Aruna berjalan dengan linglung menuju pantry yang berada di lantai dasar sekembalinya dia dari ruangan Ganindra. Di sana sahabatnya yang bernama Amara Windania itu sudah menunggu sambil berjalan mondar-mandir tampak senewen.
"Run, gimana? Apa yang terjadi? Kenapa kamu dipanggil ke ruangan Pak Ganindra? Kamu nggak dipecat gara-gara kejadian kemarin 'kan?" Amara memberondong Aruna dengan berbagai pertanyaan begitu melihat kemunculannya. Saat Aruna dipanggil oleh Ganindra ke ruangannya, kebetulan Amara tengah bertugas membersihkan toilet yang ada di lantai empat. Dia tidak melihat langsung apa yang terjadi pada Aruna. Hanya selentingan gosip yang dia dengar dari orang-orang. "Aku diajak nikah sama Pak Ganindra," jawab Aruna sekenanya. "Hah?!" "Aku serius." Walaupun kata serius meluncur dari bibir Aruna, tapi cara menjawabnya yang setengah menerawang jauh membuat Amara tidak mudah percaya. Dia lantas menempelkan punggung tangannya ke dahi Aruna. "Tidak panas kok," ucapnya yang seketika mendapat delikan maut dari Aruna. "Sudah aku bilang kalau aku tuh serius!" ujar Aruna menegaskan. "Tapi kok bisa sih? Kamu pakai pelet ya?" tuduh Amara sambil matanya mengerling curiga. "Enak aja!" Aruna menoyor jidat Amara dengan cukup keras hingga kepala sahabatnya itu sedikit terjengkang ke belakang. "Terus kok bisa? Aneh banget tiba-tiba diajak nikah sama pria pujaan hati," cerocos Amara. Aruna lantas mengangkat bahu pelan. "Aku juga tidak tahu," jawabnya. "Terus gimana? Kamu terima ajakan Pak Ganindra itu?" tanya Amara kepo. Aruna menggelengkan kepalanya. "Aku belum membuat keputusan. Aku mau pikir-pikir dulu." "Kok gitu? Bukannya kamu sudah lama naksir setengah mati sama dia?" celetuk Amara heran. Dia pikir sahabatnya ini pasti tidak akan banyak berpikir jika kesempatan seperti ini datang padanya. Aruna pun kembali mendelik ke arah Amara. "Kamu pikir aku ini orangnya gimana? Mendapat tawaran aneh begini, ya kali aku langsung setuju setuju aja," seloroh Aruna sedikit sewot. "Iya juga sih. Takutnya nanti kamu malah dijadiin tumbal proyek," celetuk Amara semakin asal-asalan. Di sepanjang sisa hari itu, Aruna melakukan pekerjaannya dengan sedikit linglung. Beberapa kali dia juga diomeli oleh karyawan dan karyawati lain karena teledor. * * * Dikarenakan pelarian yang begitu mendadak, Aruna untuk sementara tinggal di rumah sahabatnya. Dia dan sang ibu pun menempati kamar Amara, dan harus berbagi ranjang yang sama. Berkat tawaran Ganindra itu, Aruna tidak bisa tidur sepanjang malam. Dia terus bolak-balik dengan tidak nyaman di atas ranjang. Jika dia menerima tawaran Ganindra, maka dia bisa mendapatkan uang 600 juta dalam waktu satu tahun. Dengan uang sebanyak itu, dia bisa menggunakannya untuk membeli rumah sederhana, dan membangun bisnis kecil-kecilan bersama sang ibu. Tapi dengan syarat hidupnya tidak terancam bahaya. "Run, kamu kenapa? Bolak-balik terus dari tadi?" tegur Belinda pada putrinya. "Bukan apa-apa, Bu. Maaf ganggu tidur ibu," bisik Aruna lirih. "Hm," Setelah mendengar nafas teratur ibunya, Aruna tidak berani bergerak terlalu banyak. Dia tidur telentang sambil terus menerawang menatap ke arah plafon kamar bercat putih dengan beberapa bercak kekuningan akibat dari rembesan air hujan yang telah terakumulasi lama. Setelah memikirkan soal tawaran Ganindra, Aruna beralih memikirkan Bimo. Ayah tirinya itu pasti tidak akan menyerahkan begitu saja. Pria laknat itu pasti akan mencari cara untuk membekuknya di tempat lain. Mulai sekarang, Aruna harus mulai memikirkan bagaimana cara memperkuat dirinya sendiri. Minimal