Share

BAB 6 : Surat Izin Mencintai

Aruna yang gelisah merasa penasaran pada surat berwarna pink itu. Ia menjalani sisa pekerjaannya dengan pikiran yang bercabang ke segala arah. Ia mengutuk dirinya yang meninggalkan buku catatan kunjungan pekerjaannya di meja kerja Lukman.

Itu memberikan kesempatan pada Lukman dengan memanfaatkan banyak hal, menulis dan berkirim surat padanya dan menyelipkan pada buku yang tertinggal pada meja kerjanya.

Karena pikirannya terus menerus memikirkan sepucuk surat dengan amplop berwarna pink itu, membuat ia tidak fokus atas pekerjaannya. Dan hal itu terlihat saat ia memasukkan file ke dalam binder. Ia salah memasukkan form ke binder yang seharusnya. Sehingga Sari menegurnya, “Runa, gimana sih lo, form penutupan napa lo taruh di form pembukaan...”

“Aduh...Sorry, Sar,” ucap Aruna.

“Kagak ngerti gue sama lo, dari habis makan diem aja. Kalau gue salah, maaf’in gue,” ucap Sari disela-sela memasukkan file ke dalam binder diakhir-akhir jam kerja.

“Iyaa..,” jawab Aruna singkat. Dan itu membuat Sari bertambah penasaran.

Hingga sampai batas akhir jam kerja, Aruna hanya terdiam usai menjawab permohonan maaf dari Sari. Dan Sari merasa, apa yang di katakan Aruna tentang Lukman tentang ingin Aruna jadi istrinya, bisa jadi keinginan itu adalah hasrat sesungguhnya dari Lukman, pikir Sari.

Lalu Sari merasa itu adalah penyebab dari diamnya Aruna dari hari biasanya. Tanpa diminta, Sari langsung memberikan saran pada Aruna. Padahal mereka saat itu tidak dalam kapasitas berdiskusi tentang masalah itu.

“Aruna, menurut gue.., kalau memang pak Lukman mau sama lo, terima aja.., serius.., karena orangnya baik banget..”

Aruna yang mendengar celoteh rekannya menimpali dengan berkata, “Tau Ahh.., gelap, males gue bicara sama mulut ember.”

“Runa, gue tadi itu kaget.., makanya gue sampe seperti itu bicaranya. Sorry, gue janji nggak akan seperti itu lagi,” ujar Sari berjanji dengan mengacukan jari telunjuk dan jari tengahnya.

“Ya udah gini aja, kalo lo nggak mau sama pak Lukman, biar gue yang deketin dia, mumpung gue udah bosen sama pacar gue.. he..he..he..,” Sari berkata dengan tertawa memperlihatkan gigi depannya yang seperti kelinci.

Mendengar kelakar dari Sari, membuat Aruna tersenyum. Sebenarnya Aruna ingin sekali bercerita tentang segala hal yang terjadi di rumah. Keresahan akan adiknya Arimbi serta tentang yang terjadi saat di rumah Lukman.

Walau ia agak ragu dengan Sari, tetapi.., sejauh ini hanya Sari teman dekat yang biasa jadi tempat curhat dan menceritakan seluruh masalahnya. Karena sebagai anak pertama dengan dua adik lelaki di bawahnya, membuat ia tidak punya tempat untuk sekedar bercerita tentang keresahannya sebagai seorang wanita. Apalagi masalah kedekatan dengan pria.

Dulu Aruna pernah jatuh cinta, pacaran di masa SMA dan kuliah, sewaktu ibunya masih ada. Jadi saat ia punya masalah ia selalu bercerita pada ibunya. Sejak kepulangan ibunya, nyaris semua masalah yang ada, ia telan sendiri. Baik dalam kesedihan ataupun kebahagiaan.

Dan sejak mengenal Sari yang waktu itu sama – sama sebagai karyawan baru, membuat Aruna sering bercerita pada Sari, begitu juga dengan Sari yang menceritakan apa pun tanpa sensor sedikit pun.

Akhirnya jam kerja pun berlalu, Seluruh rekan Aruna, termasuk Sari bersiap- siap untuk mengambil tas kerja miliknya di loker. Dan saat mereka bersamaan mengambil tas di loker, Sari kembali berkata – kata pada Aruna.

“Aruna, gue serius minta maaf sama lo, masa gara – gara tadi lo jadi seperti itu sama gue,” ucap Sari memegang tangan Aruna dengan wajah serius.

