Share

Bab 2. Diantara Kewajiban dan Kasih

"Rumah bukan hanya tempat kita tinggal, tetapi tempat di mana hati kita merasa tenang dan diterima." -Keenan Aksara

.

.

.

Apartemen itu sunyi, hanya suara kipas angin yang menderu pelan di sudut ruangan. Cahaya remang-remang dari lampu meja mengisi ruang dengan kehangatan yang samar, tapi tidak mampu mengusir seluruh bayang-bayang di dinding. Di tempat tidur yang berantakan, Abhi terbaring lemah, tubuhnya diselimuti perban di beberapa bagian. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa pertempuran yang baru saja dilaluinya—lebam, luka, dan rasa sakit yang belum benar-benar hilang. Namun, meskipun terlihat babak belur, kondisinya sudah jauh lebih baik.

Varelino Abhisar, yang lebih akrab dipanggil Abhi, sebenarnya adalah sosok yang jauh dari kesan lemah. Di sekolah, dia dikenal sebagai pria yang humoris, selalu bisa mencairkan suasana dengan lelucon dan candaannya yang spontan. Mulutnya jarang tertutup—selalu saja ada hal yang ingin dia katakan, dari hal-hal serius sampai hal-hal remeh yang mampu membuat teman-temannya tertawa. Dia datang dari Bogor, membawa semangat hangat yang seolah-olah tak pernah padam, seakan kesedihan atau kesulitan tak pernah benar-benar bisa menjamah hatinya. Namun, malam ini, humor dan candaannya sejenak terdiam, tergantikan oleh rasa sakit yang merayap di balik perbannya.

Keenan berdiri di dekat jendela, tangannya mengepal di sisi tubuhnya, meski nada suaranya nyaris tak terdengar. "Thanks, Bang." Ucapnya pelan, menoleh pada seorang pria yang sedang sibuk membereskan kotak obat di meja kecil di samping tempat tidur.

Laki-laki itu, dengan gerakan yang tenang, menutup kotak obat sebelum menatap Keenan dengan mata yang penuh ketegasan namun lembut. "Dia akan segera sembuh, jangan khawatir. Luka-lukanya gak seburuk yang kelihatan." Suaranya tenang, namun ada otoritas yang tak terbantahkan di balik nada lembut itu. Dia mengenakan pakaian dinas yang rapi, dengan name tag kecil yang terpasang di dadanya.

Dr. Athala

Keenan mengangguk, matanya kembali mengarah pada Abhi yang masih terbaring di tempat tidur. Rasa bersalah melintas di wajahnya yang biasanya penuh percaya diri.

"Sorry... gara-gara gue, lo jadi dikeroyok sama mereka." Ucapnya dengan suara yang berat, seolah kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.

Abhi membuka matanya, tersenyum tipis meskipun bibirnya terlihat sedikit bengkak.

"Pak ketu, ngapain sih minta maaf terus?" Dia mencoba duduk, dan segera Nevan yang berdiri di dekatnya, membantunya duduk dengan hati-hati.

Nevan Kalangga, yang terkenal dengan reputasinya sebagai siswa paling nakal di SMAN Cendana. Sehari-hari, dia adalah pelanggan tetap ruang BK. Tak ada minggu yang lewat tanpa dia dipanggil oleh guru bimbingan konseling. Entah itu karena ucapannya yang kadang tidak sopan, atau kelakuannya yang kerap di luar batas norma. Namun, meskipun sering dianggap biang onar, Nevan tetaplah sosok yang disukai oleh teman-temannya. Ceplas-ceplos dan apa adanya, dia tidak pernah ragu mengatakan apa yang ada di pikirannya, bahkan jika itu membuatnya bermasalah. Namun di balik kenakalannya, Nevan selalu ada saat dibutuhkan, seperti saat ini, berdiri di samping Abhi, siap membantu tanpa banyak bicara.

"Ini bukan salah Pak Ketu." Tambah Abhi, suaranya terdengar lemah tapi masih ada semangat dalam nadanya.

Keenan menghela napas panjang, pandangannya tertuju pada temannya dengan rasa sakit yang tidak terlihat, tetapi jelas terasa di setiap gerakannya. Melihat Abhi dalam kondisi seperti ini, membuatnya merasa gagal.

Dr. Athala meletakkan tangannya di pundak Keenan, memberikan sentuhan yang menenangkan.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kalian berantem lagi?" Tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Keenan menatapnya, wajahnya masih keras, tapi ada kelelahan yang terlukis di matanya. "Ada sekelompok orang, Bang. Mereka tiba-tiba ngeroyok dan ngacak-ngacak markas kita."

