Bab 6
Perutku makin membesar
Aku menyadari makin hari perutku semakin membesar. Sebelum Reno mengetahui bahwa aku hamil. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja di rumah pak Pramono.
Tanpa sepengetahuannya aku mengemas barang-barangku. Aku kemudian menemui pak Pramono untuk mengatakan bahwa aku akan tinggal di rumah yang ia berikan untukku.
Pak Pramono tentu saja meng-iyakan karena ia tahu bahwa perutku lama kelamaan pasti makin besar.
"Nanti aku akan mengantarmu," ucap Pak Pramono.
"Jangan, Pak, aku takut ada yang melihat. Nanti justru akan menimbulkan masalah baru," terangku padanya.
"Lambat atau cepat, hubungan kita pasti akan ketahuan," jawab pak Pramono. meyakinkanku. Kuakui dia memang pria bertanggung jawab.
"Terus, bagaimana, Pak?"
"Aku akan menikahimu," jawab pak Pramono.
"Tapi, Pak, aku nanti di bilang pelakor," ucapku tanpa mangaku sebagai pelakor, padahal sejatinya aku memang sudah jadi pelakor! Cuma aku saja yang tidak gengsi mengakuinya.
"Aku akan menikahimu secara siri. Setelah anak yang kamu kandung sudah lahir," jawab pak Pramono sambil memegang kedua pundakku.
Kuakui, pak Pramono laki-laki yang sangat bertanggung jawab. Sebetulnya sangat beruntung Bu Rosalinda mendapatkan suami sepertinya.
Cuma kehadiranku saja merusak segalanya, menodai kesucian pernikahan mereka.
Yah! Sungguh kotor diriku ini. Menjadi pagar makan tanaman.
Bukan hanya suaminya Bu Rosalinda saja yang aku makan, bahkan anaknya sendiri juga tega aku makan juga.
Duh! Sungguh, jahat sekali aku, jahat! Tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku mengikuti saja akhir dari hubungan kotor ini dan secepatnya menyelesaikan masalah posisiku yang penuh dilema ini.
Selagi Reno belum pulang, secepatnya aku memesan ojek mobil online karena aku tidak mau diantar pak Pramono. Sebab, takutnya tetangga rumah yang sebenarnya acuh tak acuh sesama tetangga tetaplah membuatku khawatir jika mereka melihat gelagat hubungan gelap dengan majikanku.
Ojek mobil online mulai merambat di jalanan ibukota. Aku menangis harus meninggalkan Reno yang sebenarnya aku cintai. Namun, pak Pramono juga begitu sayang kepadaku.
Lega rasanya, sudah di rumah sendiri. Rumah baru yang di belikan pak Pramono. Inilah awal mula aku harus mulai hidup sendiri dan mandiri tanpa ada gaji lagi.
Untungnya aku pandai menabung, masih lumayan banyak uang tabunganku dari hasil gaji dan uang yang kerap dikasih pak Pramono dan Reno untuk mulai membiayai diri sendiri.
Setelah, agak tenang hati, aku akan mencoba membuka usaha kecil-kecilan. Entah usaha apa nanti! Jualan gorengan pun gak masalah, yang penting ada pemasukan.
Aku yakin, Reno pasti mencari-cari aku. Sebab aku pergi tanpa pamit. Untuk sementara aku berdiam diri di rumah.
Untuk perhatian dan kasih sayang aku mendapatkankannya dari pak Pramono yang sering datang menjengukku.
Ia kalau datang pasti membawakanku bahan-bahan makanan, pakaian dan uang tentunya.
Hingga hidupku betul-betul berlimpah uang dan kebahagiaan lahir dan batin meski dengan merebut suami orang. Uffhh! Sadis sekali aku memang!
Meski hidupku dibiayai pak Pramono, bukan berarti aku ingin ongkang-ongkang kaki. Aku nanti harus punya penghasilan sendiri biar tidak tergantung dengan pak Pramono.
Sebab, kita tidak tahu jalan hidup ke depan. Saat ini kita berlimpah uang bisa jadi, beberapa tahun kemudian kita terpuruk.
Ah, tidak! Jangan sampai itu terjadi lagi padaku. Sudah cukup lama aku menderita tanpa uang. Apalagi aku bakal memiliki anak yang butuh biaya! Jadi aku harus sedia payung sebelum hujan. Begitu tekadku!
