai menuju dapur. Seharusnya dia tidak perlu sok-sokan menunggu Ganindra pulang dengan dalih mau makan bersama. Apa yang bisa diharapkan dari pria yang membangun tembok begitu tinggi di antara mereka itu? "Jangan buru-buru, Aruna. Santai saja," bisik Aruna menghibur diri sendiri seraya terus memasak mie. Makan malam yang akan dia santap sebagai pengganjal perut untuk malam ini. "Tinggal seatap dengan Ganindra benar-benar tidak s
Aruna mengerjapkan matanya berulang kali karena bentakan Ganindra. Tapi dia dengan cepat tersadar. Kedua lengan lalu dilipat di depan dada. "Di dalam kesepakatan kita, tidak ada tuh poin yang memintaku untuk mematuhi setiap omonganmu. Jadi kenapa aku harus menuruti keinginanmu? Lagipula terserah aku dong mau ngobrol dengan siapa saja," tukas Aruna dengan nada menantang. Ganindra yang sudah berada di setengah jalan menuju kamarnya pun segera berbalik. Derap langkahnya yang memberikan kesan tidak ingin dibantah menghampiri Aruna. Dengan kasar Ganindra lantas mendesak Aruna di antara tembok dan dirinya sendiri. "Kalau begitu, ini akan menjadi peraturan tidak tertulis di antara kita mulai sekarang. Kamu harus menuruti kata-kataku!" desis Ganindra tepat di depan wajah Aruna. Tipisnya jarak di antara mereka membuat sekujur tubuh Aruna merinding. Maklum, dia tidak terbiasa berada dalam jarak seperti ini dengan lawan jenis. Meski