Aksa memasuki kantor papa Setya dengan penuh percaya diri. Biasanya dia datang dengan penampilan yang santai karena sehabis pulang kuliah. Kali ini terluhat lebih rapi dengan memakai pakaian formal.
Beberapa orang berbisik-bisik membicarakannya. Tubuh jangkung yang menjulang dengan sisiran rambut yang rapi membuat mata beberapa karyawati ikut melirik.
"Penganten baru udah datang. Seger amat." Setya menepuk pundak putranya. Melihat tampilan Aksa yang berbeda kali ini ada rasa bangga dalam hatinya.
"Papa bisa aja," jawabnya malu.
Seperti biasa, Aksa akan duduk di sofa dengan laptop yang sudah terletak di meja. Tinggal menunggu instruksi apa yang akan dikerjakan.
Sebenarnya pekerjaan ini cukup memusingkan karena berbeda dengan bidang yang saat ini dia pelajari. Namun, Aksa tetap berusaha demi pembuktian cintanya kepada Hayu.
Bagaimana dia akan menafkahi istri kalau tidak bekerja disini. Penghasilan Hayu di kantor sudah jelas lebih banyak.
Selama dua hari ini, Aksa hidup ditanggung oleh mertua. Sebenarnya dia merasa malu, tetapi mau bagaimana lagi. Itulah risiko yang harus dijalani.
"Gimana, sukses gak?" tanya Setya menggoda.
Selama ini Aksa begitu ngotot ingin menikahi Hayu, dan meminta papanya segera melamarkan. Masa' setelah dapat malah terlihat biasa saja.
"Papa tanya apa sih? Gak jelas gitu," jawabnya dengan senyum dikulum, berpura-pura membuka laptop dan file laporan yang pernah dikerjakan sebelumnya.
"Kalau gak mau cerita ya gak apa-apa. Semoga papa cepat dapat cucu aja," kata Setya sambil berjalan menuju ke arah sofa dan menyerahkan beberapa laporan yang harus direkap.
"Ini kenapa pada minta cucu?"
"Biar mama kamu ada temannya, tuh. Kasian sejak kamu pindah jadi galau," kata Setya.
"Baru dua hari nikah."
"Tapi kan kan sepi, biasa ada kamu yang nemenin kalau papa sibuk. Sekarang jadi sendirian."
Aksa mengerti, mamanya terlihat sedih saat acara selesai karena dia tidak ikut pulang bersama mereka. Anak tunggal, sejak kecil menemani mama pergi kemana saja.
Apalagi papanya cukup sibuk semenjak membuka kantor sendiri. Dialah yang menjadi teman mama bercerita dan berbagi banyak hal.
"Ntar rebutan sama mama Sarah ini kayaknya," jawab Aksa sekenanya.
Aksa mulai mengambil berkas dan menyalin data satu per satu. Rasanya hari ini ingin cepat pulang. Tidak usah berlama-lama di kantor. Baru saja tiba disini sudah rindu setengah mati sama istri.
"Kalau gitu bikin kembar, jadi para mama gak rebutan," jawab Setya singkat.
Lalu mereka berdua terdiam dan saling berpandangan.
"Kalau bayinya kembar, seru juga kali ya, Pa?" tanya Aksa. Dia menghentikan pekerjaan, dan berfokus kepada ucapan papa.
"Iya bener," Setya juga menghentikan pekerjaan
Mereka berdua malah berdiskusi tentang bayi kembar untuk beberapa saat. Mengingat kabarnya itu didapatkan dari genetik atau keturunan.
Setelah puas membahas tentang itu dan menelusuri satu per satu apakah di keluarga mereka ada atau tidak, Setya kembali menceritakan betapa sedih Rani saat putra mereka sudah tidak ada lagi di rumah.
Aksa menjadi serba salah kalau begini. Mungkin nanti dia akan membagi waktu, beberapa hari menginap di rumah orang tuanya. Tapi itu harus dibicarakan dengan Hayu. Lalu jadi bingung kembali, bagaimana cara menyampaikan ini dengan istrinya.
