Share

8. Masa Lalu Ibu

Penulis: Mokaciinoo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Run, ayolah. Tidak ada gunanya berhubungan dengan orang-orang itu. Berurusan dengan mereka cuma akan mendatangkan petaka bagi kita," tukas Belinda memohon pada putrinya.

Tanpa menoleh ke arah sang ibu, Aruna berkata. "Sama aja. Mau berurusan dengan mereka atau tidak, hidup kita sudah terjebak dalam petaka. Dan itu semua gara-gara ibu!"

"Run~"

Dengan kesal Aruna memutar tubuh menghadap kepada ibunya. "Aku belum cerita sama ibu kalau si Bimo datang ke perusahaan tempatku bekerja dan membuat onar di sana 'kan?"

"Apa?!"

"Bu, setidaknya kalau kita punya uang, beberapa masalah yang kita hadapi akan bisa diselesaikan dengan lebih mudah!" seru Aruna.

"Tapi, Run. Kamu nggak tahu seberapa berbahayanya berurusan dengan orang-orang di kalangan mereka!" tukas Belinda dengan nada yang hampir terdengar frustrasi.

"Ya makanya jelaskan padaku seberbahaya apa?!" sambar Aruna dengan tidak sabar.

" ... "

Namun, Belinda te
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    9. Masa Lalu Ibu (2)

    "Sekarang karena kamu sudah tahu semuanya, tidak bisakah kamu menjauh saja dari mereka?" tanya Belinda masih dengan nada penuh permohonan seperti tadi.Namun, Aruna menggelengkan kepala dengan tegas. "Aku sudah menandatangani perjanjian dengan Ganindra. Seandainya pun belum, aku tetap menginginkan kekayaan keluarga Hermawan yang disebutkan Pak Gumelar dalam wasiatnya," tukas Aruna."Run~""Bu, aku mengerti kalau mereka pasti sudah membuat ibu trauma. Tapi aku hanya menikah dengan Ganindra, bukan mau menabuh genderang perang sama mereka," ucap Aruna." ... "Belinda langsung terdiam. Putrinya ini memang paling tahu bagaimana cara membungkam dirinya. "Dasar keras kepala!" seru Belinda seraya menjentikkan jarinya pada kening Aruna."Hehehe,""Tapi kamu harus ingat baik-baik. Setelah menikah dengan Ganindra, kamu harus bersikap rendah hati. Jangan mencari masalah dengan siapapun," ujar Belinda mengingatkan.

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    10. Mainan Baru

    Di sebuah club malam bernama Moonlight, suara musik yang memekakkan telinga mengalun tanpa henti memenuhi ruangan itu. Tubuh yang bergoyang kesana-kemari dapat dilihat dimana-mana. Segala postur menggoda juga disuguhkan untuk memikat target."Sialan. Tempat ini sudah tidak eksklusif lagi. Siapa saja sudah bisa masuk ke tempat ini. Bahkan yang tidak berduit pun bisa ditemukan dimana-mana," Seorang pria tampan yang sedang duduk di pojok ruangan menatap bagian tengah ruangan tempat dance floor berada. Tempat yang sedang dipadati oleh manusia itu menguarkan aroma-aroma yang cukup mengganggu hidungnya."Makanya segera resmikan klub malam milikmu sendiri agar kita tidak perlu datang ke tempat ini lagi," tukas temannya."Tsk. Kita masih harus bersabar hingga tiga bulan kedepan!" Di meja ini ada sekitar delapan orang yang duduk melingkar. Empat di antaranya adalah laki-laki, dan empat lainnya adalah perempuan. Pria yang baru saja melo

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    11. Bertemu Saingan Cinta