dia tahu bagaimana cara melindungi diri dan melarikan diri jika sedang dalam posisi terdesak. Paling tidak harus memiliki uang yang banyak agar bisa menyewa orang untuk memberi pelajaran pada Bimo agar pria itu jera, dan tidak lagi mengincar dia dan sang ibu. "Kalau aku menyetujui permintaan Ganindra, nominal 50 juta tampaknya masih kurang. Aku harus menambahkan paling tidak sampai 100 juta sebulan," Aruna bergumam pelan pada dirinya sendiri. Membayangkan tumpukan uang yang akan dia dapatkan dari perjanjiannya dengan Ganindra, barulah kantuk menyerang Aruna. Sebelum matanya terpejam, Aruna kembali bergumam pada diri sendiri. "Ganindra, maafkan aku. Meskipun aku menyukaimu, tapi aku tidak akan membiarkan kamu memanfaatkanku dengan cuma-cuma." Tanpa menunggu batasan waktu tiga hari yang diberikan oleh Ganindra, keesokan harinya Aruna langsung menemui bos perusahaan tempatnya bekerja itu. "Permisi, apa Pak Ganindra ada di dalam?" tanya Aruna pada sekretaris laki-laki yang ada di depan ruangan Ganindra. "Tunggu sebentar," ujar Dimas dengan nada datar. Dia lalu meraih gagang telepon yang ada di atas meja kerjanya kemudian menghubungi Ganindra. Aruna pun berdiri di depan meja sambil menunggu dengan sabar. Matanya diedarkan dengan liar di sekitar tempat itu. Akan tetapi, selain guci porselen berisi tanaman entah apa tergeletak di sudut ruang, tidak ada lagi hal istimewa lainnya yang bisa Aruna lihat. "Kamu bisa masuk," ujar Dimas setelah beberapa menit lamanya. "Terima kasih," ucap Aruna. Setelah itu, Aruna menyeret langkahnya menuju ruangan Ganindra. Tetapi sebelum dia masuk ke dalam, Aruna terlebih dahulu menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering. Tok tok tok, "Masuk!" Begitu mendapat izin dari seseorang di dalam ruangan, Aruna membuka pintu di depannya. "Permisi, Pak!" sapa Aruna dengan hati-hati. Saat ini jantung Aruna berdegup dengan kencang. Hatinya sedikit keder, dan tekad yang dia kembangkan semalaman pun perlahan kendor saat melihat sorot mata tajam Ganindra menghujam dirinya. "Apakah kamu sudah membuat keputusan?" tanya Ganindra. Demi masa depan yang lebih baik, Aruna mau tidak mau menggertakkan gigi dengan keras. "Saya sudah memikirkannya," ucap Aruna. Dia lalu mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di seberang Ganindra bahkan sebelum pria itu mengizinkannya untuk duduk. "Lalu bagaimana?" tanya Ganindra. "Saya harus melindungi diri sendiri. Saya rasa uang 50 juta sebulan masih terlalu sedikit. Saya ingin lebih," pungkas Aruna memberanikan dirinya. "Kamu ingin lebih? Kira-kira diangka berapa?" tanya Ganindra. Matanya menyipit hingga membentuk garis datar. Matanya yang menyorot tajam itu bahkan semakin penuh dengan intimidasi. "Bagaimana dengan 100 juta sebulan?" "Seratus juta sebulan?!" Intonasi suara Ganindra seketika naik beberapa oktaf mendengar permintaan Aruna. "Sebaiknya kamu jangan aji mumpung. Uang 50 juta seharusnya sudah cukup buatmu menjalani hidup selama beberapa tahun," tukas Ganindra. Tetapi Aruna menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak cukup. Bahkan uang 100 juta pun masih terlalu kecil bagi saya untuk menukarkan kehidupan dengan pernikahan tidak jelas yang Anda inginkan," seloroh Aruna. Walaupun jantungnya berdebar semakin kencang, tapi Aruna tetap mempertahankan postur negosiasi profesional. Dia benar-benar tidak boleh dirugikan. Bahkan oleh Ganindra sekalipun. Melihat sikap tegas Aruna ini, Ganindra melemparkan dengusan sinis. "Apa hanya ini persyaratan yang ingin kamu tambahkan?" tanya Ganindra. " ... " Mendapat