Share

About Keenan
About Keenan
Author: litrcse

Bab 1. Dibalik Karisma Sang Bintang

"Kesedihan adalah sapuan kuas yang menciptakan pola keindahan dalam kanvas hidup kita, mengungkapkan cerita di balik setiap goresan." - Keenan Aksara

.

.

.

Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, sebuah kamar kecil dengan cahaya lembut yang menembus tirai jendela. Di dalam kamar itu, suasana tenang terjaga. Seorang kakak, Keenan Aksara, duduk di sofa dengan adik laki-laki yang berada di pangkuannya.

Keenan, seorang pemuda dengan wajah tegas dan tampan, adalah sosok yang tidak bisa diabaikan.

Dengan rahang yang terdefinisi jelas dan mata yang penuh semangat, Keenan memancarkan aura karismatik yang membuatnya menjadi salah satu siswa paling populer di SMAN Cendana Jakarta.

Namun ketampanan bukan satu-satunya alasan popularitasnya. Keenan dikenal luas karena prestasinya yang menakjubkan di bidang olahraga, khususnya basket. Ia sering kali menjadi pusat perhatian di setiap pertandingan.

Ada keunikan yang membentuk sosok Keenan. Dari pihak ayahnya yang berasal dari Rusia, Keenan mewarisi sebagian ketampanan yang dimiliki oleh kakeknya. Sementara dari pihak Jawa, ia mendapatkan sikap tenang dan tegas yang membentuk karakternya. Kulitnya yang cerah dan mata yang memiliki kedalaman seolah menyiratkan perjalanan panjang leluhur yang berasal dari negeri yang jauh.

Keenan, pemilik wajah tegas sekaligus sang bintang lapangan SMAN Cendana.

Tangannya yang kekar namun lembut mengusap kepala adiknya dengan penuh kasih sayang. Kavin Aksara, yang lebih sering dipanggil Apin oleh kakaknya, Keenan-nama panggilan kesayangan yang hanya digunakan Keenan-baru berusia lima tahun dan memiliki wajah yang sangat mirip dengan kakaknya.

Sebuah salinan kecil dari pesona Keenan.

Mata bulatnya yang cerah dan senyum polosnya menandakan bahwa dia adalah pewaris wajah tampan keluarga Aksara selanjutnya.

Kini, dengan mata yang penuh rasa ingin tahu dan kepolosan, Apin asyik menggeser layar handphone kakaknya yang tergeletak di pangkuan.

"Kakaa hebat, bisa dapet piala," ucap Apin dengan nada yang baru terbentuk, tapi penuh kekaguman. Tangannya berhenti bergerak, dan tatapannya penuh penantian saat matanya mengamati foto di layar-gambar Keenan tersenyum lebar dengan medali emas menggantung di lehernya, sertifikat kemenangan di tangan, berkilau dalam gelapnya malam.

Di tahun 2018, SMA Nurul Hikmah kembali menggelar acara bergengsi Nurul Hikmah Sport Education Art Culture and Entertainment (NHSLSEACE).

Di bawah kepemimpinan Keenan Aksara, tim basket SMAN Cendana berhasil melaju dari babak penyisihan hingga mencapai final. Dengan semangat yang membara dan tekad yang tak tergoyahkan, mereka meraih juara pertama setelah mengalahkan tim basket SMAN Nusantara Jakarta.

Keenan menatap Apin dengan senyuman lembut yang penuh kehangatan. "Nanti, kalo Apin udah gede, pasti bakal lebih hebat dari kakak," ucapnya dengan nada penuh harapan. Apin masih dalam fase masa kecilnya yang penuh warna dan kepolosan.

Apin mengangguk dengan penuh semangat, gerak-geriknya yang lucu membuat suasana malam semakin hangat. "Ini siapa yang foto sama kakaa?" tanyanya dengan penasaran, tangannya tidak sengaja menggeser ke foto berikutnya di layar handphone.

Keenan menatap layar dan senyumannya merekah saat melihat foto itu. Dalam gambar, dia berdampingan dengan seorang gadis mungil, tingginya hanya sebatas bahunya.

Senyuman gadis itu begitu memikat, bukan hanya bibirnya, tetapi juga matanya yang menyiratkan kehangatan. Gadis itu memegang piala, tulisan "Juara 1" jelas terlihat di foto.

Namanya Sheena-namun di sekolah, dia lebih dikenal dengan nama Alsha. Alshameyzea Afsheena, sahabat Keenan sejak SMP, seorang gadis pintar yang kini menjadi teman sekelasnya di SMAN Cendana.

"Itu Kak Sheena, yang waktu itu pernah ketemu sama Apin di sekolah kakak dulu," jawab Keenan lembut, suaranya penuh dengan kehangatan yang membuat suasana malam semakin damai.

"Oh, kakaa yang cantik itu. Wah, kakaa ini dapet piala juga!" Apin mengungkapkan kekagumannya dengan suara ceria, menambah keindahan suasana malam yang tenang.

"Iya, kakak cantik ini juga dapet piala, karena dia pintar," balas Keenan sambil mengelus lembut rambut adiknya yang hitam kecoklatan.

"Nanti, Apin, kalo udah gede pengen dapet piala yang banyak, dan pengen pintar kayak kakak yang cantik ini," celoteh Apin dengan semangat tulus yang menghangatkan hati Keenan.

Namun, suasana tenang itu tiba-tiba pecah. Suara keras barang yang dibanting ke lantai mengganggu ketenangan malam, membuat Apin terkejut dan langsung memeluk kakaknya dengan ketakutan. "Itu suara apa kakaa, Apin takut."

Keenan, merasakan ketegangan yang tiba-tiba, dengan cepat menutup telinga Apin dengan tangannya dan memeluk erat adiknya.

"Apin tidur ya, ini udah malem," ucapnya lembut, tetapi tatapannya tak lepas dari pintu kamar. Sumber suara itu jelas berasal dari kedua orang tua mereka, dan Keenan merasa amarahnya menyala di dalam hati.

Saat suara ribut dari luar kamar mulai mereda, Keenan melirik ke wajah Apin dan terkejut melihat adiknya sudah tertidur pulas dalam pelukannya. Dengan hati-hati, Keenan menggotong tubuh mungil Apin ke tempat tidurnya, menyelimutinya dengan lembut.

Keenan membungkuk lembut, mencium kening Apin dengan penuh kasih sayang. Dalam suasana tenang malam, di mana hanya desiran angin yang terdengar, dia mengucapkan,

"Apin, tunggu kakakmu sukses ya. Nanti kakak akan bawa kamu jauh dari sini." Suaranya lembut dan penuh harapan, seolah ingin menghapus segala kesulitan yang ada.

Menatap wajah Apin yang tenang, Keenan merasakan satu tetes air mata jatuh di baju adiknya. Dia segera menghapus air matanya, kembali mengelus kepala Apin, dan hendak menemani tidur di sampingnya.

Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk.

Kafka: Dateng ke markas atau mau liat ketiga temen lo abis di tangan gue.

Pesan itu datang seperti kilat yang menyambar di tengah malam, mengejutkan Keenan. Kafka, anggota gengnya sekaligus salah satu orang yang paling dekat dengan Keenan, tidak mungkin mengirim pesan seperti itu tanpa alasan. Pasti ada seseorang yang memaksanya.

Kemarahan dan kekhawatiran mengalir di dalam diri Keenan, mulutnya mengatup rapat dan rahangnya mengeras.

Dengan langkah cepat namun penuh kehati-hatian, Keenan meraih jaket jeans kesayangannya, mempersiapkan diri untuk pergi. Saat hendak keluar kamar, matanya sekilas menatap Apin yang tertidur. Dengan berat hati, Keenan meninggalkan adiknya dalam keadaan seperti ini. Langkahnya pelan, takut adiknya terbangun. Saat Keenan sudah menutup pintu kamarnya, tiba-tiba suara bentakan seorang laki-laki mengejutkannya.

"Mau kemana kamu malem-malem gini!" teriak laki-laki itu. Keenan tidak menggubrisnya, meneruskan langkahnya tanpa menoleh. Namun, laki-laki itu menahannya.

"Kalo orang tua nanya itu dijawab!" bentaknya lagi.

"Emang Keenan punya orang tua, ya?" jawab Keenan dengan nada yang penuh amarah, tidak bisa lagi menahan emosinya.

PLAK! Suara tamparan menggema di kamar saat pipi Keenan terantuk keras. Wajah Keenan memerah, menahan rasa sakit dan kemarahan.

"Makin berani kamu ya! Mau jadi apa kamu nanti, hah!" bentak laki-laki itu.