Dr. Athala menghela napas panjang, mengambil jeda sebelum menjawab. "Lo harus bisa jaga diri. Jangan terus-terusan terlibat dalam hal kayak gini. Nggak ada gunanya, lo tahu itu." Kata-katanya tegas tapi penuh rasa khawatir.

Keenan hanya bisa mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya, dia tahu itu tidak semudah yang dikatakan. Dunia perkelahian sudah terlalu lama menjadi bagian dari hidupnya, terutama dengan Davin—musuh bebuyutannya. Rasa benci terhadap Davin mengakar begitu dalam hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, di saat yang sama, dia juga tidak ingin mengecewakan Dr. Athala, pria yang entah kenapa berhasil mendapatkan kepercayaannya, sesuatu yang langka bagi Keenan yang selalu sulit membuka diri.

Keenan tidak pernah benar-benar tahu siapa Dr. Athala sebenarnya. Latar belakangnya masih misteri, dan Keenan tidak pernah menanyakannya. Ada sesuatu yang membuatnya percaya pada pria ini tanpa ragu, mungkin karena ketenangan dan keteguhan yang terpancar dari setiap tindakannya. Meskipun usia mereka tidak terpaut jauh, ada semacam rasa hormat yang tumbuh secara alami dalam diri Keenan terhadap Dr. Athala.

Namun, Keenan tak menyadari, sosok yang kini berdiri di hadapannya adalah benang takdir yang kelak akan menyulam luka terdalam di hatinya—luka yang akan menggoreskan jejak patah hati yang tak pernah ia bayangkan.

Ruangan apartemen itu masih diselimuti keheningan, hanya terdengar suara napas berat dari Abhi yang berusaha menahan rasa sakit. Dr. Athala berdiri di dekat tempat tidur, menengok sekilas ke jam tangan hitam yang melingkar di pergelangannya. Wajahnya tetap tenang dan profesional, namun ada sedikit kelembutan dalam tatapan matanya saat dia mendekat ke arah Abhi.

"Semoga cepet sembuh, ya." Ucap Dr. Athala dengan senyum tipis yang menenangkan, suaranya pelan tapi penuh empati.

Abhi mencoba membalas senyum itu, meskipun rasa sakit masih berdenyut di balik perban yang membalut tubuhnya. "Thanks, bang." ucapnya lirih, kepalanya mengangguk perlahan, seperti menahan beban yang berat.

Dr. Athala mengangguk ringan, kemudian mengalihkan pandangannya ke Keenan. "Gue pamit dulu," katanya dengan nada tenang, seperti seseorang yang tahu bahwa pekerjaannya di sini sudah selesai, setidaknya untuk sementara.

Keenan berdiri di samping pintu, raut wajahnya menunjukkan keletihan bercampur rasa terima kasih yang sulit diungkapkan. Dia hanya mengangguk, diam-diam menghargai bantuan yang telah diberikan tanpa perlu banyak bicara. Dalam keheningan yang singkat, Keenan mengantar Dr. Athala ke pintu, membukanya perlahan, dan memperhatikan sosok dokter itu menghilang di balik bayangan koridor yang remang-remang.

Setelah pintu tertutup, Keenan kembali ke ruangan, dan pandangannya langsung tertuju pada jam dinding yang tergantung di atas sofa. Waktu terus berlalu, dan wajahnya tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Detak jam itu terasa seperti menggema di pikirannya, mengingatkannya pada sesuatu yang tidak bisa dia hindari.

Di sudut ruangan, Kafka yang duduk santai dengan earphone menggantung di lehernya, menangkap perubahan raut wajah Keenan. Dia memperhatikan dengan tatapan tenangnya yang tajam, selalu lebih peka dibandingkan teman-teman lainnya.

"Lo kenapa? Ada urusan penting?" tanya Kafka, suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu. Meskipun terlihat acuh, Kafka selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk bertanya, kapan teman-temannya membutuhkan dorongan untuk bicara.

Kafka Dirgantara, salah satu teman paling dekat sekaligus orang kepercayaan Keenan, adalah sosok yang selalu terlihat tenang dan cuek. Dengan earphone yang selalu terpasang di telinganya kemanapun ia pergi, Kafka menjalani hidup seperti alunan musik yang baginya hanya perlu dinikmati tanpa harus terburu-buru. Kepribadiannya yang santai membuatnya sering terlihat tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya, namun diam-diam Kafka adalah orang paling peka di antara geng mereka.

Mungkin itu yang membuat Keenan mudah menaruh kepercayaan padanya, meskipun ia tahu dirinya harus bersikap adil kepada ketiga anggotanya. Namun entah kenapa, Kafka selalu menjadi sosok kedua setelah Dr. Athala yang mampu membuat Keenan merasa aman berbagi pikiran dan perasaan.

Namun, di balik ketenangan Kafka yang seolah tak tergoyahkan, tersimpan rahasia besar yang bahkan Kafka sendiri belum mengetahuinya. Sebuah takdir yang mungkin, suatu saat nanti, bisa mengguncang kehidupan Keenan hingga membuatnya menyesal seumur hidup.

Keenan terdiam sejenak, napasnya terasa berat saat dia berusaha menyusun kata-kata yang tepat. Di balik wajahnya yang selalu terlihat tegar, ada rasa gelisah yang terus tumbuh, seperti ombak yang menghantam tepian batu karang. Kafka menatapnya dengan penuh perhatian, seolah-olah dia tahu bahwa Keenan sedang menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang lebih dari sekadar kekhawatiran akan waktu.

Keenan menghela napas berat, matanya kembali menatap jam dinding sebelum akhirnya bicara, suaranya serak, seperti menahan beban yang terlalu lama dipikulnya sendiri.

"Adek gue... dia lagi tidur di kamar. Gue takut dia terbangun dan nyariin gue," ucap Keenan pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Matanya penuh kekhawatiran, tak bisa melepaskan bayangan Kavin yang mungkin terbangun dalam keheningan malam, mencari sosok kakak yang selama ini menjadi sandarannya.

"Pak ketu, gak papa. Pulang aja," ucap Abhi pelan, meskipun ada rasa sakit yang merambat di tubuhnya saat dia mencoba berbicara lebih keras.

Nevan yang duduk di dekat kaki tempat tidur, mengangguk setuju. "Iya, biar gue sama Kafka yang nemenin Abhi di sini. Tenang aja, bos," ucapnya dengan nada ceplas-ceplos khasnya, tapi ada ketulusan dalam kata-kata itu. Dia melirik ke arah Kafka yang berdiri santai dengan tangan disilangkan di dada.

Kafka, dengan ketenangan yang selalu menemaninya, mengangguk ringan ke arah Keenan, matanya seolah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Keenan ragu sejenak, menatap Kafka, mencari kepastian.

"Seriusan?" tanya Keenan, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tak bisa disembunyikannya. Tatapan matanya beralih ke Abhi dengan tubuh yang lemah, hatinya masih bergulat antara tanggung jawab sebagai ketua dan sebagai kakak.

Abhi tersenyum lagi, meskipun sakit masih jelas terpancar di wajahnya. "Iya, pak ketu. Sana pulang gih, kasian Kavin nanti nyariin," katanya lembut, mencoba menenangkan Keenan meskipun tubuhnya sendiri masih belum pulih.

Keenan akhirnya mengangguk, meskipun hatinya berat untuk meninggalkan teman-temannya. Tapi bayangan Kavin, adik kecilnya yang mungkin terbangun sendirian di kamar yang gelap, terus menghantuinya. Dia menatap Kafka dan Nevan untuk terakhir kali, dan setelah memastikan mereka bisa menjaga Abhi, dia akhirnya berpamitan.

"Jaga diri kalian," ucap Keenan singkat, suaranya datar tapi penuh arti.

Dengan cepat, dia keluar dari apartemen. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya saat dia melangkah ke motornya yang terparkir di luar. Dengan gerakan cekatan, dia menyalakan mesin, dan deru suara motor itu mengisi kesunyian malam. Tanpa ragu, Keenan melaju kencang di bawah langit yang kelam, angin malam memukul wajahnya, namun pikirannya hanya tertuju pada satu hal.

Kavin, adik laki-laki yang menjadi satu-satunya alasan mengapa dia terus bertahan di rumah yang kini, mungkin, tidak pantas disebut sebagai rumah.

Meski bagi Keenan, rumah itu sudah kehilangan maknanya, tapi dia tahu, di balik semua itu, ada seorang anak kecil yang selalu menunggunya pulang.

Kavin, dengan senyumnya yang polos dan sorot mata yang selalu penuh harap, yang mungkin, menjadikan Keenan sebagai rumahnya.

Dan Keenan, meskipun dibalik sikapnya keras dan wajah tegasnya, dia tipe kakak laki-laki yang mungkin diidamkan oleh banyak adik di seluruh dunia. Perhatiannya tidak terlihat besar di permukaan, tapi terselip dalam setiap tindakan kecil yang dia lakukan.

Seperti malam ini, ketika dia memilih pulang demi memastikan Kavin tidak merasa sendirian.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status