Untuk keperluan biaya hidup pak Pramono kerap datang ke rumah membawa belanjaan dan uang.
"Rini, beberapa hari ke depan kemungkinan bapak tidak bisa ke sini, rencananya mau ke Singapura mau konsultasi masalah kesehatan ibu. Gak apa-apa, kan?" tanya pak Pramono suatu ketika di sore itu.
"Tidak apa-apa, Pak! Rini maklum, Bapak juga punya tanggung jawab kepada ibu," ucapku sambil tersenyum.
"Sebelum bapak pergi, bapak mau mengajak kamu ke dokter kandungan setelah itu kita belanja untuk keperluan kamu ke depan," ucapnya.
"Di mana Pak?"
"Ke dokter sekitar sini saja, setelah itu ke supermarket, nanti kamu yang memilih sayuran dan buah-buahan apa yang kamu inginkan, Bapak kan tidak tahu," ucapnya
"Baik, Pak."
"Hayukk."
Aku segera mengikuti langkahnya menuju carport di mana mobilnya terparkir.
****
Pak Pramono mengarahkan kendaraannya menuju dokter kandungan yang kerap menjadi langganan kami memeriksakan kondisi kandungan.
Setelah itu kami menuju pasar modern yang menyediakan berbagai keperluan sehari-hari. Aku masukkan barang-barang kebutuhan pokok ke dalam troli di temani pak Pramono yang mendorongnya.
Kami benar-benar layaknya suami istri yang sedang berbelanja berdua. Kadang kami sambil mengobrol ringan-ringan.
"Rini, Bapak mau ke toilet dulu yah! Rini tunggu sambil pilih-pilih keperluanmu," ucap pak Pramono. Namun aku melihat matanya jelalatan ke beberapa sudut lorong etalase.
"Iya, Pak, silahkan." Setelah ia menghilang di ujung lorong etalase. Aku kemudian berjalan sambil melihat-lihat etalase.
Aku berhenti di deretan etalase susu ibu dan balita. Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba aku melihat sosok yang sangat aku kenal lekuk tubuhnya. Sosok itu tiba-tiba mendekat dan berada dihadapanku yang sedang menunduk memilih susu. Aku mendongakkan wajahku.
"Rini, jodoh tidak akan kemana, akhirnya kita bertemu di sini," ucapnya tiba-tiba.
Darahku berdesir, terkesiap kaget bukan kepalang. Lalu aku menoleh kesana-kemari takut pak Pramono tiba-tiba juga ikut muncul.
Dimana pak Pramono? apakah ia tahu keberadaannya sehingga cepat-cepat menyingkir.
"Rini, Rini ... kamu kok kayak orang bingung?" ucap sosok tersebut mengagetkanku lagi.
Lalu kuarahkan pandanganku kembali kearah orang yang menyapaku tersebut.
"Mm-- Mas Reno? Mas Reno kok ada di sini, sama siapa?" ucapku tergagap.
"Harusnya aku yang bertanya, kamu sama siapa di sini?" tanya Reno balik.
"Aa-- aku sendirian, Mas," jawabku dengan jantung berdegup kencang.
"Rini, aku minta tolong, jelaskan anak siapa yang kamu kandung?" ucapnya memohon.
"Mas, ini bukan anakmu, Mas. Jadi bukan tanggung jawabmu, Mas," ucapku sambil mengelus perutku yang mulai membuncit.
Terlihat tangan Reno terulur hendak menyentuh perutku. Namun, aku bergeser mundur. Tampak raut kecewa di wajahnya.
Sebenarnya aku tidak tega melihat kekecewaan padanya. Namun, aku juga tidak sampai hati jika saat ini memberitahukan kebenaran yang terjadi.
Aku kemudian pura-pura sibuk memilih barang-barang keperluanku sambil melihat-lihat keberadaan pak Pramono. Takutnya ia tiba-tiba muncul.
Kulihat Reno masih mengikutiku saat aku pura-pura memilih barang-barang di etalase. Aku bingung apa yang harus kulakukan agar ia secepatnya pergi.