“Udahlah Sar.., next time aja gue cerita sama lo, otak gue lagi mumet.”

“Runa, gimana kalo sekarang lo ikut gue Shopping?” tanya Sari sudah dengan wajah cerianya. Dan Aruna langsung menggelengkan kepalanya, keluar dari ruang tersebut, setelah mengambil tasnya. Sementara, rekan – rekan yang lain juga sudah mengambil tas mereka di loker.

Karena pada hari ini adalah hari gajian, maka pembahasan mereka hari ini tentang rencana Shopping. Sementara, Aruna tidak seperti mereka. Dan itu telah berlangsung selama tiga tahun. Mungkin terasa melelahkan bagi seorang gadis seperti Aruna, yang harus merasakan tanggung jawab layaknya seorang ibu. Tetapi, itulah kehidupan yang sebenarnya.

Aruna berjalan ke ATM untuk mengambil sejumlah uang yang akan ia gunakan untuk biaya pendidikan adiknya dan untuk memberikan uang saku pada ke dua adik perempuannya. Seperti biasa setiap tanggal gajian, terjadi antrean karyawan di depan mesin ATM. Begitu juga dengan Aruna, ia mengantre di depan mesin ATM. Seperti pada bulan – bulan lalu, Aruna akan menyiapkan uang saku untuk ke dua adik perempuannya yang masih sekolah, seminggu sekali.

Kalau Andika, mendapatkan uang saku berupa bensin, pulsa, dan uang makan di kampus dari Aditya. Dan kewajiban ayahnya adalah membeli keperluan belanjaan bulanan, seperti beras, gula, kopi dan lain – lainnya. Berikut listrik, dan air yang harus di bayar tiap bulan. Demikianlah jalan kehidupan yang di jalani oleh Aruna dan keluarga, sepeninggal ibunya tiga tahun lalu.

“Sari.., gue pulang dulu yaa, tuh adik gue udah nunggu di parkir,” ucap Aruna setelah mengambil sejumlah uang, dan melihat Sari yang masih mengantre giliran di depan ATM.

Aruna berjalan menemui adiknya yang telah menunggu di tempat parkir. Lalu ia memakai jaket dan helmnya. Setelah itu sepeda motor yang membawa mereka berlalu dari halaman gedung.

Aruna melambaikan tangannya pada beberapa rekan kantornya yang sedang berjalan keluar untuk menunggu angkutan kota, bus yang lewat di depan kantor. Karena ada beberapa rekannya mayoritas menggunakan jasa angkutan umum dan kereta api untuk sampai ke rumah masing – masing.

Sepanjang perjalanan ke rumah, ia memikirkan surat yang ia belum buka. Di rabanya kantong blazer yang berisi sebuah amplop berwarna pink. Adik lelakinya yang melihat dari kaca spion, merasa kalau kakaknya sedang memikirkan sesuatu, saat melihat raut wajah Aruna. Maka ketika mereka sampai di lampu merah, Aditya berbicara pada kakaknya.

“Lagi mikirin apa ka?” tanya Aditya, sedikit menoleh ke arah Aruna. Dan Aruna yang tidak menyangka adiknya bertanya padanya langsung menjawab, “Enggak ada mikir apa, kakak sedikit capek aja.”

Setelah itu, lampu merah berganti dengan kuning dan lanjut ke hijau, Motor yang dikendarai oleh Aditya bersama Aruna pun kembali melaju di antara mobil – mobil serta kendaraan lainnya di tengah kepadatan yang kian merapat. Sekitar empat puluh menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah berpagar biru tua, dengan warna tembok rumah berwarna biru muda yang di padukan dengan warna putih pada setiap garis – garis sudut dari beberapa pilar yang ada pada teras rumah.

Pintu pagar di buka oleh adik bungsunya Arumi, dengan tersenyum lebar ia menyambut kedatangan kedua kakaknya. Setelah masuk ke dalam halaman rumah, di lihat adik lelakinya, Andika sedang menyiram tanaman dan Arimbi sedang menyapu halaman.

Melihat adik bungsunya tersenyum bahagia, membuat perasaan hati Aruna terasa tenang. Entah mengapa setiap melihat wajah adik bungsunya bahagia, ia merasa beban yang dirasa sedikit berkurang. Kasih sayangnya pada Arumi melebihi kasih sayangnya pada ke tiga adik lainnya.

Karena, Aruna berpikir, adik bungsunya kurang kasih sayang dari almarhum ibunya, sehingga itu membuat Aruna sedikit membedakan perlakuan dirinya pada Arumi. Terlebih, sebelum ibunya menutup mata, ia berpesan pada Aruna agar mengurus adik terkecilnya.

Dan itu adalah sebuah tanggung jawab yang tidak tertulis. Padahal, saat itu Aruna masih berusia dua puluh dua tahun. Setelah Aruna melepas jaket dan helmnya, adiknya, Arumi menghampiri dan berkata, “Kak Runa hari ini gajian yaa?”

Aruna yang tahu keinginan adiknya setiap tanggal 25, tersenyum ke arahnya sambil menggodanya, “Tapi.., hari ini enggak jadi gajiannya...”

Dengan wajah kecewa, Arumi bertanya pada Aruna, “ Kenapa gitu kak? Bukannya tiap tanggal 25 kakak harusnya gajian? Kan kasihan yaa kak Runa yang udah kerja tiap hari tapi nggak dapat gaji.”

Mendengar ocehan adiknya, Arumi bertanya padanya, “Kenapa kasihan sama kakak? Biar aja gajiannya bulan depan, biar tambah baanyaak.”

“Tetapi, Arumi kan harus bayar les bahasa inggris Kak.., kalau gimana kakak ke tempat les ya, bilang sama Miss Lily yang mengajar bahasa inggris. Arumi malu kak, sama teman-teman kalo sampai telat bayar,” ucap Arumi mengiringi langkah Aruna masuk ke dalam rumah dengan terus berbicara dengan wajah yang terlihat sedih.

Sampai Aruna masuk ke dalam kamarnya, Arumi terus mengikutinya ke dalam kamarnya. Di lihat Arumi melepaskan baju kantornya, membuka tas, lalu mengambil dompetnya dan mengeluarkan empat lembar uang lima puluh ribuan. Saat melihat yang dilakukan oleh kakaknya, Arumi langsung melonjak – lonjak kegirangan, dengan air mata yang bergelayut di mata sayunya, ia memeluk tubuh Aruna.

“Kakak.., Rumi tadi sempat sedih, mikir cara bayar lesnya. Soalnya kalo nggak bayar les, namanya di panggil satu persatu. Dan... Arumi.., malu.., kalo sampai di panggil namanya,” Arumi memeluk erat tubuh kakaknya, sambil sesekali menyeka air mata yang telah berurai di matanya.

Aruna yang menyadari kesedihan hati adiknya, langsung menghapus air matanya. Walau Arumi menangis dengan tidak mengeluarkan suara, dan hanya mengeluarkan air mata. Tetapi, itu cukup mewakili hatinya yang menyimpan kesedihan, ketakutannya dan rasa malu yang telah dimiliki oleh anak seusia Arumi dengan gengsi yang telah ia miliki dan problem yang terjadi di lingkungan sekolahnya.

Lalu Aruna memegang dagu dari wajah Arumi yang imut, menyeka air matanya yang meluncur dari ekor matanya dan berkata, “Ingat, kakak nggak akan membiarkan kamu malu di hadapan teman-teman kamu! Kalau kamu memang ada keperluan untuk sekolah, atau untuk jalan bersama teman – teman, kamu bilang ke kakak.., Yaa Rumi.”

“Terimakasih... kak Runa..., hiks..hiks.., untung Rumi punya kakak seperti kak Runa, kalo nggak, gimana nasib Rumi?” Akhirnya, Arumi yang telah menahan kesedihan hatinya, tidak mampu menahan tangisnya.

Dengan memeluk ia menangis. Aruna yang merasa kepedihan hati adiknya, berupaya menahan air matanya. Karena bagi Aruna, ia tidak ingin memperlihatkan kesedihan ataupun rasa berat yang di pikul di pundaknya pada adik – adiknya, apalagi pada adik bungsunya.

“Yaa, sudah sekarang bantu kakak angetin makanan yaa, kakak mau ganti baju dulu, dan besok pagi kakak kasih uang untuk bayar lesnya.”

“Siap kakakku sayang yang baik hati,” ujar Arumi yang telah tersenyum mengecup pipi Aruna dan berlari kecil keluar dari kamar Aruna.

Setelah Adiknya keluar dari dalam kamar, Aruna mengganti pakaian kantornya dengan pakaian rumah. Lalu dengan rasa penasaran ia membuka amplop warna pink yang sengaja di selipkan oleh Lukman pada bukunya yang tertinggal pada meja kerjanya.

Dengan perasaan deg – deg’kan ia merobek amplop berwarna pink, yang pada bagian depannya bertuliskan namanya. Sebelum membaca, ia menarik napas panjang berulang kali. Memikirkan atas apa yang mungkin di tulis oleh Lukman.

Hanya saja sebagai wanita dewasa ia sangat paham dari pandangan Lukman saat berbicara padanya di rumahnya, kalau Lukman menyukainya. Kala itu ia pikir, mungkin orang berduit yaa seperti Lukman, yang sedikit genit. Dan dengan tangan sedikit bergetar dan jantung yang berdebar. Ia mulai membaca tulisan tangan Lukman yang terlihat sangat rapi, seperti tulisan tangan seorang wanita.

Teruntuk Adinda Aruna,

Sebelumnya, saya mau minta maaf atas kelancangan tangan ini mengirimkan surat yang tidak semestinya. Mungkin lucu, jika orang melihat saya berkirim surat untuk Adinda, karena kita semua sudah memakai telepon genggam sebagai alat komunikasi. Tetapi seperti inilah diri saya. Adinda, di sini saya ingin menyampaikan, kalau sejak pertama saya berjumpa dengan adik, ada rasa yang ingin saya sampaikan. Mungkin saya ini, bagai lelaki pengecut yang tidak mampu berkata langsung. Tetapi dalam lubuk hati yang terdalam, saya katakan, kalau saya tertarik secara batiniah dan lahiriah atas ke elokan tutur kata dan wajah adinda. Jika adinda Aruna belum punya hubungan dengan lelaki lain, izinkan saya untuk mengenal lebih dekat. Dan kelak, saya ingin menjadikan adik sebagai istri saya, seumur hidup. Semoga tulisan ini tidak menjadikan adik berburuk sangka, karena saya benar – benar serius dalam hal ini, apalagi adik sendiri tahu, usia saya sudah berkepala tiga, tidak mungkin saya ingin bermain – main layaknya seorang pemuda. Sekali lagi saya minta, jika adik menolak, tolong jangan hindari saya seperti musuh. Karena rasa yang ada ini tidak bersalah. Setidaknya, jadikanlah saya menjadi salah satu sahabat dari ribuan sahabat yang adik punya. Dan itu sudah lebih dari cukup bagi saya.

Salam

Lukman.

Sebagai seorang wanita cerdas, yang tidak punya pacar dengan usia yang matang dan layak untuk menikah serta punya tanggung jawab besar pada adik-adiknya, kesempatan yang diberikan pada Lukman adalah hal yang sangat langka didapat gadis-gadis lain.

Ditambah, tutur kata dan sopan santun yang di punyai Lukman dalam bersurat, sedikitnya telah mengena di hatinya. Hanya saja yang jadi pemikiran dari Aruna, mengapa Lukman memilih dirinya? Kalau masalah kecantikan, di Jakarta tidak kurang gadis cantik.

Dalam hati, Aruna terus bertanya dan bertanya, ‘Apa yang jadi alasan Lukman ingin menjadikan ia teman hidupnya? Apakah dengan menikahi Lukman, jadi jaminan bagi Aruna, tanggung jawab atas adik – adiknya dapat di atasi? Hmmm, sekarang aku harus bagaimana?’

“Kak Aruna.., kakak..! semua lagi nunggu kakak di meja makan,” ujar Arumi yang telah berada di depan kamar Aruna.

Aruna yang mendengar panggilan Arumi tersontak kaget, menoleh ke arah suara Arumi yang berada di depan pintu dengan tersenyum dan berkata, “Yaa, sekarang kakak ke ruang makan.”

“Kakak itu tadi udah di panggil sama kak Arimbi waktu di dapur, lalu kata ayah, mungkin ketiduran karena capek, eehh.. ternyata, lagi asyik baca surat. Pasti dari pacarnya yaa..,” tanya Arumi, berjalan masuk ke dalam kamar Aruna.

“Ngawur aja kamu.., Ayoo kita bareng ke ruang makan.”

Aruna menggandeng tangan Arumi, berjalan menuju ruang makan. Di sana telah tampak, adik-adiknya dan ayahnya yang menunggu dirinya untuk makan bersama. Lalu ritual makan bersama pun di mulai seperti hari – hari kemarin.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
madehilda
terima Lukman.. jadi suami Runa.. biar nggak berat km ngurusi adik-adikmu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status