Aku memang beberapa hari bersikap dingin kepada pak Pramono sejak ia merenggut kehormatanku. Ia sengaja memberikan hadiah itu, sepertinya untuk mengambil hatiku atau agar aku tutup mulut atas tindakan paksa dia menggagahiku.
Yah! Semenjak kejadian malam itu pak Pramono begitu perhatian kepadaku. Ia betul-betul menunjukkan rasa sayangnya meski ketika di depan keluarganya ia berusaha menyembunyikannya.
Dari perilakunya terlihat Pak Pramono memang orang yang sangat bertanggung jawab. Ia juga selalu menanyakan kesehatanku. Menanyakan hobi dan kesukaanku, juga kerap memberikanku uang di luar gaji.
Seiring berjalannya waktu, hatiku mulai luluh dengan kebaikannya, dan jujur saja, ketampanan pak Pramono masih tergaris jelas di wajahnya meski sudah berumur 50 tahun. Jujur, aku dibuatnya tak mampu menolak keinginannya untuk tidur bersama ketika ia kerap menyelinap masuk ke dalam kamarku secara diam-diam.
Seiring waktu aku mulai terlena dengan kebaikannya, ketampanannya. Di dalam kamar pembantu yang pengap. Seandainya pun ia tak memberikan uang, sepertinya hatiku sudah luluh dan pasrah padanya.
Namun, pak Pramono memang sangat baik, bahkan uang yang kerap ia berikan kepadaku jumlahnya berkali-kali lipat dari gajiku sebagai pembantu. Hidupku pun mulai makmur dan aku tak pernah kekurangan uang. Sebab selain uang, pak Pramono sering membelikan aku makanan, jadi aku tidak pernah membeli jajan, uang gaji dan uang yang pak Pramono berikan utuh tak tersentuh karena pakaian dan alat kosmetik saja aku di belikan dan harganya mahal-mahal. Aku semakin terlena, dan apakah aku jatuh cinta kepada pak Pramono? huuff! pusing!
Disisi lain, sebenarnya aku sangat merasa bersalah kepada Bu Rosalinda. Aku telah merebut suaminya. Kalau hati, aku tahu persis jika pak Pramono masih sangat mencintai Bu Rosalinda.
Mungkin karena kebutuhan biologis yang sudah satu tahun lebih ia tak mereguknya. Akhirnya setelah kejadian itu pak Pramono mulai menikmati permainan penghianatannya denganku. Kasih sayangnya terhadap Bu Rosalinda terbagi denganku.
Selain itu, aku juga bingung, harus bersikap bagaimana dengan Reno. Ia sepertinya juga begitu menggebu ingin hidup bersamaku.
Namun, disisi lain ada pak Pramono yang lebih dahulu meninggalkan bekas keringat di tubuhku yang rutin kami lakukan diam-diam di saat rumah lengang dan Bu Rosalinda sudah tertidur pulas sehabis minum obat.
Tidak mungkin 'kan aku menjadi menantu dari orang yang hampir tiap malam melakukan hal menjijikkan denganku.
"Maaf, mas Reno! Aku tidak bisa menerima cintamu," jawabku ketika ia kembali menanyakan kesediaanku untuk menjadi istrinya.
"Kenapa? Apakah kamu sudah punya kekasih?"
"Bukan, mas, tapi aku tidak pantas untukmu. Lebih baik mas Reno mencari wanita lain yang lebih pantas. Mas," ucapku dingin.
Sejujurnya aku tidak sanggup menolaknya. Kalau mau mengakui, jujur saja, aku juga menyukai Reno. Siapa sih yang tidak mau bersanding dengan Reno Adian. Pria muda tampan rupawan, lagi anak seorang hartawan.
Tapi aku memutuskan untuk membuang jauh-jauh rasa ini semenjak kehadiran pak Pramono yang mengisi malam-malam ku di kamar pembantu.
Suatu ketika Bu Rosalinda kembali dirawat di rumah sakit. Pak Pramono menjaga siang malam istrinya hingga ia jarang di rumah. Di rumah aku kadang Hanya berdua dengan Reno bila ia pulang kerja atau sehabis menjenguk ibunya. Sementara adiknya masih melanjutkan kuliahnya di Jogja.
