"Cepetan. Jangan lama dandan."
Sarah mengetuk pintu kamar Hayu yang sejak tadi ditunggu, tetapi belum muncul juga.
Danu sudah bertanya sejak tadi karena mereka akan terlambat datang. Acara arisan keluarga bulan ini diadakan di rumah eyang putri.
Semua diharapkan hadir tepat waktu. Jika tidak mau mendapat siraman rohani yang panjang tentang kedisiplinan.
"Bentar, Ma!"
Hayu mengambil tas lalu membuka pintu dengan tergesa-gesa. Biasanya jika ada arisan keluarga, wanita itu jarang ikut. Hari ini dia tidak bisa mengelak karena mamanya memaksa.
Jika acaranya di tempat keluarga yang lain, maka tidak akan dipermasalahkan. Namun, kalau di rumah eyang jangan ada yang berani absen. Kecuali memang ada urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan.
"Kamu dandannya lama banget," sungut Sarah sembari berjalan menuju ke depan dan menarik lengan putrinya.
Danu sudah menunggu di mobil dengan supir yang sudah siap mengantar mereka.
"Cepetan dikit, Nak. Nanti eyang ngomel," kata Danu saat istri dan putrinya masuk ke mobil.
Setiap ada acara keluarga, Danu pasti akan meluangkan waktu untuk datang, kecuali jika bertepatan dengan tugas ke luar kota. Dia tidak mau dibilang sombong dan lupa karena dianggap telah sukses.
Mobil melaju membelah jalanan ibu kota yang padat. Hari itu cuaca cerah sehingga perjalanan cukup lancar. Setelah menghabiskan waktu satu jam, akhirnya mereka tiba di sebuah rumah besar.
Eyang putri tinggal bersama salah satu anak perempuannya. Usianya sudah cukup renta, tetapi semangatnya maaih tinggi.
"Nanti tolong jaga sikap, ya. Keluarga besar ngumpul semua."
Danu berpesan saat mobil mereka masuk ke halaman rumah eyang yang luas itu. Berderet kendaraan berbagai jenis dan merek sudah terparkir. Itu berarti hampir semua keluarga sudah datang.
"Tapi aku gak suka sama Aksa, Pa. Dia mepet-mepet terus," ucap Hayu.
"Dia suka sama kamu itu," balas Danu.
"Tapi aku kan gak mau. Dia masih kecil juga, kuliah aja belum selesai."
Setiap kali Hayu mengeluhkan tingkah Aksa, tak ada respons yang diharapkan dari mama dan papanya. Bahkan keluarga yang lain tampak senang dan malah menjodohkan mereka.
"Jangan bilang gitu, Nak. Kalau mau nolak ya baik-baik," nasihat Sarah.
"Mama ngomong dong sama Tante Rani biar anaknya gak ganguin aku terus."
Hayu sudah berusaha menjauh dari Aksa sebisa mungkin. Namun, lelaki itu sepertinya tidak peka. Jadi, setiap ada acara keluarga, wanita itu memilih untuk mengjindar.
"Mama gak mungkin bilang begitu sama Rani. Mungkin dia juga gak tau kalau Aksa suka sama kamu."
"Jadi aku harus gimana?"
"Kamu nanti dekat mama aja. Kalau Aksa nyamperin, gak usah ditanggapi."
Sarah menasihati sembari menoleh ke kursi belakang. Untunglah Danu tak banyak menanggapi. Lelaki itu hanya fokus menyetir.
***
"Assalamualaikum."
Kedatangan mereka langsung disambut heboh oleh beberapa orang. Ternyata mereka sudah ditunggu sejak tadi. Danu adalah seorang pejabat penting di kota ini, sehingga kedatangannya memang dinanti.
Sarah menyerahkan sebuah bungkusan besar berisi camilan dan kue untuk disajikan. Dia sudah memesan brownies terenak di kota ini untuk acara keluarga.
Tak tanggung-tanggung, sepuluh loyang besar dibeli sekaligus. Ada juga lumpia Semarang yang terkenal enaknya sebagai tambahan.
"Aduh, Sarah. Jadi ngerepotin."
"Eh, gak apa-apa. Cuma sesekali," jawabnya dengan ramah.
"Ah, kamu tiap arisan pasti bawa makanan terus."
"Namanya keluarga, ya begitulah," jawab Sarah sembari tersenyum.