pertanyaan ini, kepala Aruna berputar dengan cepat. "Saya juga ingin Anda membantu saya menyingkirkan orang yang kemarin mengganggu saya," ujar Aruna. Untuk permintaan yang satu ini, Aruna benar-benar berniat aji mumpung. Akan sangat bagus jika Ganindra setuju untuk membantunya memberi pelajaran pada Bimo agar tidak muncul di depan matanya dan sang ibu lagi. Ganindra mendengus meremehkan. "Menurutmu kenapa saya harus memenuhi keinginanmu ini?" tanyanya. "Setidaknya Anda tidak boleh memanfaatkan orang dengan begitu keterlaluan. Saya memang tidak mengetahui untuk alasan apa Anda menawarkan pernikahan kontrak pada saya, tapi paling tidak Anda harus menunjukkan ketulusan," pungkas Aruna dengan berani walaupun jemari yang dia sembunyikan di bawah meja sudah gemetar hebat. Ganindra terkekeh pelan. Dia lalu menatap ke arah Aruna dengan sorot mata geli yang membuat wajah Aruna otomatis memerah malu. Ternyata masih sulit bagi Aruna untuk mengabaikan pesona pria di depannya ini. "Baiklah, saya setuju. Saya akan memperbaharui surat perjanjian itu. Kamu bisa kembali lagi ke sini besok," pungkas Ganindra. " ... " Selama sepersekian menit lamanya, Aruna dibuat terpana oleh kata-kata Ganindra. Apakah dia tidak salah dengar? Ganindra setuju semudah ini? "Tunggu apa lagi? Kamu bisa pergi," usir Ganindra. "Ah? Baiklah!" Aruna kemudian beranjak dengan linglung dari kursinya. Dengan langkah terseret berat, dia lantas keluar dari ruangan Ganindra. * * *Keesokan harinya, Aruna kembali ke ruangan Ganindra untuk menandatangani perjanjian pernikahan kontrak yang telah mereka bicarakan sebelumnya. Namun, berbeda dengan kemarin, kali ini di dalam ruangan Ganindra ada orang lain selain mereka berdua."Aruna, perkenalkan. Ini adalah Pak Bambang Wijatmiko. Dia adalah pengacara saya," beritahu Ganindra."Halo, Pak. Saya Aruna," pungkas Aruna seraya menyodorkan tangannya ke hadapan pria paruh baya bertubuh tambun yang katanya bernama Pak Bambang Wijatmiko ini."Bambang Wijatmiko," ucap Pak Bambang seraya membalas jabatan tangan Aruna.Setelah melakukan perkenalan singkat dengan Pak Bambang, Ganindra kembali menyodorkan sebuah map hitam ke hadapan Aruna. "Itu adalah perjanjian yang sudah diperbaharui. Kamu bisa membacanya dulu," ujar Ganindra. Setelah mengatakan hal ini, Ganindra tidak ikut duduk di sofa panjang yang berada di tengah ruangan bersama mereka. Pria itu justru berjalan ke arah kaca besar yang menampakkan bangunan-bangunan tinggi
Aruna duduk bengong untuk waktu yang lama di dalam ruangan Ganindra. Dia bahkan tidak menyadari kalau Pak Bambang sudah tidak ada lagi bersama mereka."Sampai kapan kamu mau terus duduk di situ?" teguran Ganindra menyadarkan Aruna dari lamunan panjangnya.Dengan lamat-lamat, dia kemudian menatap ke arah Ganindra yang sudah entah kapan duduk kembali di balik meja kerjanya. Hanya dengan melihat wajah tampan pria itu, mampu membuat Aruna jatuh hati berkali-kali. Ganindra ini orangnya memang tampan sekali. Mungkin dia adalah pria paling tampan yang pernah Aruna temui. Ganindra memiliki rahang yang tegas, hidungnya mancung, dan sorot matanya tajam. Di antara semua itu, Ganindra juga memiliki punggung yang lebar dan dada bidang yang terlihat nyaman untuk dijadikan sebagai tempat untuk bersandar. Sayang sekali, belum menjadi giliran Aruna untuk menikmati hal-hal ini. Bahkan meski nantinya status antara dia dan Ganindra berubah menjadi hubungan suami istri, tapi ada poin yang mengatakan bah
Aruna terkekeh ringan saat melihat ekspresi keterkejutan di wajah Amara. Terutama dengan mata melotot yang hampir keluar dari rongganya itu."Aku yakin kamu pasti tidak percaya kalau aku bisa, 'kan? Kamu tunggu saja, Ra. Aku akan membuktikannya padamu," ujar Aruna penuh dengan senyum percaya diri.Amara lantas menggulung matanya dengan terang-terangan. "Lalu bagaimana dengan Tante Belinda? Apa dia sudah tahu soal keputusan yang kamu buat ini?" Sambil bibirnya dimajukan dua senti, Aruna menggelengkan kepala pelan. "Ibu belum tahu soal ini," jawabnya.Amara pun mendecakkan lidah dengan keras. "Terus gimana? Tante Belinda pasti syok berat kalau tahu anaknya yang semula jomblo ini tiba-tiba bilang mau nikah sama anak konglomerat,"Aruna lalu menghela nafas panjang. "Syok sih pasti. Tapi mau bagaimana lagi? Tawaran pernikahan yang aku terima ini juga gara-gara ibu sih," pungkas Aruna."Hah? Kenapa begitu?""Sebenarnya aku ju
Apa kamu bilang?!" Aruna kembali mengangkat bahunya dengan pelan sebagai tanggapan atas teriakan ibunya itu. Tak lama kemudian, terjadi jeda di antara mereka. Belinda menatap sepasang netra Aruna dengan tatapan tidak percaya. Sementara itu, Aruna menatap mata ibunya dengan sorot santai. Mereka sama-sama tengah mencari kebenaran dari mata masing-masing. "Tante, ada apa? Kenapa teriak?" tanya Amara yang bergegas keluar dari kamarnya. Aktivitas saling tatap dari sepasang ibu dan anak itu otomatis terputus karena kehadiran Amara. "Ah, bukan apa-apa," jawab Belinda sembari mengibaskan tangannya di depan wajah. "Ayo makan malam dulu, mumpung semuanya masih hangat," tukas Belinda. Dia lalu mengambil tempat duduk di kursi yang ada di samping Aruna. Amara yang ragu hanya bisa menatap bolak-balik ke arah Aruna dan ibunya. Tapi karena melihat sikap mereka yang santai seolah memang tidak terjadi apa-apa, Amara akhirnya h
"Run, ayolah. Tidak ada gunanya berhubungan dengan orang-orang itu. Berurusan dengan mereka cuma akan mendatangkan petaka bagi kita," tukas Belinda memohon pada putrinya.Tanpa menoleh ke arah sang ibu, Aruna berkata. "Sama aja. Mau berurusan dengan mereka atau tidak, hidup kita sudah terjebak dalam petaka. Dan itu semua gara-gara ibu!""Run~"Dengan kesal Aruna memutar tubuh menghadap kepada ibunya. "Aku belum cerita sama ibu kalau si Bimo datang ke perusahaan tempatku bekerja dan membuat onar di sana 'kan?""Apa?!""Bu, setidaknya kalau kita punya uang, beberapa masalah yang kita hadapi akan bisa diselesaikan dengan lebih mudah!" seru Aruna."Tapi, Run. Kamu nggak tahu seberapa berbahayanya berurusan dengan orang-orang di kalangan mereka!" tukas Belinda dengan nada yang hampir terdengar frustrasi."Ya makanya jelaskan padaku seberbahaya apa?!" sambar Aruna dengan tidak sabar." ... "Namun, Belinda te
"Sekarang karena kamu sudah tahu semuanya, tidak bisakah kamu menjauh saja dari mereka?" tanya Belinda masih dengan nada penuh permohonan seperti tadi.Namun, Aruna menggelengkan kepala dengan tegas. "Aku sudah menandatangani perjanjian dengan Ganindra. Seandainya pun belum, aku tetap menginginkan kekayaan keluarga Hermawan yang disebutkan Pak Gumelar dalam wasiatnya," tukas Aruna."Run~""Bu, aku mengerti kalau mereka pasti sudah membuat ibu trauma. Tapi aku hanya menikah dengan Ganindra, bukan mau menabuh genderang perang sama mereka," ucap Aruna." ... "Belinda langsung terdiam. Putrinya ini memang paling tahu bagaimana cara membungkam dirinya. "Dasar keras kepala!" seru Belinda seraya menjentikkan jarinya pada kening Aruna."Hehehe,""Tapi kamu harus ingat baik-baik. Setelah menikah dengan Ganindra, kamu harus bersikap rendah hati. Jangan mencari masalah dengan siapapun," ujar Belinda mengingatkan.
