Semua pasang mata menatap sosok eyang yang keluar dengan diiringi Aksa, juga Hayu dibelakangnya. Mereka bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Acara sudah selesai sejak tadi. Jadi orang-orang duduk berkumpul makan sambil berbincang.
"Loh, kamu kok ada di kamar eyang?" tanya Rani kepada putranya.
Aksa hanya terdiam karena tak berani menjawab.
"Baju kamu kenapa sobek? Tadi bukannya mama minta tolong anterin tante sama om. Mereka udah nungguin di luar," lanjut Rani.
Melihat ada yang janggal, keluarga yang lain mulai berbisik-bisik. Apalagi melihat tingkah Hayu yang tampak berbeda dari saat masuk ke kamar eyang tadi.
"Panggil Danu sama Setya. Rani sama Sarah tunggu di sini. Yang lain boleh keluar," ucap eyang tegas.
Bisik-bisik semakin kencang terdengar. Dalam sekejap, ruangan yang tadinya berisi puluhan orang menjadi sepi.
Hayu duduk di sebelah Sarah sembari memeluk mamanya dan menangis. Sementara Aksa masih terdiam saat mamanya bertanya banyak hal.
Apa yang harus dijawab? Dia yang salah.
"Ada apa ini?" tanya Setya kebingungan.
Sementara itu, Danu langsung duduk di sebelah istrinya dan menanyakan kenapa putri mereka menangis. Sarah menjawab tidak tahu karena dia masih menunggu.
Eyang menatap anak dan cucunya secara bergantian. Lalu wanita sepuh itu menarik napas panjang.
"Tolong semua dengarkan. Ini eyang mau sampaikan hal penting mengenai anak-anak kalian."
Eyang memulai pembicaraan. Dia begitu serius sehingga membuat debar jantung yang lain berdetak semakin kencang.
Setya berbisik kepada istrinya, yang dijawab Rani dengan gelengan. Melihat kedua orang tuanya berdiskusi, Aksa ingin mengatakan sesuatu. Namun, niatnya urung saat melihat eyang melotot.
"Anak kalian telah berbuat asusila di kamar, sewaktu eyang tidur," lanjutnya.
Semua yang ada di ruangan itu terbelalak. Setya bahkan menatap Aksa dengan tajam, mencoba meminta penjelasan.
"Maksudnya ini apa, Eyang? Kami gak ngerti," tanya Danu bijak.
Eyang kembali menatap anak dan cucunya. Lalu dia berkata, "Mereka bermesraan di kamar waktu eyang tertidur."
Setya mengusap wajah dan menunduk karena malu. Dalam hatinya bertanya kenapa Aksa malah berulah.
Danu sendiri menatap Hayu dengan heran karena tak percaya putrinya melakukan itu.
"Itu gak benar. Aksa yang sengaja meluk aku."
Hayu bukan perempuan murahan yang bakal berbuat amoral sekalipun menyukai seorang lelaki. Apalagi di kamar eyang dan di saat semua keluarga besar sedang berkumpul.
Danu menggeser duduknya hingga berdekatan dengan Setya. Mereka saling berbisik untuk berunding.
"Sepertinya ini cuma salah paham, Mas."
Setya masih mencoba membela Aksa. Jika memang benar, baiknya keluarga inti saja berdiskusi. Tidak perlu keluarga lain tahu karena ini sangat memalukan.
"Aksa yang gak sopan sama aku, Pa," ucap Hayu di antara isak tangis.
Eyang memalingkan wajah ke arah cucunya dan menatap dengan tajam.
"Aksa coba kamu jelaskan. Dari tadi kok diam. Padahal sudah ndak bener sama kakakmu sendiri."
Mendengar itu Setya menjadi geram. Dia ingin marah tapi tidak enak dengan yang lain.
Aksa memandang semua orang secara beegantian. Tangan lelaki itu gemetaran karena menahan rasa malu. Entah setan apa yang menggodanya untuk menyentuh Hayu.
Hayu yang sejak tadi hanya menunduk, kini mengusap pipinya yang basah oleh lelehan air mata.
"Tadikan mama nyuruh nganter om tante pulang. Tapi aku males. Jadi aku sembunyi di kamar eyang. Ternyata ada Hayu. Lalu--"
Aksa menjelaskan secara rinci apa yang sebenarnya terjadi tanpa dikurang atau ditambah.
Mendengar itu Danu menggeleng karena tak percaya. Harusnya dia marah karena anaknya telah dilecehkan. Namun, laki-laki itu mencoba meredam emosi.
Tak baik juga jika sampai bertengkar dengan Setya. Mengingat adik sepupunya itu sendiri telihat geram dengan kelakuan putranya.