Malam itu kala hujan turun rintik-rintik, selesai membereskan kerjaan dapur aku menonton televisi di ruang keluarga. Rumah tampak lengang, pak Pramono juga berada di rumah sakit menunggui istrinya.
Bosan melihat televisi, aku beranjak mendekati jendela dan memandang rintik hujan yang membasahi bumi. Kenapa aku jadi merasa kesepian? Kenapa aku tiba-tiba rindu akan dekapan hangat pak Pramono? Pikiranku melayang membayangkan saat-saat kami berada di kamar pembantu.
Tiba-tiba aku merasakan ada pelukan mesra dari belakangku. Aku pikir itu pak Pramono. Tapi, bukankah pak Pramono di rumah sakit? Aku membalikkan badanku.
Degg!!
Ternyata Reno! Aku baru ingat jika di rumah ini hanya aku dan dia.
Melihat aku berbalik menghadap tubuhnya. Reno langsung menyerangku. Tangannya memegang kepala dan pundakku.
Uffh!! Kemasukan setan apa nih, anak!
Reno yang begitu tampan membuat aku tak berdaya. Aku menyerah pasrah ketika ia membawaku ke dalam kamarnya yang luas dan kasur tidurnya yang empuk serta wangi.
Akhirnya malam itu kami satu ranjang bersama hingga pagi menjelang.
"Rini, Kamu begitu menakjubkan hingga pagi ini" ucap Reno pagi itu setelah melewati malam panjang.
Aku terdiam tidak menjawab. Malu! Tapi aku bahagia, siapa yang tidak bahagia? Mendapatkan kasih sayang dari pemuda tampan pujaan para gadis. Namun, aku kembali murung. Pak Pramono, --Ayahnya-- bagiamana?
Uffhh!! Sungguh aku dilema dengan semua ini. Aku mencintai dan di cintai oleh bapak dan anaknya sekaligus.
Setelah kejadian itu, akhirnya aku menjalin hubungan gelap dengan pak Pramono sekaligus menjalin hubungan juga dengan Reno --anaknya--.
Gila Gak?!
****
"Rini ... Ini ada sertifikat rumah atas nama kamu. Nanti jika kamu benar hamil dan memiliki anak dariku. Kamu tempati rumah itu," ucap pak Pramono suatu ketika saat kami menghabiskan malam bersama sampai pagi, saat Reno sedang pergi tugas luar kota.
Mataku terbelalak, melihat sertifikat rumah atas namaku. Seperti mimpi rasanya memiliki rumah di perumahan yang terbilang elit di area Jakarta ini.
Yah, seperti yang pak Pramono bilang. Akhir-akhir ini aku sering pusing dan mual-mual. Apakah aku hamil? Kalau hamil, ini anak siapa? Tapi aku belum berani cek. Aku terlalu penakut untuk itu.
Jika aku beneran hamil, aku harus harus bagaimana? Apa yang akan aku jelaskan kepada keluargaku? Apa yang harus aku jelaskan kepada pak Pramono dan Reno. Ini anak siapa?!.
Uufhh!!
Kenapa hidupku kenapa selalu rumit begini!"Rini, aku tanya sekali lagi. Maukah kamu menjadi istriku?" ucap Reno kepadaku saat aku sedang menyiapkan masakan di dapur untuk segera disiapkan di meja makan bagi para majikanku pagi itu termasuk RenoAku terdiam, gak tahu mau jawab apa. Sehingga aku pura-pura menyibukkan diri dengan urusan dapur yang sebenarnya sudah selesai.Reno masih saja menungguiku duduk di depan meja makan saat aku sedang membereskan perlengkapan dapur, mungkin menunggu jawabanku."Reno, hari ini temani mama di rumah sakit, yah! Papa mau istirahat di rumah. Badan papa panas dingin, mungkin kelamaan di rumah sakit jadi terserang virus di sana," ucap Pak Pramono tiba-tiba saja muncul dari luar."Baik, Pa," jawab Reno, sambil beranjak dari tempat duduknya di ruang makan dekat dapur. Ia melemparkan pandangannya kepadaku sekilas dengan seulas senyum.Lega, rasanya. Sebab aku saat itu masih bingung harus jawab apa. Jika aku menerima Reno. Apa kata pak Pramono? Sebab ia sudah mengetahui kelakuanku yang mau saja mel
Aku mencolek pak Pramono, dan memberikan kode kepadanya untuk melihat ke arah Reno yang terlihat sedang berbincang dengan rekannya.Sontak pak Pramono terlihat sangat kaget. Sama kagetnya denganku yang diiringi jantung berdegup kencang. Semestinya 'kan dia di rumah sakit menemani ibunya."Kita berjalan sendiri-sendiri saja yah! Jangan sampai kita ketahuan jalan berdua," ucap pak Pramono sambil mengajakku berbalik arah menjauh dari tempat Reno berada."Tapi, baju-baju ini bagaimana, pak?" tanyaku panik dengan wajah gelisah."Oh, iya, bagaimana yah! Mmm ... begini saja, baju ini tetap kamu yang bawa. Jika nanti kepergok Reno, bilang saja ini mau disumbangkan buat saudara kamu yang sedang hamil," saran pak Pramono sambil bergegas menjauh dariku.Aku berdiri kebingungan sambil menenteng tas-tas berisi pakaian hamil. Harus lewat mana? Sementara di depan sana ada Reno.Disaat sedang bingung-bingungnya. Tiba-tiba sapaan seorang laki-laki terdengar dari belakangku."Rini?! kamu ngapain ada di
"Rini, besok lusa aku mau ke tempat pernikahan rekan bisnis aku. Temani aku yah?" tanya Reno ketika aku sedang memasak di dapur."Aku malu, Mas, itu kan tempat orang kaya semua. Aku bukan sebanding dengan mereka," jawabku berusaha menolaknya karena memang aku akan mulai menjauh dari hidupnya."Siapa bilang kamu gak selevel. Kamu cantik, putih, berpendidikan dan bisa menyesuaikan dikondisi lingkungan manapun lebih tepatnya di ajak susah gak nyusahin, di ajak kaya gak malu-maluin," bujuk Reno."Ah, mas, bisa saja. Tapi bener Mas, aku gak percaya diri," ucapku berusaha sebisa mungkin menolaknya."Aku sudah membelikan gaun buat kamu pakai loh! Tara ...." Ia mengeluarkan sebuah gaun darai tas kertas yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Sebuah gaun yang mewah dan pasti harganya mahal sekali. Sepasang sepatu hak tinggi yang cantik juga ia pamerkan."Gimana? Mau kan? Harus mau, aku sudah susah cari-cari gaun ini tadi. Dan aku sudah tahu ukuran lekuk tubuhmu, ukuran sepatumu.
Bab 6Perutku makin membesarAku menyadari makin hari perutku semakin membesar. Sebelum Reno mengetahui bahwa aku hamil. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja di rumah pak Pramono.Tanpa sepengetahuannya aku mengemas barang-barangku. Aku kemudian menemui pak Pramono untuk mengatakan bahwa aku akan tinggal di rumah yang ia berikan untukku.Pak Pramono tentu saja meng-iyakan karena ia tahu bahwa perutku lama kelamaan pasti makin besar."Nanti aku akan mengantarmu," ucap Pak Pramono."Jangan, Pak, aku takut ada yang melihat. Nanti justru akan menimbulkan masalah baru," terangku padanya."Lambat atau cepat, hubungan kita pasti akan ketahuan," jawab pak Pramono. meyakinkanku. Kuakui dia memang pria bertanggung jawab."Terus, bagaimana, Pak?""Aku akan menikahimu," jawab pak Pramono."Tapi, Pak, aku nanti di bilang pelakor," ucapku tanpa mangaku sebagai pelakor, padahal sejatinya aku memang sudah jadi pelakor! Cuma aku saja yang tidak gengsi mengakuinya."Aku akan menikahimu secara
Hari-hari aku lalui di dalam rumah baruku. Jarang aku keluar rumah kecuali penting sekali. Aku takut bertemu kembali dengan Reno. Yah! Takut sekali, sebab dia pasti akan mempertanyakan tentang anak yang aku kandung.Untuk keperluan biaya hidup pak Pramono kerap datang ke rumah membawa belanjaan dan uang."Rini, beberapa hari ke depan kemungkinan bapak tidak bisa ke sini, rencananya mau ke Singapura mau konsultasi masalah kesehatan ibu. Gak apa-apa, kan?" tanya pak Pramono suatu ketika di sore itu."Tidak apa-apa, Pak! Rini maklum, Bapak juga punya tanggung jawab kepada ibu," ucapku sambil tersenyum."Sebelum bapak pergi, bapak mau mengajak kamu ke dokter kandungan setelah itu kita belanja untuk keperluan kamu ke depan," ucapnya."Di mana Pak?""Ke dokter sekitar sini saja, setelah itu ke supermarket, nanti kamu yang memilih sayuran dan buah-buahan apa yang kamu inginkan, Bapak kan tidak tahu," ucapnya"Baik, Pak.""Hayukk."Aku segera mengikuti langkahnya menuju carport di mana mobiln
