Share

Simalakama

Aksa melajukan mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi, berusaha mengejar taksi yang membawa Hayu. Tadi dia sudah menahan dan mencoba membujuk agar bisa mengantarkan pulang, tapi wanita itu sudah terlanjur merajuk.

Begitu taksi berhenti di depan rumah, Aksa segera memarkir mobil dan berusaha masuk sebelum pagar tertutup. 

"Mau apa lagi kamu?" tanya Hayu dengan wajah galak. Dia sudah kesal setengah mati karena perbuatan lelaki ini. Ternyata orangnya malah muncul.

"Mau nikahin kamu, Mbak," jawab Aksa cepat, lalu segera menutup mulut karena salah bicara. 

Hayu mendelik tak suka, lalu berkata, "Mending pulang sana. Jangan sampai aku nyuruh security buat ngusir kamu!"

Aksa menarik napas dalam, mencoba mengendalikan perasaannya sebelum kembali berucap. 

"Mau minta maaf. Tadi itu salah ngomong," kata Aksa dengan penuh penyesalan. Walaupun dia tak sepenuhnya menyesal. 

Apa yang mau Aksa sesalkan jika sudah merasakan memeluk Hayu juga menyentuh pipinya. Itu namanya rezeki, bukan?

Maafkan pikirannya yang kotor. Oleh karena itulah Aksa berharap agar Hayu segera membuka hati dan menerima lamaranya. Agar yang tadinya kotor ini segera menjadi bersih jika sudah dihalalkan. Aduh. 

"Yaudah pergi sana. Kamu ngapain masih di sini?" usir Hayu. 

Saat ini Hayu tak mau berbicara dengan siapa pun. Ada banyak kejadian dalam satu minggu ini yang membuatnya kesal dan kecewa. Dari janji manis Bayu, rekan kerjanya yang php. Juga kelakuan Aksa di rumah eyang tadi. 

Padahal tadinya Hayu sudah mulai berpikir positif kepada Aksa. Ternyata dia itu masih sama saja, membuatnya malu untuk yang kedua kali di acara keluarga. 

"Aku mau minta maaf lagi, soal yang di kamar eyang. Tapi aku setuju kalau kita dinikahkan. Aku kalau dekat kamu itu ... gimana ya mau ngomongnya," kata Aksa sembari menatap Hayu dengan perasaan yang ... entah. 

Semua lelaki pasti akan merasakan hal yang sama jika berada didekat wanita yang dicintai. 

"Lupain. Itu cuma wacana eyang. Aku gak tertarik sama sekali," jawab Hayu cepat. Dia sudah ingin mengusir Aksa sekarang juga. 

Mereka masih berbicara di depan pagar. Hayu itu masih berusaha bersabar meladeni Aksa. Namun, jika laki-laki itu masih ingin berpanjang lebar, maka dia akan memencet bel, meminta security membukakan pagar, dan meninggalkannya begitu saja. 

"Soal ide eyaneyang, aku sama sekali gak intervensi," lanjut lelaki itu. Kali ini nada suaranya sedikit ditekankan agar Hayu mengerti akan kesungguhannya. 

"Yaudah kalau gitu, " jawab Hayu. 

"Jadi?"

"Kalau ngomongnya udahan, aku mau istirahat."

Begitu Hayu selesai berbicara, pintu pagar terbuka dengan sendirinya. Security yang berjaga melihat dari CCTV bahwa nona rumah sedang berdiri di depan. Dia merasa tak enak kalau tidak membukakan pagar, sekalipun Hayu belum memencet belnya. 

"Non Hayu. Mas Aksa. Silakan masuk," kata si security dengan ramah. 

Itu membuat Hayu harus menarik napas panjang lagi sembari membuang pandangan. Dia malah tidak ingin mengajak Aksa bertamu. Lagipula mama dan papa masih di rumah eyang. Tak enak rasanya jika mereka berduaan saja.

"Eh iya, Pak. Nih!" Aksa melempar kunci agar si security memasukkan mobilnya ke halaman.

Hayu meninggalkan Aksa begitu saja, lalu memencet bel rumah. Tak lama pintu terbuka. Tampaklah si Bibik menyambut kedatangan mereka. 

"Non. Mas Aksa." Bibik menyapa lalu bergegas ke dalam untuk membuatkan minuman. 

Aksa memilih duduk di sofa dan menunggu apakah Hayu akan mengajaknya berbicara. Dia sudah sangat percaya diri masuk ke rumah ini walaupun tuan rumah tidak mengizinkan.  

"Kamu tunggu aja dulu di situ. Bentar lagi mama sama papa pulang," katanya sembari berjalan masuk menuju kamar. 

Hayu malas meladeni Aksa berbicara. Rasa kesalnya masih belum hilang. Jadi lebih baik berdiam saja di kamar atau melakukan sesuatu. Mendengarkan musik misalnya.

Memang sikapnya tidak sopan jika membiarkan tamu sendirian. Tetapi mau gimana lagi? Dia sudah terlanjur eneg dengan sikap Aksa. 

Langkah Hayu semakin cepat saat menaiki anak tanggga. Hingga tak sengaja kakinya terpeleset.

Hayu berteriak. Tubuhnya bergulingan ke bawah dengan kaki terkilir. Apes sekali nasibnya hari ini. Di rumah eyang tadi juga terjatuh, ditambah lagi dengan ini. Pasti semua tubuhnya akan sakit.

Si Bibik yang melihat itu langsung berlari dan menghampiri dan membantu Hayu untuk duduk. 

"Sakit, Bik," ucap Hayu mengaduh. Kakinya bahkan susah digerakkan.

"Bentar, Non. Tunggu di sini," kata Bibik menenangkan. Wanita tua itu berlari ke ruang tamu dan memanggil Aksa untuk dimintai pertolongan. 

Aksa bergegas ke dalam dan mengucap istigfar berkali-kali saat melihat kondisi pujaan hatinya. Dengan cepat dia menggendong tubuh mungil itu dan membawanya naik ke kamar. Hanya itu yang ada di dalam pikirannya saat ini.

Hayu sendiri tak dapat berkata saat tubuhnya diletakkan pelan di sofa kamar. Dia meringis kesakitan. 

"Ada minyak gosok?" tanya Aksa. 

Bibik langsung mengiyakan dan bergegas ke bawah untuk mengambil benda itu di dalam kotak obat. Lalu, dia kembali ke atas dan memberikannya kepada Aksa.

Dengan cepat, Aksa membuka tutupnya lalu membalurkan minyak di sepanjang kaki Hayu.

"Maaf," ucapnya saat ingin menyentuh karena takut disemprot lagi. Niatnya kali ini memang tulus ingin membantu. 

"Saya permisi dulu Non, Mas," pamit Bibik karena mendengar suara bel pintu berbunyi. Sepertinya tuan dan nyonya rumah sudah datang.

Setengah berlari si Bibik membuka pintu dengan napas tersengal-sengal. 

"Ada apa?" tanya Sarah saat melihat pembantunya gelisah.  

"Itu ... Non Hayu jatuh dari tangga," jawab si Bibik panik. 

Mendengar itu, Sarah dan Danu bergegas ke kamar Hayu. Tentu saja mereka menjadi ikut panik jika sampai terjadi sesuatu kepada putri kesayangan. 

Sarah membuka pintu kamar Hayu yang setengah tertutup, kemudian terbelalak melihat apa yang sedang terjadi. Putrinya tampak sedang melakukan sesuatu yang intim bersama seorang lelaki. 

"Kalian?" tanya Sarah sambil menutup mulut karena tak percaya. 

Sementara Danu mengusap wajahnya berkali-kali. Pemandangan dihadapan mereka sungguh memalukan.

Dua orang itu terkejut kemudian saling menjauh. Wajah Aksa berubah pucat ketika melihat orang tua Hayu berdiri di depan pintu. 

"Mama jangan salah paham. Aksa bantuin aku ngolesin minyak gosok. Kaki aku terkilir jatuh dari tangga. Tanya Bibik kalau gak percaya," jelas Hayu ketakutan, karena sudah beberapa kali mereka kedapatan seperti itu.

"Hayu benar, Tante. Kita gak ngapa-ngapain," jelas Aksa. Tadi dia sudah berulah di rumah eyang, jadi tidak mungkin berulah lagi di sini. 

"Itu kenapa pada nunduk wajahnya?" tanya Sarah. Wanita paruh baya itu membuang pandangan karena malu melihat kelakuan putrinya.

"Ini baju Aksa nyangkut di anting aku, Ma," kata Hayu merengek. Matanya berkaca-kaca. Sebentar lagi dia pasti akan menangis. 

Ini terjadi di luar dugaan. Tadi saat mengoleskan minyak, Aksa juga memijat lembut kakinya. Namun ada pijatannya saat yang terlalu keras, sehingga dia mengaduh kesakitan.  

Gerakan Hayu menunduk dan memegang betis, berbarengan dengan Aksa yang tiba-tiba mendongak. Entah bagaimana, bagian depan bajunya yang tadi terbuka dan kancingnya terlepas, tersangkut di anting gadis itu.

Aksa mencoba melepaskan, tetapi bersamaan dengan kedatangan orang tua Hayu. Apalagi posisinya membelakangi pintu, maka lengkaplah semua tuduhan itu. 

"Om, Tante, percayalah. Aku cuma mau ngelepasin anting," lanjut Aksa lagi. 

Sarah dan Danu saling berpandangan saat dua orang itu saling membela diri.

"Ma," kata Danu, setelah semua terdiam. 

"Apa, Pa?" tanya Sarah.

"Bener kata Eyang. Mereka harus segera dinikahkan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status