Lukman seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun, dengan kepala plontos, dengan jambang serta kumis tipis yang rapi menghiasi wajahnya terlihat kedewasaannya. Kulit coklatnya yang bersih menandakan ia sangat memperhatikan penampilan dan kebersihan dirinya. Ia adalah pemilik toko perhiasan di daerah Cikini. Pertemuannya dengan Aruna di sebuah Bank pada saat membuka rekening, membuka memori yang telah lama di kuburnya meruak kembali.
Ia teringat kembali kenangan indah yang sekaligus jadi kenangan buruk bagi hidupnya. Ia yang telah merajut tali kasih bersama seorang wanita yang ia kenal sejak mengenal cinta pertamanya di bangku Sekolah Menengah Atas hingga ia menyandang Sarjana Ekonomi pada namanya, membuat ia yang kala itu ingin segera menikahi wanita pujaannya berupaya melamar pekerjaan di beberapa perusahaan.Walaupun orang tuanya pemilik toko perhiasan di daerah Glodok Jakarta, tetapi Lukman tetap bersikeras mencari pekerjaan dengan gelar yang diraihnya, agar dapat membanggakan bagi calon mertuanya.Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat di raih. Ketika Lukman baru memulai pekerjaan selama enam bulan, tragedi menimpa kekasih yang di cintainya. Keluarga mereka mengalami sebuah perampokan keji hingga masuk surat kabar.Trauma yang di alami kekasihnya yang bernama Resti membuat angan dan harapannya hancur. Ayah Resti terbunuh dalam perampokan tersebut, ibundanya pun sekarat, sedangkan Resti mengalami pemerkosaan yang dilakukan tiga perampok yang menyatroni rumahnya secara bergilir.Kemalangan hidup Resti menghantarkan ia pada kesedihan, hingga mengalami hilang ingatan. Dan berakhir dengan menghabisi dirinya sendiri dengan minum racun serangga. Dan sejak kematian tragis yang terjadi pada Resti, membuat angan-angan Lukman hancur berantakan.Di tengah kehancuran hatinya, Lukman pergi jauh ke negara lain. Ia bekerja di Australia sebagai pemetik buah. Hal itu dilakukan karena ingin melupakan kenangan buruk dengan bekerja jauh ke negara lain.Hingga akhirnya setelah bekerja selama tujuh tahun di negara lain, ia yang merasa telah ikhlas melepas kepergian Resti, memutuskan untuk kembali dan membuka toko perhiasan. Usaha yang telah cukup lama digeluti orang tuanya.Sejak kembali dari negara lain tiga tahun lalu, tidak sekalipun ia berupaya mengenal wanita lain. Tetapi, sejak pertemuan yang tak sengaja terjadi pada sebuah Bank Swasta di bilangan jalan Hayam Wuruk, hatinya kembali bergetar, saat ia melihat seorang wanita yang sangat mirip dengan Resti.Sosok Aruna dengan tekstur wajah, tinggi badannya serta penampilannya yang menyerupai Resti, membuat Lukman kembali mengingat cinta yang telah lama terkubur, kini rasa kerinduan dan cintanya, bangkit pada sosok gadis bernama Aruna. Dan sejak pertemuan di Bank itu, Lukman tidak mampu lagi menghapus wajah Aruna yang memiliki kemiripan dengan Resti. Hanya gigi gingsulnya saja yang membedakan dari keduanya.‘Aruna...hmmmm Aruna, aku pasti akan mendapatkan dirimu, pasti!’ Lukman berbicara pada hatinya.“Lukman,.. Lukman..,” panggilan sang mama membuyarkan lamunannya pada sosok Aruna yang terus bergelayut di matanya.Lukman melangkah menuju ruang makan, karena ia sangat hafal, pada jam tujuh malam, mama pasti akan memanggil kedua anaknya untuk makan malam bersama. Sesampai di meja makan, ia lihat mama, papa dan adiknya Ridwan telah melingkari meja makan. Ia duduk di antara mama dan papanya. Kemudian ritual makam malam tanpa suara pun di mulai.Selesai makan malam, mama bertanya padanya.“Lukman, mengapa semua dana akan kamu setorkan pada satu Bank saja? Bukankah biasanya kamu setor pada Bank yang selama ini kita pakai?”“Hmmm ya, Maa, saya memang sengaja pindahkan dana saya di Bank yang baru itu,” jawab Lukman singkat.“Tetapi Lukman, bukankah lebih baik kamu tempatkan pada Bank yang lama, sewaktu-waktu kita perlu tarik dana itu lebih di permudah,” Mama memberikan saran dan alasannya.