"Weekend ini aku balik ke rumah. Tapi tanya Hayu dulu, semoga dia mau," janji Aksa
Setya tersenyum senang saat mendengar ucapan putranya.
"Ntar papa bilangin mama, dia pasti senang," kata Setya. Padahal dalam hati sendiri juga senang jika anaknya pulang.
"Oh iya. Mulai besok kamu ada ruangan sendiri. Nanti papa kasih sekretaris buat ngasih tau apa aja yang harus dikerjakan biar gak bingung. Ruangannya udah siap. Hari ini tukang masih mindahin perabotan," lanjut Setya.
Setya ikut membuka berkas yang yang menumpuk di meja. Dia memeriksa isi kertas-kertas itu sebelum direkap anaknya.
Aksa kembali fokus. Sejak tadi pikirannya bercabang. Saat berpamitan berangkat kerja, Hayu terlihat malu saat dipeluk. Padahal kemarin, pipinya sempat ditampar sewaktu di kamar. Sepertinya, sang istri sudah mulai membuka hati. Ah, semoga saja.
Jarum jam menunjukkan angka empat saat Aksa menyelesaikan pekerjaan. Lelaki itu berpamitan dengan papanya, lalu melihat sebentar dimana letak ruangan yang akan ditempati besok pagi.
Ruangannya tidak terlalu luas. Katanya, ini bekas gudang penyimpanan berkas yang tidak terpakai. Lalu disulap sedemikian rupa, sehingga menjadi tempat yang nyaman untuknya bekerja nanti.
Saat Aksa bertanya kepada tukang yang sedang mengerjakan, dinding sengaja dilapisi wallpaper supaya terlihat lebih elegan. Juga tidak menimbulkan bau daripada menggunakan cat tembok.
Aksa meminta kepada tukang untuk mengatur ulang letak beberapa perabotan sesuai dengan keinginannya. Setelah selesai, dia langsung menuju parkiran dan melajukan mobil pulang ke rumah.
"Assalamualaikum."
Si Bibik yang membukakan pintu saat Aksa pulang. Suasana rumah terlihat sepi. Naik ke atas juga sama. Mungkin Hayu sedang keluar bersama Mama Sarah, tapi dia sama sekali tidak dikabari. Seharian di kantor membuatnya lupa untuk menghubungi istri. Beginilah nasib jadi suami tak dianggap.
"Non Hayu sama Nyonya pergi belanja, Mas. Bibik dimintain tolong buat nyiapin makan kalau Mas pulang," kata si mbok sambil meletakkan berbagai macam hidangan di meja.
Aksa mengambil piring. Menu yang ada cukup menggungah selera. Ada beberapa macam lauk yang dia sukai. Tapi, kalau makan sendirian, dimana enaknya? Daripada kelaparan akhirnya dia melahap yang ada.
Setelah selesai mengisi perut dan memuaskan cacing yang berada di dalamnya, Aksa naik ke atas dan memilih untuk bermian PS. Entah jam berapa Hayu pulang, jadi dia memilih menunggu. Paling tidak, hati sudah tenang karena istrinya pergi dengan mama mertua.
Bosan bermain PS, Aksa berbaring di ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar yang kosong. Mau dibawa kemana pernikahan ini, dia sendiri belum tahu. Bukan juga inginnya menikah dengan cara ini, tapi sudah terlanjur terjadi. Tak lama akhirnya lelaki itu terlelap.
***
Aksa menggeliat saat merasakan ada yang menyentuh wajah. Refleks tangannya menangkap benda itu. Saat membuka mata terlihat Hayu yang panik. Ternyata yang dia pegang adalah tangan istrinya. Jadi, tadi itu Hayu mengusap pipinya?
"Eh, itu ..."
Wajah Hayu memerah saat kedapatan sedang memperhatikan suaminya. Sewaktu masuk kamar, suasana sepi dan dia kaget melihat Aksa sedang tertidur.
Hayu memilih mandi dan mengganti pakaian. Gerakannya dilakukan dengan pelan agar tak menimbulkan bunyi berisik. Rencananya, setelah ini akan turun ke bawah dan makan malam bersama mama.
