Sudah lebih satu Minggu pak Pramono tidak datang menjengukku, biasanya tiga atau empat hari dia pasti datang. Ini sudah hampir sepuluh hari. Ah! Mungkin masih di Singapura.
Ingin aku bertanya melalu panggilan telepon. Namun, tidak berani. Entah kenapa, aku kepada pak Pramono terlalu segan. Mungkin karena kewibawaannya atau pembawaannya yang cool layaknya para pemimpin.
Akhirnya aku mencoba menunggu saja kabar darinya atau menunggu kedatangannya.
Namun, hingga berhari-hari tidak ada kabarnya meski hanya melalui SMS atau W******p.
Aku pun bertanya-tanya, apa yang terjadi dengannya kenapa tidak ada kabar? Kekhawatiranku semakin menjadi ketika sudah beberapa minggu tidak juga kunjung ada kabar, apalagi datang.
Tetiba aku di kagetkan dengan adanya suara mobil berhenti di carport kemudian tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu di ruang tamu.
Kubuka pintunya.
Degg!
Begitu kagetnya aku, dihadapanku sudah berdiri seorang pemuda tampan yang tidak asing lagi bagiku.
Pemuda yang pernah mengisi hari-hari dan malamku.
Ia menenteng sebuah tas kerja, memakai kemeja warna hitam. Tampak semakin menambah ketampanan dan ke-cool-an dia.
"Bolehkah aku masuk?" tanya pemuda itu tanpa senyum. Padahal ia yang ku kenal selalu tersenyum bila bertemu denganku.
"M-m-mas Reno, bagaimana bisa Mas tahu aku di sini?" Aku tergagap bercampur kaget, campur takut seperti ketakutanku bertemu hantu. Iyah! Dia hantu bagiku yang harus aku hindari. Namun, kini malah di depan pintu rumahku.
"Boleh aku masuk?" tanyanya lagi tanpa menjawab pertanyaanku.
"S-s-silahkan Mas," ucapku masih gugup. Gugup karena pasti akan terjadi hal besar nantinya. Jangan-jangan ia mengetahui hubunganku dengan dengan pak Pramono. Duuuuh ... bagaimana ini?
Aku berjalan memasuki ruang tamu sambil memegangi perutku yang sudah sangat besar. Yah! Umur kandunganku sudah berusia jalan 9 bulan, mungkin sebentar lagi akan melahirkan.
"Perutmu semakin besar. Aku kira sebentar lagi akan melahirkan," tanya dia setelah duduk di sofa tamu berhadapan denganku.
"Iya," ucapku sambil mengelus perutku, aku menunduk tak mampu menatap tatapan matanya.
"Aku tahu rumahmu, setelah aku melihatmu kemarin sedang belanja. Aku mengikutimu sampai di sini tanpa sepengetahuanmu, maafkan aku," ucap pemuda itu.
Tuh, kan? Akhirnya ia pernah mengikutiku! Apakah ia pernah mengikuti ku juga saat bersama pak Pramono? Tapi ah!! bukankah beberapa minggu ini ia tak ke sini? Mana mungkin dia tahu!
Hatiku bergolak! Menggelegak! Jangan-jangan ia ingin menyampaikan kabar buruk.
Hatiku semakin berdebar, apakah ia tahu hubunganku dengan papanya. Apakah ketidakhadiran pak Pramono beberapa Minggu ini karena ketahuan. Duh! Gimana ini?!
Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah plastik kresek hitam.
"Aku mau memberikan sesuatu kepadamu," ucap pemuda itu kembali.
"Memberikan apa?" ucapku dengan jantung berdegup kencang. Aku sudah mulai membaca bahwa ada sesuatu yang terjadi.
"Ini ada uang untuk biaya persalinan anakmu nanti." ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Syukurlah, ternyata bukan hal besar! Hatiku kembali mulai normal degub jantungnya.
"Mm-- maaf, Mas, aku tidak bisa menerimanya" jawabku lagi dengan pikiran berkecamuk.
"Tolong terimalah, Rini," ucapnya tatap penuh harap.
"Maaf, Mas, Ibu Rosalinda lebih membutuhkan karena ia dalam keadaan sakit juga," ucapku berusaha menolak.
"Mama keadaannya semakin membaik. Sekarang dirawat di rumah sakit Singapura. Papa sekarang yang menunggui mama di sana beberapa minggu ini," jelasnya. Oh, pantes pak Pramono tidak datang-datang, ternyata ia ada di Singapura.
