"Kesedihan adalah sapuan kuas yang menciptakan pola keindahan dalam kanvas hidup kita, mengungkapkan cerita di balik setiap goresan." - Keenan Aksara
•••• Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, sebuah kamar kecil dengan cahaya lembut yang menembus tirai jendela. Di dalam kamar itu, suasana tenang terjaga. Seorang kakak, Keenan Aksara, duduk di sofa dengan adik laki-laki yang berada di pangkuannya. Keenan, seorang pemuda dengan wajah tegas dan tampan, adalah sosok yang tidak bisa diabaikan. Dengan rahang yang terdefinisi jelas dan mata yang penuh semangat, Keenan memancarkan aura karismatik yang membuatnya menjadi salah satu siswa paling populer di SMAN Cendana Jakarta. Namun ketampanan bukan satu-satunya alasan popularitasnya. Keenan dikenal luas karena prestasinya yang menakjubkan di bidang olahraga, khususnya basket. Ia sering kali menjadi pusat perhatian di setiap pertandingan. Ada keunikan yang membentuk sosok Keenan. Dari pihak ayahnya yang berasal dari Rusia, Keenan mewarisi sebagian ketampanan yang dimiliki oleh kakeknya. Sementara dari pihak Jawa, ia mendapatkan sikap tenang dan tegas yang membentuk karakternya. Kulitnya yang cerah dan mata yang memiliki kedalaman seolah menyiratkan perjalanan panjang leluhur yang berasal dari negeri yang jauh. Keenan, pemilik wajah tegas sekaligus sang bintang lapangan SMAN Cendana. Tangannya yang kekar namun lembut mengusap kepala adiknya dengan penuh kasih sayang. Kavin Aksara, yang lebih sering dipanggil Apin oleh kakaknya, Keenan-nama panggilan kesayangan yang hanya digunakan Keenan-baru berusia lima tahun dan memiliki wajah yang sangat mirip dengan kakaknya. Sebuah salinan kecil dari pesona Keenan. Mata bulatnya yang cerah dan senyum polosnya menandakan bahwa dia adalah pewaris wajah tampan keluarga Aksara selanjutnya. Kini, dengan mata yang penuh rasa ingin tahu dan kepolosan, Apin asyik menggeser layar handphone kakaknya yang tergeletak di pangkuan. "Kakaa hebat, bisa dapet piala," ucap Apin dengan nada yang baru terbentuk, tapi penuh kekaguman. Tangannya berhenti bergerak, dan tatapannya penuh penantian saat matanya mengamati foto di layar-gambar Keenan tersenyum lebar dengan medali emas menggantung di lehernya, sertifikat kemenangan di tangan, berkilau dalam gelapnya malam. Di tahun 2018, SMA Nurul Hikmah kembali menggelar acara bergengsi Nurul Hikmah Sport Education Art Culture and Entertainment (NHSLSEACE). Di bawah kepemimpinan Keenan Aksara, tim basket SMAN Cendana berhasil melaju dari babak penyisihan hingga mencapai final. Dengan semangat yang membara dan tekad yang tak tergoyahkan, mereka meraih juara pertama setelah mengalahkan tim basket SMAN Nusantara Jakarta. Keenan menatap Apin dengan senyuman lembut yang penuh kehangatan. "Nanti, kalo Apin udah gede, pasti bakal lebih hebat dari kakak," ucapnya dengan nada penuh harapan. Apin masih dalam fase masa kecilnya yang penuh warna dan kepolosan. Apin mengangguk dengan penuh semangat, gerak-geriknya yang lucu membuat suasana malam semakin hangat. "Ini siapa yang foto sama kakaa?" tanyanya dengan penasaran, tangannya tidak sengaja menggeser ke foto berikutnya di layar handphone. Keenan menatap layar dan senyumannya merekah saat melihat foto itu. Dalam gambar, dia berdampingan dengan seorang gadis mungil, tingginya hanya sebatas bahunya. Senyuman gadis itu begitu memikat, bukan hanya bibirnya, tetapi juga matanya yang menyiratkan kehangatan. Gadis itu memegang piala, tulisan "Juara 1" jelas terlihat di foto. Namanya Sheena-namun di sekolah, dia lebih dikenal dengan nama Alsha. Alshameyzea Afsheena, sahabat Keenan sejak SMP, seorang gadis pintar yang kini menjadi teman sekelasnya di SMAN Cendana. "Itu Kak Sheena, yang waktu itu pernah ketemu sama Apin di sekolah kakak