“Maa, semua itu bisa Lukman atur, karena saya juga sudah bicara dengan kepala operasionalnya, untuk dipermudah kalau kita akan mengambil dana. Besok mereka akan ke rumah mengambil dana itu. Dan tadi saya sudah mengkonfirmasi ke Banknya.”Setelah mengatakan hal itu, Lukman meninggalkan meja makan dan kembali ke kamarnya. Sedangkan mama dan papanya tidak bisa melarang keinginan hatinya yang telah memutuskan hal itu. Mereka tidak dapat memaksakan kehendak atas keuangan putranya dan usaha yang dilakukan karena semua itu jerih payahnya dari putranya sendiri.Baru saja Lukman masuk ke kamarnya, mamanya memanggilnya, “Lukman.., papa akan bicara hal yang penting, cepat kamu ke ruang keluarga.”Lukman keluar dari kamarnya, dan ia menggerutu dalam hati, ‘Ada apalagi ini..., Memang kenapa sih, kalau saya pakai Bank lain.’Sesampai di ruang keluarga tampak, adiknya Ridwan telah ada pula di sana, bersama mama dan papanya. Agak terheran-heran Lukman melihat keseriusan di wajah mereka bertiga dan kini ia yakin, kalau yang akan di bicarakan di ruang keluarga sekarang, bukan seperti yang ia pikirkan. Lalu ia menghempaskan tubuhnya pada sebuah kursi disisi kanan sedangkan adiknya di sisi kiri dan mama, papa duduk di kursi sofa panjang. Terlihat papanya yang akan membuka pembicaraan, “Lukman...., papa bukan ingin membuka luka lama kamu. Hanya saja, sebagai orang tua, papa ingin mengingatkan. Usia mu sudah 35 tahun. Cobalah membuka diri pada wanita lain. Papa ingin kamu cepat berumah tangga, sebelum rambut di kepalamu berwarna putih,” papanya berbicara panjang lebar tentang sebuah pernikahan bagi Lukman.Kemudian, terlihat mamanya juga ikut berbicara, “Lukman, kalau terasa sulit memilih wanita yang akan kamu peristri, biarlah mama yang akan mencarikan jodoh untuk mu. Handai taulan di kampung pun tak kurang wanita cantik dan berpendirian. Kami sudah tua, tidak ingin wafat sebelum melihat dirimu menikah.”“Apalagi adikmu, Ridwan sudah berusia dua puluh lima tahun, kalau saja adikmu bertemu jodoh, tidaklah pantas di pandang orang, jika adikmu harus melangkahi mu,” kembali papanya menekan perihal perjodohan untuk dirinya dengan handai taulan di kampung halaman mamanya.“Ya, Ma, Pa, tolong beri waktu, dan doa ’kan saja Lukman akan segera menikah,” ujar Lukman dengan nada yang terlihat enteng. Di pikirannya saat ini, ia mempunyai keyakinan dapat menaklukkan hati Aruna.Mendengar ucapan putra pertamanya yang seakan-akan sudah mempunyai seorang kekasih, membuat kedua orang tuanya, saling berpandangan satu dan lainnya. Begitu pun dengan raut wajah adiknya yang mengangkat kedua bahunya ketika, pandangan wajah kedua orang tuanya melihat ke arahnya. Seolah-olah Ridwan mengetahui tentang sosok wanita yang dekat dengan abangnya.“Kalau memang sudah ada calonnya, kenapa kamu tidak kenalkan ke mama dan papa?” tanya papanya dengan wajah penuh kegembiraan. Karena baru kali ini, putranya tidak tersinggung ketika di tanya perihal pernikahan. Oleh karena itu, di awal kata, ia sangat berhati-hati untuk masuk ke masalah tentang pernikahan yang diharapkan cepat terlaksana.“Secepatnya Paah.., akan saya kenalkan. Bersabar saja, mohon terus didoa’ kan, dia mau menikah secepatnya,” ujar Lukman dengan wajah yang terlihat bahagia.“Syukurlah mama senang dengarnya, tak putus-putusnya kami berdoa untuk kalian berdua. Hanya kalian yang kami punya,” ujar mamanya dengan logat melayu yang masih kental saat berbicara.Setelah itu, mereka melanjutkan pembicaraan tentang handai-taulan di kampung, tentang perkembangan naik-turunnya harga emas, dan membahas berita yang ada di televisi. Hingga malam kian beranjak, dan rasa kantuk pada mata mereka pun kian bergelayut. Lalu mereka masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Aruna sampai rumah sekitar jam enam sore, perlu waktu satu jam untuk sampai rumah. Dan itu terjadi karena lalu lintas di jam keluar kantor yang padat merapat. Sesampai