Di sebuah club malam bernama Moonlight, suara musik yang memekakkan telinga mengalun tanpa henti memenuhi ruangan itu. Tubuh yang bergoyang kesana-kemari dapat dilihat dimana-mana. Segala postur menggoda juga disuguhkan untuk memikat target."Sialan. Tempat ini sudah tidak eksklusif lagi. Siapa saja sudah bisa masuk ke tempat ini. Bahkan yang tidak berduit pun bisa ditemukan dimana-mana," Seorang pria tampan yang sedang duduk di pojok ruangan menatap bagian tengah ruangan tempat dance floor berada. Tempat yang sedang dipadati oleh manusia itu menguarkan aroma-aroma yang cukup mengganggu hidungnya."Makanya segera resmikan klub malam milikmu sendiri agar kita tidak perlu datang ke tempat ini lagi," tukas temannya."Tsk. Kita masih harus bersabar hingga tiga bulan kedepan!" Di meja ini ada sekitar delapan orang yang duduk melingkar. Empat di antaranya adalah laki-laki, dan empat lainnya adalah perempuan. Pria yang baru saja melo
"Run, kamu disuruh segera ke ruangan Pak Ganindra," beritahu salah seorang rekan kerja kepada Aruna.Aruna yang baru saja membersihkan toilet di lantai pertama itu pun menatap rekan kerjanya yang bernama Heru dengan alis terangkat tinggi. Dia tidak tahu untuk apa lagi Ganindra mencarinya?"Oke. Terima kasih, Her!" ucap Aruna seraya hendak langsung beranjak pergi.Akan tetapi langkahnya tertahan oleh pertanyaan yang diajukan Heru. "Run, kamu ada hubungan apa sih sama Pak Ganindra? Kok kayaknya belakang ini kamu sering banget dipanggil ke ruangannya?" Dengan senyum setipis tisu dibagi lima, Aruna memberikan jawaban standar. "Bukan apa-apa kok.""Masa sih?" timpal Heru tampak sanksi.Aruna menolak menjawab dengan kata-kata. Dia hanya menyunggingkan senyum tipis yang justru membuat orang semakin penasaran meski dia tidak ada maksud untuk itu.Dan sebelum Heru semakin banyak bertanya, Aruna buru-buru meninggalkan pria yang s
Rahang Aruna mengetat, dan gigi gerahamnya bergemeretak menahan amarah. Dengan langkah pelan, dia lantas mengikis jarak antara dirinya dan juga Bimo. Dia kemudian menunduk agar garis mata mereka berada dalam satu bidang yang sejajar. “Kamu kenapa tertawa?” tanya Aruna di depan wajah Bimo. “Apakah ada yang lucu?” “Aku menertawakan kamu.” “Kenapa kamu menertawakan aku?” tanya Aruna. “Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” Aruna mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Menyenangkan!” jawabnya. “Dengan uang, aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Termasuk juga menghabisimu!” “Kamu mau menghabisiku?” Aruna tidak ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Benar. Aku sudah muak terus dimanfaatkan oleh pria sepertimu. Dan hanya kematianlah yang bisa membuat hal itu terjadi. Apa kamu sudah siap?” Setelah mengatakan hal ini, Aruna dapa
Keesokan harinya, Ganindra membawa Aruna menuju sebuah gudang kosong yang letaknya berada di pinggiran kota. Lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan juga jalan besar. Melihat jalan raya yang semakin sunyi, Aruna tidak bisa berhenti membuat praduga terkait kehidupan orang kaya. Melihat Ganindra dengan mudahnya melakukan hal semacam ini, itu artinya orang kaya lain juga pasti bisa melakukan hal serupa. “Sudah sampai, ayo turun!” ajak Ganindra. Tegurannya membuat Aruna segera tersadar dari lamunan panjangnya. “Oh, sudah sampai?” tanyanya. “Iya,” jawab Ganindra. Turun dari mobil Ganindra, Aruna mengedarkan tatapan matanya ke segala penjuru mata angin. Di depan Aruna saat ini terdapat satu-satunya Gudang yang dikelilingi oleh semak belukar. Berada di tempat ini saat malam hari pasti akan terasa menyeramkan. Bahkan saat kondisi matahari tengah terik, tempat ini terlihat tampak suram. Hal i
Sesuai dengan apa yang dia rencanakan kemari, hari ini Aruna membantu ibunya mengurus gugatan cerai untuk Bimo di pengadilan agama. Setelah itu, dia membantu Amara mencari sepeda motor yang dia tinggalkan di jalan kemarin. Setiap rumah dan warung yang ada di pinggir jalan itu mereka tanyai, tapi jawaban yang mereka terima tetap nihil. Tidak ada orang yang mengetahui siapa yang mengangmbil sepeda motor itu. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari deh. Tapi karena motor itu beneran hilang, jadinya kita beli yang baru aja buat Amara,” tukas Aruna pada ibunya. “Ya udah. Ayo pergi beli,” timpal Belinda. “Tapi nanti dulu deh, Bu. Aku nggak punya pengalaman beli-beli begini. Gimana kalau kita minta tolong sama Mbak Eka dan Mas Dandi?” “Oke,” jawab Belinda mengangguk setuju. Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Aruna segera men
“Loh, kalian disitu?” sapa Belinda dengan nada sedikit keheranan saat melihat Aruna dan Amara bukannya masuk ke rumah dulu, tapi malah asyik mengobrol di depan sasana tinju. Belum lagi tampang mereka yang kumal tidak seperti biasanya membuat lebih curiga. “Bu,” “Tante,” Aruna dan Amara menyapa Belinda dengan serentak. “Kalian kenapa? Kok tampang kalian kumel begitu?” tanya Belinda seraya berjalan mendekat. “Ceritanya panjang. Nanti aja kita certain di rumah,” jawab Aruna seraya bangkit dari posisi terduduknya di atas lantai semen. Tindakannya pun diikuti oleh Amara. “Mbak Eka, kami pulang dulu. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya,” ucap Aruna sambal menggoyangkan botol air yang sudah tandas isinya. “Sama-sama. Berarti untuk hari ini kalian nggak berlatih?” tanya Mbak Eka, “Besok ajalah, Mbak,” jawab Aruna sembari mering
“Hiyaaaa!” Teriakan Aruna bergema di langit sore yang mulai terlihat kelabu. Dengan sekuat tenaga dia lalu mengayunkan tangannya yang memegang balok kayu dan menghantamkannya dengan keras pada selangkangan pria yang hendak ingin membekuknya. Amara pun melakukan hal yang serupa. Jerita seperti babi kemudian terdengar saling bersahut-sahutan dengan dramatis. “Kerja bagus, Mbak. Sekarang ayo lari!” seru pemuda itu. Baru beberapa saat dirinya berlatih tinju, tapi refleks Aruna dan Amara sudah mulai menunjukkan hasil walau samar. Setidaknya dalam kondisi darurat seperti saat ini mereka tidak hanya bisa bengong seperti orang bodoh. Sebelum rasa sakit yang melanda orang-orang itu mulai mereda, Aruna dan Amara sudah melarikan diri bersama pemuda yang belum mereka ketahui namanya itu hingga ke tempat yang aman. “Terima kasih, sudah membantu kami bebas dari orang-orang