    "Run, kamu disuruh segera ke ruangan Pak Ganindra," beritahu salah seorang rekan kerja kepada Aruna.Aruna yang baru saja membersihkan toilet di lantai pertama itu pun menatap rekan kerjanya yang bernama Heru dengan alis terangkat tinggi. Dia tidak tahu untuk apa lagi Ganindra mencarinya?"Oke. Terima kasih, Her!" ucap Aruna seraya hendak langsung beranjak pergi.Akan tetapi langkahnya tertahan oleh pertanyaan yang diajukan Heru. "Run, kamu ada hubungan apa sih sama Pak Ganindra? Kok kayaknya belakang ini kamu sering banget dipanggil ke ruangannya?" Dengan senyum setipis tisu dibagi lima, Aruna memberikan jawaban standar. "Bukan apa-apa kok.""Masa sih?" timpal Heru tampak sanksi.Aruna menolak menjawab dengan kata-kata. Dia hanya menyunggingkan senyum tipis yang justru membuat orang semakin penasaran meski dia tidak ada maksud untuk itu.Dan sebelum Heru semakin banyak bertanya, Aruna buru-buru meninggalkan pria yang s

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    12. Mengunjungi Sasana Tinju

    "Ngomong-ngomong, Ra. Siapa saja boleh masuk ke sasana tinju yang ada di depan rumah kamu itu, nggak?" tanya Aruna mengalihkan topik pembicaraan dari segala hal tentang Ganindra."Boleh aja sih. Emang kenapa?" "Aku mau belajar tinju. Kira-kira di sana bakal ada yang ngajarin, nggak? Atau di sana tuh cuma tempat orang main-main aja?""Kurang tahu juga. Kenapa kamu tiba-tiba mau belajar tinju?" tanya Amara dengan penasaran. "Biar bisa membela diri, melindungi diri dan memberika kesempatan pada diri untuk melarikan kalau kebetulan dalam kondisi terdesak," jawab Aruna sekenanya.Amara pun menganggukkan kepala mengerti tanpa banyak tanya lagi. Dia masih ingat kondisi hubungan Aruna dengan ayah tirinya yang tidak harmonis. Dan memang perlu bagi sahabatnya ini untuk bisa melindungi diri sendiri."Aku kurang tahu sih apakah ada orang yang akan melatih di sana atau tidak, tapi aku kenal istri yang punya sasana tinju itu. Coba nanti aku

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    13. Berita yang Tersebar

    Di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi perabotan-perabotan mewah dan mahal, terdengar suara alunan musik klasik yang keluar dari sebuah piringan hitam yang berputar pelan di atas gramophone. Seorang wanita cantik memejamkan matanya dengan ringan untuk menikmati alunan musik yang menenangkan itu. Ini adalah kebiasaan yang sudah dia lakukan sejak masa remaja ketika sedang menikmati teh sore. Semilir angin sejuk sore hari berhembus pelan melalui celah jendela yang memang sengaja dibiarkan terbuka. Aroma halus bunga melati yang sengaja ditanam di bawah jendela menerbangkan semerbak aroma kesukaannya. "Mam, sore!" sapa Kanina dengan nada sembarangan.Tanpa mengucap permisi, dia menghempaskan tubuhnya pada kursi yang ada di samping ibunya."Kalau kamu ke sini, minimal bawa Daniel juga dong. Jangan bawa diri sendiri aja," tegur wanita paruh baya yang menguarkan aura aristokrat kental dari tubuhnya itu."Daniel sibuk les," jawab Kanina dengan na

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    14. The Subian's

    Setelah pertemuannya dengan Kanina siang tadi, Aruna jadi diliputi rasa penasaran menggebu mengenai keluarga Subiantoro. Tetapi karena keterbatasan dirinya, Aruna tidak bisa langsung mencari tahu secara mendalam. Dia hanya bisa menemukan informasi umum dari laman pencarian dunia itu.Dan melalui apa yang dia temukan, Aruna tahu bahwa pria bernama Bagas Subiantoro itu menikah dengan seorang wanita bernama Elizabeth Rozkov. Dari pernikahan mereka, dia dikaruniai dua anak. Satu anak perempuan yang sudah Aruna ketahui akrab dipanggil Kanina, dan satu anak laki-laki bernama Kelvan Subiantoro. Tidak peduli bagaimana Aruna mengubek kata sandi pencarian, dia tetap tidak menemukan hal lain yang lebih penting. Sama halnya dengan keluarga Widjaja. Tidak banyak mengenai kehidupan orang-orang itu yang tersebar di dunia maya.Akan tetapi, Aruna tidak menyerah. Dia dengan cepat berpindah ke aplikasi media sosial yang hampir semua orang miliki, yakni aplikasi insta.

