"Ada kalanya, cinta tak berteriak lantang. Ia bersembunyi dalam diam, mengatur segala langkah tanpa ingin dikenal, hanya berharap sang pujaan tetap tersenyum di kejauhan." -Keenan Aksara
. . . Keenan menghentikan motornya di tepi jalan, dekat sebuah rumah bercat biru. Bukan rumahnya, tapi rumah seorang gadis yang, entah bagaimana, kini mampu menggetarkan hatinya Gerbang rumah itu tertutup rapat, namun di dalam sana, di tempat yang tinggi, tempat di mana gadis itu sering menghabiskan waktunya, berdiri di bawah naungan malam. Seperti biasa, Keenan melihatnya lagi, menatap langit malam dengan tenang. Meskipun jarak memisahkan mereka, cahaya rembulan cukup untuk menyorot kecantikan gadis itu, membuatnya terlihat begitu memukau. Alsha. Alshameyzea Afsheena. Atau Sheena, begitu ia sering memanggil gadis bermata rembulan itu. Tanpa pernah gagal, setiap malam, Keenan selalu menyempatkan diri untuk menyaksikan Alsha dari kejauhan. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih belum sanggup melangkah maju, entah itu rasa takut atau mungkin keraguan, sehingga ia memilih untuk tetap menjadi bayangan yang diam-diam mengaguminya. Senyum tipis terukir di wajahnya, tak mampu melepaskan pandangannya dari sosok Alsha. Tanpa disadarinya, langkahnya bergerak perlahan mendekati pagar rumah gadis itu, seolah tertarik oleh daya magnet yang tak terlihat. "Sayang kamu," bisik Keenan, suaranya hampir tenggelam di antara hembusan angin malam. "Maaf, jika nyaliku hanya sebatas pengagum rahasiamu." Lalu, dengan berat hati, Keenan berbalik, menaiki motornya, dan melaju pelan menyusuri jalan yang sunyi, menjauh dari rumah yang selalu menariknya kembali, seolah takdir menggiringnya ke sana berulang kali. Bagi Alsha, Keenan hanyalah teman dekat sejak SMP, seseorang yang selalu ada di sisinya, mendukungnya. Namun, di mata Keenan, Alsha jauh lebih dari sekadar teman. Meskipun dirinya tahu, di sekolah, Keenan selalu menyapa Alsha dengan hangat di setiap mereka bertemu, tapi, entah kenapa, Keenan merasa, sangat sulit menjangkau hati gadis itu. Dibalik itu semua, Alsha tetaplah sinar yang selalu Keenan cari di setiap malam yang gelap. Sebuah harapan yang diam-diam Keenan titipkan pada rembulan. Untuk saat ini. -- Sesampainya di rumah, Keenan segera melangkah cepat menuju kamarnya. Hatinya yang tadinya bisa sedikit tenang ketika melihat gadis itu, kini justru diliputi kekhawatiran yang menghantui pikirannya. Kecemasan merayapi dirinya—takut jika adiknya terbangun tanpa dirinya di sisinya. Ketika Keenan membuka pintu dan melangkah masuk, matanya langsung tertumbuk pada sosok lelaki yang berdiri tegak di ruang tamu, seolah sengaja menantinya pulang. "Dateng juga kamu. Kirain bakal lupa jalan pulang," ucap ayahnya dengan nada datar namun tajam. Wajah ayahnya tampak geram, namun Keenan hanya diam. Dia tak menoleh sedikit pun, terus berjalan menuju kamarnya seolah kata-kata ayahnya hanyalah angin lalu. Dengan perlahan, Keenan membuka pintu kamarnya, dan perasaan lega pun segera menyelimuti dirinya. Adiknya masih terlelap dengan tenang di atas kasur, napasnya teratur dan damai. Keenan segera menutup pintu kamar, menguncinya dengan perlahan. Jaketnya ia lepaskan dan digantung asal di kursi. Dia melangkah ke sisi kasur, mendekati adiknya yang terlelap dalam dunia mimpi. Keenan duduk di sampingnya, tiba-tiba, matanya tertarik pada sebuah foto yang tergeletak di meja samping. Dalam foto itu, Keenan tampak memegang piala dengan medali emas tergantung di lehernya. Foto itu diambil setahun yang lalu, saat ia masih kelas satu SMA, momen kemenangan yang dulu begitu membanggakan. Dan membahagiakan baginya. Dia menarik napas panjang, lalu membalik foto itu dengan pelan, seolah tak ingin lagi menatap masa lalu itu. Tubuhnya kemudian terbaring di samping adiknya. Tangan Keenan memeluk erat tubuh mungil adiknya, merasakan kehangatan yang menenangkan. Matanya perlahan terpejam, sementara pikirannya melayang kembali kepada sosok gadis yang barusan mengisi pandangannya di bawah sinar rembulan. --- Beberapa hari kemudian.. Saat bel pulang berdentang, suasana kelas berubah menjadi keributan. Siswa-siswa mulai merapikan buku dan memasukkannya ke dalam tas dengan cepat, suara ritsleting dan desiran bisik-bisik memenuhi udara. Kelas yang semula tenang kini menjadi penuh aktivitas, namun di sudut ruangan, seorang pemuda tampak berbeda dari yang lain. Keenan duduk di bangku paling belakang barisan tengah, tubuhnya santai tetapi matanya tetap tertuju pada punggung seorang gadis yang duduk jauh di depannya. Gadis itu, Alsha, duduk bersama teman sebangkunya. Sinar matahari sore yang lembut menerangi rambut hitamnya yang dikuncir satu, menciptakan kilauan halus di bawah kaca jendela. Tawa ceria Alsha yang menyebar ke seluruh ruangan tampak bagaikan melodi lembut, menambah warna kehangatan pada hari yang hampir berakhir. Di samping Keenan, Kafka duduk dengan ekspresi yang penuh perhatian. Menyadari ketidakberpindahan posisi Keenan, dia bertanya dengan nada yang penuh rasa ingin tahu. "Lo gak mau pulang?" Suaranya tenang, tetapi penuh keheranan. Ia mengikuti arah tatapan Keenan, memerhatikan Alsha yang tampak begitu hidup dengan tawa dan canda. "Sampai kapan lo terus-terusan kayak gini?" Kafka melanjutkan, suaranya menunjukkan sedikit kepedulian. "Merhatiin dia dari jauh... seakan-akan lo nggak punya nyali buat ngelangkah lebih dekat." Keenan mengangkat alisnya, menoleh dengan mata yang masih penuh fokus pada Alsha. Dia tidak langsung menjawab, hanya menyimpan tatapan lembut yang penuh makna. "Sampai gue bosen," jawab Keenan akhirnya, suaranya terdengar ringan tetapi ada kedalaman yang tersembunyi di balik kata-katanya. Kafka menghela napas, matanya menunjukkan keprihatinan. "Kalau lo cuma penasaran doang, lo sama aja nyakitin hati dia. Diam-diam kayak gini nggak akan bikin lo lebih dekat sama dia." Keenan memiringkan kepalanya sedikit, senyum tipis terukir di bibirnya. "Tapi, sayangnya, gue bukan tipe orang yang gampang bosen. Apalagi soal perasaan." Suaranya tegas, namun dengan nada lembut. Tangannya meraih tas hitam yang tergeletak di samping kursinya dan menyampirkannya di bahu. Ada sesuatu yang serius dalam sikapnya, seperti sebuah tekad yang kuat. Keenan berdiri, mengisyaratkan kepada Kafka untuk segera meninggalkan kelas. Kafka, dengan napas panjang, mengangguk dan mengikuti langkah Keenan. Suasana di luar kelas sudah mulai tenang, sementara angin sore yang sejuk menyapu wajah mereka saat mereka melangkah keluar. Hari itu, Abhi dan Nevan keluar kelas duluan, mereka tadi ijin ke kamar mandi, Abhi yang meminta Nevan untuk ditemani, mungkin mereka berdua sudah menunggu di parkiran. --- Saat Keenan tiba di lapangan, sorotan matanya tak sengaja menangkap sosok Alsha yang berlari dengan tergesa, seolah mengejar sesuatu yang tak terlihat. Dengan gerakan cepat namun tenang, Keenan menarik Kafka, yang sebelumnya asyik tenggelam dalam alunan musik di earphone-nya. Kafka terkejut oleh tarikan mendadak itu, tapi ia tetap mengikuti langkah Keenan dengan rasa penasaran. Mereka menyelinap ke semak-semak di pinggir lapangan, menyembunyikan diri di balik dedaunan yang lebat. Dari tempat persembunyian mereka, pemandangan yang terbuka mengungkapkan sebuah adegan yang penuh ketegangan. Alsha tampak cemas dan tertekan, berdiri di bawah matahari sore yang meredup. Di hadapannya, seorang gadis dengan ekspresi marah memproyeksikan kemarahan yang jelas. Gadis itu adalah Claudia, seseorang yang sangat dikenal Keenan. Sosok yang menjadi alasan Davin mengacaukan markas mereka dan membuat Abhi menderita. Keenan merasa amarahnya memuncak, tangan kanannya mengepal erat, siap untuk membela Alsha yang tampak begitu rentan. Namun, saat ia hendak melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, langkahnya terhenti. Keenan menarik napas panjang, menahan emosinya, dan langkahnya mundur kembali. Kafka, yang berdiri di sampingnya, mengamati perubahan sikap Keenan dengan kebingungan. "Kenapa lo malah mundur?" tanya Kafka dengan nada bingung, matanya tertuju pada Keenan. Belum sempat Keenan merespons pertanyaan Kafka, mereka terkejut oleh tindakan Claudia yang menyiramkan air dingin ke arah Alsha. Air menyiram tubuh Alsha, membasahi seragamnya hingga menempel di kulit. Gadis itu tampak tersentak kaget dan sangat malu, sementara Claudia berdiri dengan ekspresi sinis dan puas. Keenan merasakan kemarahan yang membara di dalam dirinya. Tubuhnya bergetar menahan amarah. Dia menoleh ke Kafka dengan tatapan penuh tekad. "Apa?" Kafka bertanya, terkejut dengan tatapan Keenan tiba-tiba. "Gue percayakan semuanya ke lo," ucap Keenan dengan suara serak namun tegas. Matanya kembali fokus pada Alsha yang kini tampak kedinginan dan memerah karena air dingin. Kafka menatap Alsha yang basah kuyup dengan rasa prihatin. "Kenapa gak lo sendiri? Ini kesempatan buat nunjukin perasaan lo ke dia," katanya, mencoba memahami keputusan Keenan. Keenan menggeleng perlahan, wajahnya tetap tegang, matanya tetap tertuju pada Alsha yang masih berdiri di situ. "Dia benci kekerasan," jawab Keenan dengan nada pelan, namun penuh makna. "Gue gak mau, sebelum gue melangkah maju, dia udah ngejauhin gue." Mungkin bagi para pembaca, Kafka Dirgantara adalah sosok pertama yang muncul dalam kisah Alsha, membawa kepedulian yang tiba-tiba dan tak terduga. Namun, di balik semua itu, tersembunyi bayangan Keenan, yang dengan diam-diam menggerakkan langkah Kafka, seperti angin yang tak terlihat namun begitu kuat mengarahkan dedaunan menuju tujuan yang tak pernah terucap. BERSAMBUNG"Di balik diamnya, ada perasaan yang tak terucap, menunggu waktu yang tepat untuk terungkap." -Keenan Aksara °°°°° Di balik semak-semak yang rindang di pinggir lapangan, Keenan mengintip, matanya tak lepas dari sosok Kafka yang melangkah maju, berdiri tegap di depan Alsha. Dalam sekejap, entah dari mana datangnya, Kafka sudah menggenggam botol plastik dan tanpa ragu, menyiramkan isinya ke arah Claudia. Butiran air terbang di udara, menimpa Claudia yang langsung terdiam, terkejut oleh tindakan Kafka. Keenan ikut terhenyak—ini bukan Kafka yang dia kenal. Kafka biasanya tenang, pendiam, dan tak mudah terpancing. Keenan hanya memintanya menegur Claudia, bukan melakukan hal segila ini. Dari balik persembunyiannya, Keenan menyaksikan semuanya dengan tatapan tajam. Sesuatu dalam dirinya bergejolak, penasaran sekaligus sedikit cemas. Dan sebelum dia sempat bertindak, Davin muncul seperti badai yang tak terduga. Tanpa peringatan, tinju Davin melayang cepat, mengenai wajah Kafka. Refleks,
"Ada hal-hal yang lebih indah dari senja. Senyummu, dan perasaan yang terukir dalam setiap detik saat bersamamu." -Keenan Aksara°°°°°Ketiga teman Keenan berdiri di bawah semburat jingga yang perlahan memenuhi langit sore. Parkiran sekolah mulai lengang, hanya tersisa beberapa siswa yang masih berkumpul. Di depan gerbang, Keenan menghentikan motornya tepat di depan Alsha dan Aline. Dengan gerakan yang anggun namun tanpa banyak usaha, ia melepas helm full-face-nya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru menambah kesan karismatik yang alami."Oalah, ke neng Alsha toh, kirain mau kemana," ujar Abhi, suaranya terdengar iseng, sementara dia mengambil helm dari motornya dan tersenyum kecil.Nevan memutar matanya dengan malas, "Yuk, susul Pak Ketu," katanya dengan sedikit cengengesan sambil menepuk-nepuk jok motornya, seolah siap berangkat kapan saja."Tunggu dulu," Nevan menyahut dengan nada setengah jengkel. "Enak aja nyuruh-nyuruh, Lo kira gue anak buah lo?"Kafka, duduk di motornya,
"Meski berdiri kokoh di hadapan dunia, ada hati yang tersesat, merindukan cinta yang pernah hilang. Karena rumah sejati bukanlah tempat, melainkan di mana kasih sayang berdiam." -Keenan Aksara...Keenan tersentak pelan saat suara lembut Alsha menyapanya, membuyarkan pikirannya yang tengah melayang jauh. "Keenan? Kamu ngelamun?"Ia segera menggeleng pelan, senyum yang sejak tadi terukir di wajahnya tak beranjak sedikit pun. Keenan menarik napas dalam, kembali menatap wajah Alsha dengan pandangan yang kini lebih sadar. Wajah gadis itu terlihat tenang dalam terang sore yang mulai meredup, sinar matahari yang condong menyinari rambut Alsha dan memberikan kesan lembut di sekelilingnya, membuat hati Keenan terasa hangat. Namun, sebelum ia sempat merespon lebih jauh, Kafka datang dengan langkah ringan dan santai, seperti biasanya. Tanpa banyak bicara, Kafka menyodorkan ponselnya pada Keenan.Keenan mengambil ponsel itu tanpa ragu, matanya langsung tertuju pada pesan yang terpampang di lay