“Cih, dasar ayam. Beraninya Cuma sama perempuan saja. Sudah gitu pakai keroyokan lagi!” cibir salah seorang pemuda pada Bimo dan antek-anteknya. Aruna dan Amara lantas dengan kompak menatap ea rah pemuda tampan yang baru saja berbicara untuk mereka. “Heh, bocah. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan orang dewasa!” seru Bimo dengan galak. Matanya melotot lebar. Tetapi bukannya merasa gentar, pria muda itu justru membalas tatapan Bimo dengan sorot mata menantang. “Apa kamu?” seru pria itu. “Sialan!” Bimo berseru dengan kesal. Ayah tiri Aruna itu lalu melangkah menghampiri pemuda itu. Tangannya terangkat tinggi berniat untuk melayangkan pukulan pada pemuda tak dikenal itu agar menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut campur dalam urusannya. Namun, pria itu dengan sigap menangkis tangan Bimo. “Berani-beraninya kamu
“Yah, mulai besok aku nggak bakal punya teman makan siang lagi,” celetuk Amara dikala mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja. Aruna pun lantas mendengus pelan. “Cih, habisnya kamu sih. Kenapa juga nggak mau langsung ikut aku aja buat resign terus kita buka bisnis bareng.” “Tsk,” Amara mendecakkan lidahnya dengan keras. “Sudahlah tidak usah dipikirkan. Palingan juga rasa mellow ini cuma akan bertahan selama beberapa hari,” tukas Amara untuk mengusir kesenduan yang berputar di antara mereka. “ … “ Aruna tidak menanggapi. Mereka sudah membicarakan soal ini beberapa waktu lalu. Tidak ada gunanya untuk terus ngotot meminta Amara selalu mengikuti jejaknya. Sahabatnya ini jelas memiliki pendapar sendiri. Dia hanya perlu menghormatinya. “Rencama kamu apa setelah ini?” tanya Amara mengalihkan topik pembicaraan. “Em, belajar nyetir deh aku rasa,” jawab Aruna s
"Pernahkah kamu jatuh hati padaku?" Pertanyaan dari Ganindra ini membuat Aruna terpana dalam waktu yang cukup lama. Dia bahkan bernafas sepelan mungkin agar tidak menggangu momen semi panas di antara mereka. "Menurut kamu sendiri, gimana?" Aruna bertanya balik sembari memainkan alisnya. "Menurutku sih, iya. Tapi aku tidak yakin," bisik Ganindra. Aruna tersenyum tipis. "Rasa sukaku tergantung bagaimana kamu memperlakukanku. Aku akan sangat menyukaimu jika kamu bisa memperlakukan dengan manis. Dan percaya atau tidak, aku juga bisa dengan mudah menepis rasa suka itu jika kamu tidak bisa bersikap lembut padaku," pungkas Aruna dengan percaya diri. Ganindra mendengus sanksi. "Tidak mungkin. Rasa yang telah terlanjur hadir di dalam hati itu tidak mungkin bisa dikontrol dengan mudah." "Akan selalu ada pengecualian di dunia ini," ucap Aruna. Ganindra perlahan menarik kembali tubuhnya unt
Haaahhh~ Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Ganindra menghela nafas panjang. Dia mendengar apa saja yang dibicarakan oleh Kanina dan juga Aruna di luar sana. Tetapi jika dia ingin menyela kesepakatan yang dibuat oleh kedua wanita itu terkait dengan dirinya, Ganindra tidak mau dihadapkan pada situasi yang lebih rumit daripada ini. Lebih dari siapapun, dia sangat mengenal perangai Kanina yang tidak pernah mau kalah dengan orang lain. Tok tok tok, "Ndra, aku mau ngomong sebentar aja. Kamu bisa keluar, nggak?" suara Kanina terdengar dari balik pintu kamar. Namun, Ganindra meremas jemari tangannya dengan kuat untuk menahan diri agar tidak membuka pintu kamar itu. Dia tidak ingin pertahanannya runtuh karena bertatap muka dengan Kanina. Setelah momen dirinya hampir tenggelam malam itu, Ganindra mulai memikirkan setiap kata-kata yang dilontarkan oleh Aruna. Jika wanita yang tidak sepadan dengan dirinya itu