Entah mengapa, langkah Hayu tertahan dan malah menuju ke tempat tidur, kemudian memperhatikan wajah itu. Lelaki yang selalu dia panggil bocah tetapi kini sudah halal menjadi suami.
Sampai sekarang, Hayu masih tak percaya kalau pernikahan ini benar terjadi. Seperti main-main saja karena mereka belum benar-benar menjadi suami istri seperti pasangan yang lain.
Jari Hayu bahkan refleks bergerak, menyentuh wajah Aksa lalu mengusap pipinya. Lucu juga kalau begini. Suaminya seperti anak kecil yang polos dan menimbulkan sedikit rasa iba di hati.
Pipi itu, yang Hayu tampar kemarin, menimbulkan perasaan bersalah. Namun dia malu untuk mengakui.
Kata-kata Aksa yang mengajak 'bikin anak' itu membuat Hayu kesal. Memangnya dia apa? Kenapa kasar begitu? Tak bisakah suaminya mengucapkan kata yang lebih romantis dan halus jika ingin mengajak bermesraan.
Eh?
"Kamu ngapain?" tanya Aksa tanpa melepaskan cekalan. Lelaki itu langsung duduk dan menatap istrinya yang sedang salah tingkah.
"Kangen, ya?" Aksa bertanya lagi karena Hayu memilih membuang pandangan daripada menjawab.
"Aku lapar, mau makan," elak Hayu. Wanita itu berusaha melepaskan diri, tapi tidak berhasil.
Aksa yang merasa ini sebuah kesempatan, kemudian menarik tubuh istrinya lebih rapat, lalu berkata, "Aku kangen. Seharian di kantor mikirin kamu."
"Inikan udah ketemu," jawab Hayu, semakin salah tingkah karena ditatap lekat.
"Dapat salam dari papa. Dia nitip pesan," lanjutnya lagi.
"Apa?" tanya Hayu penasaran.
"Katanya cepat bikinin cucu. Kamu mau anak kembar gak?"
Mata Hayu melotot. Dia menggelengkan kepala sebagai jawaban. Kenapa jika mereka sedang berduaan, pikiran suaminya selalu ke arah situ. Kalau sudah begini dia jadi malu dan serba salah.
Melihat Hayu seperti itu, tangan Aksa yang lain mengangkat dagu istrinya kemudian mendekatkan wajah mereka.
"Kalau aku sih, mau. Apalagi kalau dilakuin sekarang. Mau banget."
Aksa membuka mata saat dirasakannya sinar matahari mulai memancar dari balik gorden. Mata elang itu melirik ke arah jam di dinding. Masih pagi, angka 7 yang ditunjukkan oleh jarumnya. Dia menggeliat karena tubuh yang terasa pegal. Semalam usahanya gagal. Hayu masih belum bisa ditaklukan. Akhirnya dia mengalah, ikut turun ke bawah dan makan malam bersama mama Sarah. Terdengar suara air dari kamar mandi. Tak lama pintunya terbuka. Aksa kembali memejamkan mata, berpura-pura tidur, namun sebenarnya diam-diam mengintip. Hayu keluar dengan memakai bathrobe. Istrinya baru selesai mandi. Masih ada tetesan air di rambut basah itu.Si cantik itu sedang mengeringkan rambut dengan handuk. Kemudian duduk di meja rias, mengambil sisir juga hair dryer supaya lebih cepat kering.Tangan mungil itu mengambil sebuah pouch dan mengeluarkan satu persatu alat make-up. Foundation, powder, blush on dan lisptik berwarna merah.Alisnya sudah tebal dan tak perlu dibentuk. Kulit wajahnya memang sudah terlahir
