"Di balik diamnya, ada perasaan yang tak terucap, menunggu waktu yang tepat untuk terungkap." -Keenan Aksara
°°°°° Di balik semak-semak yang rindang di pinggir lapangan, Keenan mengintip, matanya tak lepas dari sosok Kafka yang melangkah maju, berdiri tegap di depan Alsha. Dalam sekejap, entah dari mana datangnya, Kafka sudah menggenggam botol plastik dan tanpa ragu, menyiramkan isinya ke arah Claudia. Butiran air terbang di udara, menimpa Claudia yang langsung terdiam, terkejut oleh tindakan Kafka. Keenan ikut terhenyak—ini bukan Kafka yang dia kenal. Kafka biasanya tenang, pendiam, dan tak mudah terpancing. Keenan hanya memintanya menegur Claudia, bukan melakukan hal segila ini. Dari balik persembunyiannya, Keenan menyaksikan semuanya dengan tatapan tajam. Sesuatu dalam dirinya bergejolak, penasaran sekaligus sedikit cemas. Dan sebelum dia sempat bertindak, Davin muncul seperti badai yang tak terduga. Tanpa peringatan, tinju Davin melayang cepat, mengenai wajah Kafka. Refleks, tubuh Keenan bergerak maju, hampir saja melangkah keluar. Namun, dia menahan diri. Tetap bersembunyi, mengamati dari balik semak-semak. Alsha tak boleh tahu kalau dia ada di sini. Jari-jari Keenan mengepal kuat, tubuhnya tegang. Matanya tak berkedip, memandangi Kafka yang dengan cepat membalas pukulan Davin, lebih keras, lebih brutal. Senyum miring tersungging di wajah Keenan—ini yang dia tahu tentang Kafka. Tenang di luar, tapi tak terkalahkan di medan perkelahian. Davin mungkin punya banyak koneksi dan anggota geng yang selalu siap membantunya, tapi dalam pertarungan satu lawan satu, dia tak ada apa-apanya. Kafka Dirgantara, dengan kekuatan dan keterampilannya dalam bela diri, jauh lebih unggul. Lomba karate tingkat nasional, juara dua—itu bukan sekadar kebetulan. Di balik sikap santainya, Kafka menyimpan kekuatan yang tak bisa diremehkan. Sambil terus memperhatikan pertarungan itu, pandangan Keenan tiba-tiba beralih ke Alsha. Dia berdiri beberapa meter dari kejadian itu, tampak pucat dan ketakutan. Gadis itu, yang selalu begitu lembut dan damai, jelas-jelas tak tahan melihat kekerasan. Tangannya erat menggenggam tangan Aline, sahabat setianya yang selalu ada di sampingnya. Sebelumnya, Aline pun sempat berdiri melindungi Alsha sebelum Kafka melangkah maju. Ashaline Elleana—atau Aline, begitu semua orang memanggilnya. Gadis berambut ikal yang selalu ceriwis dan penuh energi, teman sekelas yang tak pernah segan berbicara apa adanya, bahkan terhadap Keenan. Bagi Keenan, dia sering kali dianggap terlalu cerewet, tetapi keberaniannya dalam menghadapi siapa pun tak bisa dipungkiri. Keenan menarik napas dalam-dalam, merasakan berat di dadanya. Apa yang akan dipikirkan Alsha jika dia tahu bahwa di balik dukungan Keenan yang selalu tampak di depan, sebenarnya ada sisi dirinya yang menikmati dunia yang paling Alsha benci—perkelahian. Bagaimana reaksinya jika tahu bahwa Keenan, yang selalu terlihat tenang dan melindungi, diam-diam terlibat dalam kekerasan ini? Saat perdebatan antara Kafka, Claudia, dan Davin semakin memanas, tiba-tiba seorang guru muncul. Suasana langsung berubah. Guru itu dengan tegas memisahkan mereka, dan tak lama kemudian, Kafka serta Davin dibawa menuju ruang BK, meninggalkan lapangan yang perlahan-lahan kembali tenang. "Sorry, Kaf," Keenan berbisik pelan, meski Kafka tak bisa mendengarnya. "Gara-gara gue, lo harus masuk BK." Rasa bersalah menyeruak di benaknya. Beberapa hari yang lalu, dia sudah membuat Abhi terluka, dan sekarang, Kafka harus menanggung akibat dari keputusannya. Dan Davin… Keenan tahu, masalah ini belum selesai. Davin pasti merencanakan sesuatu yang lebih. Keenan segera meninggalkan tempat persembunyiannya, berjalan cepat menuju parkiran. Dia tak ingin Alsha