Hayu duduk di sebelah mamanya. Sementara itu, Danu mengobrol di depan dengan bapak-bapak yang lain.
Hanya para wanita yang ikut dalam acara intinya. Namun, Hayu tetap menghampiri para om, tante, juga sepupu yang lain.
Ada Aksa di sana. Namun, mereka tak saling tegur sapa. Hayu juga cepat-cepat menghindar saat lelaki itu mengulurkan salam.
"Gimana, semua udah siap?"
"Siap, dong."
Acara dimulai. Pada saat nama yang menang arisan dibacakan, terdengar riuh yang menggema seantero ruangan.
"Wah, Cintia menang. Bulan depan makan pempek kita, ya."
Eyang putri duduk di kursi roda dan terlihat senang menyaksikan itu. Tubuhnya memang lemah, tetapi semangat masih tinggi.
Canda dan tawa masih saja terdengar. Hingga Eyang tadinya segar, kini tampak lelah.
"Hayu. Bawa eyang ke kamar."
Eyang mulai mengantuk, sehingga tak bisa mengikuti acara sampai selesai. Lagipula setelah nama tarikan keluar, acara selanjutnya adalah makan-makan.
"Tapi--"
"Ayo, buruan. Eyang udah gak kuat."
Hayu tentu saja kaget atas permintaan itu. Ketika mamanya memberikan kode untuk mengiyakan, akhirnya wanita itu mendorong kursi roda dan membawa eyang masuk ke kamar.
"Kamu kok cemberut, kenapa?" tanya eyang setelah Hayu membantunya duduk di tempat tidur.
"Gak apa-apa, Eyang," jawab Hayu sembari melengkungkan senyum manis.
"Lagi patah hati?"
Hayu tersentak karena tebakan eyang benar. Wanita itu bertanya dalam hati apakah eyang ini cenayang sehingga bisa membaca isi hatinya.
Hayu memang sedang kecewa dengan teman kantornya yang ternyata buaya. Padahal mereka sudah pendekatan sejak lama.
"Enggak," jawab Hayu singkat.
Mendengar itu, Eyang mengusap kepala cucunya dengan pelan.
"Jodoh itu kadang datang dari arah yang tak diduga. Kita mengharapkan orang jauh, padahal yang dekat juga ada."
Hayu terdiam. Ada apa ini? Jangan bilang kalau maksud dari ucapan eyang mengarah ke Aksa. Sungguh, dia tidak terima.
"Aku gak mikirin itu, kok," elaknya.
Sejujurnya, semua wanita yang masih single akan terganggu jika selalu ditanyakan mengenai jodoh. Menikah itu ibadah dan bukan perlombaan.
Hayu hanya akan menikah dengan lelaki bertanggung jawab dan shaleh yang kelak akan menjadi ayah dari anak-anaknya.
Jika memang waktunya belum tiba, Hayu akan menunggu. Wanita itu tak ingin dipaksa hanya demi membungkam mulut orang-orang yang usil dengan kehidupannya.
"Ambilkan bantal. Eyang mau tidur."
Hayu meletakkan beberapa bantal dan juga menolong eyang berbaring. Punggung wanita sepuh itu memang bungkuk. Sehingga posisi tidurnya dibuat miring dengan guling sebagai penyangga.
Hayu mengusap punggung eyang dengan lembut. Neneknya sendiri --kakaknya eyang-- sudah tidak ada sejak dia masih kecil.
Setelah terdengar dengkur halus eyang, Hayu mengambilkan selimut. Dia juga menepikan kursi roda agar tak menghalangi jalan.
Dengan pelan Hayu berjalan keluar agar eyang tak terbangun. Saat dia membuka pintu, lalu tiba-tiba saja ....
Bruk!
Tubuh Hayu menabrak seseorang dan terjatuh. Lalu, tiba-tiba saja tangannya ditarik untuk berdiri dan didekap erat agar tidak limbung. Pintu kamar ditutup kembali dengan cepat.
"Kamu?" tanya Hayu melotot saat melihat siapa yang memegang lengannya.
"Ssstttt!" kata Aksa sembari menekan telunjuk di bibir.
"Ini apa-apaan?" tanya wanita itu emosi.
"Aku lagi sembunyi," ucap Aksa.
"Ini kamar eyang."
"Makanya kamu jangan berisik," kata Aksa sambil melirik ke arah tempat tidur di mana neneknya sedang terlelap.