Dalam suasana malam yang tegang, Keenan berdiri tegap di hadapan papanya, matanya yang penuh amarah terpaku pada sosok laki-laki yang seharusnya ia hormati.

Rama Aditya Aksara, laki-laki bertubuh tegap dengan aura otoriter, kepala divisi Corporate Social Responsibility (CSR) di perusahaan Tarbiyah Center yang terkenal di Jakarta.

Di lingkungannya, Rama dikenal sebagai sosok terpandang dan berwibawa, namun malam ini, wajahnya yang penuh kemarahan mencerminkan sesuatu yang jauh lebih gelap.

"Jadi apa nanti, itu urusan Keenan. Ngapain papa peduli?" balas Keenan dengan tatapan tajam yang penuh kebencian.

"Kamu ini-"

"Apa pa! Apa! Mau tampar Keenan lagi? Tampar sepuasnya pa!" teriak Keenan, suaranya penuh kemarahan dan keputusasaan.

"Tubuh Keenan udah gak bisa ngerespon rasa sakitnya pa! Saking seringnya papa ngelakuin itu ke Keenan!" ucap Keenan, suaranya penuh kemarahan dan keputusasaan.

Rama menurunkan tangannya, terdiam mendengar kata-kata anaknya. Sementara Keenan, dengan langkah penuh tekad dan keputusasaan, melanjutkan perjalanannya keluar rumah, meninggalkan jejak emosi di belakangnya.

Rama Aditya Aksara, yang biasanya disegani dan dihormati karena jabatannya yang tinggi, kini terpaksa menghadapi kenyataan pahit dari hubungan yang rusak dengan anaknya sendiri.

Sementara itu, dibalik karisma sang bintang, tersembunyi luka-luka yang tak terlihat, luka yang selama ini Keenan sembunyikan di balik senyum dan kejayaannya di lapangan basket.

Karena bagi Keenan, kesedihan tidak ada gunanya untuk dibagikan, apalagi kepada mereka yang ia sayang.

----

Di bawah langit malam yang gelap dan pekat, markas tempat Keenan dan teman-temannya sering berkumpul kini hancur berantakan. Ruangan yang biasanya menjadi tempat mereka bersantai, bercengkerama, dan merencanakan berbagai kegiatan sekarang penuh dengan kekacauan. Meja-meja kayu yang dulu digunakan untuk bermain game atau sekadar mengobrol terbalik dan kursi-kursi berserakan. Lampu-lampu langit-langit yang biasanya memberikan cahaya hangat kini berkedip-kedip, menciptakan bayangan-bayangan menyeramkan di tengah puing-puing.

Sejumlah orang dengan wajah penuh kepuasan berdiri di tengah kekacauan, tersenyum puas melihat tempat yang porak-poranda. Mereka baru saja mengacak-acak tempat itu, meninggalkan jejak kehancuran di setiap sudut. Namun, kegembiraan mereka tidak bertahan lama.

Keenan Aksara, dengan amarah membara di matanya, memasuki ruangan dengan gerakan cepat dan penuh tekad. Pukulan kerasnya yang melesat dari belakang menjatuhkan beberapa orang yang sedang tertawa puas, membuat suasana riuh menjadi hening seketika. Para penyerang yang terkejut dengan kedatangan Keenan segera berusaha membalas serangan. Namun, mereka tidak mengetahui dengan siapa mereka berhadapan.

Keenan, seorang ahli bela diri dengan tubuh kekar dan terlatih, menghadapi sepuluh lawan sekaligus tanpa rasa takut. Tubuhnya yang berotot dan terampil dalam berbagai teknik pertarungan membuatnya tidak terpengaruh oleh jumlah lawan.

Dalam heningnya malam, yang menunjukkan pukul 22.00 WIB, pertarungan sengit berlangsung, mengubah tempat itu menjadi arena pertempuran yang brutal.

Dengan satu pukulan yang tepat dan gerakan yang lihai, Keenan mengalahkan lawan-lawannya satu per satu. Keringat mengalir di dahi, napasnya memburu, namun matanya tetap tajam dan fokus. Akhirnya, setelah semua lawannya terkapar di lantai, Keenan melanjutkan pencariannya dengan tergesa-gesa.

Ia berlari di antara puing-puing dan kekacauan markasnya, melintasi poster-poster yang sekarang penuh dengan coretan-coretan vandal. Salah satu poster besar yang menunjukkan logo 'Alpha Nexus' kini tercoreng dan hancur, membuat Keenan semakin marah. Nama gengnya, yang meskipun tidak terkenal di sekolah, memiliki reputasi yang kuat di jalanan luar.

