Aku mencolek pak Pramono, dan memberikan kode kepadanya untuk melihat ke arah Reno yang terlihat sedang berbincang dengan rekannya.
Sontak pak Pramono terlihat sangat kaget. Sama kagetnya denganku yang diiringi jantung berdegup kencang. Semestinya 'kan dia di rumah sakit menemani ibunya.
"Kita berjalan sendiri-sendiri saja yah! Jangan sampai kita ketahuan jalan berdua," ucap pak Pramono sambil mengajakku berbalik arah menjauh dari tempat Reno berada.
"Tapi, baju-baju ini bagaimana, pak?" tanyaku panik dengan wajah gelisah.
"Oh, iya, bagaimana yah! Mmm ... begini saja, baju ini tetap kamu yang bawa. Jika nanti kepergok Reno, bilang saja ini mau disumbangkan buat saudara kamu yang sedang hamil," saran pak Pramono sambil bergegas menjauh dariku.
Aku berdiri kebingungan sambil menenteng tas-tas berisi pakaian hamil. Harus lewat mana? Sementara di depan sana ada Reno.
Disaat sedang bingung-bingungnya. Tiba-tiba sapaan seorang laki-laki terdengar dari belakangku.
"Rini?! kamu ngapain ada di sini?"
Degg! Aku membalikkan badan.
Duh!! Apesss!!
Jantungku serasa mau copot! Benar saja, Reno memergoki aku disini. Untungnya pak Pramono sudah pergi menjauh. Entah kemana perginya.
"Eh, Mas Reno, kok ada di sini? Bukankah sedang di rumah sakit menunggui ibu?" ucapku tergagap dengan jantung berdegup kencang.
"Harusnya, iya, tapi aku harus menemui klien urusan bisnis. Mau tidak mau aku tinggal dulu mama di rumah sakit. Mau nelfon papa. Aku kasihan, beliau lagi sakit," jawab Reno.
Duh! Polos sekali kamu, mas? Ayahmu 'kan bersamaku barusan. Gumamku dalam hati.
"Oh, gitu ya, mas, kalau begitu, aku permisi ya, Mas. Aku mau menjenguk saudaraku," ucapku untuk alasan agar segera secepatnya berlalu dari hadapannya. Aku gak sanggup lama-lama di hadapannya, serba salah! Mati kutu!
"Aku, antar, yah?" tawar Reno kepadaku. Duh! Pakai mau antar lagi! Ini bocah nekat amat! Seandainya kamu yang sebenarnya, Mas? Mungkin kamu bisa ngamuk di sini bak Arjuna melesatkan panahnya.
"Eh, jangan, Mas, bukankah, Mas Reno mau balik ke rumah sakit menemani ibu?" tolakku dengan berbagai alasan.
"Tidak apa Rini, kan cuma sebentar," ucapnya setengah memaksa. Nih anak, polos banget, sih! Bebal dibilangin. Kalau kamu mengantarku, kamu ...! Ahh!
"Jangan, Mas, bener, jangan, sebab aku rencana mau menginap di rumah saudara," ucapku cari alasan lebih kuat lagi.
"Di mana rumah saudara Rini tepatnya?" Pake nanya rumah saudara lagi! Busyet, gawat ... gawat! Rasanya ingin segera berlari saja aku!
"Jauh mas dari sini! Di Ciledug sana!" ucapku bohong, agar Reno mengurungkan niatnya untuk mengantarku.
"Ada juga tuh, temenku di sana. Siapa tahu deketan dengan rumahnya. Emangnya Ciledug mana?"
"Aa, anu, Rini juga belum mengerti. Katanya aku mau dijemput nanti kalau sudah sampai di kota cileduk," ucapku cari-cari alasan lagi. Kenapa maksa banget sih! Sampai bilang temannya juga di Ciledug! Orang aku juga tidak tahu ciledug itu daerah mana. Huh!
"Ya, sudah deh, kalau kamu menolak terus, aku mau lanjut ke rumah sakit, menemui mamaku. Aku tinggal dulu. Hati-hati, ya, Rini," ucapnya sambil berlalu dari hadapanku. Duh, lega ... rasanya, seperti habis menahan kebelet buang air kemudian menemukan toilet.
Setelah Reno berlalu, aku kemudian melangkah keluar sambil sesekali celingak-celinguk. Takutnya ia masih mengawasiku dari kejauhan.
Untuk menghindari bertemunya kembali dengan Reno akhirnya aku memesan ojek mobil online untuk mengantar ke rumah baruku yang seharga satu miliar lebih itu.