Pikiranku bimbang antara menerima atau tidak. Jika aku menerima, itu sama halnya aku mengakui bahwa anak yang dikandung ini anaknya. Ah! Bagaimana dengan pak Pramono, nanti?
Diantara rasa bimbang dan dilemaku. Tiba-tiba perutku sakit dan mulas.
Aku mengerang kesakitan di depan Reno yang sedang bicara namun aku sudah tidak konsentrasi lagi, ntah apa yang sedang ia bicarakan.
"Kamu kenapa, Rini? Perutmu sakit." Aku tak menjawabnya, aku hanya bisa mengerang. Keringat mulai bercucuran di dahiku.
Kepalaku juga pusing, duniawi serasa berputar. Aku tidak tahu apa-apa, yang aku rasakan ada yang membopongku ke sebuah mobil. Kemudian di atas ranjang beroda. Memasuki lorong-lorong berwarna putih.
Hingga ketika aku sudah sepenuhnya membaik. Tetiba aku sudah berada di atas tempat tidur dengan sprei berwarna putih. Ruangannya berwarna putih, di tangan kiriku terpasang selang yang menjulur keatas menyambung dengan kantong plastik berisi cairan bening.
Kulihat beberapa sosok berpakaiannya putih sedang disampingku. Di pojok ruangan ada seorang pemuda berbaju hitam seperti sedang gelisah.
"Anda banyak fikiran, hingga si jabang bayi bereaksi hebat. Disamping itu, usia kandungan ibu sudah mendekati hari kelahiran. Jadi untuk sementara, ibu melakukan rawat inap di sini sampai ibu melahirkan," seorang wanita berpakaian jas warna putih di dampingi beberapa wanita berpakaian putih menjelaskan kepadaku tentang keadaanku.
"Baiklah, Dok, mungkin waktunya sudah dekat. Saya ikuti saran dokter untuk melakukan rawat inap di sini," ucapku meyakinkan. Mataku kembali berkaca-kaca. Sebentar lagi anak ini lahir. Tapi ayahnya tidak bisa di sini. Siapa yang mau menunggui aku di sini? Siapa yang memperhatikanku selama di sini? Memberi tahu keluarga, rasanya malu! Duh, begini amat perjalanan hidupku, yah? Gumamku gundah gulana.
Inilah resiko jadi pelakor yang hamil! Berat! Melalui hari-hari melahirkan sendiri!
Padahal orang yang hamil itu butuh pendampingan dari seseorang.Seseorang yang memperhatikan dengan tulus.Orang yang selalu menghawatirkan keadaannya.Orang yang disampingnya disaat-saat butuh pegangan. Namun, nasibku jadi pelakor! Harus rela berjuang sendiri. Ihiks!Aku melirik ke sosok pria yang berdiri dipojokan. Mungkin cuma dia yang masih setia mendampinginya. Namun, aku tidak mungkin menerima sementara ayahnya juga ayah bayi ini.Seandainya dia tahu ini anak siapa, tentu ia tidak sudi menungguiku seperti ini. Biarlah, rahasia ini akan aku simpan rapat-rapat.
Jikapun pak Pramono tidak menikahiku. Aku mau memendam rahasianya ini dalam-dalam kepadanya.
Aku tidak tega menyakitinya.
Lihatlah, dia begitu baik. Aku saja yang jahat! Kenapa mengikuti kemauan nafsu birahi pak Pramono? Huh!Aku saja yang tidak tahu diri. Kenapa orang sebaik dan setampan dia dilewatkan begitu saja!Menyesal? Tentu!