dulu," jawab Keenan lembut, suaranya penuh dengan kehangatan yang membuat suasana malam semakin damai. "Oh, kakaa yang cantik itu. Wah, kakaa ini dapet piala juga!" Apin mengungkapkan kekagumannya dengan suara ceria, menambah keindahan suasana malam yang tenang. "Iya, kakak cantik ini juga dapet piala, karena dia pintar," balas Keenan sambil mengelus lembut rambut adiknya yang hitam kecoklatan. "Nanti, Apin, kalo udah gede pengen dapet piala yang banyak, dan pengen pintar kayak kakak yang cantik ini," celoteh Apin dengan semangat tulus yang menghangatkan hati Keenan. Namun, suasana tenang itu tiba-tiba pecah. Suara keras barang yang dibanting ke lantai mengganggu ketenangan malam, membuat Apin terkejut dan langsung memeluk kakaknya dengan ketakutan. "Itu suara apa kakaa, Apin takut." Keenan, merasakan ketegangan yang tiba-tiba, dengan cepat menutup telinga Apin dengan tangannya dan memeluk erat adiknya. "Apin tidur ya, ini udah malem," ucapnya lembut, tetapi tatapannya tak lepas dari pintu kamar. Sumber suara itu jelas berasal dari kedua orang tua mereka, dan Keenan merasa amarahnya menyala di dalam hati. Saat suara ribut dari luar kamar mulai mereda, Keenan melirik ke wajah Apin dan terkejut melihat adiknya sudah tertidur pulas dalam pelukannya. Dengan hati-hati, Keenan menggotong tubuh mungil Apin ke tempat tidurnya, menyelimutinya dengan lembut. Keenan membungkuk lembut, mencium kening Apin dengan penuh kasih sayang. Dalam suasana tenang malam, di mana hanya desiran angin yang terdengar, dia mengucapkan, "Apin, tunggu kakakmu sukses ya. Nanti kakak akan bawa kamu jauh dari sini." Suaranya lembut dan penuh harapan, seolah ingin menghapus segala kesulitan yang ada. Menatap wajah Apin yang tenang, Keenan merasakan satu tetes air mata jatuh di baju adiknya. Dia segera menghapus air matanya, kembali mengelus kepala Apin, dan hendak menemani tidur di sampingnya. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk. Kafka: Dateng ke markas atau mau liat ketiga temen lo abis di tangan gue. Pesan itu datang seperti kilat yang menyambar di tengah malam, mengejutkan Keenan. Kafka, anggota gengnya sekaligus salah satu orang yang paling dekat dengan Keenan, tidak mungkin mengirim pesan seperti itu tanpa alasan. Pasti ada seseorang yang memaksanya. Kemarahan dan kekhawatiran mengalir di dalam diri Keenan, mulutnya mengatup rapat dan rahangnya mengeras. Dengan langkah cepat namun penuh kehati-hatian, Keenan meraih jaket jeans kesayangannya, mempersiapkan diri untuk pergi. Saat hendak keluar kamar, matanya sekilas menatap Apin yang tertidur. Dengan berat hati, Keenan meninggalkan adiknya dalam keadaan seperti ini. Langkahnya pelan, takut adiknya terbangun. Saat Keenan sudah menutup pintu kamarnya, tiba-tiba suara bentakan seorang laki-laki mengejutkannya. "Mau kemana kamu malem-malem gini!" teriak laki-laki itu. Keenan tidak menggubrisnya, meneruskan langkahnya tanpa menoleh. Namun, laki-laki itu menahannya. "Kalau orang tua nanya itu dijawab!" bentaknya lagi. "Emang Keenan punya orang tua, ya?" jawab Keenan dengan nada yang penuh amarah, tidak bisa lagi menahan emosinya. PLAK! Suara tamparan menggema di kamar saat pipi Keenan terantuk keras. Wajah Keenan memerah, menahan rasa sakit dan kemarahan. "Makin berani kamu ya! Mau jadi apa kamu nanti, hah!" bentak laki-laki itu. Dalam suasana malam yang tegang, Keenan berdiri tegap di hadapan papanya, matanya yang penuh amarah terpaku pada sosok laki-laki yang seharusnya ia hormati. Rama Aditya Aksara, laki-laki bertubuh tegap dengan aura otoriter, kepala divisi Corporate Social Responsibility (CSR) di perusahaan Tarbiyah Center yang terkenal di Jakarta. Di lingkungannya, Rama dikenal sebagai sosok terpandang dan berwibawa, namun malam ini, wajahnya