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    15. Pesan dari Ganindra

    [Aku sudah memutuskan waktunya. Pernikahan kita akan dilaksanakan hari kamis dua minggu yang akan datang di KUA daerah X pada jam 9 pagi. Kamu jangan sampai lupa!]Aruna menatap lama pada satu pesan dari nomor tak dikenal. Tetapi meskipun begitu, dia tahu nomor siapa gerangan itu. Siapa lagi kalau bukan Ganindra.[Oke,]Aruna memberikan balasan singkat. Sekalipun dia telah bertekad untuk mendapatkan Ganindra, tapi Aruna belum akan menunjukkan obsesinya sekarang. Dia pertama-tama akan membiarkan Ganindra berpikir bahwa kesepakatan di antara mereka akan berjalan lancar. Nanti begitu pria itu lengah, barulah dia akan menebarkan jaring cintanya.Apa yang Aruna pikirkan memang tampak indah. Dia sadar pikirannya terlalu muluk, tapi biarkan saja dia bahagia sebentar karena hal ini."Hari pernikahanku sudah ditentukan," ujar Aruna menunjukkan pada Amara isi pesan yang dikirimkan oleh Ganindra." ... "Untuk beberapa menit lamany

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    16. Menuju KUA

    Matahari terbit dan terbenam silih berganti. Hari pernikahan yang dinantikan Aruna kini akhirnya tiba. Meski bukan pernikahan impian, senyum bahagia tidak pernah absen dari bibir Aruna sejak subuh tadi. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini, dia berdandan dengan serius. Dia menggunakan kebaya lama berwarna putih milik ibunya yang masih sangat bagus dan melekat pas di tubuh. Untuk bagian bawahnya dia menggunakan kain jarik batik berwarna coklat tua. Kemudian wajahnya ditaburi make up tipis yang sedikit lebih baik dari gaya sehari-hari andalannya. Hanya bibirnya yang disapukan lipstik merah darah untuk menampilkan kesan berani. Adapun rambut hitam sebahunya hanya disanggul sederhana. "Kamu cantik," puji Amara dengan tulus. Dia hampir tidak bisa mengalihkan pandangannya dari penampilan elegan dan ayu sahabatnya itu. "Kamu juga cantik, " balas Aruna pada Amara. Hari ini Amara mengenakan long dress berwarna biru muda yang memang sengaja dibeli khu

Bab terbaru

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    48. Mulai Eksekusi (2)

    Rahang Aruna mengetat, dan gigi gerahamnya bergemeretak menahan amarah. Dengan langkah pelan, dia lantas mengikis jarak antara dirinya dan juga Bimo. Dia kemudian menunduk agar garis mata mereka berada dalam satu bidang yang sejajar. “Kamu kenapa tertawa?” tanya Aruna di depan wajah Bimo. “Apakah ada yang lucu?” “Aku menertawakan kamu.” “Kenapa kamu menertawakan aku?” tanya Aruna. “Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” Aruna mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Menyenangkan!” jawabnya. “Dengan uang, aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Termasuk juga menghabisimu!” “Kamu mau menghabisiku?” Aruna tidak ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Benar. Aku sudah muak terus dimanfaatkan oleh pria sepertimu. Dan hanya kematianlah yang bisa membuat hal itu terjadi. Apa kamu sudah siap?” Setelah mengatakan hal ini, Aruna dapa

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    47. Mulai Eksekusi

    Keesokan harinya, Ganindra membawa Aruna menuju sebuah gudang kosong yang letaknya berada di pinggiran kota. Lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan juga jalan besar. Melihat jalan raya yang semakin sunyi, Aruna tidak bisa berhenti membuat praduga terkait kehidupan orang kaya. Melihat Ganindra dengan mudahnya melakukan hal semacam ini, itu artinya orang kaya lain juga pasti bisa melakukan hal serupa. “Sudah sampai, ayo turun!” ajak Ganindra. Tegurannya membuat Aruna segera tersadar dari lamunan panjangnya. “Oh, sudah sampai?” tanyanya. “Iya,” jawab Ganindra. Turun dari mobil Ganindra, Aruna mengedarkan tatapan matanya ke segala penjuru mata angin. Di depan Aruna saat ini terdapat satu-satunya Gudang yang dikelilingi oleh semak belukar. Berada di tempat ini saat malam hari pasti akan terasa menyeramkan. Bahkan saat kondisi matahari tengah terik, tempat ini terlihat tampak suram. Hal i

