Share

BAB 10 : Kata Cinta ditengah Masalah

Setelah Lukman meninggalkan kediamannya, Aruna langsung masuk ke dalam rumah dan terlihat ayahnya seperti sedang menunggunya di ruang keluarga.

“Sudah pulang temanmu, Runa?” tanya ayahnya melihat Aruna yang berjalan menuju sofa yang ada di ruang keluarga.

“Sudah, Ayah..” Aruna duduk berdampingan dengan ayahnya yang sedang menikmati acara televisi. Lalu dikecilkan volume dari televisinya.

Tok.. Tok.. Tok.

Bunyi pintu ruang tamu terdengar bersamaan dengan dikecilkannya volume pada televisi yang ada di ruang keluarga. Mendengar ketukan pintu, Aruna berjalan melangkah ke pintu tersebut dan membukakan pintunya.

Klek..

Pintu pun terbuka, dilihat adik lelakinya, Aditya baru pulang. Dilirik jam yang ada didinding ruang tamu, ternyata telah pukul sepuluh lebih tiga menit.

“Koq malam banget pulangnya, Ditya?” tanya Aruna, sambil menutup pintu ruang tamu.

Baru saja akan mengunci pintu, terdengar suara motor memasuki halamannya. Kembali Aruna membukakan pintu. Dilihat adik lelakinya yang lain, Andika, masuk ke pekarangan rumah, mengunci pintu pagar dan memarkir motor. Ia lalu berjalan menuju pintu ruang tamu. Pertanyaan yang sama pun meluncur dari bibir Aruna pada adiknya, saat ia telah berada di muka pintu ruang tamu.

Mendengar pertanyaan dari kakaknya, Andika tersenyum, dengan setengah berbisik ia mengatakan, “Makanya punya pacar, biar ada yang ngapelin, he.. he.. he.”

Setelah itu, Andika pun berlalu, sama seperti Aditya yang meninggalkan Aruna yang sedang mengunci pintu rumah. Lalu Aruna kembali ke ruang keluarga menemani ayahnya. Sesaat kemudian, ayahnya bertanya mengenai Lukman padanya.

“Aruna, ayah lihat lelaki itu sudah cukup dewasa, dan ayah berharap, dia jadi jodoh kamu. Siapa nama teman kantormu itu?” tanya ayahnya dengan wajah serius memandang pada netra Aruna.

“Lukman namanya. Dia bukan teman kantor, dia itu nasabah Bank. Jadi Lukman sering ke Bank, dan akhirnya kami berteman,” jawab Runa singkat.

“Ooh.., kalian cuma berteman. Ayah pikir, kalian berpacaran dan baru kamu ajak rumah,” ada nada kecewa pada suara ayahnya.

Tetapi sejurus kemudian Ayahnya kembali berkata, “ Ayah akan berdoa, semoga dari teman biasa jadi teman hidup kamu, karena ayah lihat orangnya penuh tata krama dan cukup dewasa, jadi kelak dia bisa jadi imam yang baik untuk kamu.”

“Ya, Ayah.., Uhmm, Runa izin istirahat dulu, ayah juga istirahat. Ooh..iya, Runa sampai lupa. Ayah tadi pagi pergi kemana, koq sampai petang baru pulang?” tanyanya. Karena selama ini, jika libur kerja, ayahnya pasti di rumah.

“Ooh, tadi ayah ke rumah teman, tanya kerjaan sampingan, karena kan jam kerja ayah sampai jam 4 sore. Jadi ada waktu untuk ambil kerja lainnya, biar ada tambahan. Apalagi Sabtu dan Minggu libur,” ujar ayahnya.

Mendengar keinginan ayahnya bekerja kembali untuk tambahan biaya hidup, membuat hati Aruna seperti tersayat sembilu. Bagaimana mungkin, ia membiarkan ayahnya yang telah semakin tua, mencari pekerjaan tambahan.

“Ayah.., Runa harap janganlah ayah seperti itu, Runa dan Ditya masih mampu untuk biayai adik-adik. Tolong ayah, jangan lakukan itu lagi..,” kini netra Aruna telah bergelayut buliran bening yang siap meluncur dari sudut matanya.

Dengan memegang tangan ayahnya, Aruna kembali memohon padanya, “Ayah harus berjanji sama Runa.., Ayah jangan seperti ini lagi, Runa enggak mau kehilangan ayah, karena lelah bekerja. Ayah tahu kan, kalau ayah sudah tua? Jadi tolong berjanji sama Runa, Ayah...!”