di rumah, ia langsung mengganti pakaian seragam kantor dengan pakaian rumah. Setelah itu, ia memasak untuk makan malam hari ini.Ayahnya telah sampai di rumah, dan seperti biasa Ayah selalu membantu pekerjaan rumah dengan menyiram tanaman. Mereka menempati rumah itu sejak lama, yang merupakan hasil jerih payah Ayah dan almarhum ibunya. Dulu ibunya melayani katering di tiga perkantoran.Keuletan ibu dan ayahnya membuat mereka memiliki rumah di kota Jakarta. Dengan status ayahnya sebagai Pegawai Negeri Sipil golongan rendah dan usaha ibunya yang berjualan nasi campur, membuat kehidupan mereka lebih baik. Sampai akhirnya sang ibu sakit parah dan wafatnya sang ibu tiga tahun lalu, membawa mereka pada keterbatasan secara ekonomi. Kala itu Aruna baru bekerja di Bank.Adik pertamanya bernama Aditya, kala itu ia baru lulus kulia
Seperti biasa selesai sarapan pagi, Aruna pergi ke kantor bersama adiknya Aditya menggunakan sepeda motor. Tetapi, jika Aditya ada acara di kantor atau sedang bertugas di luar kota, maka Aruna akan menggunakan angkutan umum.Untuk adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMP setiap pagi, ia diantar ke sekolah oleh Andika, karena kampusnya satu jalan dengan sekolah Arumi. Sedangkan Arimbi, ikut ayahnya setiap pagi dan pulang sekolah ia menggunakan angkutan umum.Begitu juga dengan Arumi, ketika pulang sekolah, ia akan menggunakan angkutan umum. Dan biasanya kedua adik perempuan Aruna sampai di rumah sekitar jam dua siang. Sedangkan adik lelakinya yang kuliah, terkadang sampai di rumah jam dua siang, namun terkadang Andika pun pulang ke rumah pada saat malam hari, karena kesibukannya sebagai asisten dosen di kampusnya.Sekitar empat puluh menit, Aruna sampai di kantornya. Ia menyerahkan helm yang ia gunakan ke adiknya. Karena di kantornya tidak ada tempat untuk penitipan helm. Ia lal
Selesai menghitung seluruh jumlah uang yang ada di kedua tas hitam itu, Yeni langsung membuatkan form penyetoran, sedangkan Aruna yang telah selesai dengan form deposito dan pengajuan kartu kredit untuk Lukman, tinggal menunggu Yeni menyelesaikan tugasnya.“Pak Lukman, uang yang di setorkan ini sejumlah 2 Milyar rupiah, silakan bapak tanda tangani form penyetoran ini. Dan pada bagian keterangannya telah saya tulis ‘deposito atas nama Lukman’ benar ya pak, untuk uangnya sejumlah yang saya sebutkan tadi?” tanya Yeni pada Lukman yang sedang menandatangani form penyetoran.“Ya benar.., lalu untuk pengajuan kartu kredit saya apa bisa secepatnya disetujui?” tanyanya pada Yeni.Lalu Yeni pun menjawab, “Maaf pak untuk masalah itu yang lebih paham, mbak Aruna, Pak.”Aruna yang mendengar pertanyaan dari Lukman langsung menjawab, “Untuk pengajuan kartu kredit bapak yang punya kebijaksanaan itu bagian kartu kredit pak. Tetapi, biasanya dengan deposito yang bapak punya, kemungk
Aruna yang gelisah merasa penasaran pada surat berwarna pink itu. Ia menjalani sisa pekerjaannya dengan pikiran yang bercabang ke segala arah. Ia mengutuk dirinya yang meninggalkan buku catatan kunjungan pekerjaannya di meja kerja Lukman.Itu memberikan kesempatan pada Lukman dengan memanfaatkan banyak hal, menulis dan berkirim surat padanya dan menyelipkan pada buku yang tertinggal pada meja kerjanya.Karena pikirannya terus menerus memikirkan sepucuk surat dengan amplop berwarna pink itu, membuat ia tidak fokus atas pekerjaannya. Dan hal itu terlihat saat ia memasukkan file ke dalam binder. Ia salah memasukkan form ke binder yang seharusnya. Sehingga Sari menegurnya, “Runa, gimana sih lo, form penutupan napa lo taruh di form pembukaan...”“Aduh...Sorry, Sar,” ucap Aruna.“Kagak ngerti gue sama lo, dari habis makan diem aja. Kalau gue salah, maaf’in gue,” ucap Sari disela-sela memasukkan file ke dalam binder diakhir-akhir jam kerja.“Iyaa..,” jawab Aruna singkat. Dan itu membuat Sari