"Ketika pilihan hidup dan cinta saling bertabrakan, terkadang kita harus berkorban demi menjaga yang paling berharga."............Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam sore. Cahaya senja mulai memudar, menyisakan rona merah tipis di langit yang semakin gelap. Di ruang tamu, Keenan duduk di sofa panjang, tubuhnya tampak santai meski ada kegelisahan samar di wajahnya. Di sampingnya, Kavin, adik kecilnya, tenggelam dalam layar ponsel milik Keenan. Tawa kecil Kavin sesekali menggema di ruangan yang sepi, membuat senyum tipis tersungging di bibir Keenan. Namun, di balik tawa itu, Keenan tetap tak bisa sepenuhnya mengusir rasa janggal yang mengganggunya sejak sore tadi. Di lantai atas, di kamar utama, suasana jauh lebih serius. Raisya Zahra, ibu Keenan, berdiri di depan cermin, mematut dirinya sambil sesekali melirik ke arah suaminya. Wajahnya memancarkan kecantikan yang masih tersisa meskipun waktu telah berlalu, dan pesona itu kini menurun pada kedua putranya—terutama Keenan
"Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan cinta bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda betapa berartinya perasaan itu bagi kita." -Keenan Aksara...Suasana pasar malam malam itu menggeliat hidup. Lampu-lampu kelap-kelip berwarna-warni menciptakan lautan cahaya, sementara tawa anak-anak dan teriakan dari wahana yang berputar membaur dengan musik dangdut yang mengalun dari pengeras suara tua. Riuh rendah manusia yang berdesakan di antara lapak-lapak penjaja mainan dan jajanan tak sedikit pun memudarkan atmosfer gembira, seolah-olah tempat itu menyatu dengan keajaiban kecil kota.Namun, di antara keramaian itu, ada ruang hening yang memisahkan tiga sosok: Keenan, Clara, dan Claudia. Keheningan di antara mereka terasa tegang, kontras dengan tawa yang berserakan di udara. Mata Claudia yang tajam dan penuh tanya memaku pandangannya ke arah Keenan, sementara Keenan berdiri tegak di samping Clara, wajahnya tampak sedikit kaku namun tetap tenang.Keenan bergerak dengan cepat, tanpa
"Kamu akan terlihat sempurna dimata orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." -Keenan Aksara...Saat Keenan dan Clara turun dari wahana, angin malam mulai mendingin, mengusir sisa-sisa kehangatan hari itu. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi bagi Keenan, semuanya terasa buram. Dia melirik jam tangannya, angka delapan malam menari di sana, memaksanya untuk kembali ke realitas."Ayo pulang," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Clara hanya mengangguk, bibirnya mengerucut tipis, menyembunyikan kekesalan yang perlahan merayap di hatinya. Sejak tadi, Keenan lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan Clara bicara sendiri tanpa balasan berarti.Ketika mereka sampai di depan rumah Keenan, pemandangan itu membuatnya menarik napas dalam. Kedua orang tuanya sudah berdiri di sana, bersama ayah Clara yang tampak begitu ceria. Langit malam menjadi saksi kesunyian yang menggantung di udara, sementara senyum-senyum tersungging di wajah-wajah orang dewasa."Gimana? Sudah akr
"Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara °°°°° Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana. Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha. "Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat. Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak se
"Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara ••• Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya. “Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh. Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.” Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?” Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya. "Keenan!" Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara. Keenan
Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.
Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip
Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d
Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn
Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih
Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba
Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du
Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man
Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma