Share

Bab 3. Jejak Tak Terlihat

"Ada kalanya, cinta tak berteriak lantang. Ia bersembunyi dalam diam, mengatur segala langkah tanpa ingin dikenal, hanya berharap sang pujaan tetap tersenyum di kejauhan." -Keenan Aksara

.

.

.

Keenan menghentikan motornya di tepi jalan, dekat sebuah rumah bercat biru. Bukan rumahnya, tapi rumah seorang gadis yang, entah bagaimana, kini mampu menggetarkan hatinya

Gerbang rumah itu tertutup rapat, namun di dalam sana, di tempat yang tinggi, tempat di mana gadis itu sering menghabiskan waktunya, berdiri di bawah naungan malam. Seperti biasa, Keenan melihatnya lagi, menatap langit malam dengan tenang. Meskipun jarak memisahkan mereka, cahaya rembulan cukup untuk menyorot kecantikan gadis itu, membuatnya terlihat begitu memukau.

Alsha. Alshameyzea Afsheena. Atau Sheena, begitu ia sering memanggil gadis bermata rembulan itu.

Tanpa pernah gagal, setiap malam, Keenan selalu menyempatkan diri untuk menyaksikan Alsha dari kejauhan. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih belum sanggup melangkah maju, entah itu rasa takut atau mungkin keraguan, sehingga ia memilih untuk tetap menjadi bayangan yang diam-diam mengaguminya.

Senyum tipis terukir di wajahnya, tak mampu melepaskan pandangannya dari sosok Alsha. Tanpa disadarinya, langkahnya bergerak perlahan mendekati pagar rumah gadis itu, seolah tertarik oleh daya magnet yang tak terlihat.

"Sayang kamu," bisik Keenan, suaranya hampir tenggelam di antara hembusan angin malam. "Maaf, jika nyaliku hanya sebatas pengagum rahasiamu."

Lalu, dengan berat hati, Keenan berbalik, menaiki motornya, dan melaju pelan menyusuri jalan yang sunyi, menjauh dari rumah yang selalu menariknya kembali, seolah takdir menggiringnya ke sana berulang kali.

Bagi Alsha, Keenan hanyalah teman dekat sejak SMP, seseorang yang selalu ada di sisinya, mendukungnya. Namun, di mata Keenan, Alsha jauh lebih dari sekadar teman. Meskipun dirinya tahu, di sekolah, Keenan selalu menyapa Alsha dengan hangat di setiap mereka bertemu, tapi, entah kenapa, Keenan merasa, sangat sulit menjangkau hati gadis itu.

Dibalik itu semua, Alsha tetaplah sinar yang selalu Keenan cari di setiap malam yang gelap. Sebuah harapan yang diam-diam Keenan titipkan pada rembulan. Untuk saat ini.

--

Sesampainya di rumah, Keenan segera melangkah cepat menuju kamarnya. Hatinya yang tadinya bisa sedikit tenang ketika melihat gadis itu, kini justru diliputi kekhawatiran yang menghantui pikirannya. Kecemasan merayapi dirinya—takut jika adiknya terbangun tanpa dirinya di sisinya.

Ketika Keenan membuka pintu dan melangkah masuk, matanya langsung tertumbuk pada sosok lelaki yang berdiri tegak di ruang tamu, seolah sengaja menantinya pulang.

"Dateng juga kamu. Kirain bakal lupa jalan pulang," ucap ayahnya dengan nada datar namun tajam.

Wajah ayahnya tampak geram, namun Keenan hanya diam. Dia tak menoleh sedikit pun, terus berjalan menuju kamarnya seolah kata-kata ayahnya hanyalah angin lalu.

Dengan perlahan, Keenan membuka pintu kamarnya, dan perasaan lega pun segera menyelimuti dirinya. Adiknya masih terlelap dengan tenang di atas kasur, napasnya teratur dan damai.

Keenan segera menutup pintu kamar, menguncinya dengan perlahan. Jaketnya ia lepaskan dan digantung asal di kursi. Dia melangkah ke sisi kasur, mendekati adiknya yang terlelap dalam dunia mimpi.

Keenan duduk di sampingnya, tiba-tiba, matanya tertarik pada sebuah foto yang tergeletak di meja samping. Dalam foto itu, Keenan tampak memegang piala dengan medali emas tergantung di lehernya. Foto itu diambil setahun yang lalu, saat ia masih kelas satu SMA, momen kemenangan yang dulu begitu membanggakan. Dan membahagiakan baginya.

Dia menarik napas panjang, lalu membalik foto itu dengan pelan, seolah tak ingin lagi menatap masa lalu itu. Tubuhnya kemudian terbaring di samping adiknya. Tangan Keenan memeluk erat tubuh mungil adiknya, merasakan kehangatan yang menenangkan. Matanya perlahan terpejam, sementara pikirannya melayang kembali kepada sosok gadis yang barusan mengisi pandangannya di bawah sinar rembulan.

---

Beberapa hari kemudian..

Saat bel pulang berdentang, suasana kelas berubah menjadi keributan. Siswa-siswa mulai merapikan buku dan memasukkannya ke dalam tas dengan cepat, suara ritsleting dan desiran bisik-bisik memenuhi udara. Kelas yang semula tenang kini menjadi penuh aktivitas, namun di sudut ruangan, seorang pemuda tampak berbeda dari yang lain.

Keenan duduk di bangku paling belakang barisan tengah, tubuhnya santai tetapi matanya tetap tertuju pada punggung seorang gadis yang duduk jauh di depannya. Gadis itu, Alsha, duduk bersama teman sebangkunya. Sinar matahari sore yang lembut menerangi rambut hitamnya yang dikuncir satu, menciptakan kilauan halus di bawah kaca jendela. Tawa ceria Alsha yang menyebar ke seluruh ruangan tampak bagaikan melodi lembut, menambah warna kehangatan pada hari yang hampir berakhir.

Di samping Keenan, Kafka duduk dengan ekspresi yang penuh perhatian. Menyadari ketidakberpindahan posisi Keenan, dia bertanya dengan nada yang penuh rasa ingin tahu. "Lo gak mau pulang?" Suaranya tenang, tetapi penuh keheranan. Ia mengikuti arah tatapan Keenan, memerhatikan Alsha yang tampak begitu hidup dengan tawa dan canda.

"Sampai kapan lo terus-terusan kayak gini?" Kafka melanjutkan, suaranya menunjukkan sedikit kepedulian. "Merhatiin dia dari jauh... seakan-akan lo nggak punya nyali buat ngelangkah lebih dekat."

Keenan mengangkat alisnya, menoleh dengan mata yang masih penuh fokus pada Alsha. Dia tidak langsung menjawab, hanya menyimpan tatapan lembut yang penuh makna. "Sampai gue bosen," jawab Keenan akhirnya, suaranya terdengar ringan tetapi ada kedalaman yang tersembunyi di balik kata-katanya.

Kafka menghela napas, matanya menunjukkan keprihatinan. "Kalau lo cuma penasaran doang, lo sama aja nyakitin hati dia. Diam-diam kayak gini nggak akan bikin lo lebih dekat sama dia."

Keenan memiringkan kepalanya sedikit, senyum tipis terukir di bibirnya. "Tapi, sayangnya, gue bukan tipe orang yang gampang bosen. Apalagi soal perasaan." Suaranya tegas, namun dengan nada lembut. Tangannya meraih tas hitam yang tergeletak di samping kursinya dan menyampirkannya di bahu. Ada sesuatu yang serius dalam sikapnya, seperti sebuah tekad yang kuat.

Keenan berdiri, mengisyaratkan kepada Kafka untuk segera meninggalkan kelas. Kafka, dengan napas panjang, mengangguk dan mengikuti langkah Keenan. Suasana di luar kelas sudah mulai tenang, sementara angin sore yang sejuk menyapu wajah mereka saat mereka melangkah keluar.

Hari itu, Abhi dan Nevan keluar kelas duluan, mereka tadi ijin ke kamar mandi, Abhi yang meminta Nevan untuk ditemani, mungkin mereka berdua sudah menunggu di parkiran.

---

Saat Keenan tiba di lapangan, sorotan matanya tak sengaja menangkap sosok Alsha yang berlari dengan tergesa, seolah mengejar sesuatu yang tak terlihat. Dengan gerakan cepat namun tenang, Keenan menarik Kafka, yang sebelumnya asyik tenggelam dalam alunan musik di earphone-nya. Kafka terkejut oleh tarikan mendadak itu, tapi ia tetap mengikuti langkah Keenan dengan rasa penasaran.

Mereka menyelinap ke semak-semak di pinggir lapangan, menyembunyikan diri di balik dedaunan yang lebat. Dari tempat persembunyian mereka, pemandangan yang terbuka mengungkapkan sebuah adegan yang penuh ketegangan. Alsha tampak cemas dan tertekan, berdiri di bawah matahari sore yang meredup. Di hadapannya, seorang gadis dengan ekspresi marah memproyeksikan kemarahan yang jelas.

Gadis itu adalah Claudia, seseorang yang sangat dikenal Keenan. Sosok yang menjadi alasan Davin mengacaukan markas mereka dan membuat Abhi menderita.

Keenan merasa amarahnya memuncak, tangan kanannya mengepal erat, siap untuk membela Alsha yang tampak begitu rentan. Namun, saat ia hendak melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, langkahnya terhenti. Keenan menarik napas panjang, menahan emosinya, dan langkahnya mundur kembali.

Kafka, yang berdiri di sampingnya, mengamati perubahan sikap Keenan dengan kebingungan. "Kenapa lo malah mundur?" tanya Kafka dengan nada bingung, matanya tertuju pada Keenan.

Belum sempat Keenan merespons pertanyaan Kafka, mereka terkejut oleh tindakan Claudia yang menyiramkan air dingin ke arah Alsha. Air menyiram tubuh Alsha, membasahi seragamnya hingga menempel di kulit. Gadis itu tampak tersentak kaget dan sangat malu, sementara Claudia berdiri dengan ekspresi sinis dan puas.

Keenan merasakan kemarahan yang membara di dalam dirinya. Tubuhnya bergetar menahan amarah. Dia menoleh ke Kafka dengan tatapan penuh tekad.

"Apa?" Kafka bertanya, terkejut dengan tatapan Keenan tiba-tiba.

"Gue percayakan semuanya ke lo," ucap Keenan dengan suara serak namun tegas. Matanya kembali fokus pada Alsha yang kini tampak kedinginan dan memerah karena air dingin.

Kafka menatap Alsha yang basah kuyup dengan rasa prihatin. "Kenapa gak lo sendiri? Ini kesempatan buat nunjukin perasaan lo ke dia," katanya, mencoba memahami keputusan Keenan.

Keenan menggeleng perlahan, wajahnya tetap tegang, matanya tetap tertuju pada Alsha yang masih berdiri di situ. "Dia benci kekerasan," jawab Keenan dengan nada pelan, namun penuh makna. "Gue gak mau, sebelum gue melangkah maju, dia udah ngejauhin gue."

Mungkin bagi para pembaca, Kafka Dirgantara adalah sosok pertama yang muncul dalam kisah Alsha, membawa kepedulian yang tiba-tiba dan tak terduga. Namun, di balik semua itu, tersembunyi bayangan Keenan, yang dengan diam-diam menggerakkan langkah Kafka, seperti angin yang tak terlihat namun begitu kuat mengarahkan dedaunan menuju tujuan yang tak pernah terucap.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status