Beranda / Romansa / Ada Berondong Tua / Gara-gara Arisan Keluarga

Share

Ada Berondong Tua
Ada Berondong Tua
Penulis: Queeny

Gara-gara Arisan Keluarga

"Cepetan. Jangan lama dandan." 

Sarah mengetuk pintu kamar Hayu yang sejak tadi ditunggu, tetapi belum muncul juga. 

Danu sudah bertanya sejak tadi karena mereka akan terlambat datang. Acara arisan keluarga bulan ini diadakan di rumah eyang putri. 

Semua diharapkan hadir tepat waktu. Jika tidak mau mendapat siraman rohani yang panjang tentang kedisiplinan.

"Bentar, Ma!"

Hayu mengambil tas lalu membuka pintu dengan tergesa-gesa. Biasanya jika ada arisan keluarga, wanita itu jarang ikut. Hari ini dia tidak bisa mengelak karena mamanya memaksa. 

Jika acaranya di tempat keluarga yang lain, maka tidak akan dipermasalahkan. Namun, kalau di rumah eyang jangan ada yang berani absen. Kecuali memang ada urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan. 

"Kamu dandannya lama banget," sungut Sarah sembari berjalan menuju ke depan dan menarik lengan putrinya.  

Danu sudah menunggu di mobil dengan supir yang sudah siap mengantar mereka.

"Cepetan dikit, Nak. Nanti eyang ngomel," kata Danu saat istri dan putrinya masuk ke mobil.

Setiap ada acara keluarga, Danu pasti akan meluangkan waktu untuk datang, kecuali jika bertepatan dengan tugas ke luar kota. Dia tidak mau dibilang sombong dan lupa karena dianggap telah sukses.

Mobil melaju membelah jalanan ibu kota yang padat. Hari itu cuaca cerah sehingga perjalanan cukup lancar.  Setelah menghabiskan waktu satu jam, akhirnya mereka tiba di sebuah rumah besar. 

Eyang putri tinggal bersama salah satu anak perempuannya. Usianya sudah cukup renta, tetapi semangatnya maaih tinggi. 

"Nanti tolong jaga sikap, ya. Keluarga besar ngumpul semua."

Danu berpesan  saat mobil mereka masuk ke halaman rumah eyang yang luas itu. Berderet kendaraan berbagai jenis dan merek sudah terparkir. Itu berarti hampir semua keluarga sudah datang. 

"Tapi aku gak suka sama Aksa, Pa. Dia mepet-mepet terus," ucap Hayu.

"Dia suka sama kamu itu," balas Danu.

"Tapi aku kan gak mau. Dia masih kecil juga, kuliah aja belum selesai."

Setiap kali Hayu mengeluhkan tingkah Aksa, tak ada respons yang diharapkan dari mama dan papanya. Bahkan keluarga yang lain tampak senang dan malah menjodohkan mereka. 

"Jangan bilang gitu, Nak. Kalau mau nolak ya baik-baik," nasihat Sarah.

"Mama ngomong dong sama Tante Rani biar anaknya gak ganguin aku terus."

Hayu sudah berusaha menjauh dari Aksa sebisa mungkin. Namun, lelaki itu sepertinya tidak peka. Jadi, setiap ada acara keluarga, wanita itu memilih untuk mengjindar.

"Mama gak mungkin bilang begitu sama Rani. Mungkin dia juga gak tau kalau Aksa suka sama kamu."

"Jadi aku harus gimana?"

"Kamu nanti dekat mama aja. Kalau Aksa nyamperin, gak usah ditanggapi."

Sarah menasihati sembari menoleh ke kursi belakang. Untunglah Danu tak banyak menanggapi. Lelaki itu hanya fokus menyetir. 

***

"Assalamualaikum." 

Kedatangan mereka langsung disambut heboh oleh beberapa orang. Ternyata mereka sudah ditunggu sejak tadi. Danu adalah seorang pejabat penting di kota ini, sehingga kedatangannya memang dinanti. 

Sarah menyerahkan sebuah bungkusan besar berisi camilan dan kue untuk disajikan. Dia sudah memesan brownies terenak di kota ini untuk acara keluarga. 

Tak tanggung-tanggung, sepuluh loyang besar dibeli sekaligus. Ada juga lumpia Semarang yang terkenal enaknya sebagai tambahan.