Sudah lebih satu Minggu pak Pramono tidak datang menjengukku, biasanya tiga atau empat hari dia pasti datang. Ini sudah hampir sepuluh hari. Ah! Mungkin masih di Singapura. Ingin aku bertanya melalu panggilan telepon. Namun, tidak berani. Entah kenapa, aku kepada pak Pramono terlalu segan. Mungkin karena kewibawaannya atau pembawaannya yang cool layaknya para pemimpin.Akhirnya aku mencoba menunggu saja kabar darinya atau menunggu kedatangannya. Namun, hingga berhari-hari tidak ada kabarnya meski hanya melalui SMS atau WhatsApp.Aku pun bertanya-tanya, apa yang terjadi dengannya kenapa tidak ada kabar? Kekhawatiranku semakin menjadi ketika sudah beberapa minggu tidak juga kunjung ada kabar, apalagi datang.Tetiba aku di kagetkan dengan adanya suara mobil berhenti di carport kemudian tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu di ruang tamu.Kubuka pintunya.Degg!Begitu kagetnya aku, dihadapanku sudah berdiri seorang pemuda tampan yang tidak asing lagi bagiku.Pemuda yang pern
Hari-hari menunggu kelahiran si jabang bayi di rumah sakit, aku hanya menghadapi sendiri tanpa sanak saudara menemaniku. Tanpa siapapun mensuportku. Tanpa seorangpun memperhatikanku. Tanpa siapapun yang membuatku tersenyum. Tanpa seorangpun menguatkanku. Hampa! Yah, hampa hidupku saat itu. Merasa jadi orang yang tidak memilki arti.Kecuali Reno yang setiap sore ia datang menjengukku meski tanpa berbicara sepatah katapun. Ia hanya melihat dan memandangiku. Ia hanya menunggui di pojok kamar rumah sakit. Selepas itu ia pergi.Aku tidak tahu apa yang dalam pikirannya. Apakah kasihan kepadaku?Aneh! Padahal sudah aku tegaskan bahwa ini bukan anaknya. Namun, aku pun tak ingin menanyakannya. Biar dia saja yang tahu apa maksud dia tiap hari menjengukku. Aku sudah sangat merasa bersalah sekali kepadanya. Tidak berani menyapa dia duluan apalagi mempertanyakan maksudnya. Tidak! Aku malu, aku menyesal! Sangat menyesal!Biar! Biarlah seperti ini saja hingga si jabang bayi ini keluar. Setelah ini,
Perlahan aku merintis usaha toko sembako di rumah yang aku beli dari separuh hasil penjualan rumah di Jakarta.Aku merencanakan sendiri segala sesuatunya. Baik mulai mempersiapkan tempat, belanja barang, promosi dan lain sebagainya. Tiap pagi sekali aku mengajak Naomi ke pasar induk untuk belanja sayuran yang aku jual di warungku. Untuk isi warung sudah ada agen yang rutin datang menawarkan dagangannya. Jadi tidak susah-susah lagi belanja.Aku terkadang kasihan sama Naomi, harus ikut ke pasar desak-desakan. Namun, tidak mungkin juga aku tinggal di rumah sendirian.Selain membuka toko sembako, aku juga menyewa sebuah ruko untuk membuka usaha agen ekspedisi. Dengan begitu aku memiliki dua penghasilan yang bisa menopang kehidupanku bersama Naomi ke depannya.Susah payah, jatuh bangun aku merintis usaha ini. Begitu banyak suka dukanya, yah! Membuka usaha memang tak segampang melihat orang yang sudah sukses.Mereka bisa mencapai kesuksesan dengan usaha tanpa putus asa. Tapi semua kujalani