Jika ia masih mengikutiku 'kan bisa gawat seandainya tahu aku bersama pak Pramono.
"Hai, kalian ngapain di sini?" ucap seseorang dari belakang yang suaranya sangat aku kenal. Yah, pak Pramono. Berani sekali dia menghampiri aku saat ada Reno? Duh!! Bagaimana ini? Aku aja khawatir bukan main. Ini malah mendekat! Haduh!
Aku Memberanikan diri membalikkan badan melihat ke arah dua sosok yang sudah mulai berdekatan.
"Loh! Papa? Papa kok di sini? Sama siapa, Pa?" Kulihat raut keheranan terpancar dari wajah Reno. Aku hanya diam menunduk tak tahu harus bagaimana. Aku dengarkan dulu pembicaraan mereka.
"Oh, papa lagi cari vitamin buat mama. Papa lihat kalian berdua ada di sini," Rupanya pak Pramono sedang bersandiwara. Aku mulai paham dan nanti akupun harus mengimbangi sandiwara pak Pramono.
"Kenapa Papa gak bilang saja sama Reno. Biar Reno yang belikan, Pa," jawab Reno lugu. Duh! Mas, begitu lugunya kamu, Mas! Aku sebenarnya begitu kasihan terhadapmu. Namun, untuk saat ini jangan dulu deh! kamu mengetahuinya sebelum menikah!
"Eh, Pak Pramono, apa kabar, Pak?" ucapku bersandiwara di depan Reno. Ku tundukan tubuhku berakting hormat.
"Baik, Rini, kamu sama Reno lagi apa di sini?" tanya Pak Pramono melanjutkan sandiwaranya pura-pura tidak tahu.
"Kebetulan saja, Pak, kami berjumpa di sini. Ini Rini lagi belanja keperluan sehari-hari," ucapku mengimbangi sandiwara pak Pramono.
"Sekarang kamu kerja di mana, Rini?"
"Oh, Rini ikut keluarga, Pak. Mereka yang suruh aku berhenti takut terjadi apa-apa dengan si kecil," ucapku bohong. Duh! Maafkan aku nak! Kamu aku ikut sertakan berbohong. Maaf, Nak. Tapi ini demi kita, Nak!
"Reno, ngapain di sini? Bukankah harus ketemu pak Johan klien kita di Cengkareng?" Cecar pak Pramono kepada Reno. Sepertinya Pak Pramono menemukan ide dan menggunakan kekuasaannya agar Reno segera berlalu dari tempat ini.
"Maaf, Pa, tadi Reno ke sini mau cari minyak rambut sama yang lainnya. Eh, ketemu Rini, jadi Reno hampiri Pa! Mau tanya juga kenapa berhenti tiba-tiba. Sekarang Reno jadi tahu, rupanya ia sedang hamil makanya berhenti," ucap Reno dengan lugunya.
Duh! Seandainya kamu tahu, Mas!
"Ya, sudah, sana temui pak Johan, dia klien utama kita jangan sampai ia kecewa!" perintah pak Pramono dengan tegas. Aku hanya bisa menunduk. Tak sanggup memandang wajah Reno dengan raut kecewa.
"Baik, Pa, oh, ya, Rini. Jika butuh bantuan bilang saja sama aku, yah!" ucap Reno sambil memandangi perutku penuh harap.
"Iya, Mas Reno," jawabku singkat saja agar tidak memperpanjang obrolan. Karena aku was-was jika salah satu dari mereka keceplosan bicara.
Reno lalu membalikkan badan menuju kasir dengan sesekali ia menoleh ke arahku. Pak Pramono juga pura-pura ikut beriringan dengan Reno. Mungkin ingin memastikan jika Reno keluar dari pusat perbelanjaan.
Hatiku sedikit lega meski cemas masih menghantui. Karena bisa saja nanti Reno bertahan dan mengikuti kami saat pulang ke rumah. Duh! Runyam!