Semalam Aruna tak mampu memicingkan matanya barang sekejap. Pikirannya melambung jauh pada sosok Lukman. Ia bingung, apakah perlu ia menjawab suratnya atau tidak, atau untuk sementara diabaikan saja. Sampai akhirnya ia pun terlelap dini hari tanpa mampu memberikan keputusan yang jelas atas hal yang harus ia lakukan.Dan di pagi ini akhirnya ia terlambat bangun. Untung saja, hari ini, hari Sabtu, jadi ia pun libur bekerja. Lalu ia terbangun kala adiknya yang bernama Arumi membangunkannya dengan mengetuk pintu kamarnya.“Tok..tok..tok. Kak.., kak Runa.. Kak..,” panggil Arumi sambil mengetuk pintu kamar Aruna.Seketika Aruna loncat dari tempat tidurnya saat mendengar ketukan pada pintu kamarnya dengan menjawab, “Yaa.., tunggu.”Aruna membuka pintu kamarnya, dan melihat adiknya telah memakai seragam sekolahnya. Kemudian, Aruna berkata padanya, “Maaf ya.. Rumi, kakak kesiangan.., sekarang tolong kamu beli sarapan di tukang nasi uduk di depan yaa..,” pinta Aruna pada Arumi yang masih berdiri
Saat ini Aruna dan Sari sedang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Mereka memasuki beberapa gerai yang memampang discount 50% pada setiap produk. Dan, sasaran empuk dari discount tersebut mayoritas mengenai wanita muda sampai wanita paruh baya. Dari produk kecantikan, accesories, serta baju. Dan gerai-gerai tersebut bagaikan sebuah magnet yang mampu menyedot pengunjung. Tampak beberapa lelaki dari pasangan wanita yang berada disisinya, menenteng tas belanja. Ada pula yang ikut bersama menemani berbelanja, dan ada pula yang menunggu di luar gerai dengan memandang lalu lalang orang yang berjalan dari berbagai aktivitas. Kalau kita berada di lantai tiga atau empat pada sebuah pusat perbelanjaan, akan terlihat mobilitas dari wanita-wanita itu berbelanja. Dan biasanya mereka menghabiskan waktu hingga berjam-jam hanya untuk mengunjungi beberapa gerai dan balik kembali pada gerai yang sama demi untuk mendapatkan discount yang lebih banyak, walaupun itu hanya seribu rup
Sari mengantar Aruna sampai di pintu pagar. Saat Aruna membuka pintu pagar, dilihat Arumi sedang menyapu halaman. Adiknya menoleh ke arahnya dan bertanya, “Abis dari mana kak? Koq tumben hari Sabtu kakak jalan keluar, itu tadi yang pake mobil teman kakak?”“Iyaa, tadi teman kakak, dia minta antar ke Mal. Pada kemana yang lainnya?” tanya Aruna sambil melangkah masuk ke dalam rumah.Arumi pun membuntuti kakaknya sambil berkata, “Kak Aditya keluar lebih dulu dari pada kak Andika. Kalau kak Arimbi sepertinya keluar dan belum pulang juga kak.”“Ooh, Arimbi belum pulang juga, kemana itu anak, dari pagi belum pulang. Ayah juga belum pulang?” tanya Aruna pada adiknya.“Belum kak, memang ayah kemana kak?” tanya Arimbi yang terus mengikuti langkah Aruna hingga kamarnya. Lalu Aruna mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah.Karena Lukman akan ke rumahnya, maka Aruna ingin ruang tamu dan halaman serta terasnya terlihat bersih. Dan ia mengajak adiknya untuk membersihkan rumah.“Rumi, tolong kamu la
Setelah Lukman meninggalkan kediamannya, Aruna langsung masuk ke dalam rumah dan terlihat ayahnya seperti sedang menunggunya di ruang keluarga.“Sudah pulang temanmu, Runa?” tanya ayahnya melihat Aruna yang berjalan menuju sofa yang ada di ruang keluarga. “Sudah, Ayah..” Aruna duduk berdampingan dengan ayahnya yang sedang menikmati acara televisi. Lalu dikecilkan volume dari televisinya.Tok.. Tok.. Tok.Bunyi pintu ruang tamu terdengar bersamaan dengan dikecilkannya volume pada televisi yang ada di ruang keluarga. Mendengar ketukan pintu, Aruna berjalan melangkah ke pintu tersebut dan membukakan pintunya.Klek..Pintu pun terbuka, dilihat adik lelakinya, Aditya baru pulang. Dilirik jam yang ada didinding ruang tamu, ternyata telah pukul sepuluh lebih tiga menit.“Koq malam banget pulangnya, Ditya?” tanya Aruna, sambil menutup pintu ruang tamu.Baru saja akan mengunci pintu, terdengar suara motor memasuki halamannya. Kembali Aruna membukakan pintu. Dilihat adik lelakinya yang lain, An