Sebuah geng yang dipimpin oleh Keenan dan dikenal karena kekuatannya di jalanan. Melihat penghinaan ini, tangan Keenan mengepal, menahan amarah yang membara di dalam dirinya.

Langkahnya terhenti ketika suara tepuk tangan tiba-tiba terdengar. Suara tepuk tangan itu jelas, penuh nada sinis, dan berasal dari seorang laki-laki yang berdiri di sudut ruangan.

Davin Ananta, kakak kelas yang paling dibenci Keenan di SMAN Cendana, berdiri dengan senyum puas di wajahnya.

Davin, ketua OSIS yang terkenal dengan sikap otoriter dan kebenciannya terhadap Keenan, kini disertai oleh seorang laki-laki asing yang tampaknya merupakan kaki tangannya.

"Keenan Aksara, sang bintang lapangan SMANDA," ucap Davin dengan nada merendahkan, melemparkan sebuah ponsel di depan Keenan. Ponsel itu milik Kafka, salah satu teman dekat Keenan.

"Sangat disayangkan sekali, lo udah melewatkan malam ini dengan sia-sia. Coba liat, kondisi markas lo udah rusak, dan lo baru dateng? Ketua macem apa lo?" Davin menambahkan, suaranya penuh dengan kepuasan saat melihat markas yang telah dihancurkan.

"Kenapa lo ngelakuin ini semua, Davin! Mana temen-temen gue!" bentak Keenan, matanya menyala-nyala, mencari ketiga sahabatnya yang juga anggota gengnya-Abhi, Kafka, dan Nevan.

"Ups! Temen-temen lo? Aman, tenang aja. Mereka gak papa kok," jawab Davin sambil menepuk tangannya sekali.

Kemudian dari belakang muncul beberapa orang yang membawa ketiga temannya dengan tangan terikat dan mulut mereka disumpal oleh kain. Meskipun tidak ada luka fisik yang terlihat, ekspresi marah dan putus asa di wajah ketiga teman Keenan menandakan betapa menderitanya mereka.

"Lepasin temen-temen gue!" teriak Keenan, matanya penuh dengan kemarahan saat melihat kondisi ketiga temannya yang terikat.

"Iya, iya, nanti gue lepasin. Ya gak?" Davin menjawab sambil menoleh ke temannya, yang hanya tersenyum mengangguk.

Keenan melangkah maju, tangannya yang mengepal sudah siap untuk melayangkan tinjuan ke arah wajah Davin. Namun, langkahnya terhenti oleh ucapan Davin yang penuh nada sindiran.

"Eits! Sabar lah, Keenan. Lo ngapain sih emosi terus? Gue kesini cuma pengen buat perjanjian sama lo," Davin berkata sambil terkekeh, senyumnya semakin lebar saat melihat Keenan yang semakin marah.

"Gue gak bisa sabar kalo udah ngeliat wajah lo, Davin!" Keenan hendak melangkah lagi, namun kali ini langkahnya terhenti oleh pisau yang diarahkan ke wajah Kafka. Suara tawa Davin menggema di ruangan, penuh dengan kejam dan kesenangan.

Davin menghela napas panjang, "Gue gak pernah main-main sama ucapan gue, Keenan. Gue kesini mau buat perjanjian sama lo. Tapi kalo lo gak mau dengerin gue, terpaksa ketiga temen lo akan jadi korbannya." Ucapnya sambil mengelilingi ketiga temannya yang terikat.

"Apa mau lo!" Keenan berusaha menahan emosinya, meskipun wajahnya menunjukkan kemarahan yang mendalam.

"Jauhi Claudia, atau lo akan tau akibatnya," Davin melangkah mendekat, senyumnya penuh ancaman.

Keenan mengangkat alis, bingung dengan nama gadis yang disebut Davin. Claudia Amanda, senior cantik yang dikenal pintar dan modis, kini menjadi sekretaris OSIS dan teman sekelas Davin. Namun, Keenan tidak memiliki hubungan khusus dengan Claudia. "Gue gak tertarik sama dia." ucap Keenan.

"Tapi dia mati-matian ngejar lo!" Davin menendang barang di depannya, menambahkan rasa frustrasi pada suasana.