yang penuh kemarahan mencerminkan sesuatu yang jauh lebih gelap. "Jadi apa nanti, itu urusan Keenan. Ngapain papa peduli?" balas Keenan dengan tatapan tajam yang penuh kebencian. "Kamu ini-" "Apa pa! Apa! Mau tampar Keenan lagi? Tampar sepuasnya pa!" teriak Keenan, suaranya penuh kemarahan dan keputusasaan. "Tubuh Keenan udah gak bisa ngerespon rasa sakitnya pa! Saking seringnya papa ngelakuin itu ke Keenan!" ucap Keenan, suaranya penuh kemarahan dan keputusasaan. Rama menurunkan tangannya, terdiam mendengar kata-kata anaknya. Sementara Keenan, dengan langkah penuh tekad dan keputusasaan, melanjutkan perjalanannya keluar rumah, meninggalkan jejak emosi di belakangnya. Rama Aditya Aksara, yang biasanya disegani dan dihormati karena jabatannya yang tinggi, kini terpaksa menghadapi kenyataan pahit dari hubungan yang rusak dengan anaknya sendiri. Sementara itu, dibalik karisma sang bintang, tersembunyi luka-luka yang tak terlihat, luka yang selama ini Keenan sembunyikan di balik senyum dan kejayaannya di lapangan basket. Karena bagi Keenan, kesedihan tidak ada gunanya untuk dibagikan, apalagi kepada mereka yang ia sayang. ---- Di bawah langit malam yang gelap dan pekat, markas tempat Keenan dan teman-temannya sering berkumpul kini hancur berantakan. Ruangan yang biasanya menjadi tempat mereka bersantai, bercengkerama, dan merencanakan berbagai kegiatan sekarang penuh dengan kekacauan. Meja-meja kayu yang dulu digunakan untuk bermain game atau sekadar mengobrol terbalik dan kursi-kursi berserakan. Lampu-lampu langit-langit yang biasanya memberikan cahaya hangat kini berkedip-kedip, menciptakan bayangan-bayangan menyeramkan di tengah puing-puing. Sejumlah orang dengan wajah penuh kepuasan berdiri di tengah kekacauan, tersenyum puas melihat tempat yang porak-poranda. Mereka baru saja mengacak-acak tempat itu, meninggalkan jejak kehancuran di setiap sudut. Namun, kegembiraan mereka tidak bertahan lama. Keenan Aksara, dengan amarah membara di matanya, memasuki ruangan dengan gerakan cepat dan penuh tekad. Pukulan kerasnya yang melesat dari belakang menjatuhkan beberapa orang yang sedang tertawa puas, membuat suasana riuh menjadi hening seketika. Para penyerang yang terkejut dengan kedatangan Keenan segera berusaha membalas serangan. Namun, mereka tidak mengetahui dengan siapa mereka berhadapan. Keenan, seorang ahli bela diri dengan tubuh kekar dan terlatih, menghadapi sepuluh lawan sekaligus tanpa rasa takut. Tubuhnya yang berotot dan terampil dalam berbagai teknik pertarungan membuatnya tidak terpengaruh oleh jumlah lawan. Dalam heningnya malam, yang menunjukkan pukul 22.00 WIB, pertarungan sengit berlangsung, mengubah tempat itu menjadi arena pertempuran yang brutal. Dengan satu pukulan yang tepat dan gerakan yang lihai, Keenan mengalahkan lawan-lawannya satu per satu. Keringat mengalir di dahi, napasnya memburu, namun matanya tetap tajam dan fokus. Akhirnya, setelah semua lawannya terkapar di lantai, Keenan melanjutkan pencariannya dengan tergesa-gesa. Ia berlari di antara puing-puing dan kekacauan markasnya, melintasi poster-poster yang sekarang penuh dengan coretan-coretan vandal. Salah satu poster besar yang menunjukkan logo 'Alpha Nexus' kini tercoreng dan hancur, membuat Keenan semakin marah. Nama gengnya, yang meskipun tidak terkenal di sekolah, memiliki reputasi yang kuat di jalanan luar. Sebuah geng yang dipimpin oleh Keenan dan dikenal karena kekuatannya di jalanan. Melihat penghinaan ini, tangan Keenan mengepal, menahan amarah yang membara di dalam dirinya. Langkahnya terhenti ketika suara tepuk tangan tiba-tiba terdengar. Suara tepuk tangan itu jelas, penuh nada sinis, dan berasal dari seorang laki-laki yang berdiri di sudut ruangan. Davin Ananta, kakak kelas yang paling dibenci Keenan di SMAN Cendana, berdiri dengan senyum puas di wajahnya. Davin, ketua OSIS yang terkenal dengan sikap otoriter dan kebenciannya terhadap Keenan, kini disertai oleh seorang laki-laki asing yang tampaknya merupakan kaki tangannya. "Keenan Aksara, sang bintang lapangan SMANDA," ucap Davin dengan nada merendahkan, melemparkan sebuah ponsel di depan Keenan. Ponsel itu milik Kafka, salah satu teman dekat Keenan. "Sangat disayangkan sekali, lo udah melewatkan malam ini dengan sia-sia. Coba liat, kondisi markas lo udah rusak, dan lo baru dateng? Ketua macem apa lo?" Davin menambahkan, suaranya penuh dengan kepuasan saat melihat markas yang telah dihancurkan. "Kenapa lo ngelakuin ini semua, Davin! Mana temen-temen gue!" bentak Keenan, matanya menyala-nyala, mencari ketiga sahabatnya yang juga anggota gengnya-Abhi, Kafka, dan Nevan. "Ups! Temen-temen lo? Aman, tenang aja. Mereka gak papa kok," jawab Davin sambil menepuk tangannya sekali. Kemudian dari belakang muncul beberapa orang yang membawa ketiga temannya dengan tangan terikat dan mulut mereka disumpal oleh kain. Meskipun tidak ada luka fisik yang terlihat, ekspresi marah dan putus asa di wajah ketiga teman Keenan menandakan betapa menderitanya mereka. "Lepasin temen-temen gue!" teriak Keenan, matanya penuh dengan kemarahan saat melihat kondisi ketiga temannya yang terikat. "Iya, iya, nanti gue lepasin. Ya gak?" Davin menjawab sambil menoleh ke temannya, yang hanya tersenyum mengangguk. Keenan melangkah maju, tangannya yang mengepal sudah siap untuk melayangkan tinjuan ke arah wajah Davin. Namun, langkahnya terhenti oleh ucapan Davin yang penuh nada sindiran. "Eits! Sabar lah, Keenan. Lo ngapain sih emosi terus? Gue kesini cuma pengen buat perjanjian sama lo," Davin berkata sambil terkekeh, senyumnya semakin lebar saat melihat Keenan yang semakin marah. "Gue gak bisa sabar kalo udah ngeliat wajah lo, Davin!" Keenan hendak melangkah lagi, namun kali ini langkahnya terhenti oleh pisau yang diarahkan ke wajah Kafka. Suara tawa Davin menggema di ruangan, penuh dengan kejam dan kesenangan. Davin menghela napas panjang, "Gue gak pernah main-main sama ucapan gue, Keenan. Gue kesini mau buat perjanjian sama lo. Tapi kalo lo gak mau dengerin gue, terpaksa ketiga temen lo akan jadi korbannya." Ucapnya sambil mengelilingi ketiga temannya yang terikat. "Apa mau lo!" Keenan berusaha menahan emosinya, meskipun wajahnya menunjukkan kemarahan yang mendalam. "Jauhi Claudia, atau lo akan tau akibatnya," Davin melangkah mendekat, senyumnya penuh ancaman. Keenan mengangkat alis, bingung dengan nama gadis yang disebut Davin. Claudia Amanda, senior cantik yang dikenal pintar dan modis, kini menjadi sekretaris OSIS dan teman sekelas Davin. Namun, Keenan tidak memiliki hubungan khusus dengan Claudia. "Gue gak tertarik sama dia." ucap Keenan. "Tapi dia mati-matian ngejar lo!" Davin menendang barang di depannya, menambahkan rasa frustrasi pada suasana. Keenan terkekeh pelan, "Itu artinya, lo disuruh ngaca. Coba tanya ke diri lo sendiri, kenapa Claudia lebih milih gue daripada lo." Ucap Keenan dengan nada penuh percaya diri. Tanpa peringatan, tinjuan Davin melayang ke arah Keenan, membuatnya mundur selangkah. Keenan, dengan amarah yang tidak terbendung, membalas tinjuan tersebut, menjatuhkan Davin ke lantai. Pertarungan antara mereka berlanjut dengan tinjuan demi tinjuan yang saling balas. "Keenan stop!" Suara itu memecah kekacauan, membuat Keenan menoleh. Posisi Keenan saat ini menindih tubuh Davin, hendak melayangkan pukulan keras ke wajahnya. Keenan bangkit dengan cepat, matanya terarah pada Abhi yang dikeroyok oleh lima orang. Abhi terluka parah, wajahnya dipenuhi memar dan darah. Di sisi lain, Kafka dan Nevan, berusaha mati-matian melepaskan ikatan mereka, namun upaya mereka sia-sia. Rasa marah dan putus asa jelas terlihat di wajah mereka saat menyaksikan Abhi yang tak berdaya di depannya. "Lo lupa sama ucapan Davin? Coba liat, salah satu temen lo udah jadi korban. Apa lo mau liat semua temen lo mampus malem ini?" ucap teman Davin, suaranya penuh ancaman. Mata Keenan tak bisa lepas dari Abhi yang terluka parah. Keputusan Keenan diambil dengan berat hati, dan dia menyerah untuk melanjutkan pertarungan. Davin, yang dibantu berdiri oleh temannya, terkekeh pelan saat melihat Keenan akhirnya menyerah. "Keenan, gue udah berapa kali ngasih lo peringatan, tapi lo selalu aja gak bisa nahan emosi lo itu," Davin menggeleng pelan melihat ke arah Abhi yang tidak bisa melawan."Gimana? Apa keputusan lo sekarang?" tanya Davin, senyum kemenangan di wajahnya. Keenan mengangguk pelan, suaranya penuh dengan kepahitan, "Gue pastikan, Claudia jauhin gue, baik di sekolah maupun di luar." Davin terkekeh pelan, "Deal." Dia melangkah lebih dekat, "Gue pegang omongan lo." ucap Davin. Davin dan semua orang suruhannya kini sudah pergi dari markas Alpha Nexus, meninggalkan Keenan yang berdiri di tengah kekacauan. Dengan cepat, Keenan berlari ke arah Abhi, melepaskan ikatan yang mengekang tubuhnya. "Sorry, Bhi," ucap Keenan penuh penyesalan. Abhi, dengan wajah memar dan suara parau, mengangguk, "Gak papa, Pak Ketu." Keenan kemudian beralih ke Kafka dan Nevan, melepaskan ikatan mereka dengan hati-hati. Setelah itu, Keenan mengeluarkan ponsel dari sakunya dengan tangan gemetar. Melihat kondisi temannya itu, rasa penyesalan serta khawatir menggerogoti hatinya. Tanpa membuang waktu, Keenan segera menghubungi seseorang yang ia tahu bisa membantu. "Bang," suaranya terdengar tegas meskipun ada nada putus asa. "Gue butuh bantuan lo, Abhi terluka parah dan gue gak tau harus gimana." Di ujung sana, suara laki-laki yang tenang dan penuh otoritas menjawab, "Gue akan kesana. Bawa temen lo ke tempat biasa." Keenan menghela napas lega, meskipun kekhawatiran masih menghantuinya. "Oke, thanks bang." Keenan mengakhiri panggilan dan segera memberi instruksi kepada Kafka dan Nevan untuk membantu mengangkat Abhi. Mereka bergerak dengan cepat, membawa Abhi menuju tempat yang dimaksudkan. Suasana di markas Alpha Nexus kini penuh dengan rasa sakit dan kepedihan. Hal itu sangat kontras dengan suasana di sebuah rumah besar bercat biru muda. Di depan halaman rumah itu, terdapat sebuah tempat istimewa yang selalu ia kunjungi. Di sana, ia menatap langit dengan senyuman khas di wajahnya. Rambutnya yang panjang tergerai indah, dan kulitnya bersinar terang di bawah langit malam. Dia, seorang gadis pemilik mata rembulan, sekaligus pemilik hati Keenan. BERSAMBUNG"Rumah bukan hanya tempat kita tinggal, tetapi tempat di mana hati kita merasa tenang dan diterima." -Keenan Aksara...Apartemen itu sunyi, hanya suara kipas angin yang menderu pelan di sudut ruangan. Cahaya remang-remang dari lampu meja mengisi ruang dengan kehangatan yang samar, tapi tidak mampu mengusir seluruh bayang-bayang di dinding. Di tempat tidur yang berantakan, Abhi terbaring lemah, tubuhnya diselimuti perban di beberapa bagian. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa pertempuran yang baru saja dilaluinya—lebam, luka, dan rasa sakit yang belum benar-benar hilang. Namun, meskipun terlihat babak belur, kondisinya sudah jauh lebih baik.Varelino Abhisar, yang lebih akrab dipanggil Abhi, sebenarnya adalah sosok yang jauh dari kesan lemah. Di sekolah, dia dikenal sebagai pria yang humoris, selalu bisa mencairkan suasana dengan lelucon dan candaannya yang spontan. Mulutnya jarang tertutup—selalu saja ada hal yang ingin dia katakan, dari hal-hal serius sampai hal-hal remeh yang ma