Aksa sudah biasa masuk ke kamar eyang, jadi tidak akan ada yang mempertanyakan. Lagipula ini tempat bersembunyi yang paling tepat agar tidak ketahuan.
"Keluar sana!" usir Hayu. Tidak sopan jika mereka berduaan sekalipun ada eyang yang sedang tertidur.
"Tunggu yang lain pada pulang. Aku males disuruh nganterin."
Aksa membisikkan sesuatu yang membuat Hayu heran. Laki-laki itu bilang, ada salah satu kerabat mereka yang suka minta diantar pulang setiap acara keluarga selesai.
"Kalau gitu, aku aja yang keluar," kata Hayu sembari membuka pintu. Namun, tangannya malah dicekal kuat.
"Kalau kamu keluar nanti aku ketahuan."
Biarin," ucap Hayu sembari membuka pintu.
Aksa mencoba menahan Hayu, tetapi gadis itu menolak. Mereka saling mendorong, lupa kalau ada eyang disitu.
Sikap Hayu yang tidak mau mendengar ucapannya, membuat Aksa memeluknya. Tubuh jangkung itu tentu saja menang.
"Eh, kamu?" Hayu meronta lalu melawan.
Terjadilah pertempuran sengit. Hayu tak sengaja mencakar pipi Aksa. Mereka berdua jatuh ke lantai dengan posisi berpelukan.
Hayu berteriak kaget. Hal itu membuat Aksa langsung merespons dengan menutup mulutnya. Wanita itu berusaha melepaskan diri.
Hayu meronta sebisanya. Hingga tanpa sengaja tangannya merobek kemeja depan Aksa. Sehingga menampakkan dada bidangnya. Beberapa kancing bahkan terlepas dari jahitan.
Hayu memalingkan wajah. Sementara Aksa malah tersenyum. Lelaki itu baru menyadari kalau kakak sepupunya sangat cantik.
Mengikuti nalurinya sebagai seorang lelaki, Aksa mendekatkan wajah. Lelaki itu menyentuh lembut pipi Hayu.
"Kalian sedang apa?"
Suara eyang bagikan petir di siang bolong yang mengagetkan mereka. Hayu mendorong tubuh Aksa. Jika tidak ada eyang di sini, dia pasti sudah menampar lelaki itu karena telah berbuat lancang.
Hayu membetulkan bajunya yang berantakan, juga rambut yang acak-acakan.
"Gak ngapa-ngapain, Eyang," jawab mereka serentak.
Aksa mencoba bersikap santai walaupun dalam hati berdebar kencang. Ini memang rencana untuk bersembunyi, jika mama meminta untuk mengantar keluarga yang itu.
Namun, dia tak menyangka akan separah ini jadinya.
"Kalian ini malah berbuat asusila di kamar eyang," tuduhnya dengan rona kecewa.
Eyang menggeleng karena tak habis pikir dengan tingkah cucu-cucunya. Ternyata Aksa dan Hayu berani sekali berbuat sesuatu yang memalukan di kamarnya.
Anak-anak sekarang memang kelewatan. Berbeda dengan generasi zaman dulu yang lebih mengutamakan sopan santun.
"Itu gak benar, Eyang. Aksa yang meluk aku," ucap Hayu membela diri karena tak terima dituduh berbuat seperti itu.
Aksa malah mengusap tengkuk berulang kali karena bingung harus menjawab apa. Lelaki itu hanya bisa pasrah tanpa berani menyela.
Eyang kembali menatap mereka secara bergantian, lalu berkata.
"Aksa! Bawa eyang ke depan. Ini harus dibicarakan dengan orang tua kalian."
Semua pasang mata menatap sosok eyang yang keluar dengan diiringi Aksa, juga Hayu dibelakangnya. Mereka bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya sedang terjadi.Acara sudah selesai sejak tadi. Jadi orang-orang duduk berkumpul makan sambil berbincang. "Loh, kamu kok ada di kamar eyang?" tanya Rani kepada putranya. Aksa hanya terdiam karena tak berani menjawab. "Baju kamu kenapa sobek? Tadi bukannya mama minta tolong anterin tante sama om. Mereka udah nungguin di luar," lanjut Rani. Melihat ada yang janggal, keluarga yang lain mulai berbisik-bisik. Apalagi melihat tingkah Hayu yang tampak berbeda dari saat masuk ke kamar eyang tadi. "Panggil Danu sama Setya. Rani sama Sarah tunggu di sini. Yang lain boleh keluar," ucap eyang tegas. Bisik-bisik semakin kencang terdengar. Dalam sekejap, ruangan yang tadinya berisi puluhan orang menjadi sepi. Hayu duduk di sebelah Sarah sembari memeluk mamanya dan menangis. Sementara Aksa masih terdiam saat mamanya bertanya banyak hal. Apa ya
Aksa melajukan mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi, berusaha mengejar taksi yang membawa Hayu. Tadi dia sudah menahan dan mencoba membujuk agar bisa mengantarkan pulang, tapi wanita itu sudah terlanjur merajuk.Begitu taksi berhenti di depan rumah, Aksa segera memarkir mobil dan berusaha masuk sebelum pagar tertutup. "Mau apa lagi kamu?" tanya Hayu dengan wajah galak. Dia sudah kesal setengah mati karena perbuatan lelaki ini. Ternyata orangnya malah muncul."Mau nikahin kamu, Mbak," jawab Aksa cepat, lalu segera menutup mulut karena salah bicara. Hayu mendelik tak suka, lalu berkata, "Mending pulang sana. Jangan sampai aku nyuruh security buat ngusir kamu!"Aksa menarik napas dalam, mencoba mengendalikan perasaannya sebelum kembali berucap. "Mau minta maaf. Tadi itu salah ngomong," kata Aksa dengan penuh penyesalan. Walaupun dia tak sepenuhnya menyesal. Apa yang mau Aksa sesalkan jika sudah merasakan memeluk Hayu juga menyentuh pipinya. Itu namanya rezeki, bukan?Maafkan pikir
"Ananda Muhammad Aksa Rahardian. Aku nikahkan engkau dengan pinanganmu, puteriku Annisa Hayuna dengan mahar sebuah cincin berlian tunai.”"Saya terima nikahnya Annisa Hayuna putri kandung Bapak dengan mahar sebuah cincin berlian tunai!" "Bagaimana saksi?""Sah!""Alhamdulillah. Baarakallaahu laka, wa baarakallahu ‘alaika, wa jama’a bainakuma fii khaiir."Doa untuk kedua mempelai dibacakan. Semua orang mengangkat tangan dan mendengarkan dengan khusyuk. Juga mengaminkan agar mereka mendapat limpahan berkah, rumah tangga aman tentram, langgeng hingga kelak maut yang memisahkan. Danu menepuk bahu Aksa, setelah menantunya itu mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Hanya dalam sekali ucap dan tarikan napas, lelaki itu melakukannya.Aksa sudah berlatih seminggu ini, mengahapal sebaris kalimat yang pendek tapi sangat menengangkan sewaktu diucapkan. Syukurlah, ketika tiba saatnya, dia dapat mengucapkannya dengan fasih. Sementara itu Hayu sejak tadi berada di dalam kamar ditemani mamanya, menu
Hayu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh, ketika terdengar pintu kamar mandi dibuka. Lalu menyusul suara langkah kaki mendekat. Bahkan bunyi koper yang ditutup dengan keras membuatnya kaget. Cengkeraman Hayu pada selimut semakin erat. Wanita itu memejamkan mata sembari berdoa dalam hati semoga Aksa tidak curiga bahwa dia sedang berpura-pura tidur. Aksa tersenyum geli melihat tingkah Hayu yang kekanakan. Dia tahu kalau istrinya sengaja menghindari. Dengan santai, laki-laki itu membuka koper untuk mencari pakaian, juga memasang celana dan kaus. Sesuai dengan kesepakatan, untuk sementara waktu mereka akan tinggal di rumah orang tua Hayu. Nanti secara pelan-pelan Aksa akan membujuk istrinya agar mau pindah ke rumah orang tuanya. Aksa berjalan mendekati ranjang dan langsung berbaring dengan santai di sebelah istrinya. "Aaaa!" Hayu berteriak, lalu menarik selimut hingga menutupi kepala. Tubuhnya gemetaran karena ketakutan. "Kamu kenapa, kesurupan?" tanya Aksa heran. Dia send
Keesokan harinya. Aksa menatap wajah di cermin berkali-kali, ke arah pipi yang ditampar Hayu kemarin karena dia sudah lancang menggoda. Untung tidak ada bekasnya, hanya memerah beberapa saat."Masa' diajakin bikin baby aja dia marah?" sungut laki-laki itu sembari menyisir rambut. Bukankah itu haknya? Persetan dengan perjanjian pra nikah. Mereka sudah halal, jadi Hayu berkewajiban melayani. Pipinya memang sakit, terlebih lagi hati. Entah sudah berapa kali dia merasakan ini. Dulu wajar saja kalau Hayu melakukan itu karena mereka belum halal. Sekarang? Sabar, Aksa. Matanya melirik ke arah jam di dinding. Jarumnya semakin bergeser ke angka delapan. Dia masih cuti kuliah, tapi tetap harus ke kantor papa. Belum ada bulan madu seperti pasangan lain yang baru menikah. Lelaki itu sedang mengumpulkan uang, supaya bisa mengajak istrinya jalan-jalan. Hayu sudah tak terlihat saat dia membuka mata. Mungkin, sudah turun ke bawah membantu mamanya memasak. Mereka baru dua hari menikah, tetapi rasan
Aksa memasuki kantor papa Setya dengan penuh percaya diri. Biasanya dia datang dengan penampilan yang santai karena sehabis pulang kuliah. Kali ini terluhat lebih rapi dengan memakai pakaian formal.Beberapa orang berbisik-bisik membicarakannya. Tubuh jangkung yang menjulang dengan sisiran rambut yang rapi membuat mata beberapa karyawati ikut melirik."Penganten baru udah datang. Seger amat." Setya menepuk pundak putranya. Melihat tampilan Aksa yang berbeda kali ini ada rasa bangga dalam hatinya."Papa bisa aja," jawabnya malu. Seperti biasa, Aksa akan duduk di sofa dengan laptop yang sudah terletak di meja. Tinggal menunggu instruksi apa yang akan dikerjakan.Sebenarnya pekerjaan ini cukup memusingkan karena berbeda dengan bidang yang saat ini dia pelajari. Namun, Aksa tetap berusaha demi pembuktian cintanya kepada Hayu. Bagaimana dia akan menafkahi istri kalau tidak bekerja disini. Penghasilan Hayu di kantor sudah jelas lebih banyak. Selama dua hari ini, Aksa hidup ditanggung oleh
Aksa membuka mata saat dirasakannya sinar matahari mulai memancar dari balik gorden. Mata elang itu melirik ke arah jam di dinding. Masih pagi, angka 7 yang ditunjukkan oleh jarumnya. Dia menggeliat karena tubuh yang terasa pegal. Semalam usahanya gagal. Hayu masih belum bisa ditaklukan. Akhirnya dia mengalah, ikut turun ke bawah dan makan malam bersama mama Sarah. Terdengar suara air dari kamar mandi. Tak lama pintunya terbuka. Aksa kembali memejamkan mata, berpura-pura tidur, namun sebenarnya diam-diam mengintip. Hayu keluar dengan memakai bathrobe. Istrinya baru selesai mandi. Masih ada tetesan air di rambut basah itu.Si cantik itu sedang mengeringkan rambut dengan handuk. Kemudian duduk di meja rias, mengambil sisir juga hair dryer supaya lebih cepat kering.Tangan mungil itu mengambil sebuah pouch dan mengeluarkan satu persatu alat make-up. Foundation, powder, blush on dan lisptik berwarna merah.Alisnya sudah tebal dan tak perlu dibentuk. Kulit wajahnya memang sudah terlahir
Langkah kaki Aksa berderap saat memasuki kantor. Beberapa orang menyapa dan dibalasnya dengan ramah. Karena baru selesai pulang kuliah, dia berpakaian santai kali ini. Hanya kemeja dengan celana jeans juga sepatu kets, dengan ransel di pundak."Pagi, Pak. Saya Nisa." Seorang gadis seusia Aska menyambut kedatangannya saat tiba di kantor.Ada sebuah meja di depan ruangan, dan ternyata itu ditempati oleh sekretarisnya. Sesuai janji papa, akan ada yang membantu menyiapkan laporan. Ternyata ini orangnya, manis dan sopan dalam bersikap, juga berpakaian. Papa bilang, mulai hari ini, dia akan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan gaji yang diterima setiap bulan. Karena dia sudah menjadi kepala keluarga, papa akan memberikan tunjangan tambahan dengan syarat, semua tugas harus dikerjakan dengan maksimal. Dia akan ikut menemui klien dan menyaksikan proses penanda-tanganan surat-surat kerjasama. Setya sudah mempunyai rencana jangka panjang. Jika putranya sudah selesai kuliah, dia akan membuka seb