"Untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya, aku akan memaafkanmu. Tapi kalau hal seperti ini terulang lagi, jangan harap aku akan berbaik hati. Apa kamu mengerti?!" desis Ganindra tepat di depan wajah Aruna yang sudah pucat pasi.
Aroma kayu yang menenangkan dari parfum yang digunakan oleh Ganindra pun tidak bisa membuat debaran di balik dada Aruna sedikit lebih tenang. "A-Aku mengerti. sekali lagi aku minta maaf," ujar Aruna dengan sungguh-sungguh. Pengalaman seperti ini cukup sekali saja dia rasakan. Dia tidak mau mengulanginya lagi. "Ingat saja baik-baik. Hanya karena kita terjerat dalam hubungan pernikahan, bukan berarti sesuatu akan berubah di antara kita. Di perusahaan ini, aku tetap bosnya. Sedangkan kamu adalah karyawan. Jangan pernah bertingkah sok dekat. Aku tidak suka!" tukas Ganindra menahan geram. Kata demi kata yang dilontarkan oleh pria di depannya ini membuat hati Aruna entah kenapa serasa ditusuk-tusuk.Aruna duduk di dalam pantry sambil menyesap teh dinginnya ketika tiga orang wanita tiba-tiba mendobrak pintu untuk masuk. Para wanita yang berpenampilan rapi ala-ala wanita karir yang bekerja di balik meja sepanjang hari itu menatap dengan tatapan mencibir ke arah Aruna. "Heh! Apa benar kamu yang namanya Aruna Anastasia?" tanya salah seorang wanita berambut sebahu pada Aruna. Cara bicaranya yang agak kasar membuat sudut mata Aruna berkedut pelan. "Benar!" jawab Aruna dengan kooperatif. "Iuuuh, padahal kamu nggak cantik-cantik banget. Tapi kok bisa Pak Ganindra mau sama kamu?" tukas seorang wanita berambut pendek padanya. Mata wanita itu bergerak naik turun menatap Aruna dengan sorot jijik. "Ayo ikuti kami ke toilet," perintah wanita lain berambut panjang bergelombang yang diwarnai dengan warna pirang. "Untuk apa kita ke toilet. Kalau ada yang ingin kalian bicarakan, kita bisa melakukannya di sini," tolak Arun
"Aku selalu ketinggalan gosip soal kamu dan Pak Ganindra di kantor," keluh Amara saat mereka baru saja pulang kerja. "Menjadi bahan gosip seseorang itu tidak menyenangkan. Bagus kalau kamu tidak tahu banyak," timpal Aruna dengan asal-asalan. "Tsk! Jadi gimana? Aku dengar si Bimo datang lagi? Kali ini dia koar-koar kalau kamu akan menikah dengan Pak Ganindra 'kan. Tahu darimana dia soal ini? Terus kamu juga katanya dibully sama karyawan kantor itu?" rentetan pertanyaan Amara membuat Aruna menggulung mata dengan dramatis. "Ya gitu deh," jawab Aruna singkat. "Lalu apa rencanamu terkait ini semua?" Aruna mengangkat bahu pelan. Dia belum memiliki ide untuk apapun. Saat ini kepalanya terlalu penuh akan segala hal. Dia perlu mengurai masalah ini satu demi satu. "Pokoknya yang pasti aku harus berlatih tinju dengan lebih giat. Biar nanti kalau a
Sebuah koper berwarna merah menyala tergeletak di samping kaki jenjang Aruna. Saat ini dia telah tiba di depan Azura Penthouse yang akan menjadi tempat tinggal barunya. "Baik-baik di sini ya, kakakku!" seloroh Amara tanpa turun dari sepeda motor bututnya. "Kamu juga jaga diri sendiri dan ibu baik-baik ya, adikku!" balas Aruna tidak kalah mendramatisir suasana. "Sudah pasti, kakak!" "Huek!" Mereka lantas berseru dengan kompak, lalu tertawa renyah bersama. Setelah berpamitan karena harus segera berangkat kerja, Amara pun meninggalkan Aruna seorang diri di depan gerbang bangunan mewah yang menjulang tinggi itu. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Ganindra, Aruna terlebih dahulu harus melaporkan kedatangannya pada penjaga yang sedang bertugas. "Permisi, Pak. Nama saya Aruna. Pak Ganindra meminta saya melapor dulu agar diizinkan untuk masuk," sapa Aruna pada seorang penjaga