Tapi tidak berguna penyesalan itu.Huff!!Bodohnya aku!Hari-hari menunggu kelahiran si jabang bayi di rumah sakit, aku hanya menghadapi sendiri tanpa sanak saudara menemaniku. Tanpa siapapun mensuportku. Tanpa seorangpun memperhatikanku. Tanpa siapapun yang membuatku tersenyum. Tanpa seorangpun menguatkanku. Hampa! Yah, hampa hidupku saat itu. Merasa jadi orang yang tidak memilki arti.Kecuali Reno yang setiap sore ia datang menjengukku meski tanpa berbicara sepatah katapun. Ia hanya melihat dan memandangiku. Ia hanya menunggui di pojok kamar rumah sakit. Selepas itu ia pergi.Aku tidak tahu apa yang dalam pikirannya. Apakah kasihan kepadaku?Aneh! Padahal sudah aku tegaskan bahwa ini bukan anaknya. Namun, aku pun tak ingin menanyakannya. Biar dia saja yang tahu apa maksud dia tiap hari menjengukku. Aku sudah sangat merasa bersalah sekali kepadanya. Tidak berani menyapa dia duluan apalagi mempertanyakan maksudnya. Tidak! Aku malu, aku menyesal! Sangat menyesal!Biar! Biarlah seperti ini saja hingga si jabang bayi ini keluar. Setelah ini,
Perlahan aku merintis usaha toko sembako di rumah yang aku beli dari separuh hasil penjualan rumah di Jakarta.Aku merencanakan sendiri segala sesuatunya. Baik mulai mempersiapkan tempat, belanja barang, promosi dan lain sebagainya. Tiap pagi sekali aku mengajak Naomi ke pasar induk untuk belanja sayuran yang aku jual di warungku. Untuk isi warung sudah ada agen yang rutin datang menawarkan dagangannya. Jadi tidak susah-susah lagi belanja.Aku terkadang kasihan sama Naomi, harus ikut ke pasar desak-desakan. Namun, tidak mungkin juga aku tinggal di rumah sendirian.Selain membuka toko sembako, aku juga menyewa sebuah ruko untuk membuka usaha agen ekspedisi. Dengan begitu aku memiliki dua penghasilan yang bisa menopang kehidupanku bersama Naomi ke depannya.Susah payah, jatuh bangun aku merintis usaha ini. Begitu banyak suka dukanya, yah! Membuka usaha memang tak segampang melihat orang yang sudah sukses.Mereka bisa mencapai kesuksesan dengan usaha tanpa putus asa. Tapi semua kujalani
"Rini, anak kamu sudah besar, tak menyangka aku bertemu kamu disini," pria itu berdiri. Ia lalu memalingkan wajahnya ke arahku."Bagaimana, Mas bisa ada di sini?" Dengan wajah terpelongo aku bertanya seolah aku seperti mimpi bisa bertemu dengan seorang yang aku hindari selama ini."Aku kan memiliki cabang perusahaan disini?" ucapnya, "Kenapa kamu pergi tanpa memberitahu. Selama ini aku mencari-cari kamu. Rumahmu selalu kosong, dan terakhir sudah dihuni orang lain." ucapnya sambil mendekat ke arahku membuat jantungku berdetak. Perasaan yang selama ini berusaha kupadamkan harus tersulut kembali.Aku kemudian mendekati Naomi dan meraih tangannya."Iya, karena aku punya kehidupan lain, Mas," ucapku singkat."Aku tahu Noami belum punya ayah hingga sekarang. Buktinya kamu hanya berdua," ucapnya sambil mendekati Naomi."Ayahnya sedang merantau, Mas," jawabku bohong."Dari matamu aku tahu kamu bohong," jawabnya yakin."Bagaimana mas tahu aku di sini?" tanyaku."Aku sedang duduk di cafe depan.
POV RENONaomi ... Anak yang lucu, cantik, menggemaskan. Pipinya yang cubby selalu ingin aku mencium dan mencowelnya. Aku yakin dia itu anakku. Cuma Rini saja yang menyembunyikannya dariku.Saat dekat Naomi, aku merasakan getar-getar jika ia adalah anakku. Perasaanku tidak akan salah. Wajahnya pun mirip denganku.Aku harus cari cara agar aku bisa sesering mungkin bertemu dengannya. Jika begitu aku akan cari tempat usaha baru yang berada di daerah Cirebon. Agar aku punya alasan sering ke sana. Yah! Itu jalan satu-satunya.Bagaimana tidak aku selalu merindukan Naomi. Di sini sunyi tidak ada bayi. Istriku pun tak kunjung memberikan aku keturunan. Padahal sudah dipastikan dokter aku subur! Kalau Dona ku ajak periksa pasti selalu mengelak dengan berbagai alasan. Aku curiga justru dia yang tidak bisa memberikanku keturunan.Aku juga harus cari cara untuk membuktikan bahwa dia subur atau tidak! Tapi bagaimana caranya, yah?"Pa ....!""Papa ....!""Papaaa ....!""Eh, iya, Ma, ada apa? Nga
POV RENO"Hhmmm, hmmmm!" Tiba-tiba terdengar suara dehem dari belakang. Aku menoleh! Dan memalingkan wajahku ke asal suara deheman tersebut. Sedangkan Naomi masih bergelayut memeluk tubuhku sambil memegang bukunya.Aku palingkan wajahku, rupanya Rini sudah berdiri di belakangku."Eh, Rini ... tenang sudah selesai tugasnya Naomi. Kamu fokus saja jualin pelanggan tuh!" ucapku sambil cengar-cengir."Awas, yah! Jangan kamu ajarin nulis yang tidak-tidak. Sini Rini liat tulisannya," ucap Rini masih dengan nada kesal. Namun tidak sekesal tadi. Mungkin udah sedikit mereda emosinya. Asyik!"Naomi, sini mama lihat tulisannya. Bagus tidak tulisannya," ucap Rini dengan lembut dan penuh kasih sayang. Yah! Rini memang tampak begitu sayang kepada Naomi. Wajahnya teduh kalau bicara sama dia. Meskipun tadi ia emosi, tapi gak menakutkan emosinya. Tidak meledak-ledak kayak setan di siang bolong. Meski marah gak seram kaya macan ompong! Upps! Kok macan ompong, sih! Kaya si anu. Hadeeuuh!!Terlihat Naomi
POV DONA"Ma, Papa keluar sebentar, Yah, mau nemuin teman. Mama tunggu saja di sini. Sebentar, kok!" ucap Reno ketika kami duduk bersama teman-teman sosialitaku di cafe Cirebon saat aku mau ingin mencari tempat buka usaha butik. Tapi rencananya bukan yang kelola. Aku serahkan pengelolaan kepada teman-teman sosialita yang ada di Cirebon. Aku itu jadi boss saja."Teman siapa sih, Pa? Mama ikut," pintaku."Kalau Mama ikut, siapa yang nemenin temen-temen Mama di sini. Lagian papa kan gak guna ikut gabung dengan teman-teman sosialita Mama. Sebentar saja kok!" ucap Reno."Ya sudah, jangan lama-lama." Tanpa menjawab Reno langsung keluar kafe menuju resto bernuansa pedesaan di seberang cafe tempat aku dan teman-teman kongkow-kongkow membicarakan segala hal sambil cekikikan.Sudah beberapa puluh menit, Reno belum juga muncul. Lama banget!"Jeng, saya tinggal bentar yah, mau cari suamiku dulu. Dari tadi gak muncul-muncul. Takut tersesat di sini."Takut tersesat ke hati wanita lain, yah?" goda s
Selesai menutup toko, gegas aku melajukan mobil pick up-ku menjemput Naomi. Tadi banyak pelanggan antri belanja jadi sedikit terlambat menjemput Naomi. Padahal biasanya sebelum Naomi keluar kelas aku sudah stand by di luar sekolah menjemputnya.Baru setengah jalan, tiba-tiba aku melihat mobil Pajero sport putih. Kulihat didalam ada Naomi. Mobil itu berhenti dan membunyikan klaksonnya.Tin, tiiinnn ...Aku sontak berhenti lalu gegas membelokkan mobilku untuk mengejar mobil Pajero sport putih tersebut.Semakin dekat rumahku, mobil itu berbelok masuk ke halaman rumah.Aku hentikan mobilku persis di samping mobil itu. Oh! Rupanya Reno. Awas! Kamu yah, berani-beraninya menjemput Naomi tanpa izin!Setelah aku keluar, langsung saja aku hampiri dia."Mas! Tolong, mas! Kalau mau jemput izin dulu sama Rini!" sewotku sambil meraih tangan Naomi agar disampingku."Kamu Naomi, jangan mau ikut orang tanpa persetujuan, Mama, Yah! Ingat itu," Aku langsung menegur Naomi bahwa yang ia lakukan salah, iya
POV RENO"Pa, besok mama mau meresmikan butik dan salon mama di Cirebon. Papa ikut, yah?" ucap Dona malam itu setelah aku pulang kerja."Duh, Ma, Papa gak bisa. Ada ketemuan sama klien yang dari perusahaan Jepang itu. Gak mungkin Papa batalkan bisa gagal nanti," ucapku. Ya, memang rencana mau lihat tanah di Cirebon pinggiran kota untuk lokasi pabrik bersama investor dari Jepang tersebut. Dan tentu sekalian mengunjungi Rini dan Naomi."Yah, Papa, gimana sih!" rengek Dona."Mau bagaimana lagi, Ma, ntar minta temenin Papa Pramono sama Mama Rosalinda saja yah," ucapku ngeles. Padahal males banget sih! Kan butik punya dia, ngapain aku ikut segala."Ya, deh, Ntar minta Papa Pramono sama Mama yang nemenin," ucapnya.*****Pagi sekali aku sudah meluncur dengan mobil Jeep Wrangler Rubicon-ku menuju Cirebon, sementara mobil Pajero sport untuk menjemput para utusan investor dari Jepang di hotel HI tempat mereka beristirahat.Akhirnya, bisa juga aku membuat usaha di Cirebon. Semakin dekat dengan