"Jadi baiknya ini gimana?"
Rani menjadi penengah. Dia merasa tak enak hati dengan Sarah karena kelakuan Aksa.
"Kami minta maaf atas perlakuan Aksa. Terutama kepada Hayu yang menjadi korban," ucap Setya dengan tenang, padahal dalam hati berkobar amarah.
Kali ini Aksa tidak bisa begitu saja dimaafkan. Dia harus diberikan hukuman agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
"Ya, Dek Setya. Asal jangan diulangi lagi."
Danu menjawab dengan tak kalah bijak. Sementara itu istri-istri mereka saling berbisik entah membicarakan apa.
"Tapi aku memang suka sama Mbak Hayu," lirih Aksa. Ucapannya itu membuat semua orang terkejut.
"Maksud kamu apa?" tanya Hayu tak terima.
Aksa bukannya menjawab. Malah menggaruk pipi dengan wajah merona. Hal itu membuat Rani mengusap dada. Sedangkan Setya mengepalkan tangan menahan emosi.
"Kalau berjanji tidak mengulangi lagi, eyang sangsi Aksa bisa melakukannya. Laki-laki kalau sudah suka dengan wanita pasti akan mengejar terus sampai dapat."
Kali ini eyang berbicara lagi.
"Lalu baiknya gimana, Eyang? Kami rasa ini gak usah diperpanjang lagi. Mereka gak berbuat asusila."
Kali ini Sarah yang berbicara. Bagi wanita itu masalah ini tak perlu dibesar-besarkan karena hanya salah paham.
"Siapa bilang begitu? Eyang lihat sendiri waktu Aksa cium pipi Hayu," kata wanita sepuh itu datar.
Semua orang tersentak. Ternyata saat menjelaskan tadi, Aksa sengaja tidak menceritakannya. Lelaki itu semakin tertunduk dengan perasaan bersalah.
Aksa menggerutu dalam hati karena eyang malah membongkar semua rahasia. Dia bisa dilabrak papa setelah pulang ke rumah nanti.
"Benar kamu begitu?"
Setya bertanya dengan nada meninggi. Dia tak menyangka ternyata kelakuan Aksa separah itu.
Aksa mengangguk pasrah. Nasi sudah menjadi bubur. Jadi, apa pun yang terjadi dia harus menerima risikonya.
"Dasar kamu--" Rahang Setya mengeras karena menahan emosi.
Rani segera menahan tubuh sang suami yang hendak menampar Aksa. Rasanya sejak dulu mereka selalu mengajarkan yang baik. Lalu, mengapa sikap putranya begitu?
"Sudah-sudah. Begini saja supaya kejadian ini ndak terulang lagi. Mereka juga sudah terlanjur bersentuhan walaupun belum halal. Jadi baiknya--"
Kata-kata eyang menggantung membuat semua orang penasaran.
Hayu bahkan mengangkat wajahnya karena ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh eyang.
"Nikahkan mereka segera. Sebelum sesuatu yang lebih parah terjadi," lanjut eyang.
Hayu terbelalak karena tak terima. Dia menutup mulut saking kagetnya.
"Gak bisa begitu, Eyang. Aku gak mau!" tolaknya tegas.
"Gak usah bantah. Kalau kalian sudah halal, mau ngapa-ngapain di kamar juga terserah," kata eyang sambil melirik cucunya.
Aksa mengulum senyum bahagia mendengar ucapan neneknya. Kalau sudah begini, rasanya dia ingin memeluk eyang dengan erat sambil mengucapkan berjuta-juta terima kasih.
"Kalau itu aku setuju, Eyang.
Aksa menjawab cepat. Sementara yang lain hanya bisa menggeleng karena tak habis pikir.
"Astaggirullah."
Setya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan karena malu. Sementara Danu tersenyum geli dan saling berpandangan dengan istrinya.
"Aku duluan aja, Ma."
Hayu berjalan keluar karena kesal setengah mati. Jadi, dia memutuskan untuk pulang dengan taksi.
Lama berada di sana bisa membuat Hayu gila. Apalagi mendengarkan percakapan para orang tua di rumah itu.
"Eh, Mbak. Tunggu!"
Melihat Hayu pergi, dengan cepat Aksa mengejarnya.
"Biarkan saja mereka. Biar Aksa tanggung jawab sama perbuatannya," kata eyang pasrah.