Langkah kaki Aksa berderap saat memasuki kantor. Beberapa orang menyapa dan dibalasnya dengan ramah. Karena baru selesai pulang kuliah, dia berpakaian santai kali ini. Hanya kemeja dengan celana jeans juga sepatu kets, dengan ransel di pundak."Pagi, Pak. Saya Nisa." Seorang gadis seusia Aska menyambut kedatangannya saat tiba di kantor.Ada sebuah meja di depan ruangan, dan ternyata itu ditempati oleh sekretarisnya. Sesuai janji papa, akan ada yang membantu menyiapkan laporan. Ternyata ini orangnya, manis dan sopan dalam bersikap, juga berpakaian. Papa bilang, mulai hari ini, dia akan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan gaji yang diterima setiap bulan. Karena dia sudah menjadi kepala keluarga, papa akan memberikan tunjangan tambahan dengan syarat, semua tugas harus dikerjakan dengan maksimal. Dia akan ikut menemui klien dan menyaksikan proses penanda-tanganan surat-surat kerjasama. Setya sudah mempunyai rencana jangka panjang. Jika putranya sudah selesai kuliah, dia akan membuka seb
"Ini buat aku?" tanya Aksa saat pulang ke rumah dan mendapati sebuah paper bag berisi kemeja terletak di kasur. "Iya. Tadi mama suruh beliin," jawab Hayu.Ada sedikit rasa kecewa dalam hati Aksa. Ternyata itu permintaan mama Sarah, bukan atas keinginan Hayu sendiri."Aku cobain, ya." Tangan besarnya mulai membuka bungkusan plastik. Matanya melirik ke arah label harga. Sudah tidak ada, mungkin sudah dibuang. "Ganti di kamar mandi sana!" usir Hayu. Tidak mungkin kan, dia melihat suaminya berganti pakaian disini. "Disini ajalah. Kan cuma buka baju. Bukan buka yang lain," ucapnya cuek. Mata lelaki itu melirik genit. Ya kali saja, istrinya dapat hidayah sehingga tersadar dan mau melayani. Hayu tak menanggapi, dan malah membuka paper bag miliknya sendiri. Ada beberapa blouse yang dibeli. Juga sepatu untuk dipakai saat masuk kerja nanti. Tadi pagi memang rencananya mereka akan mengubek-ubek barang diskonan. Kemudian malah tergoda masuk ke dalam mall dan membeli yang lain. Lalu ketika s
Hayu mengusap lembut bibirnya dengan jari sebelum mengoleskan lipstik, teringat akan sentuhan Aksa kemarin malam. Suaminya begitu berhasrat. Sementara dia sendiri tak bisa menolak walaupun rasanya itu sedikit ... aneh. Setelah makan malam, dia meminta menginap di kamar mama dengan alasan kangen. Kebetulan juga papa belum pulang, jadi mama tidur sendirian.Pagi-pagi dia bangun dan kembali ke kamarnya karena harus bersiap-siap berangkat bekerja. Untungnya Aksa tidak mengunci pintu. Ketika dia masuk, lelaki itu tidak tampak di dalam. Saat terdengar bunyi gemericik air, Hayu tahu kalau suaminya sedang berada di kamar mandi. Cepat-cepat dia mengganti pakaian karena tadi sudah menumpang mandi di kamar mama. Ceklek!Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Aska keluar dengan menggenakan boxer sambil mengeringkan rambut yang masih basah. Dengan santai dia berjalan melewati istrinya dan membuka lemari mengambil pakaian.Hayu yang melihat suaminya shirtless begitu, berpura-pura sibuk berdandan dan m
Bunyi hak sepatu 7 cm milik Hayu bergema di sepanjang lorong. Beberapa pasang mata menatapnya dengan intens saat berjalan memasuki kantor. Cantik, pintar, mempunyai posisi yang bagus di kantor. Putri seorang pejabat, juga lulusan dari luar negeri. Ada yang kagum ada juga yang diam-diam menyimpan iri. Hayu membuka pintu ruangan, meletakkan tas di meja, menekan remote AC juga menghidupkan PC. Sebentar lagi pasti ada telepon berdering dari bos besar dan dia diminta menghadap. Lalu berbagai macam berkas yang harus dikerjakan akan menumpuk hingga jam kantor usai. "Hai!"Sebuah sapaan membuatnya menolehkan kepala. Ini masih pagi dan Bayu sudah berada di ruangannya. Apa lelaki itu tidak bekerja? Sikap seperti ini bukan contoh yang baik. Jika bos besar tahu, mereka bisa mendapat teguran. Apalagi posisi Bayu sebagai kepala divisi, harusnya dia meneladani bawahannya. "Ya?" tanya Hayu cuek. Setelah insiden makan malam itu, dia menghindari Bayu secara terang-terangan. Tak peduli dengan bisik