Keenan terkekeh pelan, "Itu artinya, lo disuruh ngaca. Coba tanya ke diri lo sendiri, kenapa Claudia lebih milih gue daripada lo." Ucap Keenan dengan nada penuh percaya diri.

Tanpa peringatan, tinjuan Davin melayang ke arah Keenan, membuatnya mundur selangkah. Keenan, dengan amarah yang tidak terbendung, membalas tinjuan tersebut, menjatuhkan Davin ke lantai. Pertarungan antara mereka berlanjut dengan tinjuan demi tinjuan yang saling balas.

"Keenan STOP!" Suara itu memecah kekacauan, membuat Keenan menoleh. Posisi Keenan saat ini menindih tubuh Davin, hendak melayangkan pukulan keras ke wajahnya.

Keenan bangkit dengan cepat, matanya terarah pada Abhi yang dikeroyok oleh lima orang. Abhi terluka parah, wajahnya dipenuhi memar dan darah.

Di sisi lain, Kafka dan Nevan, berusaha mati-matian melepaskan ikatan mereka, namun upaya mereka sia-sia. Rasa marah dan putus asa jelas terlihat di wajah mereka saat menyaksikan Abhi yang tak berdaya di depannya.

"Lo lupa sama ucapan Davin? Coba liat, salah satu temen lo udah jadi korban. Apa lo mau liat semua temen lo mampus malem ini?" ucap teman Davin, suaranya penuh ancaman.

Mata Keenan tak bisa lepas dari Abhi yang terluka parah. Keputusan Keenan diambil dengan berat hati, dan dia menyerah untuk melanjutkan pertarungan.

Davin, yang dibantu berdiri oleh temannya, terkekeh pelan saat melihat Keenan akhirnya menyerah. "Keenan, gue udah berapa kali ngasih lo peringatan, tapi lo selalu aja gak bisa nahan emosi lo itu,"

Davin menggeleng pelan melihat ke arah Abhi yang tidak bisa melawan."Gimana? Apa keputusan lo sekarang?" tanya Davin, senyum kemenangan di wajahnya.

Keenan mengangguk pelan, suaranya penuh dengan kepahitan, "Gue pastikan, Claudia jauhin gue, baik di sekolah maupun di luar."

Davin terkekeh pelan, "Deal." Dia melangkah lebih dekat, "Gue pegang omongan lo." ucap Davin.

Davin dan semua orang suruhannya kini sudah pergi dari markas Alpha Nexus, meninggalkan Keenan yang berdiri di tengah kekacauan.

Dengan cepat, Keenan berlari ke arah Abhi, melepaskan ikatan yang mengekang tubuhnya. "Sorry, Bhi," ucap Keenan penuh penyesalan.

Abhi, dengan wajah memar dan suara parau, mengangguk, "Gak papa, Pak Ketu."

Keenan kemudian beralih ke Kafka dan Nevan, melepaskan ikatan mereka dengan hati-hati.

Setelah itu, Keenan mengeluarkan ponsel dari sakunya dengan tangan gemetar. Melihat kondisi temannya itu, rasa penyesalan serta khawatir menggerogoti hatinya. Tanpa membuang waktu, Keenan segera menghubungi seseorang yang ia tahu bisa membantu.

"Bang," suaranya terdengar tegas meskipun ada nada putus asa. "Gue butuh bantuan lo, Abhi terluka parah dan gue gak tau harus gimana."

Di ujung sana, suara laki-laki yang tenang dan penuh otoritas menjawab, "Gue akan kesana. Bawa temen lo ke tempat biasa."

Keenan menghela napas lega, meskipun kekhawatiran masih menghantuinya. "Oke, thanks bang."

Keenan mengakhiri panggilan dan segera memberi instruksi kepada Kafka dan Nevan untuk membantu mengangkat Abhi. Mereka bergerak dengan cepat, membawa Abhi menuju tempat yang dimaksudkan.

Suasana di markas Alpha Nexus kini penuh dengan rasa sakit dan kepedihan.

Hal itu sangat kontras dengan suasana di sebuah rumah besar bercat biru muda.

Di depan halaman rumah itu, terdapat sebuah tempat istimewa yang selalu ia kunjungi. Di sana, ia menatap langit dengan senyuman khas di wajahnya. Rambutnya yang panjang tergerai indah, dan kulitnya bersinar terang di bawah langit malam.

Dia, seorang gadis pemilik mata rembulan, sekaligus pemilik hati Keenan.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status