Dalam perjalanan aku membayangkan. Tinggal dirumah elit itu dan tiap sore jalan-jalan naik mobil. Wuuihh! Uhuuyy! Bahagianya. Aku sampai senyum-senyum sendiri dalam mobil. Kalau supir mobil rental itu melihat, bisa jadi aku di kira orang stress atau gila karena senyum-senyum sendiri.
Jalanan ibu kota macet jadi cukup lama aku sampai di rumah baruku. Aku menyebutnya rumahku karena sudah menjadi hak milikku sepenuhnya meski bukan aku yang beli.
Kubuka pintu rumah sambil tersenyum bahagia. Pandanganku menjelajahi setiap sudut ruangan yang catnya masih belum ternoda sambil berjalan menuju kamar.
Kutaruh, baju-baju hamil itu dalam lemari. Di tambah baju-baju baru untuk di pakai sehari-hari. Memang baik sekali pak Pramono kepadaku.
Aku sepertinya jatuh hati kepadanya, meski harus aku akui, aku juga mencintai Reno sekaligus. Tamak yah, aku? Bukan tamak lagi, tapi rakus! Masa bapak dan anak di embat semua. Edan!!
Setelah puas mengelilingi setiap sudut ruangan hingga taman belakang rumah. Aku kemudian menuju garasi. Kupencet remote mobil. Lalu kubuka pintu samping kemudi dan duduk dibelakang kemudi. Ku masukkan kontak, kuputar dan breeem! Suara mobilnya begitu merdu, sangat membahagiakanku saat kuinjak pedal gasnya sedikit. Sungguh! Punya mobil seperti ini seperti mimpi bagiku.
Aku secepatnya harus belajar mengemudi! Ucapku dalam hati dengan riang.
Setelah puas di dalam mobil. Aku kembali ke kamar. Dan rencananya aku langsung menginap di rumah ini, sekaligus membuktikan kepada Reno jika aku tidak pulang. Biar dikira beneran menginap di rumah saudaraku yang fiktif di Ciledug.
Sesampainya di kamar utama. Kulihat sudah ada sesosok pria yang tidak asing lagi bagiku. Ia sedang berbaring di ranjang baru yang belum pernah dipakai sama sekali.
Melihat kehadiranku, pria itu langsung bangun dari pembaringan. Kemudian menatapku dengan penuh kemesraan.
Ia mulai mendekatiku dan kemudian ia kembali membawaku terbang tinggi di awang-awang.
Malamnya kami makan malam bersama. Dengan memesan makanan lewat ojek online. Karena tadi tidak sempat belanja karena keburu takut diikuti Reno.
Malam itu, pria itu pamit pulang katanya mau kerumah sakit gantian dengan anaknya menunggui istrinya yang sedang di rawat di rumah sakit.
Habis Magrib, aku sampai kembali di rumah pak Pramono. Suasana tampak lengang, ku lihat pak Pramono juga tidak kelihatan batang hidungnya.
Tapi rumah tidak terkunci, itu berarti ada orang di dalam rumah. Langsung saja aku masuk menuju kamar pembantu. Mengambil handuk, lalu bergegas mandi di kamar mandi dalam dapur.
Begitu keluar dari kamar mandi, tampak pemuda gagah nan tampan berdiri di hadapanku.
Ia memandangiku dengan wajah terkesima. Di pandangi seperti itu, aku jadi kikuk. Lalu tanpa bicara aku melewatinya langsung masuk ke kamar pembantu.
Begitu aku masuk kamar, pemuda tampan itu begitu cepatnya ikut menyeruak masuk ke dalam kamarku. Ia mulai menyerangku.
Begitulah kehidupanku, kulalui hari demi hari. Menjadi kekasih pak Pramono sekaligus menjadi pacar bayangan anaknya Reno.
Gila? Memang!
Malu-maluin jika ketahuan? Itu pasti!Namun, entah kenapa aku juga belum mampu terlepas dari itu semua. Bahkan kebejadanku serasa candu.
Entah demi apa, apakah uang? Ataukah cinta kepada keduanya? Atau mungkin kedua-duanya? Ah! Entahlah! Pusing aku! Sampai kapan aku harus begini?