Hayu memasukkan beberapa bajunya ke dalam koper. Ini jumat malam dan mereka akan menginap di rumah mama Rani selama dua hari. Minggu sore akan kembali lagi, karena senin sudah masuk kerja. Tak bisa dibantah karena mama Sarah malah menyuruh dia pergi. Katanya biar adil, mama Rani juga pasti kangen anaknya. Papa juga sudah pulang, jadi mama tidak sendirian lagi.Dia sudah mengutarakan keberatan kepada suaminya, namun tak digubris sama sekali. Jadi dengan terpaksa akhirnya Hayu menurut. Aksa sejak tadi hanya memperhatikan apa yang dilakukan istri cantiknya. Dia tak membawa apa pun. Pakaiannya semua ada disana, yang disimpan disini hanya seberapa. "Mau ke rumah mertua kok cemberut gitu," sindir Aksa lagi. Entah mengapa dia senang sekali memojokkan istrinya. Mungkin karena harus menahan diri berhari-hari sehingga kepala terasa sakit. Ditambah dengan materi kuliah yang semakin banyak, juga pekerjaan di kantor papa. Ah, andai saja bisa bermanja-manja dengan Hayu, jadi bisa melepas penat
"Bobok sini. Deket babang," ucap Aksa menirukan bahasa kekinian anak-anak zaman sekarang, saat Hayu masuk ke kamarnya dan terlihat kebingungan hendak melakukan apa. Di kampus, para mahasiswa rata-rata menggunakan bahasa kekinian dalam pergaulan. Aksa sendiri termasuk yang suka mengikuti karena selain usianya masih muda, ternyata itu cukup asyik buat seru-seruan. Tapi jika berhadapan dengan Hayu, orang tua dan rekannya di kantor papa, lelaki itu tetap menggunakan bahasa yang sopan. Hayu menatap suaminya dengan ilfeel. Dua hari ini dia harus menahan diri untuk tak bersikap aneh. Ini di rumah mertua. Sekalipun tidak bisa berakting mesra, paling tidak terlihat akur di depan mereka itu lebih baik. "Geser. Aku ngantuk," ucapnya singkat saat melihat Aksa tak bergerak sejak tadi. Lelaki itu malah tetap duduk di ujung ranjang sementara dia masih berdiri di depannya. Ingin melompati, tapi rasanya tidak sopan."Sini aja pangku sama aku, biar enak." kata Aksa lagi, sengaja menggoda istrinya.
Aksa sejak tadi mengutak-atik laptop di kamar. Sementara Hayu ada di bawah, membantu Rani memanggang kue setelah sarapan. Mama yang satu itu sangat bersemangat saat mendengar puteranya akan datang, walaupun hanya bisa menginap beberapa hari. "Aksa suka banget sama bolu tape. Kalau mama bikin ini, satu loyang bisa habis sekejap sama dia sendiri," kata Rani sambil bercerita. Tangannya sibuk memecah telur dan memasukkan ke dalam mangkok. Sementara Hayu membantu menimbang terigu agar takarannya pas. "Hayu juga suka, Ma. Enak buat cemilan," jawabnya. Ternyata mama mertuanya ini sangat baik. Selama menginap, dia malah dijamu dengan berbagai makanan yang lezat. Di rumah ini ada seorang bibik yang membantu. Namun, untuk urusan memasak, Rani turun tangan langsung. Lalu suara bising mixer terdengar. Tangan Rani lincah mengaduk semua bahan sehingga tercampur menjadi rata. Hayu hanya bisa melihat karena dia tak bisa melakukannya sama sekali. Selama ini, mama Sarah juga jarang membuat kue. Bia