"Ada kalanya, cinta tak berteriak lantang. Ia bersembunyi dalam diam, mengatur segala langkah tanpa ingin dikenal, hanya berharap sang pujaan tetap tersenyum di kejauhan." -Keenan Aksara . . . Keenan menghentikan motornya di tepi jalan, dekat sebuah rumah bercat biru. Bukan rumahnya, tapi rumah seorang gadis yang, entah bagaimana, kini mampu menggetarkan hatinya Gerbang rumah itu tertutup rapat, namun di dalam sana, di tempat yang tinggi, tempat di mana gadis itu sering menghabiskan waktunya, berdiri di bawah naungan malam. Seperti biasa, Keenan melihatnya lagi, menatap langit malam dengan tenang. Meskipun jarak memisahkan mereka, cahaya rembulan cukup untuk menyorot kecantikan gadis itu, membuatnya terlihat begitu memukau. Alsha. Alshameyzea Afsheena. Atau Sheena, begitu ia sering memanggil gadis bermata rembulan itu. Tanpa pernah gagal, setiap malam, Keenan selalu menyempatkan diri untuk menyaksikan Alsha dari kejauhan. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih belum sanggu
"Di balik diamnya, ada perasaan yang tak terucap, menunggu waktu yang tepat untuk terungkap." -Keenan Aksara °°°°° Di balik semak-semak yang rindang di pinggir lapangan, Keenan mengintip, matanya tak lepas dari sosok Kafka yang melangkah maju, berdiri tegap di depan Alsha. Dalam sekejap, entah dari mana datangnya, Kafka sudah menggenggam botol plastik dan tanpa ragu, menyiramkan isinya ke arah Claudia. Butiran air terbang di udara, menimpa Claudia yang langsung terdiam, terkejut oleh tindakan Kafka. Keenan ikut terhenyak—ini bukan Kafka yang dia kenal. Kafka biasanya tenang, pendiam, dan tak mudah terpancing. Keenan hanya memintanya menegur Claudia, bukan melakukan hal segila ini. Dari balik persembunyiannya, Keenan menyaksikan semuanya dengan tatapan tajam. Sesuatu dalam dirinya bergejolak, penasaran sekaligus sedikit cemas. Dan sebelum dia sempat bertindak, Davin muncul seperti badai yang tak terduga. Tanpa peringatan, tinju Davin melayang cepat, mengenai wajah Kafka. Refleks,
"Ada hal-hal yang lebih indah dari senja. Senyummu, dan perasaan yang terukir dalam setiap detik saat bersamamu." -Keenan Aksara°°°°°Ketiga teman Keenan berdiri di bawah semburat jingga yang perlahan memenuhi langit sore. Parkiran sekolah mulai lengang, hanya tersisa beberapa siswa yang masih berkumpul. Di depan gerbang, Keenan menghentikan motornya tepat di depan Alsha dan Aline. Dengan gerakan yang anggun namun tanpa banyak usaha, ia melepas helm full-face-nya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru menambah kesan karismatik yang alami."Oalah, ke neng Alsha toh, kirain mau kemana," ujar Abhi, suaranya terdengar iseng, sementara dia mengambil helm dari motornya dan tersenyum kecil.Nevan memutar matanya dengan malas, "Yuk, susul Pak Ketu," katanya dengan sedikit cengengesan sambil menepuk-nepuk jok motornya, seolah siap berangkat kapan saja."Tunggu dulu," Nevan menyahut dengan nada setengah jengkel. "Enak aja nyuruh-nyuruh, Lo kira gue anak buah lo?"Kafka, duduk di motornya,
"Meski berdiri kokoh di hadapan dunia, ada hati yang tersesat, merindukan cinta yang pernah hilang. Karena rumah sejati bukanlah tempat, melainkan di mana kasih sayang berdiam." -Keenan Aksara...Keenan tersentak pelan saat suara lembut Alsha menyapanya, membuyarkan pikirannya yang tengah melayang jauh. "Keenan? Kamu ngelamun?"Ia segera menggeleng pelan, senyum yang sejak tadi terukir di wajahnya tak beranjak sedikit pun. Keenan menarik napas dalam, kembali menatap wajah Alsha dengan pandangan yang kini lebih sadar. Wajah gadis itu terlihat tenang dalam terang sore yang mulai meredup, sinar matahari yang condong menyinari rambut Alsha dan memberikan kesan lembut di sekelilingnya, membuat hati Keenan terasa hangat. Namun, sebelum ia sempat merespon lebih jauh, Kafka datang dengan langkah ringan dan santai, seperti biasanya. Tanpa banyak bicara, Kafka menyodorkan ponselnya pada Keenan.Keenan mengambil ponsel itu tanpa ragu, matanya langsung tertuju pada pesan yang terpampang di lay