"Kamu sudah datang? Kamu sudah makan malam belum? Mau makan bareng nggak?" Aruna memberondong Ganindra dengan berbagai macam pertanyaan begitu pria itu masuk ke dalam Penthouse. Namun, Ganindra hanya menoleh sekilas melalui sudut matanya sebelum kemudian melanjutkan langkah menuju kamar tidur utama. Suara yang sempat terbentuk di dalam Penthouse mewah tapi dingin itu kembali tenggelam. Hanya menyisakan keheningan kikuk. Aruna yang perutnya sudah keroncong sejak tadi pun menyeret langkahnya dengan gontai menuju dapur. Seharusnya dia tidak perlu sok-sokan menunggu Ganindra pulang dengan dalih mau makan bersama. Apa yang bisa diharapkan dari pria yang membangun tembok begitu tinggi di antara mereka itu? "Jangan buru-buru, Aruna. Santai saja," bisik Aruna menghibur diri sendiri seraya terus memasak mie. Makan malam yang akan dia santap sebagai pengganjal perut untuk malam ini. "Tinggal seatap dengan Ganindra benar-benar tidak s
Aruna mengerjapkan matanya berulang kali karena bentakan Ganindra. Tapi dia dengan cepat tersadar. Kedua lengan lalu dilipat di depan dada. "Di dalam kesepakatan kita, tidak ada tuh poin yang memintaku untuk mematuhi setiap omonganmu. Jadi kenapa aku harus menuruti keinginanmu? Lagipula terserah aku dong mau ngobrol dengan siapa saja," tukas Aruna dengan nada menantang. Ganindra yang sudah berada di setengah jalan menuju kamarnya pun segera berbalik. Derap langkahnya yang memberikan kesan tidak ingin dibantah menghampiri Aruna. Dengan kasar Ganindra lantas mendesak Aruna di antara tembok dan dirinya sendiri. "Kalau begitu, ini akan menjadi peraturan tidak tertulis di antara kita mulai sekarang. Kamu harus menuruti kata-kataku!" desis Ganindra tepat di depan wajah Aruna. Tipisnya jarak di antara mereka membuat sekujur tubuh Aruna merinding. Maklum, dia tidak terbiasa berada dalam jarak seperti ini dengan lawan jenis. Meski
Hari demi hari berganti. Dalam seminggu setelah tinggal bersama dengan Ganindra, mulai terbentuk kebiasaan di antara mereka berdua. Aruna akan bangun pagi-pagi sekali untuk joging, kemudian memasak sarapan setelahnya. Akan tetapi, di malam hari Aruna akan ditinggalkan seorang diri. Ganindra baru akan pulang ke tempat tinggal mereka begitu jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam ke atas. Rutinitas mereka yang terus berulang seperti itu pada akhirnya membuat Aruna bosan. Dia yang semula akan bergegas kembali begitu sesi latihan tinjunya selesai pun, kini lebih memilih untuk berlama-lama di rumah Amara. Lebih baik dia membicarakan rencana-rencana masa depan mereka, daripada harus tenggelam dalam rasa sepi yang tidak biasa dia rasakan di tempat itu. "Ngomong-ngomong, Run. Kamu sama Amara kerja dari pagi sampai sore. Dengan semua agenda yang mau kamu realisasikan itu, kamu yakin bakal efektif? Kalau semua kegiatan dilakukan saat ada waktu libu
"Kamu kenapa ngasih tahunya dadakan sih? Aku 'kan belum beli gaun buat dipakai ke acara ulang tahun Kanina!" protes Aruna di sepanjang jalan menuju bandara. "Kamu jangan norak. Di Bali banyak orang yang jualan baju," timpal Ganindra mulai terdengar tidak sabar. Sudah tidak terhitung berapa kali dia mendengar Aruna mengeluhkan hal yang sama sejak dia bangun tidur tadi. "Aku tahu. Tapi emangnya kamu mau nemenin aku pergi beli?" sambar Aruna yang membuat bibir Ganindra langsung terkunci rapat. " ... " "Aku nggak mau ya kayak orang bodoh gara-gara kamu. Pokoknya kalau kamu nggak mau nganter aku beli gaun baru, aku nggak bakal datang ke acara ulang tahun si Kanina itu!" tukas Aruna dengan nada final. Ganindra pun mendecakkan lidah dengan kasar. "Emang kamu nggak punya gaun lama buat dipakai?" tanyanya mulai kesal. "Aku 'kan orang miskin. Jadi maaf-maaf aja nih kalau aku nggak pernah punya gaun. Ka
Acara ulang tahun Kanin akan diadakan pada jam tujuh malam. Jadi Aruna sudah mulai sibuk bersiap-siap dari sejak pukul lima sore. Lima buah gaun dengan berbagai warna dan bentuk yang dibeli siang tadi berjejer berantakan di atas ranjang hotel. Aruna sedikit kebingungan harus menggunakan gaun yang mana. [Kamu suka warna apa?] Aruna mengirim pesan random pada Ganindra tanpa ada harapan untuk dibalas. Namun, lagi-lagi tindakan pria itu membuat Aruna tekejut. [Hitam,] Adalah pesan balasan yang kemudian Aruna terima. Tanpa banyak berpikir lagi, Aruna segera menyisihkan gaun lain yang tidak dia butuhkan. Begitu dirinya tidak lagi dipusingkan oleh masalah pakaian, Aruna begegas ke kamar mandi untuk memoles dirinya sendiri. Dua jam adalah waktu yang dia butuhkan untuk seluruh proses hingga dirinya siap. Sebuah gaun ketat berwarna hitam sepanjang lutut membebat tubuh Aruna yang bisa dibilang tidak ter
Rahang Aruna mengetat, dan gigi gerahamnya bergemeretak menahan amarah. Dengan langkah pelan, dia lantas mengikis jarak antara dirinya dan juga Bimo. Dia kemudian menunduk agar garis mata mereka berada dalam satu bidang yang sejajar. “Kamu kenapa tertawa?” tanya Aruna di depan wajah Bimo. “Apakah ada yang lucu?” “Aku menertawakan kamu.” “Kenapa kamu menertawakan aku?” tanya Aruna. “Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” Aruna mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Menyenangkan!” jawabnya. “Dengan uang, aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Termasuk juga menghabisimu!” “Kamu mau menghabisiku?” Aruna tidak ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Benar. Aku sudah muak terus dimanfaatkan oleh pria sepertimu. Dan hanya kematianlah yang bisa membuat hal itu terjadi. Apa kamu sudah siap?” Setelah mengatakan hal ini, Aruna dapa
Keesokan harinya, Ganindra membawa Aruna menuju sebuah gudang kosong yang letaknya berada di pinggiran kota. Lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan juga jalan besar. Melihat jalan raya yang semakin sunyi, Aruna tidak bisa berhenti membuat praduga terkait kehidupan orang kaya. Melihat Ganindra dengan mudahnya melakukan hal semacam ini, itu artinya orang kaya lain juga pasti bisa melakukan hal serupa. “Sudah sampai, ayo turun!” ajak Ganindra. Tegurannya membuat Aruna segera tersadar dari lamunan panjangnya. “Oh, sudah sampai?” tanyanya. “Iya,” jawab Ganindra. Turun dari mobil Ganindra, Aruna mengedarkan tatapan matanya ke segala penjuru mata angin. Di depan Aruna saat ini terdapat satu-satunya Gudang yang dikelilingi oleh semak belukar. Berada di tempat ini saat malam hari pasti akan terasa menyeramkan. Bahkan saat kondisi matahari tengah terik, tempat ini terlihat tampak suram. Hal i
Sesuai dengan apa yang dia rencanakan kemari, hari ini Aruna membantu ibunya mengurus gugatan cerai untuk Bimo di pengadilan agama. Setelah itu, dia membantu Amara mencari sepeda motor yang dia tinggalkan di jalan kemarin. Setiap rumah dan warung yang ada di pinggir jalan itu mereka tanyai, tapi jawaban yang mereka terima tetap nihil. Tidak ada orang yang mengetahui siapa yang mengangmbil sepeda motor itu. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari deh. Tapi karena motor itu beneran hilang, jadinya kita beli yang baru aja buat Amara,” tukas Aruna pada ibunya. “Ya udah. Ayo pergi beli,” timpal Belinda. “Tapi nanti dulu deh, Bu. Aku nggak punya pengalaman beli-beli begini. Gimana kalau kita minta tolong sama Mbak Eka dan Mas Dandi?” “Oke,” jawab Belinda mengangguk setuju. Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Aruna segera men
“Loh, kalian disitu?” sapa Belinda dengan nada sedikit keheranan saat melihat Aruna dan Amara bukannya masuk ke rumah dulu, tapi malah asyik mengobrol di depan sasana tinju. Belum lagi tampang mereka yang kumal tidak seperti biasanya membuat lebih curiga. “Bu,” “Tante,” Aruna dan Amara menyapa Belinda dengan serentak. “Kalian kenapa? Kok tampang kalian kumel begitu?” tanya Belinda seraya berjalan mendekat. “Ceritanya panjang. Nanti aja kita certain di rumah,” jawab Aruna seraya bangkit dari posisi terduduknya di atas lantai semen. Tindakannya pun diikuti oleh Amara. “Mbak Eka, kami pulang dulu. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya,” ucap Aruna sambal menggoyangkan botol air yang sudah tandas isinya. “Sama-sama. Berarti untuk hari ini kalian nggak berlatih?” tanya Mbak Eka, “Besok ajalah, Mbak,” jawab Aruna sembari mering
“Hiyaaaa!” Teriakan Aruna bergema di langit sore yang mulai terlihat kelabu. Dengan sekuat tenaga dia lalu mengayunkan tangannya yang memegang balok kayu dan menghantamkannya dengan keras pada selangkangan pria yang hendak ingin membekuknya. Amara pun melakukan hal yang serupa. Jerita seperti babi kemudian terdengar saling bersahut-sahutan dengan dramatis. “Kerja bagus, Mbak. Sekarang ayo lari!” seru pemuda itu. Baru beberapa saat dirinya berlatih tinju, tapi refleks Aruna dan Amara sudah mulai menunjukkan hasil walau samar. Setidaknya dalam kondisi darurat seperti saat ini mereka tidak hanya bisa bengong seperti orang bodoh. Sebelum rasa sakit yang melanda orang-orang itu mulai mereda, Aruna dan Amara sudah melarikan diri bersama pemuda yang belum mereka ketahui namanya itu hingga ke tempat yang aman. “Terima kasih, sudah membantu kami bebas dari orang-orang
“Cih, dasar ayam. Beraninya Cuma sama perempuan saja. Sudah gitu pakai keroyokan lagi!” cibir salah seorang pemuda pada Bimo dan antek-anteknya. Aruna dan Amara lantas dengan kompak menatap ea rah pemuda tampan yang baru saja berbicara untuk mereka. “Heh, bocah. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan orang dewasa!” seru Bimo dengan galak. Matanya melotot lebar. Tetapi bukannya merasa gentar, pria muda itu justru membalas tatapan Bimo dengan sorot mata menantang. “Apa kamu?” seru pria itu. “Sialan!” Bimo berseru dengan kesal. Ayah tiri Aruna itu lalu melangkah menghampiri pemuda itu. Tangannya terangkat tinggi berniat untuk melayangkan pukulan pada pemuda tak dikenal itu agar menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut campur dalam urusannya. Namun, pria itu dengan sigap menangkis tangan Bimo. “Berani-beraninya kamu
“Yah, mulai besok aku nggak bakal punya teman makan siang lagi,” celetuk Amara dikala mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja. Aruna pun lantas mendengus pelan. “Cih, habisnya kamu sih. Kenapa juga nggak mau langsung ikut aku aja buat resign terus kita buka bisnis bareng.” “Tsk,” Amara mendecakkan lidahnya dengan keras. “Sudahlah tidak usah dipikirkan. Palingan juga rasa mellow ini cuma akan bertahan selama beberapa hari,” tukas Amara untuk mengusir kesenduan yang berputar di antara mereka. “ … “ Aruna tidak menanggapi. Mereka sudah membicarakan soal ini beberapa waktu lalu. Tidak ada gunanya untuk terus ngotot meminta Amara selalu mengikuti jejaknya. Sahabatnya ini jelas memiliki pendapar sendiri. Dia hanya perlu menghormatinya. “Rencama kamu apa setelah ini?” tanya Amara mengalihkan topik pembicaraan. “Em, belajar nyetir deh aku rasa,” jawab Aruna s
"Pernahkah kamu jatuh hati padaku?" Pertanyaan dari Ganindra ini membuat Aruna terpana dalam waktu yang cukup lama. Dia bahkan bernafas sepelan mungkin agar tidak menggangu momen semi panas di antara mereka. "Menurut kamu sendiri, gimana?" Aruna bertanya balik sembari memainkan alisnya. "Menurutku sih, iya. Tapi aku tidak yakin," bisik Ganindra. Aruna tersenyum tipis. "Rasa sukaku tergantung bagaimana kamu memperlakukanku. Aku akan sangat menyukaimu jika kamu bisa memperlakukan dengan manis. Dan percaya atau tidak, aku juga bisa dengan mudah menepis rasa suka itu jika kamu tidak bisa bersikap lembut padaku," pungkas Aruna dengan percaya diri. Ganindra mendengus sanksi. "Tidak mungkin. Rasa yang telah terlanjur hadir di dalam hati itu tidak mungkin bisa dikontrol dengan mudah." "Akan selalu ada pengecualian di dunia ini," ucap Aruna. Ganindra perlahan menarik kembali tubuhnya unt
Haaahhh~ Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Ganindra menghela nafas panjang. Dia mendengar apa saja yang dibicarakan oleh Kanina dan juga Aruna di luar sana. Tetapi jika dia ingin menyela kesepakatan yang dibuat oleh kedua wanita itu terkait dengan dirinya, Ganindra tidak mau dihadapkan pada situasi yang lebih rumit daripada ini. Lebih dari siapapun, dia sangat mengenal perangai Kanina yang tidak pernah mau kalah dengan orang lain. Tok tok tok, "Ndra, aku mau ngomong sebentar aja. Kamu bisa keluar, nggak?" suara Kanina terdengar dari balik pintu kamar. Namun, Ganindra meremas jemari tangannya dengan kuat untuk menahan diri agar tidak membuka pintu kamar itu. Dia tidak ingin pertahanannya runtuh karena bertatap muka dengan Kanina. Setelah momen dirinya hampir tenggelam malam itu, Ganindra mulai memikirkan setiap kata-kata yang dilontarkan oleh Aruna. Jika wanita yang tidak sepadan dengan dirinya itu