Share

6. Ibu Mengenal Pak Gumelar?

Aruna terkekeh ringan saat melihat ekspresi keterkejutan di wajah Amara. Terutama dengan mata melotot yang hampir keluar dari rongganya itu.

"Aku yakin kamu pasti tidak percaya kalau aku bisa, 'kan? Kamu tunggu saja, Ra. Aku akan membuktikannya padamu," ujar Aruna penuh dengan senyum percaya diri.

Amara lantas menggulung matanya dengan terang-terangan. "Lalu bagaimana dengan Tante Belinda? Apa dia sudah tahu soal keputusan yang kamu buat ini?"

Sambil bibirnya dimajukan dua senti, Aruna menggelengkan kepala pelan. "Ibu belum tahu soal ini," jawabnya.

Amara pun mendecakkan lidah dengan keras. "Terus gimana? Tante Belinda pasti syok berat kalau tahu anaknya yang semula jomblo ini tiba-tiba bilang mau nikah sama anak konglomerat,"

Aruna lalu menghela nafas panjang. "Syok sih pasti. Tapi mau bagaimana lagi? Tawaran pernikahan yang aku terima ini juga gara-gara ibu sih," pungkas Aruna.

"Hah? Kenapa begitu?"

"Sebenarnya aku juga nggak terlalu jelas. Aku pertama-tama harus konfirmasi dulu masalah ini sama ibu. Nanti kalau sudah, baru aku ceritain ke kamu. Soalnya cerita ini kayaknya bakal panjang kayak sinetron," bisik Aruna.

"Jangan lebay deh!" seloroh Amara.

Namun, Aruna tidak membuang banyak kata-kata lagi. Dia hanya mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. Dia sendiri masih harus bersabar menunggu hingga jam pulang kerja agar bisa mengkonfirmasi hubungan apa yang pernah dimiliki oleh ibunya dengan Pak Gumelar.

Untuk yang pertama kalinya hari itu, Aruna bekerja dengan perasaan yang luar biasa ringan. Seperti secercah harapan menyala di hatinya. Dulu tujuan hidup Aruna adalah hanya agar dirinya tetap hidup. Dia jarang memiliki target yang ingin dicapai. Karena Aruna terlalu sadar diri kalau hasil kerjanya hanya mampu untuk makan dan menyewa tempat tinggal.

Kini setelah bayangan uang 100 juta sebulan akan berada dalam genggamannya, kerumitan isi pikiran Aruna perlahan mulai terurai. Terserah orang ingin mengatakan dia serakah. Tetapi jika boleh, dia benar-benar ingin membuat Ganindra menjadi miliknya. Tidak hanya untuk satu tahun saja. Tapi untuk bertahun-tahun ke depan.

Apakah Aruna akan bisa melakukannya?

Entahlah!

Tapi Aruna ingin berpegang pada pribahasa lama soal setetes air bisa melubangi batu.

* * *

"Ibu lagi masak apa?"

Aruna bertanya pada Belinda yang sedang memasak di dapur. Dia baru saja keluar dari kamar mandi smbil menggosok rambutnya yang basah dengan menggunakan handuk kecil.

"Ibu masak tongkol suwir, telur goreng sama sayur bening aja," jawab Belinda tanpa menolehkan kepalanya ke arah Aruna.

"Kedengarannya enak," ucap Aruna.

Mulutnya terasa berair karena dia sudah bisa membayangkan enaknya makanan yang disebutkan oleh sang ibu.

"Sebentar lagi matang nih, kalian tunggu aja," tukas Belinda.

"Hm," gumam Aruna pelan.

Dengan gerakan pelan, Aruna lalu menarik kursi meja makan, kemudian duduk di atasnya. Dia lalu memandangi punggung sang ibu yang tengah sibuk membelakanginya. Untuk sesaat, Aruna dilanda dilema apakah harus menanyakan mengenai ada hubungan apa antara sang ibu dan Pak Gumelar.

Cukup lama Aruna membuat pertimbangan sampai akhirnya dia memutuskan untuk bertanya saja. "Bu, ibu kenal sama orang yang namanya Pak Gumelar Widjaja, nggak?"

Tangan Belinda yang tengah mengaduk tongkol suwir di atas wajan pun spontan berhenti tatkala mendengar pertanyaan sang putri. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlangsung lama. Dia dengan cepat melanjutkan kegiatannya.

"Gumelar Widjaja? Siapa tuh?" tanya Belinda.

"Mendiang bosku di kantor," jawab Aruna.

"Mendiang?"

Sudut mata Aruna berkedut pelan saat mendengar ada getaran samar dalam suara ibunya.

"Iya, beliau meninggal kurang lebih dua bulan lalu kalau tidak salah," jawab Aruna.

"Oh~" gumam Belinda pelan.

Kali ini alis Aruna terangkat tinggi saat mendengar dengungan panjang ibunya itu. Getar yang sebelumnya sempat terdengar dengan cepat menghilang.

"Ibu nggak penasaran kenapa aku tiba-tiba menanyakan orang ini sama ibu?" tanya Aruna sengaja menggunakan nada misterius.

Suara kompor yang dimatikan terdengar. Belinda pun perlahan berbalik sambil membawa piring tongkol suwir yang masih panas ke atas meja makan.

"Emang kenapa?" tanya Belinda sambil menyunggingkan senyum simpul ke arah Aruna.

" ... "

Aruna tidak langsung menjawab, dia terlebih dahulu menunggu hingga piring yang dibawa ibunya benar-benar telah tergeletak dengan aman di atas meja makan. Aruna tidak ingin ada drama keterkejutan yang bisa membuat piring itu jatuh ke lantai.

"Pak Gumelar membuat surat wasiat untukku. Katanya aku harus menikah dengan anaknya. Kalau aku tidak setuju menikah dengan anaknya, setengah dari harta warisan keluarga Widjaja akan otomatis jatuh ke tanganku," ungkap Aruna.

Tampak jelas sepasang netra hitam kelam Belinda membulat lebar. "Apa kamu bilang?!" serunya dengan kaget.

"Ngomong-ngomong, aku juga setuju untuk menikah dengannya," pungkas Aruna menambahkan.

"Apa kamu bilang? Berani-beraninya kamu membuat keputusan tanpa berdiskusi dulu sama ibu!"

Melihat respon ibunya, Aruna mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Maaf, Bu. Aku nggak punya pilihan lain. Lagian ini semua terjadi gara-gara ibu juga sih!"

"APA?!"

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status