"Ketika pilihan hidup dan cinta saling bertabrakan, terkadang kita harus berkorban demi menjaga yang paling berharga."............Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam sore. Cahaya senja mulai memudar, menyisakan rona merah tipis di langit yang semakin gelap. Di ruang tamu, Keenan duduk di sofa panjang, tubuhnya tampak santai meski ada kegelisahan samar di wajahnya. Di sampingnya, Kavin, adik kecilnya, tenggelam dalam layar ponsel milik Keenan. Tawa kecil Kavin sesekali menggema di ruangan yang sepi, membuat senyum tipis tersungging di bibir Keenan. Namun, di balik tawa itu, Keenan tetap tak bisa sepenuhnya mengusir rasa janggal yang mengganggunya sejak sore tadi. Di lantai atas, di kamar utama, suasana jauh lebih serius. Raisya Zahra, ibu Keenan, berdiri di depan cermin, mematut dirinya sambil sesekali melirik ke arah suaminya. Wajahnya memancarkan kecantikan yang masih tersisa meskipun waktu telah berlalu, dan pesona itu kini menurun pada kedua putranya—terutama Keenan
"Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan cinta bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda betapa berartinya perasaan itu bagi kita." -Keenan Aksara...Suasana pasar malam malam itu menggeliat hidup. Lampu-lampu kelap-kelip berwarna-warni menciptakan lautan cahaya, sementara tawa anak-anak dan teriakan dari wahana yang berputar membaur dengan musik dangdut yang mengalun dari pengeras suara tua. Riuh rendah manusia yang berdesakan di antara lapak-lapak penjaja mainan dan jajanan tak sedikit pun memudarkan atmosfer gembira, seolah-olah tempat itu menyatu dengan keajaiban kecil kota.Namun, di antara keramaian itu, ada ruang hening yang memisahkan tiga sosok: Keenan, Clara, dan Claudia. Keheningan di antara mereka terasa tegang, kontras dengan tawa yang berserakan di udara. Mata Claudia yang tajam dan penuh tanya memaku pandangannya ke arah Keenan, sementara Keenan berdiri tegak di samping Clara, wajahnya tampak sedikit kaku namun tetap tenang.Keenan bergerak dengan cepat, tanpa
"Kamu akan terlihat sempurna dimata orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." -Keenan Aksara...Saat Keenan dan Clara turun dari wahana, angin malam mulai mendingin, mengusir sisa-sisa kehangatan hari itu. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi bagi Keenan, semuanya terasa buram. Dia melirik jam tangannya, angka delapan malam menari di sana, memaksanya untuk kembali ke realitas."Ayo pulang," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Clara hanya mengangguk, bibirnya mengerucut tipis, menyembunyikan kekesalan yang perlahan merayap di hatinya. Sejak tadi, Keenan lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan Clara bicara sendiri tanpa balasan berarti.Ketika mereka sampai di depan rumah Keenan, pemandangan itu membuatnya menarik napas dalam. Kedua orang tuanya sudah berdiri di sana, bersama ayah Clara yang tampak begitu ceria. Langit malam menjadi saksi kesunyian yang menggantung di udara, sementara senyum-senyum tersungging di wajah-wajah orang dewasa."Gimana? Sudah akr
Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.
Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip
Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d
Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn
Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih
Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba
Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du
Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man
Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma