Home / Young Adult / About Keenan / Bab 4. Di Balik Diamnya

Share

Bab 4. Di Balik Diamnya

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-09-10 05:58:48

"Di balik diamnya, ada perasaan yang tak terucap, menunggu waktu yang tepat untuk terungkap." -Keenan Aksara

°°°°°

Di balik semak-semak yang rindang di pinggir lapangan, Keenan mengintip, matanya tak lepas dari sosok Kafka yang melangkah maju, berdiri tegap di depan Alsha. Dalam sekejap, entah dari mana datangnya, Kafka sudah menggenggam botol plastik dan tanpa ragu, menyiramkan isinya ke arah Claudia. Butiran air terbang di udara, menimpa Claudia yang langsung terdiam, terkejut oleh tindakan Kafka. Keenan ikut terhenyak—ini bukan Kafka yang dia kenal. Kafka biasanya tenang, pendiam, dan tak mudah terpancing. Keenan hanya memintanya menegur Claudia, bukan melakukan hal segila ini.

Dari balik persembunyiannya, Keenan menyaksikan semuanya dengan tatapan tajam. Sesuatu dalam dirinya bergejolak, penasaran sekaligus sedikit cemas. Dan sebelum dia sempat bertindak, Davin muncul seperti badai yang tak terduga. Tanpa peringatan, tinju Davin melayang cepat, mengenai wajah Kafka. Refleks, tubuh Keenan bergerak maju, hampir saja melangkah keluar. Namun, dia menahan diri. Tetap bersembunyi, mengamati dari balik semak-semak. Alsha tak boleh tahu kalau dia ada di sini.

Jari-jari Keenan mengepal kuat, tubuhnya tegang. Matanya tak berkedip, memandangi Kafka yang dengan cepat membalas pukulan Davin, lebih keras, lebih brutal. Senyum miring tersungging di wajah Keenan—ini yang dia tahu tentang Kafka. Tenang di luar, tapi tak terkalahkan di medan perkelahian. Davin mungkin punya banyak koneksi dan anggota geng yang selalu siap membantunya, tapi dalam pertarungan satu lawan satu, dia tak ada apa-apanya. Kafka Dirgantara, dengan kekuatan dan keterampilannya dalam bela diri, jauh lebih unggul. Lomba karate tingkat nasional, juara dua—itu bukan sekadar kebetulan. Di balik sikap santainya, Kafka menyimpan kekuatan yang tak bisa diremehkan.

Sambil terus memperhatikan pertarungan itu, pandangan Keenan tiba-tiba beralih ke Alsha. Dia berdiri beberapa meter dari kejadian itu, tampak pucat dan ketakutan. Gadis itu, yang selalu begitu lembut dan damai, jelas-jelas tak tahan melihat kekerasan. Tangannya erat menggenggam tangan Aline, sahabat setianya yang selalu ada di sampingnya. Sebelumnya, Aline pun sempat berdiri melindungi Alsha sebelum Kafka melangkah maju.

Ashaline Elleana—atau Aline, begitu semua orang memanggilnya. Gadis berambut ikal yang selalu ceriwis dan penuh energi, teman sekelas yang tak pernah segan berbicara apa adanya, bahkan terhadap Keenan. Bagi Keenan, dia sering kali dianggap terlalu cerewet, tetapi keberaniannya dalam menghadapi siapa pun tak bisa dipungkiri.

Keenan menarik napas dalam-dalam, merasakan berat di dadanya. Apa yang akan dipikirkan Alsha jika dia tahu bahwa di balik dukungan Keenan yang selalu tampak di depan, sebenarnya ada sisi dirinya yang menikmati dunia yang paling Alsha benci—perkelahian. Bagaimana reaksinya jika tahu bahwa Keenan, yang selalu terlihat tenang dan melindungi, diam-diam terlibat dalam kekerasan ini?

Saat perdebatan antara Kafka, Claudia, dan Davin semakin memanas, tiba-tiba seorang guru muncul. Suasana langsung berubah. Guru itu dengan tegas memisahkan mereka, dan tak lama kemudian, Kafka serta Davin dibawa menuju ruang BK, meninggalkan lapangan yang perlahan-lahan kembali tenang.

"Sorry, Kaf," Keenan berbisik pelan, meski Kafka tak bisa mendengarnya. "Gara-gara gue, lo harus masuk BK." Rasa bersalah menyeruak di benaknya. Beberapa hari yang lalu, dia sudah membuat Abhi terluka, dan sekarang, Kafka harus menanggung akibat dari keputusannya. Dan Davin… Keenan tahu, masalah ini belum selesai. Davin pasti merencanakan sesuatu yang lebih.