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    46. Rencana Mengeksekusi Bimo

    Sesuai dengan apa yang dia rencanakan kemari, hari ini Aruna membantu ibunya mengurus gugatan cerai untuk Bimo di pengadilan agama. Setelah itu, dia membantu Amara mencari sepeda motor yang dia tinggalkan di jalan kemarin. Setiap rumah dan warung yang ada di pinggir jalan itu mereka tanyai, tapi jawaban yang mereka terima tetap nihil. Tidak ada orang yang mengetahui siapa yang mengangmbil sepeda motor itu. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari deh. Tapi karena motor itu beneran hilang, jadinya kita beli yang baru aja buat Amara,” tukas Aruna pada ibunya. “Ya udah. Ayo pergi beli,” timpal Belinda. “Tapi nanti dulu deh, Bu. Aku nggak punya pengalaman beli-beli begini. Gimana kalau kita minta tolong sama Mbak Eka dan Mas Dandi?” “Oke,” jawab Belinda mengangguk setuju. Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Aruna segera men

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    45. Aku Mau Dia Lumpuh Seumur Hidup

    “Loh, kalian disitu?” sapa Belinda dengan nada sedikit keheranan saat melihat Aruna dan Amara bukannya masuk ke rumah dulu, tapi malah asyik mengobrol di depan sasana tinju. Belum lagi tampang mereka yang kumal tidak seperti biasanya membuat lebih curiga. “Bu,” “Tante,” Aruna dan Amara menyapa Belinda dengan serentak. “Kalian kenapa? Kok tampang kalian kumel begitu?” tanya Belinda seraya berjalan mendekat. “Ceritanya panjang. Nanti aja kita certain di rumah,” jawab Aruna seraya bangkit dari posisi terduduknya di atas lantai semen. Tindakannya pun diikuti oleh Amara. “Mbak Eka, kami pulang dulu. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya,” ucap Aruna sambal menggoyangkan botol air yang sudah tandas isinya. “Sama-sama. Berarti untuk hari ini kalian nggak berlatih?” tanya Mbak Eka, “Besok ajalah, Mbak,” jawab Aruna sembari mering

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    44. Nama Pemuda itu Alvin

    “Hiyaaaa!” Teriakan Aruna bergema di langit sore yang mulai terlihat kelabu. Dengan sekuat tenaga dia lalu mengayunkan tangannya yang memegang balok kayu dan menghantamkannya dengan keras pada selangkangan pria yang hendak ingin membekuknya. Amara pun melakukan hal yang serupa. Jerita seperti babi kemudian terdengar saling bersahut-sahutan dengan dramatis. “Kerja bagus, Mbak. Sekarang ayo lari!” seru pemuda itu. Baru beberapa saat dirinya berlatih tinju, tapi refleks Aruna dan Amara sudah mulai menunjukkan hasil walau samar. Setidaknya dalam kondisi darurat seperti saat ini mereka tidak hanya bisa bengong seperti orang bodoh. Sebelum rasa sakit yang melanda orang-orang itu mulai mereda, Aruna dan Amara sudah melarikan diri bersama pemuda yang belum mereka ketahui namanya itu hingga ke tempat yang aman. “Terima kasih, sudah membantu kami bebas dari orang-orang

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    43. Diselamatkan Pemuda Tak Dikenal

    “Cih, dasar ayam. Beraninya Cuma sama perempuan saja. Sudah gitu pakai keroyokan lagi!” cibir salah seorang pemuda pada Bimo dan antek-anteknya. Aruna dan Amara lantas dengan kompak menatap ea rah pemuda tampan yang baru saja berbicara untuk mereka. “Heh, bocah. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan orang dewasa!” seru Bimo dengan galak. Matanya melotot lebar. Tetapi bukannya merasa gentar, pria muda itu justru membalas tatapan Bimo dengan sorot mata menantang. “Apa kamu?” seru pria itu. “Sialan!” Bimo berseru dengan kesal. Ayah tiri Aruna itu lalu melangkah menghampiri pemuda itu. Tangannya terangkat tinggi berniat untuk melayangkan pukulan pada pemuda tak dikenal itu agar menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut campur dalam urusannya. Namun, pria itu dengan sigap menangkis tangan Bimo. “Berani-beraninya kamu

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    42. Dicegat Bimo

    “Yah, mulai besok aku nggak bakal punya teman makan siang lagi,” celetuk Amara dikala mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja. Aruna pun lantas mendengus pelan. “Cih, habisnya kamu sih. Kenapa juga nggak mau langsung ikut aku aja buat resign terus kita buka bisnis bareng.” “Tsk,” Amara mendecakkan lidahnya dengan keras. “Sudahlah tidak usah dipikirkan. Palingan juga rasa mellow ini cuma akan bertahan selama beberapa hari,” tukas Amara untuk mengusir kesenduan yang berputar di antara mereka. “ … “ Aruna tidak menanggapi. Mereka sudah membicarakan soal ini beberapa waktu lalu. Tidak ada gunanya untuk terus ngotot meminta Amara selalu mengikuti jejaknya. Sahabatnya ini jelas memiliki pendapar sendiri. Dia hanya perlu menghormatinya. “Rencama kamu apa setelah ini?” tanya Amara mengalihkan topik pembicaraan. “Em, belajar nyetir deh aku rasa,” jawab Aruna s

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    41. Dijadikan Bahan Taruhan (2)

    "Pernahkah kamu jatuh hati padaku?" Pertanyaan dari Ganindra ini membuat Aruna terpana dalam waktu yang cukup lama. Dia bahkan bernafas sepelan mungkin agar tidak menggangu momen semi panas di antara mereka. "Menurut kamu sendiri, gimana?" Aruna bertanya balik sembari memainkan alisnya. "Menurutku sih, iya. Tapi aku tidak yakin," bisik Ganindra. Aruna tersenyum tipis. "Rasa sukaku tergantung bagaimana kamu memperlakukanku. Aku akan sangat menyukaimu jika kamu bisa memperlakukan dengan manis. Dan percaya atau tidak, aku juga bisa dengan mudah menepis rasa suka itu jika kamu tidak bisa bersikap lembut padaku," pungkas Aruna dengan percaya diri. Ganindra mendengus sanksi. "Tidak mungkin. Rasa yang telah terlanjur hadir di dalam hati itu tidak mungkin bisa dikontrol dengan mudah." "Akan selalu ada pengecualian di dunia ini," ucap Aruna. Ganindra perlahan menarik kembali tubuhnya unt

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    40. Dijadikan Bahan Taruhan

    Haaahhh~ Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Ganindra menghela nafas panjang. Dia mendengar apa saja yang dibicarakan oleh Kanina dan juga Aruna di luar sana. Tetapi jika dia ingin menyela kesepakatan yang dibuat oleh kedua wanita itu terkait dengan dirinya, Ganindra tidak mau dihadapkan pada situasi yang lebih rumit daripada ini. Lebih dari siapapun, dia sangat mengenal perangai Kanina yang tidak pernah mau kalah dengan orang lain. Tok tok tok, "Ndra, aku mau ngomong sebentar aja. Kamu bisa keluar, nggak?" suara Kanina terdengar dari balik pintu kamar. Namun, Ganindra meremas jemari tangannya dengan kuat untuk menahan diri agar tidak membuka pintu kamar itu. Dia tidak ingin pertahanannya runtuh karena bertatap muka dengan Kanina. Setelah momen dirinya hampir tenggelam malam itu, Ganindra mulai memikirkan setiap kata-kata yang dilontarkan oleh Aruna. Jika wanita yang tidak sepadan dengan dirinya itu

DMCA.com Protection Status