Hingga pada waktu itu, aku sedang di pusat perbelanjaan untuk membeli keperluan rumah dan beberapa tambahan untuk persiapan calon bayiku kelak."Hei, Rini? Kamu kemana saja, sungguh! Selama ini aku mencari-cari kamu," sapa seorang pemuda gagah yang tiba-tiba berada di sampingku sambil lekat memandang wajahku yang cantik berbinar. Mungkin karena jabang bayiku yang dalam kandungan berjenis kelamin perempuan jadi membuat wajahku tampak besinar cerah.
Degg!!
Aku terkejut bukan main, bak melihat bayangan hantu. Yah! Memang sosok itu yang selama ini terus aku hindari bak menghindari bertemu hantu.
Bagiku ia memang seperti hantu, hantu yang tampan rupawan dan hartawan yang selama ini aku hindari.
Takut? Yah, aku takut bertemu dengannya.
Kenapa, takut? Pasti! Karena perutku sudah kelihatan membesar.
Jika bertemu dengannya otomatis dia akan bertanya, "ini anak siapa dalam kandunganmu?" Itu pasti! Tentu aku bingung menjawabnya, sebab biar bagaimanapun dia juga kerap melakukan denganku.
Namun, yang jadi permasalahan adalah sebelumnya aku lebih sering berhubungan dengan ayahnya. Aku yakin anak yang aku kandung adalah anak ayahnya.
Kini apa yang aku takutkan terjadi juga, "perutmu besar, kamu hamil?" tanya pemuda rupawan itu sambil dengan seksama memandangi perutku dan aku sendiri memakai baju model daster meski daster modis yang tidak malu-maluin bila untuk dipakai jalan-jalan.
Aku makin panik mendapat pertanyaan tersebut. Siapa tidak panik coba? Dia pasti akan menyangka ini adalah anak hasil hubunganku dengannya waktu aku masih bekerja di rumahnya.
Aku terdiam sambil menunduk, tidak berani menjawab. Kemudian aku berlalu dari hadapannya tanpa berkata sepatah katapun.
Namun, duh! Kenapa ia mengejarku dan terus menanyakan tentang perutku yang jelas tampak sedang mengandung.
"Katakan padaku, Rini! Apakah ini anak aku?" Duh! Ini yang aku khawatirkan, dia pasti akan berprasangka ini anaknya.
"Bukan, Mas," ucapku sambil tetap berjalan menuju toko perlengkapan anak bayi.
"Terus, ini anak siapa? bukankah kita, pernah ...." Aku memotong perkataannya, "sekali lagi bukan, Mas," ucapku tegas sambil menatap wajahnya yang penuh tanda tanya.
"Tidak, jika aku melihat besarnya perutmu, ini sekitar berusia lima atau enam bulan. Dan jika aku hitung itu hampir sama usianya dengan waktu kita pernah melakukannya," ucapnya memelas meminta pengakuanku.
"Bukan, Mas, tapi kalaupun iya, mas mau apa?"
"Aku akan bertanggung jawab, aku akan menikahimu," ucapnya berusaha meyakinkanku.
"Maaf, Mas, tapi ini bukan anak kamu. Aku berharap kita melupakan yang pernah terjadi antara kita. Aku bukan wanita yang baik buatmu. Mas lebih layak mendapat wanita yang baik dan lebih cantik dariku. Lihatlah mas, banyak wanita cantik di sini. Kenapa harus aku, Mas?"
"Aku tidak bisa melupakan kejadian-kejadian antara kita, Rini. Jika memang ini anakku, aku pastikan akan menjadi ayahnya," ucapnya mengharap, "ataukah kamu sudah menikah lagi?" lanjutnya bertanya.
"Mas, tolong, lupakan aku, Mas!" ucapku dengan sewot. Sebenarnya aku tidak tega bersikap sewot seperti itu padanya. Tapi aku kasihan kepadanya jika ia mengetahui ternyata ini anak ayahnya sendiri.
"Tidak bisa Rini," tegasnya sambil meraih tanganku.
Aku kemudian menghempaskan tangannya lalu berjalan cepat meninggalkannya yang masih berdiri terpaku penuh tanda tanya.
Kulihat ia hendak mengejarku. Aku berbalik arah dan tanganku ku kuarahkan padanya dengan melebarkan telapak tangan.
"Stop! Jangan berharap sama aku, Mas! Aku sudah melupakan semuanya. Makanya aku tidak lagi bekerja di rumahmu." Mataku berkaca-kaca. Reno terdiam lalu ia mengalah dengan membalikkan badannya.
Aku bergegas menuju parkiran mobil sambil sesekali melihat ke belakang takut ia masih mengikuti dibelakangku dan mengetahui mobilku terus mengikutinya, 'kan, gawat!
Busyet! Jangan sampai ia tahu rumahku! Jika tahu bisa berabe! Pasti ia akan mengawasiku dan lambat laun akan mengetahui ayahnya sering datang ke rumahku. Gila! Jangan sampai itu terjadi, jangan! Oh, tidak!
Didepan kemudi aku menekan pedal gas secara perlahan sambil mengawasi kendaraan di belakangku. Aku hafal mobil Reno. jadi jika ia mengikutiku aku pasti tahu. Pokoknya jangan sampai ia tahu tempat tinggalku.
Dalam mobil aku berfikir keras, akhirnya aku berinisiatif untuk mutar-mutar di kota Jakarta dahulu untuk memastikan Reno tidak membuntuti mobilku.
Sampai di gerbang perumahan elitku itupun tidak langsung masuk, aku berlalu saja sambil melihat situasi benar-benar aman bahwa Reno tidak mengikutiku.
Lelah! Pasti, lelah sekali berputar-putar kota, apalagi aku dalam keadaan hamil cukup besar. Tapi demi untuk menutupi rahasia terbesar dalam hidupku aku rela melakukannya.
Setidaknya aku tidak ingin ia mengetahuinya dalam waktu dekat ini. Sebab ia belum menikah! Aku tidak mau menyakitinya terlalu dalam.
Meski aku sadar cepat atau lambat semua akan terkuak. Namun, jangan sekarang! Aku menunggu ia menikah dengan wanita lain baru boleh ia mengetahui rahasia terbesarku bersama ayahnya.
Jika ia mengetahui saat ini, aku takut terjadi trauma mendalam padanya. Ketidakpercayaannya pada setiap wanita. Aku khawatir ia jadi lajang tua Karena perselingkuhan ini.
Jangan sampai, biar bagaimanapun aku juga mencintainya, aku tak ingin menyakiti terlalu dalam.
Seandainya waktu itu pak Pramono tidak menodaiku, tentu aku akan lebih memilihnya. Namun, semua semua sudah terjadi, dan pak Pramono juga bertanggung jawab terhadapku meski sebenarnya aku lebih mencintai anaknya.
Aku mencintai Reno bukan berarti aku setengah hati menerima pak Pramono. Aku juga sadar jika aku sudah terlalu jauh berhubungan dengan pak Pramono yang membuatku perlahan menerimanya.
Aku menerima kasih sayangnya karena ia orang yang sangat tanggung jawab dan penuh kasih sayang, juga sangat perhatian.
Perhatiannya juga kadang berlebihan, tapi aku anggap itu sebagai wujud tanggung jawabnya terhadapku. Meski aku tidak tahu apakah pak Pramono mencintaiku atau tidak, karena hingga begitu lama kami berhubungan ia tak pernah mengungkapkan rasa cintanya kepadaku.
Tapi aku sadar, cinta pak Pramono sudah diberikan kepada Bu Rosalinda. Sebagai pelakor aku hanya berharap kasih sayangnya saja. Mungkin itu sudah cukup. Kecuali jika Bu Rosalinda meninggal. Eh! Aku kok jadi berharap Bu Rosalinda cepat meninggal, jahat sekali aku! Huuff!
Hari-hari aku lalui di dalam rumah baruku. Jarang aku keluar rumah kecuali penting sekali. Aku takut bertemu kembali dengan Reno. Yah! Takut sekali, sebab dia pasti akan mempertanyakan tentang anak yang aku kandung.Untuk keperluan biaya hidup pak Pramono kerap datang ke rumah membawa belanjaan dan uang."Rini, beberapa hari ke depan kemungkinan bapak tidak bisa ke sini, rencananya mau ke Singapura mau konsultasi masalah kesehatan ibu. Gak apa-apa, kan?" tanya pak Pramono suatu ketika di sore itu."Tidak apa-apa, Pak! Rini maklum, Bapak juga punya tanggung jawab kepada ibu," ucapku sambil tersenyum."Sebelum bapak pergi, bapak mau mengajak kamu ke dokter kandungan setelah itu kita belanja untuk keperluan kamu ke depan," ucapnya."Di mana Pak?""Ke dokter sekitar sini saja, setelah itu ke supermarket, nanti kamu yang memilih sayuran dan buah-buahan apa yang kamu inginkan, Bapak kan tidak tahu," ucapnya"Baik, Pak.""Hayukk."Aku segera mengikuti langkahnya menuju carport di mana mobiln
Sudah lebih satu Minggu pak Pramono tidak datang menjengukku, biasanya tiga atau empat hari dia pasti datang. Ini sudah hampir sepuluh hari. Ah! Mungkin masih di Singapura. Ingin aku bertanya melalu panggilan telepon. Namun, tidak berani. Entah kenapa, aku kepada pak Pramono terlalu segan. Mungkin karena kewibawaannya atau pembawaannya yang cool layaknya para pemimpin.Akhirnya aku mencoba menunggu saja kabar darinya atau menunggu kedatangannya. Namun, hingga berhari-hari tidak ada kabarnya meski hanya melalui SMS atau WhatsApp.Aku pun bertanya-tanya, apa yang terjadi dengannya kenapa tidak ada kabar? Kekhawatiranku semakin menjadi ketika sudah beberapa minggu tidak juga kunjung ada kabar, apalagi datang.Tetiba aku di kagetkan dengan adanya suara mobil berhenti di carport kemudian tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu di ruang tamu.Kubuka pintunya.Degg!Begitu kagetnya aku, dihadapanku sudah berdiri seorang pemuda tampan yang tidak asing lagi bagiku.Pemuda yang pern
Hari-hari menunggu kelahiran si jabang bayi di rumah sakit, aku hanya menghadapi sendiri tanpa sanak saudara menemaniku. Tanpa siapapun mensuportku. Tanpa seorangpun memperhatikanku. Tanpa siapapun yang membuatku tersenyum. Tanpa seorangpun menguatkanku. Hampa! Yah, hampa hidupku saat itu. Merasa jadi orang yang tidak memilki arti.Kecuali Reno yang setiap sore ia datang menjengukku meski tanpa berbicara sepatah katapun. Ia hanya melihat dan memandangiku. Ia hanya menunggui di pojok kamar rumah sakit. Selepas itu ia pergi.Aku tidak tahu apa yang dalam pikirannya. Apakah kasihan kepadaku?Aneh! Padahal sudah aku tegaskan bahwa ini bukan anaknya. Namun, aku pun tak ingin menanyakannya. Biar dia saja yang tahu apa maksud dia tiap hari menjengukku. Aku sudah sangat merasa bersalah sekali kepadanya. Tidak berani menyapa dia duluan apalagi mempertanyakan maksudnya. Tidak! Aku malu, aku menyesal! Sangat menyesal!Biar! Biarlah seperti ini saja hingga si jabang bayi ini keluar. Setelah ini,
Perlahan aku merintis usaha toko sembako di rumah yang aku beli dari separuh hasil penjualan rumah di Jakarta.Aku merencanakan sendiri segala sesuatunya. Baik mulai mempersiapkan tempat, belanja barang, promosi dan lain sebagainya. Tiap pagi sekali aku mengajak Naomi ke pasar induk untuk belanja sayuran yang aku jual di warungku. Untuk isi warung sudah ada agen yang rutin datang menawarkan dagangannya. Jadi tidak susah-susah lagi belanja.Aku terkadang kasihan sama Naomi, harus ikut ke pasar desak-desakan. Namun, tidak mungkin juga aku tinggal di rumah sendirian.Selain membuka toko sembako, aku juga menyewa sebuah ruko untuk membuka usaha agen ekspedisi. Dengan begitu aku memiliki dua penghasilan yang bisa menopang kehidupanku bersama Naomi ke depannya.Susah payah, jatuh bangun aku merintis usaha ini. Begitu banyak suka dukanya, yah! Membuka usaha memang tak segampang melihat orang yang sudah sukses.Mereka bisa mencapai kesuksesan dengan usaha tanpa putus asa. Tapi semua kujalani
"Rini, anak kamu sudah besar, tak menyangka aku bertemu kamu disini," pria itu berdiri. Ia lalu memalingkan wajahnya ke arahku."Bagaimana, Mas bisa ada di sini?" Dengan wajah terpelongo aku bertanya seolah aku seperti mimpi bisa bertemu dengan seorang yang aku hindari selama ini."Aku kan memiliki cabang perusahaan disini?" ucapnya, "Kenapa kamu pergi tanpa memberitahu. Selama ini aku mencari-cari kamu. Rumahmu selalu kosong, dan terakhir sudah dihuni orang lain." ucapnya sambil mendekat ke arahku membuat jantungku berdetak. Perasaan yang selama ini berusaha kupadamkan harus tersulut kembali.Aku kemudian mendekati Naomi dan meraih tangannya."Iya, karena aku punya kehidupan lain, Mas," ucapku singkat."Aku tahu Noami belum punya ayah hingga sekarang. Buktinya kamu hanya berdua," ucapnya sambil mendekati Naomi."Ayahnya sedang merantau, Mas," jawabku bohong."Dari matamu aku tahu kamu bohong," jawabnya yakin."Bagaimana mas tahu aku di sini?" tanyaku."Aku sedang duduk di cafe depan.
POV RENONaomi ... Anak yang lucu, cantik, menggemaskan. Pipinya yang cubby selalu ingin aku mencium dan mencowelnya. Aku yakin dia itu anakku. Cuma Rini saja yang menyembunyikannya dariku.Saat dekat Naomi, aku merasakan getar-getar jika ia adalah anakku. Perasaanku tidak akan salah. Wajahnya pun mirip denganku.Aku harus cari cara agar aku bisa sesering mungkin bertemu dengannya. Jika begitu aku akan cari tempat usaha baru yang berada di daerah Cirebon. Agar aku punya alasan sering ke sana. Yah! Itu jalan satu-satunya.Bagaimana tidak aku selalu merindukan Naomi. Di sini sunyi tidak ada bayi. Istriku pun tak kunjung memberikan aku keturunan. Padahal sudah dipastikan dokter aku subur! Kalau Dona ku ajak periksa pasti selalu mengelak dengan berbagai alasan. Aku curiga justru dia yang tidak bisa memberikanku keturunan.Aku juga harus cari cara untuk membuktikan bahwa dia subur atau tidak! Tapi bagaimana caranya, yah?"Pa ....!""Papa ....!""Papaaa ....!""Eh, iya, Ma, ada apa? Nga
POV RENO"Hhmmm, hmmmm!" Tiba-tiba terdengar suara dehem dari belakang. Aku menoleh! Dan memalingkan wajahku ke asal suara deheman tersebut. Sedangkan Naomi masih bergelayut memeluk tubuhku sambil memegang bukunya.Aku palingkan wajahku, rupanya Rini sudah berdiri di belakangku."Eh, Rini ... tenang sudah selesai tugasnya Naomi. Kamu fokus saja jualin pelanggan tuh!" ucapku sambil cengar-cengir."Awas, yah! Jangan kamu ajarin nulis yang tidak-tidak. Sini Rini liat tulisannya," ucap Rini masih dengan nada kesal. Namun tidak sekesal tadi. Mungkin udah sedikit mereda emosinya. Asyik!"Naomi, sini mama lihat tulisannya. Bagus tidak tulisannya," ucap Rini dengan lembut dan penuh kasih sayang. Yah! Rini memang tampak begitu sayang kepada Naomi. Wajahnya teduh kalau bicara sama dia. Meskipun tadi ia emosi, tapi gak menakutkan emosinya. Tidak meledak-ledak kayak setan di siang bolong. Meski marah gak seram kaya macan ompong! Upps! Kok macan ompong, sih! Kaya si anu. Hadeeuuh!!Terlihat Naomi
POV DONA"Ma, Papa keluar sebentar, Yah, mau nemuin teman. Mama tunggu saja di sini. Sebentar, kok!" ucap Reno ketika kami duduk bersama teman-teman sosialitaku di cafe Cirebon saat aku mau ingin mencari tempat buka usaha butik. Tapi rencananya bukan yang kelola. Aku serahkan pengelolaan kepada teman-teman sosialita yang ada di Cirebon. Aku itu jadi boss saja."Teman siapa sih, Pa? Mama ikut," pintaku."Kalau Mama ikut, siapa yang nemenin temen-temen Mama di sini. Lagian papa kan gak guna ikut gabung dengan teman-teman sosialita Mama. Sebentar saja kok!" ucap Reno."Ya sudah, jangan lama-lama." Tanpa menjawab Reno langsung keluar kafe menuju resto bernuansa pedesaan di seberang cafe tempat aku dan teman-teman kongkow-kongkow membicarakan segala hal sambil cekikikan.Sudah beberapa puluh menit, Reno belum juga muncul. Lama banget!"Jeng, saya tinggal bentar yah, mau cari suamiku dulu. Dari tadi gak muncul-muncul. Takut tersesat di sini."Takut tersesat ke hati wanita lain, yah?" goda s