Keenan segera meninggalkan tempat persembunyiannya, berjalan cepat menuju parkiran. Dia tak ingin Alsha atau siapa pun melihatnya. Sambil berjalan, dia merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan singkat kepada Kafka.

Keenan: Gue tunggu di parkiran.

Tak butuh waktu lama, balasan Kafka muncul di layar.

Kafka: Ok.

Keenan menyimpan ponselnya kembali ke saku, langkahnya semakin cepat saat melintasi area parkiran. Begitu sampai, Abhi dan Nevan sudah berdiri menunggu, ekspresi mereka mencerminkan kebosanan.

"Pak Ketu, darimana aja? Lama banget," keluh Abhi sambil menyandarkan tubuhnya pada motor.

"Iya, bos, kami sampe jamuran nunggu disini," Nevan menimpali dengan nada bercanda, meski sorot matanya menunjukkan ketidaksabaran.

Keenan tidak menjawab dengan panjang. Tanpa berkata-kata, dia langsung menaiki motornya, duduk dengan sikap santai, tapi ekspresinya tetap datar, seperti biasa.

"Ada urusan," jawabnya singkat, pandangannya masih tenang meski di dalam hatinya terasa ada yang bergejolak.

Beberapa menit kemudian, sosok Kafka muncul dari kejauhan, melangkah mendekat. Wajahnya sedikit lebam, dan itu langsung menarik perhatian Abhi dan Nevan. Keduanya tersentak, terkejut melihat kondisi Kafka.

"Lo berantem sama siapa, Kaf?" tanya Nevan cepat, wajahnya penuh kekhawatiran saat mendekati Kafka.

"Davin," Kafka menjawab singkat, namun tatapannya sedikit melirik ke arah Keenan, seolah menunggu reaksi dari ketua mereka.

Abhi dan Nevan saling berpandangan, bingung. Mereka kemudian menatap Keenan yang masih duduk santai di atas motornya, seakan tak peduli dengan apa yang terjadi.

"Serius? Si Davin bikin masalah lagi?" tanya Nevan, nadanya penuh kejengkelan.

Keenan hanya mengangkat bahu, sedikit tersenyum miring. "Kalau gak bikin masalah, bukan Davin namanya," jawabnya dengan nada sinis, tanpa sedikit pun rasa terkejut.

Kafka hanya menggelengkan kepala, seolah mencoba meredakan kekhawatiran mereka. "Gue gak apa-apa, santai aja. Luka kecil doang," katanya pelan, meskipun matanya menunjukkan rasa lelah setelah konfrontasi tadi.

Saat ketiga temannya mulai berbincang, fokus Keenan seketika teralih. Pandangannya jatuh pada dua sosok gadis yang tengah berjalan mendekati gerbang sekolah. Alsha—gadis yang sejak tadi memenuhi pikirannya—sedang berjalan di samping Aline. Mata Keenan terus mengikuti langkahnya, tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Alsha yang tampak begitu tenang, meskipun dia tahu gadis itu barusan terlibat dalam insiden yang cukup menegangkan.

Namun, ada yang lain yang menarik perhatiannya. Alsha tidak menoleh padanya, dia malah menatap ke arah Kafka. Tatapan itu seolah menyiratkan kebingungan—mungkin Alsha tidak mengerti kenapa Kafka, sosok yang selalu diam dan tak banyak bicara, tiba-tiba muncul dan menolongnya.

Perasaan tak nyaman mulai merambat dalam diri Keenan. Pikiran itu melintas cepat—bagaimana jika Alsha mulai tertarik pada Kafka? Keenan tahu persis, gadis itu tak tahu kalau sebenarnya yang menyuruh Kafka untuk menolongnya tadi adalah dia, Keenan sendiri. Perasaan yang bercampur antara kesal dan tak mau kalah mendesak dalam dirinya.

Di sisi lain, Nevan yang sedang bersandar di motornya, menghela napas panjang sembari membuka kancing seragamnya. Gerakannya lambat dan santai, memperlihatkan kaos hitam yang membungkus tubuhnya di balik seragam yang ia lepaskan. Kaos itu sudah kusut, seolah mencerminkan betapa lelahnya hari itu. Dengan senyum tipis yang seolah ingin memancing jawaban, ia bertanya, "Mau ke mana hari, bos?"

Tanpa menghiraukan pertanyaan Nevan, Keenan menggeser posisi duduknya, merapatkan pegangan pada motor, lalu mengambil helm full face-nya. Suara mesin motornya menderu saat dia menyalakannya, siap untuk pergi.