"Rini, besok lusa aku mau ke tempat pernikahan rekan bisnis aku. Temani aku yah?" tanya Reno ketika aku sedang memasak di dapur."Aku malu, Mas, itu kan tempat orang kaya semua. Aku bukan sebanding dengan mereka," jawabku berusaha menolaknya karena memang aku akan mulai menjauh dari hidupnya."Siapa bilang kamu gak selevel. Kamu cantik, putih, berpendidikan dan bisa menyesuaikan dikondisi lingkungan manapun lebih tepatnya di ajak susah gak nyusahin, di ajak kaya gak malu-maluin," bujuk Reno."Ah, mas, bisa saja. Tapi bener Mas, aku gak percaya diri," ucapku berusaha sebisa mungkin menolaknya."Aku sudah membelikan gaun buat kamu pakai loh! Tara ...." Ia mengeluarkan sebuah gaun darai tas kertas yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Sebuah gaun yang mewah dan pasti harganya mahal sekali. Sepasang sepatu hak tinggi yang cantik juga ia pamerkan."Gimana? Mau kan? Harus mau, aku sudah susah cari-cari gaun ini tadi. Dan aku sudah tahu ukuran lekuk tubuhmu, ukuran sepatumu.
Bab 6Perutku makin membesarAku menyadari makin hari perutku semakin membesar. Sebelum Reno mengetahui bahwa aku hamil. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja di rumah pak Pramono.Tanpa sepengetahuannya aku mengemas barang-barangku. Aku kemudian menemui pak Pramono untuk mengatakan bahwa aku akan tinggal di rumah yang ia berikan untukku.Pak Pramono tentu saja meng-iyakan karena ia tahu bahwa perutku lama kelamaan pasti makin besar."Nanti aku akan mengantarmu," ucap Pak Pramono."Jangan, Pak, aku takut ada yang melihat. Nanti justru akan menimbulkan masalah baru," terangku padanya."Lambat atau cepat, hubungan kita pasti akan ketahuan," jawab pak Pramono. meyakinkanku. Kuakui dia memang pria bertanggung jawab."Terus, bagaimana, Pak?""Aku akan menikahimu," jawab pak Pramono."Tapi, Pak, aku nanti di bilang pelakor," ucapku tanpa mangaku sebagai pelakor, padahal sejatinya aku memang sudah jadi pelakor! Cuma aku saja yang tidak gengsi mengakuinya."Aku akan menikahimu secara
Hari-hari aku lalui di dalam rumah baruku. Jarang aku keluar rumah kecuali penting sekali. Aku takut bertemu kembali dengan Reno. Yah! Takut sekali, sebab dia pasti akan mempertanyakan tentang anak yang aku kandung.Untuk keperluan biaya hidup pak Pramono kerap datang ke rumah membawa belanjaan dan uang."Rini, beberapa hari ke depan kemungkinan bapak tidak bisa ke sini, rencananya mau ke Singapura mau konsultasi masalah kesehatan ibu. Gak apa-apa, kan?" tanya pak Pramono suatu ketika di sore itu."Tidak apa-apa, Pak! Rini maklum, Bapak juga punya tanggung jawab kepada ibu," ucapku sambil tersenyum."Sebelum bapak pergi, bapak mau mengajak kamu ke dokter kandungan setelah itu kita belanja untuk keperluan kamu ke depan," ucapnya."Di mana Pak?""Ke dokter sekitar sini saja, setelah itu ke supermarket, nanti kamu yang memilih sayuran dan buah-buahan apa yang kamu inginkan, Bapak kan tidak tahu," ucapnya"Baik, Pak.""Hayukk."Aku segera mengikuti langkahnya menuju carport di mana mobiln
Sudah lebih satu Minggu pak Pramono tidak datang menjengukku, biasanya tiga atau empat hari dia pasti datang. Ini sudah hampir sepuluh hari. Ah! Mungkin masih di Singapura. Ingin aku bertanya melalu panggilan telepon. Namun, tidak berani. Entah kenapa, aku kepada pak Pramono terlalu segan. Mungkin karena kewibawaannya atau pembawaannya yang cool layaknya para pemimpin.Akhirnya aku mencoba menunggu saja kabar darinya atau menunggu kedatangannya. Namun, hingga berhari-hari tidak ada kabarnya meski hanya melalui SMS atau WhatsApp.Aku pun bertanya-tanya, apa yang terjadi dengannya kenapa tidak ada kabar? Kekhawatiranku semakin menjadi ketika sudah beberapa minggu tidak juga kunjung ada kabar, apalagi datang.Tetiba aku di kagetkan dengan adanya suara mobil berhenti di carport kemudian tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu di ruang tamu.Kubuka pintunya.Degg!Begitu kagetnya aku, dihadapanku sudah berdiri seorang pemuda tampan yang tidak asing lagi bagiku.Pemuda yang pern