atau siapa pun melihatnya. Sambil berjalan, dia merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan singkat kepada Kafka. Keenan: Gue tunggu di parkiran. Tak butuh waktu lama, balasan Kafka muncul di layar. Kafka: Ok. Keenan menyimpan ponselnya kembali ke saku, langkahnya semakin cepat saat melintasi area parkiran. Begitu sampai, Abhi dan Nevan sudah berdiri menunggu, ekspresi mereka mencerminkan kebosanan. "Pak Ketu, darimana aja? Lama banget," keluh Abhi sambil menyandarkan tubuhnya pada motor. "Iya, bos, kami sampe jamuran nunggu disini," Nevan menimpali dengan nada bercanda, meski sorot matanya menunjukkan ketidaksabaran. Keenan tidak menjawab dengan panjang. Tanpa berkata-kata, dia langsung menaiki motornya, duduk dengan sikap santai, tapi ekspresinya tetap datar, seperti biasa. "Ada urusan," jawabnya singkat, pandangannya masih tenang meski di dalam hatinya terasa ada yang bergejolak. Beberapa menit kemudian, sosok Kafka muncul dari kejauhan, melangkah mendekat. Wajahnya sedikit lebam, dan itu langsung menarik perhatian Abhi dan Nevan. Keduanya tersentak, terkejut melihat kondisi Kafka. "Lo berantem sama siapa, Kaf?" tanya Nevan cepat, wajahnya penuh kekhawatiran saat mendekati Kafka. "Davin," Kafka menjawab singkat, namun tatapannya sedikit melirik ke arah Keenan, seolah menunggu reaksi dari ketua mereka. Abhi dan Nevan saling berpandangan, bingung. Mereka kemudian menatap Keenan yang masih duduk santai di atas motornya, seakan tak peduli dengan apa yang terjadi. "Serius? Si Davin bikin masalah lagi?" tanya Nevan, nadanya penuh kejengkelan. Keenan hanya mengangkat bahu, sedikit tersenyum miring. "Kalau gak bikin masalah, bukan Davin namanya," jawabnya dengan nada sinis, tanpa sedikit pun rasa terkejut. Kafka hanya menggelengkan kepala, seolah mencoba meredakan kekhawatiran mereka. "Gue gak apa-apa, santai aja. Luka kecil doang," katanya pelan, meskipun matanya menunjukkan rasa lelah setelah konfrontasi tadi. Saat ketiga temannya mulai berbincang, fokus Keenan seketika teralih. Pandangannya jatuh pada dua sosok gadis yang tengah berjalan mendekati gerbang sekolah. Alsha—gadis yang sejak tadi memenuhi pikirannya—sedang berjalan di samping Aline. Mata Keenan terus mengikuti langkahnya, tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Alsha yang tampak begitu tenang, meskipun dia tahu gadis itu barusan terlibat dalam insiden yang cukup menegangkan. Namun, ada yang lain yang menarik perhatiannya. Alsha tidak menoleh padanya, dia malah menatap ke arah Kafka. Tatapan itu seolah menyiratkan kebingungan—mungkin Alsha tidak mengerti kenapa Kafka, sosok yang selalu diam dan tak banyak bicara, tiba-tiba muncul dan menolongnya. Perasaan tak nyaman mulai merambat dalam diri Keenan. Pikiran itu melintas cepat—bagaimana jika Alsha mulai tertarik pada Kafka? Keenan tahu persis, gadis itu tak tahu kalau sebenarnya yang menyuruh Kafka untuk menolongnya tadi adalah dia, Keenan sendiri. Perasaan yang bercampur antara kesal dan tak mau kalah mendesak dalam dirinya. Di sisi lain, Nevan yang sedang bersandar di motornya, menghela napas panjang sembari membuka kancing seragamnya. Gerakannya lambat dan santai, memperlihatkan kaos hitam yang membungkus tubuhnya di balik seragam yang ia lepaskan. Kaos itu sudah kusut, seolah mencerminkan betapa lelahnya hari itu. Dengan senyum tipis yang seolah ingin memancing jawaban, ia bertanya, "Mau ke mana hari, bos?" Tanpa menghiraukan pertanyaan Nevan, Keenan menggeser posisi duduknya, merapatkan pegangan pada motor, lalu mengambil helm full face-nya. Suara mesin motornya menderu saat dia menyalakannya, siap untuk pergi. Abhi, yang menyadari perubahan sikap Keenan, langsung bertanya, "Pak Ketu kenapa?" Tapi Keenan tak menjawab. Dari balik helmnya, dia masih fokus pada Alsha, yang kini sudah hampir mencapai gerbang sekolah. Kafka memperhatikan dengan tenang, mengamati arah pandangan Keenan. Dia menarik napas panjang, seolah sudah memahami apa yang sedang terjadi di benak sahabatnya itu. "Biasa, ngejar Alsha," gumam Kafka dengan nada datar, matanya juga tertuju pada gadis yang kini menjadi pusat perhatian mereka. Abhi dan Nevan mengikuti arah pandang Kafka, sama-sama melihat ke arah Alsha yang sedang berjalan menjauh. Mereka terdiam sesaat, sementara Keenan, dengan satu gerakan cepat, menarik gas motornya, membuat suara deru motor terdengar jelas, dan tanpa berpikir panjang, dia melesat menuju Alsha. BERSAMBUNG"Ada hal-hal yang lebih indah dari senja. Senyummu, dan perasaan yang terukir dalam setiap detik saat bersamamu." -Keenan Aksara°°°°°Ketiga teman Keenan berdiri di bawah semburat jingga yang perlahan memenuhi langit sore. Parkiran sekolah mulai lengang, hanya tersisa beberapa siswa yang masih berkumpul. Di depan gerbang, Keenan menghentikan motornya tepat di depan Alsha dan Aline. Dengan gerakan yang anggun namun tanpa banyak usaha, ia melepas helm full-face-nya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru menambah kesan karismatik yang alami."Oalah, ke neng Alsha toh, kirain mau kemana," ujar Abhi, suaranya terdengar iseng, sementara dia mengambil helm dari motornya dan tersenyum kecil.Nevan memutar matanya dengan malas, "Yuk, susul Pak Ketu," katanya dengan sedikit cengengesan sambil menepuk-nepuk jok motornya, seolah siap berangkat kapan saja."Tunggu dulu," Nevan menyahut dengan nada setengah jengkel. "Enak aja nyuruh-nyuruh, Lo kira gue anak buah lo?"Kafka, duduk di motornya,
"Meski berdiri kokoh di hadapan dunia, ada hati yang tersesat, merindukan cinta yang pernah hilang. Karena rumah sejati bukanlah tempat, melainkan di mana kasih sayang berdiam." -Keenan Aksara...Keenan tersentak pelan saat suara lembut Alsha menyapanya, membuyarkan pikirannya yang tengah melayang jauh. "Keenan? Kamu ngelamun?"Ia segera menggeleng pelan, senyum yang sejak tadi terukir di wajahnya tak beranjak sedikit pun. Keenan menarik napas dalam, kembali menatap wajah Alsha dengan pandangan yang kini lebih sadar. Wajah gadis itu terlihat tenang dalam terang sore yang mulai meredup, sinar matahari yang condong menyinari rambut Alsha dan memberikan kesan lembut di sekelilingnya, membuat hati Keenan terasa hangat. Namun, sebelum ia sempat merespon lebih jauh, Kafka datang dengan langkah ringan dan santai, seperti biasanya. Tanpa banyak bicara, Kafka menyodorkan ponselnya pada Keenan.Keenan mengambil ponsel itu tanpa ragu, matanya langsung tertuju pada pesan yang terpampang di lay
"Ketika pilihan hidup dan cinta saling bertabrakan, terkadang kita harus berkorban demi menjaga yang paling berharga."............Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam sore. Cahaya senja mulai memudar, menyisakan rona merah tipis di langit yang semakin gelap. Di ruang tamu, Keenan duduk di sofa panjang, tubuhnya tampak santai meski ada kegelisahan samar di wajahnya. Di sampingnya, Kavin, adik kecilnya, tenggelam dalam layar ponsel milik Keenan. Tawa kecil Kavin sesekali menggema di ruangan yang sepi, membuat senyum tipis tersungging di bibir Keenan. Namun, di balik tawa itu, Keenan tetap tak bisa sepenuhnya mengusir rasa janggal yang mengganggunya sejak sore tadi. Di lantai atas, di kamar utama, suasana jauh lebih serius. Raisya Zahra, ibu Keenan, berdiri di depan cermin, mematut dirinya sambil sesekali melirik ke arah suaminya. Wajahnya memancarkan kecantikan yang masih tersisa meskipun waktu telah berlalu, dan pesona itu kini menurun pada kedua putranya—terutama Keenan
"Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan cinta bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda betapa berartinya perasaan itu bagi kita." -Keenan Aksara...Suasana pasar malam malam itu menggeliat hidup. Lampu-lampu kelap-kelip berwarna-warni menciptakan lautan cahaya, sementara tawa anak-anak dan teriakan dari wahana yang berputar membaur dengan musik dangdut yang mengalun dari pengeras suara tua. Riuh rendah manusia yang berdesakan di antara lapak-lapak penjaja mainan dan jajanan tak sedikit pun memudarkan atmosfer gembira, seolah-olah tempat itu menyatu dengan keajaiban kecil kota.Namun, di antara keramaian itu, ada ruang hening yang memisahkan tiga sosok: Keenan, Clara, dan Claudia. Keheningan di antara mereka terasa tegang, kontras dengan tawa yang berserakan di udara. Mata Claudia yang tajam dan penuh tanya memaku pandangannya ke arah Keenan, sementara Keenan berdiri tegak di samping Clara, wajahnya tampak sedikit kaku namun tetap tenang.Keenan bergerak dengan cepat, tanpa
"Kamu akan terlihat sempurna dimata orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." -Keenan Aksara...Saat Keenan dan Clara turun dari wahana, angin malam mulai mendingin, mengusir sisa-sisa kehangatan hari itu. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi bagi Keenan, semuanya terasa buram. Dia melirik jam tangannya, angka delapan malam menari di sana, memaksanya untuk kembali ke realitas."Ayo pulang," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Clara hanya mengangguk, bibirnya mengerucut tipis, menyembunyikan kekesalan yang perlahan merayap di hatinya. Sejak tadi, Keenan lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan Clara bicara sendiri tanpa balasan berarti.Ketika mereka sampai di depan rumah Keenan, pemandangan itu membuatnya menarik napas dalam. Kedua orang tuanya sudah berdiri di sana, bersama ayah Clara yang tampak begitu ceria. Langit malam menjadi saksi kesunyian yang menggantung di udara, sementara senyum-senyum tersungging di wajah-wajah orang dewasa."Gimana? Sudah akr
"Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara °°°°° Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana. Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha. "Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat. Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak se
"Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara•••Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.“Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh.Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.”Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?”Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya."Keenan!"Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara.Keenan melirik sekilas
"Kesedihan adalah sapuan kuas yang menciptakan pola keindahan dalam kanvas hidup kita, mengungkapkan cerita di balik setiap goresan." - Keenan Aksara...Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, sebuah kamar kecil dengan cahaya lembut yang menembus tirai jendela. Di dalam kamar itu, suasana tenang terjaga. Seorang kakak, Keenan Aksara, duduk di sofa dengan adik laki-laki yang berada di pangkuannya. Keenan, seorang pemuda dengan wajah tegas dan tampan, adalah sosok yang tidak bisa diabaikan. Dengan rahang yang terdefinisi jelas dan mata yang penuh semangat, Keenan memancarkan aura karismatik yang membuatnya menjadi salah satu siswa paling populer di SMAN Cendana Jakarta. Namun ketampanan bukan satu-satunya alasan popularitasnya. Keenan dikenal luas karena prestasinya yang menakjubkan di bidang olahraga, khususnya basket. Ia sering kali menjadi pusat perhatian di setiap pertandingan.Ada keunikan yang membentuk sosok Keenan. Dari pihak ayahnya yang berasal dari Rusia, Keenan me