Abhi, yang menyadari perubahan sikap Keenan, langsung bertanya, "Pak Ketu kenapa?" Tapi Keenan tak menjawab. Dari balik helmnya, dia masih fokus pada Alsha, yang kini sudah hampir mencapai gerbang sekolah.

Kafka memperhatikan dengan tenang, mengamati arah pandangan Keenan. Dia menarik napas panjang, seolah sudah memahami apa yang sedang terjadi di benak sahabatnya itu. "Biasa, ngejar Alsha," gumam Kafka dengan nada datar, matanya juga tertuju pada gadis yang kini menjadi pusat perhatian mereka.

Abhi dan Nevan mengikuti arah pandang Kafka, sama-sama melihat ke arah Alsha yang sedang berjalan menjauh. Mereka terdiam sesaat, sementara Keenan, dengan satu gerakan cepat, menarik gas motornya, membuat suara deru motor terdengar jelas, dan tanpa berpikir panjang, dia melesat menuju Alsha.

BERSAMBUNG

Related chapters

  • About Keenan   Bab 5. Sejenak di Bawah Langit Senja

    "Ada hal-hal yang lebih indah dari senja. Senyummu, dan perasaan yang terukir dalam setiap detik saat bersamamu." -Keenan Aksara°°°°°Ketiga teman Keenan berdiri di bawah semburat jingga yang perlahan memenuhi langit sore. Parkiran sekolah mulai lengang, hanya tersisa beberapa siswa yang masih berkumpul. Di depan gerbang, Keenan menghentikan motornya tepat di depan Alsha dan Aline. Dengan gerakan yang anggun namun tanpa banyak usaha, ia melepas helm full-face-nya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru menambah kesan karismatik yang alami."Oalah, ke neng Alsha toh, kirain mau kemana," ujar Abhi, suaranya terdengar iseng, sementara dia mengambil helm dari motornya dan tersenyum kecil.Nevan memutar matanya dengan malas, "Yuk, susul Pak Ketu," katanya dengan sedikit cengengesan sambil menepuk-nepuk jok motornya, seolah siap berangkat kapan saja."Tunggu dulu," Nevan menyahut dengan nada setengah jengkel. "Enak aja nyuruh-nyuruh, Lo kira gue anak buah lo?"Kafka, duduk di motornya,

    Last Updated : 2024-09-12
  • About Keenan   Bab 6. Rindu yang Tak Berumah

    "Meski berdiri kokoh di hadapan dunia, ada hati yang tersesat, merindukan cinta yang pernah hilang. Karena rumah sejati bukanlah tempat, melainkan di mana kasih sayang berdiam." -Keenan Aksara...Keenan tersentak pelan saat suara lembut Alsha menyapanya, membuyarkan pikirannya yang tengah melayang jauh. "Keenan? Kamu ngelamun?"Ia segera menggeleng pelan, senyum yang sejak tadi terukir di wajahnya tak beranjak sedikit pun. Keenan menarik napas dalam, kembali menatap wajah Alsha dengan pandangan yang kini lebih sadar. Wajah gadis itu terlihat tenang dalam terang sore yang mulai meredup, sinar matahari yang condong menyinari rambut Alsha dan memberikan kesan lembut di sekelilingnya, membuat hati Keenan terasa hangat. Namun, sebelum ia sempat merespon lebih jauh, Kafka datang dengan langkah ringan dan santai, seperti biasanya. Tanpa banyak bicara, Kafka menyodorkan ponselnya pada Keenan.Keenan mengambil ponsel itu tanpa ragu, matanya langsung tertuju pada pesan yang terpampang di lay

    Last Updated : 2024-09-12
  • About Keenan   Bab 7. Setengah Hati

    "Ketika pilihan hidup dan cinta saling bertabrakan, terkadang kita harus berkorban demi menjaga yang paling berharga."............Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam sore. Cahaya senja mulai memudar, menyisakan rona merah tipis di langit yang semakin gelap. Di ruang tamu, Keenan duduk di sofa panjang, tubuhnya tampak santai meski ada kegelisahan samar di wajahnya. Di sampingnya, Kavin, adik kecilnya, tenggelam dalam layar ponsel milik Keenan. Tawa kecil Kavin sesekali menggema di ruangan yang sepi, membuat senyum tipis tersungging di bibir Keenan. Namun, di balik tawa itu, Keenan tetap tak bisa sepenuhnya mengusir rasa janggal yang mengganggunya sejak sore tadi. Di lantai atas, di kamar utama, suasana jauh lebih serius. Raisya Zahra, ibu Keenan, berdiri di depan cermin, mematut dirinya sambil sesekali melirik ke arah suaminya. Wajahnya memancarkan kecantikan yang masih tersisa meskipun waktu telah berlalu, dan pesona itu kini menurun pada kedua putranya—terutama Keenan

    Last Updated : 2024-09-13
  • About Keenan   Bab 8. Waktu yang Tepat

    "Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan cinta bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda betapa berartinya perasaan itu bagi kita." -Keenan Aksara...Suasana pasar malam malam itu menggeliat hidup. Lampu-lampu kelap-kelip berwarna-warni menciptakan lautan cahaya, sementara tawa anak-anak dan teriakan dari wahana yang berputar membaur dengan musik dangdut yang mengalun dari pengeras suara tua. Riuh rendah manusia yang berdesakan di antara lapak-lapak penjaja mainan dan jajanan tak sedikit pun memudarkan atmosfer gembira, seolah-olah tempat itu menyatu dengan keajaiban kecil kota.Namun, di antara keramaian itu, ada ruang hening yang memisahkan tiga sosok: Keenan, Clara, dan Claudia. Keheningan di antara mereka terasa tegang, kontras dengan tawa yang berserakan di udara. Mata Claudia yang tajam dan penuh tanya memaku pandangannya ke arah Keenan, sementara Keenan berdiri tegak di samping Clara, wajahnya tampak sedikit kaku namun tetap tenang.Keenan bergerak dengan cepat, tanpa

    Last Updated : 2024-09-14
  • About Keenan   Bab 9. Sempurna

    "Kamu akan terlihat sempurna dimata orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." -Keenan Aksara...Saat Keenan dan Clara turun dari wahana, angin malam mulai mendingin, mengusir sisa-sisa kehangatan hari itu. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi bagi Keenan, semuanya terasa buram. Dia melirik jam tangannya, angka delapan malam menari di sana, memaksanya untuk kembali ke realitas."Ayo pulang," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Clara hanya mengangguk, bibirnya mengerucut tipis, menyembunyikan kekesalan yang perlahan merayap di hatinya. Sejak tadi, Keenan lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan Clara bicara sendiri tanpa balasan berarti.Ketika mereka sampai di depan rumah Keenan, pemandangan itu membuatnya menarik napas dalam. Kedua orang tuanya sudah berdiri di sana, bersama ayah Clara yang tampak begitu ceria. Langit malam menjadi saksi kesunyian yang menggantung di udara, sementara senyum-senyum tersungging di wajah-wajah orang dewasa."Gimana? Sudah akr

    Last Updated : 2024-09-15
  • About Keenan   Bab 10. Mengamati

    "Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara °°°°° Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana. Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha. "Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat. Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak se

    Last Updated : 2024-09-16
  • About Keenan   Bab 11. Satu Pilihan

    "Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara ••• Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya. “Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh. Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.” Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?” Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya. "Keenan!" Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara. Keenan

    Last Updated : 2024-09-18
  • About Keenan   Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas

    "Tindakanmu hari ini bisa menjadi racun bagi hati yang kau cintai esok hari." ••• Kafka tidak banyak bicara. Begitu melihat Keenan keluar dari kantin, dia langsung melangkah, tenang tapi dengan tekad yang sudah bulat. Di tengah pilihan sulit yang sering kita hadapi, penting untuk mengingat bahwa setiap langkah yang kita ambil bisa membentuk masa depan kita. Terkadang, kita perlu berani melangkah meski jalan yang diambil tidak pasti. "Eh, mau ke mana si burung kakap?" Abhi berteriak dari belakang, nada suaranya khas, selalu santai. "Jadi nggak nih kita ditraktir?" sahut Nevan, sedikit kesal tapi tak benar-benar serius. Kafka berhenti sejenak, menoleh dengan perlahan. Tatapannya tajam, seperti sedang memperingatkan. Mata itu tertuju pada Abhi yang baru saja memanggilnya dengan nama seenaknya. "Lo pilih jajan atau Keenan?" Kafka berkata datar, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Tanpa menunggu jawaban, dia kembali melangkah. Abhi menghela napas, melirik Nevan, "Berat, nih."

    Last Updated : 2024-09-23

Latest chapter

  • About Keenan   BAB 23. Badai yang Terkendali

    Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan (Part 2)

    Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan

    Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 6)

    Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 5)

    Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 4)

    Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 3)

    Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 2)

    Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia

    Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma

DMCA.com Protection Status