Hari-hari menunggu kelahiran si jabang bayi di rumah sakit, aku hanya menghadapi sendiri tanpa sanak saudara menemaniku. Tanpa siapapun mensuportku. Tanpa seorangpun memperhatikanku. Tanpa siapapun yang membuatku tersenyum. Tanpa seorangpun menguatkanku. Hampa! Yah, hampa hidupku saat itu. Merasa jadi orang yang tidak memilki arti.Kecuali Reno yang setiap sore ia datang menjengukku meski tanpa berbicara sepatah katapun. Ia hanya melihat dan memandangiku. Ia hanya menunggui di pojok kamar rumah sakit. Selepas itu ia pergi.Aku tidak tahu apa yang dalam pikirannya. Apakah kasihan kepadaku?Aneh! Padahal sudah aku tegaskan bahwa ini bukan anaknya. Namun, aku pun tak ingin menanyakannya. Biar dia saja yang tahu apa maksud dia tiap hari menjengukku. Aku sudah sangat merasa bersalah sekali kepadanya. Tidak berani menyapa dia duluan apalagi mempertanyakan maksudnya. Tidak! Aku malu, aku menyesal! Sangat menyesal!Biar! Biarlah seperti ini saja hingga si jabang bayi ini keluar. Setelah ini,
Perlahan aku merintis usaha toko sembako di rumah yang aku beli dari separuh hasil penjualan rumah di Jakarta.Aku merencanakan sendiri segala sesuatunya. Baik mulai mempersiapkan tempat, belanja barang, promosi dan lain sebagainya. Tiap pagi sekali aku mengajak Naomi ke pasar induk untuk belanja sayuran yang aku jual di warungku. Untuk isi warung sudah ada agen yang rutin datang menawarkan dagangannya. Jadi tidak susah-susah lagi belanja.Aku terkadang kasihan sama Naomi, harus ikut ke pasar desak-desakan. Namun, tidak mungkin juga aku tinggal di rumah sendirian.Selain membuka toko sembako, aku juga menyewa sebuah ruko untuk membuka usaha agen ekspedisi. Dengan begitu aku memiliki dua penghasilan yang bisa menopang kehidupanku bersama Naomi ke depannya.Susah payah, jatuh bangun aku merintis usaha ini. Begitu banyak suka dukanya, yah! Membuka usaha memang tak segampang melihat orang yang sudah sukses.Mereka bisa mencapai kesuksesan dengan usaha tanpa putus asa. Tapi semua kujalani
"Rini, anak kamu sudah besar, tak menyangka aku bertemu kamu disini," pria itu berdiri. Ia lalu memalingkan wajahnya ke arahku."Bagaimana, Mas bisa ada di sini?" Dengan wajah terpelongo aku bertanya seolah aku seperti mimpi bisa bertemu dengan seorang yang aku hindari selama ini."Aku kan memiliki cabang perusahaan disini?" ucapnya, "Kenapa kamu pergi tanpa memberitahu. Selama ini aku mencari-cari kamu. Rumahmu selalu kosong, dan terakhir sudah dihuni orang lain." ucapnya sambil mendekat ke arahku membuat jantungku berdetak. Perasaan yang selama ini berusaha kupadamkan harus tersulut kembali.Aku kemudian mendekati Naomi dan meraih tangannya."Iya, karena aku punya kehidupan lain, Mas," ucapku singkat."Aku tahu Noami belum punya ayah hingga sekarang. Buktinya kamu hanya berdua," ucapnya sambil mendekati Naomi."Ayahnya sedang merantau, Mas," jawabku bohong."Dari matamu aku tahu kamu bohong," jawabnya yakin."Bagaimana mas tahu aku di sini?" tanyaku."Aku sedang duduk di cafe depan.
POV RENONaomi ... Anak yang lucu, cantik, menggemaskan. Pipinya yang cubby selalu ingin aku mencium dan mencowelnya. Aku yakin dia itu anakku. Cuma Rini saja yang menyembunyikannya dariku.Saat dekat Naomi, aku merasakan getar-getar jika ia adalah anakku. Perasaanku tidak akan salah. Wajahnya pun mirip denganku.Aku harus cari cara agar aku bisa sesering mungkin bertemu dengannya. Jika begitu aku akan cari tempat usaha baru yang berada di daerah Cirebon. Agar aku punya alasan sering ke sana. Yah! Itu jalan satu-satunya.Bagaimana tidak aku selalu merindukan Naomi. Di sini sunyi tidak ada bayi. Istriku pun tak kunjung memberikan aku keturunan. Padahal sudah dipastikan dokter aku subur! Kalau Dona ku ajak periksa pasti selalu mengelak dengan berbagai alasan. Aku curiga justru dia yang tidak bisa memberikanku keturunan.Aku juga harus cari cara untuk membuktikan bahwa dia subur atau tidak! Tapi bagaimana caranya, yah?"Pa ....!""Papa ....!""Papaaa ....!""Eh, iya, Ma, ada apa? Nga