"Aduh, Sarah. Jadi ngerepotin."

"Eh, gak apa-apa. Cuma sesekali," jawabnya dengan ramah. 

"Ah, kamu tiap arisan pasti bawa makanan terus."

"Namanya keluarga, ya begitulah," jawab Sarah sembari tersenyum.

Hayu duduk di sebelah mamanya. Sementara itu, Danu mengobrol di depan dengan bapak-bapak yang lain. 

Hanya para wanita yang ikut dalam acara intinya. Namun, Hayu tetap menghampiri para om, tante, juga sepupu yang lain.

Ada Aksa di sana. Namun, mereka tak saling tegur sapa. Hayu juga cepat-cepat menghindar saat lelaki itu mengulurkan salam. 

"Gimana, semua udah siap?"

"Siap, dong."

Acara dimulai. Pada saat nama yang menang arisan dibacakan, terdengar riuh yang menggema seantero ruangan. 

"Wah, Cintia menang. Bulan depan makan pempek kita, ya."

Eyang putri duduk di kursi roda dan terlihat senang menyaksikan itu. Tubuhnya memang lemah, tetapi semangat masih tinggi. 

Canda dan tawa masih saja terdengar. Hingga Eyang tadinya segar, kini tampak lelah. 

"Hayu. Bawa eyang ke kamar." 

Eyang mulai mengantuk, sehingga tak bisa mengikuti acara sampai selesai. Lagipula setelah nama tarikan keluar, acara selanjutnya adalah makan-makan. 

"Tapi--"

"Ayo, buruan. Eyang udah gak kuat."

Hayu tentu saja kaget atas permintaan itu. Ketika mamanya memberikan kode untuk mengiyakan, akhirnya wanita itu mendorong kursi roda dan membawa eyang masuk ke kamar. 

"Kamu kok cemberut, kenapa?" tanya eyang setelah Hayu membantunya duduk di tempat tidur. 

"Gak apa-apa, Eyang," jawab Hayu sembari melengkungkan senyum manis. 

"Lagi patah hati?"

Hayu tersentak karena tebakan eyang benar. Wanita itu bertanya dalam hati apakah eyang ini cenayang sehingga bisa membaca isi hatinya. 

Hayu memang sedang kecewa dengan teman kantornya yang ternyata buaya. Padahal mereka sudah pendekatan sejak lama. 

"Enggak," jawab Hayu singkat.

Mendengar itu, Eyang mengusap kepala cucunya dengan pelan. 

"Jodoh itu kadang datang dari arah yang tak diduga. Kita mengharapkan orang jauh, padahal yang dekat juga ada."

Hayu terdiam. Ada apa ini? Jangan bilang kalau maksud dari ucapan eyang mengarah ke Aksa. Sungguh, dia tidak terima. 

"Aku gak mikirin itu, kok," elaknya. 

Sejujurnya, semua wanita yang masih single akan terganggu jika selalu ditanyakan mengenai jodoh. Menikah itu ibadah dan bukan perlombaan. 

Hayu hanya akan menikah dengan lelaki bertanggung jawab dan shaleh yang kelak akan menjadi ayah dari anak-anaknya. 

Jika memang waktunya belum tiba, Hayu akan menunggu. Wanita itu tak ingin dipaksa hanya demi membungkam mulut orang-orang yang usil dengan kehidupannya.

"Ambilkan bantal. Eyang mau tidur."

Hayu meletakkan beberapa bantal dan juga menolong eyang berbaring. Punggung wanita sepuh itu memang bungkuk. Sehingga posisi tidurnya dibuat miring dengan guling sebagai penyangga.

Hayu mengusap punggung eyang dengan lembut. Neneknya sendiri --kakaknya eyang-- sudah tidak ada sejak dia masih kecil. 

Setelah terdengar dengkur halus eyang, Hayu mengambilkan selimut. Dia juga menepikan kursi roda agar tak menghalangi jalan. 

Dengan pelan Hayu berjalan keluar agar eyang tak terbangun. Saat dia membuka pintu, lalu tiba-tiba saja ....

Bruk!

Tubuh Hayu menabrak seseorang dan terjatuh. Lalu, tiba-tiba saja tangannya ditarik untuk berdiri dan didekap erat agar tidak limbung. Pintu kamar ditutup kembali dengan cepat.  

"Kamu?" tanya Hayu melotot saat melihat siapa yang memegang lengannya. 

"Ssstttt!" kata Aksa sembari menekan telunjuk di bibir. 

"Ini apa-apaan?" tanya wanita itu emosi. 

"Aku lagi sembunyi," ucap Aksa. 

"Ini kamar eyang."

"Makanya kamu jangan berisik," kata Aksa sambil melirik ke arah tempat tidur di mana neneknya sedang terlelap. 

Aksa sudah biasa masuk ke kamar eyang, jadi tidak akan ada yang mempertanyakan. Lagipula ini tempat bersembunyi yang paling tepat agar tidak ketahuan.

"Keluar sana!" usir Hayu. Tidak sopan jika mereka berduaan sekalipun ada eyang yang sedang tertidur. 

"Tunggu yang lain pada pulang. Aku males disuruh nganterin." 

Aksa membisikkan sesuatu yang membuat Hayu heran. Laki-laki itu bilang, ada salah satu kerabat mereka yang suka minta diantar pulang setiap acara keluarga selesai. 

"Kalau gitu, aku aja yang keluar," kata Hayu sembari membuka pintu. Namun, tangannya malah dicekal kuat. 

"Kalau kamu keluar nanti aku ketahuan."

Biarin," ucap Hayu sembari membuka pintu.

Aksa mencoba menahan Hayu, tetapi gadis itu menolak. Mereka saling mendorong, lupa kalau ada eyang disitu. 

Sikap Hayu yang tidak mau mendengar ucapannya, membuat Aksa memeluknya. Tubuh jangkung itu tentu saja menang. 

"Eh, kamu?" Hayu meronta lalu melawan. 

Terjadilah pertempuran sengit. Hayu tak sengaja mencakar pipi Aksa. Mereka berdua jatuh ke lantai dengan posisi berpelukan.

Hayu berteriak kaget. Hal itu membuat Aksa langsung merespons dengan menutup mulutnya. Wanita itu berusaha melepaskan diri.

Hayu meronta sebisanya. Hingga tanpa sengaja tangannya merobek kemeja depan Aksa. Sehingga menampakkan dada bidangnya. Beberapa kancing bahkan terlepas dari jahitan. 

Hayu memalingkan wajah. Sementara Aksa malah tersenyum. Lelaki itu baru menyadari kalau kakak sepupunya sangat cantik.

Mengikuti nalurinya sebagai seorang lelaki, Aksa mendekatkan wajah. Lelaki itu menyentuh lembut pipi Hayu.

"Kalian sedang apa?"

Suara eyang bagikan petir di siang bolong yang mengagetkan mereka. Hayu mendorong tubuh Aksa. Jika tidak ada eyang di sini, dia pasti sudah menampar lelaki itu karena telah berbuat lancang.

Hayu membetulkan bajunya yang berantakan, juga rambut yang acak-acakan. 

"Gak ngapa-ngapain, Eyang," jawab mereka serentak. 

Aksa mencoba bersikap santai walaupun dalam hati berdebar kencang. Ini memang rencana untuk bersembunyi, jika mama meminta untuk mengantar keluarga yang itu. 

Namun, dia tak menyangka akan separah ini jadinya. 

"Kalian ini malah berbuat asusila di kamar eyang," tuduhnya dengan rona kecewa. 

Eyang menggeleng karena tak habis pikir dengan tingkah cucu-cucunya. Ternyata Aksa dan Hayu berani sekali berbuat sesuatu yang memalukan di kamarnya. 

Anak-anak sekarang memang kelewatan. Berbeda dengan generasi zaman dulu yang lebih mengutamakan sopan santun.

"Itu gak benar, Eyang. Aksa yang meluk aku," ucap Hayu membela diri karena tak terima dituduh berbuat seperti itu. 

Aksa malah mengusap tengkuk berulang kali karena bingung harus menjawab apa. Lelaki itu hanya bisa pasrah tanpa berani menyela. 

Eyang kembali menatap mereka secara bergantian, lalu berkata.

"Aksa! Bawa eyang ke depan. Ini harus dibicarakan dengan orang tua kalian."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status