Melihat buliran air mata Aruna yang terjatuh membasahi pipi, Ayahnya pun menganggukkan kepala. Kemudian, Aruna menghapus buliran air matanya yang masih tersisa pada pipinya. Dan ayahnya meminta ia beristirahat. Begitu juga dengan ayahnya yang terlihat memasuki kamar untuk beristirahat.

Sesampai di kamar, ia melihat beberapa kali Lukman melakukan panggilan pada ponselnya. Karena itu ia balik menghubungi lelaki itu.

Malam Bang.., sudah sampai rumah?” tanya Aruna, dilihat jam pada dinding kamarnya menunjukkan pukul sebelas malam.

“Malam Runa, iya udah sampai sepuluh menit lalu. Cuma tadi sempat abang berbincang sedikit dengan mama, papa,” jawab Lukman.

“Hmmm, Runa lagi ngapaen?” tanyanya dengan suara mesra.

“Lagi rebahan aja, belum bisa tidur,” ucap Aruna dengan manja.

Kamu enggak lagi mikirin abang kan? Soalnya sepanjang jalan abang terus teringat wajah kamu,” ucap Lukman, yang berbicara dengan bahasa puitis.

“Byuurr..” Hati Aruna terasa adem sekali mendengar ucapan yang didengarnya kali ini. Dalam hatinya ia bersorak – sorai, ‘Aduh.. ini lelaki buat hati gue berbunga – bunga banget sih, gue jadi Speechlees..’

“Runa.., kamu masih di sana kan?” tanya Lukman, saat tidak mendengar sahutan dari Aruna atas ucapannya.

“Uhmm iya Bang. Maaf lagi enggak bisa fokus.” Jawab Aruna dengan nada suara menahan kesedihan hatinya. Dalam hati ia menyesali telah berkata jujur tentang apa yang dipikirkan.

‘Aduh, ngapaen juga sih gue cerita lagi nggak fokus.’ Bisik batinnya.

“Apa kamu pikir Abang ada salah ngomong? Tapi ini benaran Abang alami. Kamu tau.., Abang bahagia sekali karena kamu mau menerima Abang jadi kekasih kamu. Sebenarnya waktu kamu ke rumah, waktu itu.., Abang cerita sama orang tua, kalau sudah lama jadi kekasih kamu. He..he..he.., dan akhirnya keinginan itu kesampaian juga. Terima kasih yaa.., Runa,” tutur Lukman panjang lebar dan berterus terang atas apa yang dirasakan saat ini dengan menceritakan kebohongan yang ia buat jadi kenyataan.

“Abang enggak salah ngomong koq. Cuma.., Runa jadi bingung aja mau jawab apa. Masalahnya kita baru saja dekat,” ucapnya dengan polos.

“Kalau begitu, besok abang ke rumah Runa lagi ya, biar tambah dekat. Sekalian mau ngobrol sama ayahnya Runa. Boleh kan?” tanyanya.

Entah mengapa, saat Lukman menyebutkan tentang ayahnya, air mata Aruna kembali bergelayut di netra beningnya dan menjawab ucapan Lukman dengan suara parau, “Iyaa Bang..”

Mendengar suara Aruna yang terdengar parau saat menjawabnya, membuat Lukman bertanya padanya, “Runa, apa ada masalah? Apa ayah sakit? Atau enggak setuju dengan Abang?”

“Bukan seperti itu sih.., Bang! Hanya saja.., tadi ayah cerita, kalau dia mau cari kerja tambahan, dan itu buat hati Runa terasa sedih. Hiks..hiks..” isak tangisnya pun pecah.

Dan entah mengapa, Runa yang selama ini berupaya tegar menahan berbagai masalah yang timbul dan tenggelam dalam keluarganya, mencurahkan kegundahan hatinya pada sosok Lukman yang baru menyatakan cinta padanya. Dan entah mengapa, Aruna lebih mudah terbuka dengan Lukman. Seolah ia telah mengenal lelaki itu bertahun-tahun lalu.

Menyadari keceplosan saat berbicara mengenai secuil masalah yang menyelimuti keadaan keluarganya, Aruna langsung meralat dengan meminta maaf. “Bang Lukman, maaf yaa Runa jadi cerita masalah ayah. Sekarang, abang udah paham dengan masalah yang terjadi di keluarga Runa. Jadi lebih baik Abang pikirkan lagi keinginan Abang untuk memperistri Runa, biar nggak dibilang Runa memanfaatkan Abang.”

“Runa, seperti yang abang bilang kemarin. Tanggung jawab Runa juga jadi tanggung jawab Abang. Jangan terlalu banyak berpikir, besok Abang ke rumah untuk bicara sama ayah. Runa tau, Abang sangat sayang sama kamu, jadi apa pun masalah yang ada, sampaikan ke Abang. Bagilah bebanmu walau sedikit saja,” ujarnya dengan nada penuh cinta dan suara yang begitu indah untuk didengarnya.

“Ooh ya, Runa. Hampir aja abang lupa. Tadi abang bicara sama mama dan papa. Mereka setuju kalau kita secepatnya menikah. Dan__.”

“Apa.., menikah?” Aruna memotong ucapan yang belum diselesaikan oleh Lukman.

“Iya.., menikah.., apa kamu enggak ada keinginan untuk menikah? Soalnya mama dan papa ingin kita secepatnya menikah. Bagaimana pendapat kamu?” tanya Lukman. Sementara Aruna yang mendengar kata pernikahan di awal pacaran, jelas membuatnya setengah panik memikirkan ke arah itu.

Lalu dengan perasaan yang kacau, ia menjawab, “Semua orang pasti ingin menikah, punya keluarga sendiri. Tetapi.., ini terlalu cepat, Bang!”

“Aruna, sebenarnya enggak ada yang terlalu cepat atau terlambat, semua tergantung niatnya. Dan kamu tahu, umur Abang berapa? dan bagi Abang umur kamu juga sudah cukup dan pantas untuk melepas masa lajangmu,” ujarnya memberikan pendapatnya.

Ehmm, besok aja dibicarakan lagi yaa Bang.., udah hampir dini hari, Runa mau istirahat, Abang juga istirahat yaa,” ucap Aruna menghindari percakapan tentang pernikahan.

“Baik sayang.., kalau bagaimana besok abang jemput jam sebelas siang yaa.., cium sayang dari jauh.. muaach..” ujar Lukman mengakhiri pembicaraan mereka lewat ponsel.

Setelah menutup ponselnya, kembali Aruna merunut seluruh pembicaraannya dengan Lukman. Ketika ia mengingat kembali ucapan Lukman, ada satu getaran pada hatinya. Baginya Lukman adalah lelaki yang to the point dalam memutuskan sesuatu.

Hanya saja sampai saat ini, Aruna belum secara terperinci menanyakan hal utama yang membuat ia menyukainya, atau paling tidak untuk taraf awal Aruna harus tahu, mengapa Lukman yang baru bertemu beberapa kali saat ia membuka rekening di Bank tempat ia bekerja, langsung memilih ia menjadi pasangan hidupnya.

Sedangkan bagi Aruna dan pada wanita lainnya, mencintai seorang lelaki, bukan hal yang mudah tetapi tidak sulit juga. Karena, bagi wanita, jika lelaki itu punya nilai lebih, maka mencintai seorang lelaki menjadi hal yang mudah dilakukan, asal lelaki itu adalah lelaki yang baik dalam bertutur kata dan bertanggung jawab.

Ditambah kemapanannya, kaya hati dan point plus lainnya adalah romantis. Jadi wanita mana yang akan sanggup menolak hati dan cintanya. Seperti halnya dengan Lukman. Yang datang secara tiba-tiba dengan menawarkan kenyamanan hidup dan setangkup cinta ditambah perilaku romantisnya.

Begitu pun dengan Aruna. Ia berpikir, cinta akan datang seiring dengan kedekatan dan perbuatan dari lelaki itu sendiri. Jadi tumbuhnya cinta dihati, karena lelaki itu menghormati wanitanya, bukan hanya membutuhkannya. Dan untuk saat ini, Aruna merasa jadi wanita yang sangat beruntung, karena akan memiliki hati, cinta, kehormatan serta romantisme serta tanggung jawab yang selama ini dipikulnya menjadi tanggung jawab bersama.

‘Yaa, Tuhan.. apakah memang Engkau mengirimkan Lukman untuk berbagi tanggung jawab yang semakin berat aku rasakan? Jika ia, dekatkanlah kami dalam takdir MU.’

Kembali Aruna meneteskan air mata di tengah malam. Ia merasakan kepiluan menjadi putri sulung dengan ke empat orang adik. Setiap masalah yang timbul dan tenggelam, hanya photo ibunya saja dalam peluknya.

Kini ia merasa selain photo ibunya, ada sosok lain yang kini mampu menjadi curahan hatinya dikala sedih dan menghadapi setiap masalah dalam kehidupan dan keluarganya. Akhirnya Aruna pun terlelap dengan bulir air mata yang masih mengenang pada setiap sudut matanya dengan harapan esok akan menjadi hari yang lebih baik dari hari ini.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
madehilda
hehehehe... Bahagianya liat Aruna jatuh cinta
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status