Aksa melajukan mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi, berusaha mengejar taksi yang membawa Hayu. Tadi dia sudah menahan dan mencoba membujuk agar bisa mengantarkan pulang, tapi wanita itu sudah terlanjur merajuk.Begitu taksi berhenti di depan rumah, Aksa segera memarkir mobil dan berusaha masuk sebelum pagar tertutup. "Mau apa lagi kamu?" tanya Hayu dengan wajah galak. Dia sudah kesal setengah mati karena perbuatan lelaki ini. Ternyata orangnya malah muncul."Mau nikahin kamu, Mbak," jawab Aksa cepat, lalu segera menutup mulut karena salah bicara. Hayu mendelik tak suka, lalu berkata, "Mending pulang sana. Jangan sampai aku nyuruh security buat ngusir kamu!"Aksa menarik napas dalam, mencoba mengendalikan perasaannya sebelum kembali berucap. "Mau minta maaf. Tadi itu salah ngomong," kata Aksa dengan penuh penyesalan. Walaupun dia tak sepenuhnya menyesal. Apa yang mau Aksa sesalkan jika sudah merasakan memeluk Hayu juga menyentuh pipinya. Itu namanya rezeki, bukan?Maafkan pikir
"Ananda Muhammad Aksa Rahardian. Aku nikahkan engkau dengan pinanganmu, puteriku Annisa Hayuna dengan mahar sebuah cincin berlian tunai.”"Saya terima nikahnya Annisa Hayuna putri kandung Bapak dengan mahar sebuah cincin berlian tunai!" "Bagaimana saksi?""Sah!""Alhamdulillah. Baarakallaahu laka, wa baarakallahu ‘alaika, wa jama’a bainakuma fii khaiir."Doa untuk kedua mempelai dibacakan. Semua orang mengangkat tangan dan mendengarkan dengan khusyuk. Juga mengaminkan agar mereka mendapat limpahan berkah, rumah tangga aman tentram, langgeng hingga kelak maut yang memisahkan. Danu menepuk bahu Aksa, setelah menantunya itu mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Hanya dalam sekali ucap dan tarikan napas, lelaki itu melakukannya.Aksa sudah berlatih seminggu ini, mengahapal sebaris kalimat yang pendek tapi sangat menengangkan sewaktu diucapkan. Syukurlah, ketika tiba saatnya, dia dapat mengucapkannya dengan fasih. Sementara itu Hayu sejak tadi berada di dalam kamar ditemani mamanya, menu
Hayu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh, ketika terdengar pintu kamar mandi dibuka. Lalu menyusul suara langkah kaki mendekat. Bahkan bunyi koper yang ditutup dengan keras membuatnya kaget. Cengkeraman Hayu pada selimut semakin erat. Wanita itu memejamkan mata sembari berdoa dalam hati semoga Aksa tidak curiga bahwa dia sedang berpura-pura tidur. Aksa tersenyum geli melihat tingkah Hayu yang kekanakan. Dia tahu kalau istrinya sengaja menghindari. Dengan santai, laki-laki itu membuka koper untuk mencari pakaian, juga memasang celana dan kaus. Sesuai dengan kesepakatan, untuk sementara waktu mereka akan tinggal di rumah orang tua Hayu. Nanti secara pelan-pelan Aksa akan membujuk istrinya agar mau pindah ke rumah orang tuanya. Aksa berjalan mendekati ranjang dan langsung berbaring dengan santai di sebelah istrinya. "Aaaa!" Hayu berteriak, lalu menarik selimut hingga menutupi kepala. Tubuhnya gemetaran karena ketakutan. "Kamu kenapa, kesurupan?" tanya Aksa heran. Dia send
Keesokan harinya. Aksa menatap wajah di cermin berkali-kali, ke arah pipi yang ditampar Hayu kemarin karena dia sudah lancang menggoda. Untung tidak ada bekasnya, hanya memerah beberapa saat."Masa' diajakin bikin baby aja dia marah?" sungut laki-laki itu sembari menyisir rambut. Bukankah itu haknya? Persetan dengan perjanjian pra nikah. Mereka sudah halal, jadi Hayu berkewajiban melayani. Pipinya memang sakit, terlebih lagi hati. Entah sudah berapa kali dia merasakan ini. Dulu wajar saja kalau Hayu melakukan itu karena mereka belum halal. Sekarang? Sabar, Aksa. Matanya melirik ke arah jam di dinding. Jarumnya semakin bergeser ke angka delapan. Dia masih cuti kuliah, tapi tetap harus ke kantor papa. Belum ada bulan madu seperti pasangan lain yang baru menikah. Lelaki itu sedang mengumpulkan uang, supaya bisa mengajak istrinya jalan-jalan. Hayu sudah tak terlihat saat dia membuka mata. Mungkin, sudah turun ke bawah membantu mamanya memasak. Mereka baru dua hari menikah, tetapi rasan
Aksa memasuki kantor papa Setya dengan penuh percaya diri. Biasanya dia datang dengan penampilan yang santai karena sehabis pulang kuliah. Kali ini terluhat lebih rapi dengan memakai pakaian formal.Beberapa orang berbisik-bisik membicarakannya. Tubuh jangkung yang menjulang dengan sisiran rambut yang rapi membuat mata beberapa karyawati ikut melirik."Penganten baru udah datang. Seger amat." Setya menepuk pundak putranya. Melihat tampilan Aksa yang berbeda kali ini ada rasa bangga dalam hatinya."Papa bisa aja," jawabnya malu. Seperti biasa, Aksa akan duduk di sofa dengan laptop yang sudah terletak di meja. Tinggal menunggu instruksi apa yang akan dikerjakan.Sebenarnya pekerjaan ini cukup memusingkan karena berbeda dengan bidang yang saat ini dia pelajari. Namun, Aksa tetap berusaha demi pembuktian cintanya kepada Hayu. Bagaimana dia akan menafkahi istri kalau tidak bekerja disini. Penghasilan Hayu di kantor sudah jelas lebih banyak. Selama dua hari ini, Aksa hidup ditanggung oleh
Aksa membuka mata saat dirasakannya sinar matahari mulai memancar dari balik gorden. Mata elang itu melirik ke arah jam di dinding. Masih pagi, angka 7 yang ditunjukkan oleh jarumnya. Dia menggeliat karena tubuh yang terasa pegal. Semalam usahanya gagal. Hayu masih belum bisa ditaklukan. Akhirnya dia mengalah, ikut turun ke bawah dan makan malam bersama mama Sarah. Terdengar suara air dari kamar mandi. Tak lama pintunya terbuka. Aksa kembali memejamkan mata, berpura-pura tidur, namun sebenarnya diam-diam mengintip. Hayu keluar dengan memakai bathrobe. Istrinya baru selesai mandi. Masih ada tetesan air di rambut basah itu.Si cantik itu sedang mengeringkan rambut dengan handuk. Kemudian duduk di meja rias, mengambil sisir juga hair dryer supaya lebih cepat kering.Tangan mungil itu mengambil sebuah pouch dan mengeluarkan satu persatu alat make-up. Foundation, powder, blush on dan lisptik berwarna merah.Alisnya sudah tebal dan tak perlu dibentuk. Kulit wajahnya memang sudah terlahir
Langkah kaki Aksa berderap saat memasuki kantor. Beberapa orang menyapa dan dibalasnya dengan ramah. Karena baru selesai pulang kuliah, dia berpakaian santai kali ini. Hanya kemeja dengan celana jeans juga sepatu kets, dengan ransel di pundak."Pagi, Pak. Saya Nisa." Seorang gadis seusia Aska menyambut kedatangannya saat tiba di kantor.Ada sebuah meja di depan ruangan, dan ternyata itu ditempati oleh sekretarisnya. Sesuai janji papa, akan ada yang membantu menyiapkan laporan. Ternyata ini orangnya, manis dan sopan dalam bersikap, juga berpakaian. Papa bilang, mulai hari ini, dia akan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan gaji yang diterima setiap bulan. Karena dia sudah menjadi kepala keluarga, papa akan memberikan tunjangan tambahan dengan syarat, semua tugas harus dikerjakan dengan maksimal. Dia akan ikut menemui klien dan menyaksikan proses penanda-tanganan surat-surat kerjasama. Setya sudah mempunyai rencana jangka panjang. Jika putranya sudah selesai kuliah, dia akan membuka seb
"Ini buat aku?" tanya Aksa saat pulang ke rumah dan mendapati sebuah paper bag berisi kemeja terletak di kasur. "Iya. Tadi mama suruh beliin," jawab Hayu.Ada sedikit rasa kecewa dalam hati Aksa. Ternyata itu permintaan mama Sarah, bukan atas keinginan Hayu sendiri."Aku cobain, ya." Tangan besarnya mulai membuka bungkusan plastik. Matanya melirik ke arah label harga. Sudah tidak ada, mungkin sudah dibuang. "Ganti di kamar mandi sana!" usir Hayu. Tidak mungkin kan, dia melihat suaminya berganti pakaian disini. "Disini ajalah. Kan cuma buka baju. Bukan buka yang lain," ucapnya cuek. Mata lelaki itu melirik genit. Ya kali saja, istrinya dapat hidayah sehingga tersadar dan mau melayani. Hayu tak menanggapi, dan malah membuka paper bag miliknya sendiri. Ada beberapa blouse yang dibeli. Juga sepatu untuk dipakai saat masuk kerja nanti. Tadi pagi memang rencananya mereka akan mengubek-ubek barang diskonan. Kemudian malah tergoda masuk ke dalam mall dan membeli yang lain. Lalu ketika s