****
"Rini, percayalah. Selesai anak ini lahir. Bapak akan menikahimu," ucap pak Pramono sambil mengelus perutku. Terlihat ia begitu sayang dengan anak yang aku kandung. Yah! Bisa jadi ia merindukan wangi bayi dalam gendongannya.
"Rini percaya, Pak," ucapku singkat. Entah kenapa dengan pak Pramono tidak bisa bicara lepas seperti saat dengan Reno. Aku bisa bicara lepas dan bahkan tertawa lepas. Mungkin faktor usia yang berbeda tidak jauh dengan Reno. Sedangkan dengan pak Pramono usia kami terpaut sangat jauh.
"Masalah keluarga Bapak, nanti biar Bapak yang mencoba menerangkan kepada mereka. Untuk saat ini, kamu tahu sendiri. Mamanya Reno sedang sakit keras," jelas pak Pramono.
"Rini paham kok, Pak," ucapku. Sebenarnya hatiku teriris, bagaimana tidak. Aku menghianati Bu Rosalinda saat ia sedang sakit. Aku menghianati Reno saat ia sedang penuh harap kepadaku.
Aku memang jahat! Jahat sekali. Namun, semua karena malam nahas itu. Kenapa aku tidak memiliki kekuatan untuk menolak perlakuan pak Pramono.
Harusnya kini aku bisa saja menikah dengan Reno. Pria tampan yang begitu mencintaiku. Walaupun pak Pramono juga begitu perhatian dan sayang kepadaku. Namun, namanya cinta ia tetap ada buat orang yang dicintai, meski raga ini dimiliki orang lain.
Kalaupun aku menolak dua-duanya. Anak yang dalam kandunganku juga butuh kasih sayang seorang ayah, dan pak Pramono begitu tanggung jawab meski sebenarnya Reno juga pasti tanggung jawab jika aku memilihnya.
Namun, jika aku memilih Reno. Apakah pak Pramono mau merestui hubunganku dengannya? Sementara aku dan pak Pramono sudah menjalin hubungan intim.
"Kalaupun tidak aku jelaskan ke keluarga mengenai hubungan kita, toh! Lambat laun mereka suatu saat akan mengetahui. Jadi, alangkah baiknya Bapak memberitahukannya, tapi nunggu waktu yang tepat. Bukan sekarang." ucap Pak Pramono.
Sebisa mungkin, memberitahukannya jika Reno sudah menikah, Pak! Itu kalimat yang ingin kusampaikan, tapi urung. Takut ia curiga mengenai hubunganku dengan Reno.
"Ya, Pak, Rini paham. Memang alangkah baiknya menunggu waktu yang tepat," jawabku.
Pak Pramono tersenyum memamerkan gigi-giginya yang putih dan rapih di usianya yang tak terbilang muda.
****
Selanjutnya, hari-hariku tanpa pak Pramono, karena ia mengantar Bu Rosalinda berobat ke Singapura.Segala kebutuhan hidup sekarang harus keluar sendiri untuk belanja. Baik periksa kandungan maupun belanja kebutuhan pokok.
Aku merasa kesepian, tidak ada satupun yang menemani.
Hampa? Pasti!
Sebejat-bejatnya aku, tetap butuh pendamping hidup, butuh orang yang membelai, butuh kasih sayang dan perhatian. Butuh orang yang mensuport dan gitu-gitu deh.Apalah artinya harta jika tidak ada kasih sayang. Nol! Harta hanya kebahagiaan semu. Tanpa kasih sayang, harta cuma sebagai pelengkap.
Seperti diriku, kesepian.
Sampai kapan aku dalam posisi seperti ini. Kalaupun aku dinikahi pak Pramono, tentu kasih sayang dia juga tidak sepenuhnya untukku.Namun, yah! Resiko jadi pelakor.
Harus rela jika pasangan kita membagi kasih sayangnya dibagi dengan yang lain.Harus rela di depan mata, pasangan kita membagi kemesraannya dengan istri sahnya.
Itu resiko! Kalau tidak mau menanggung resiko seperti itu. Jangan coba-coba jadi pelakor!
Pelakor itu, harus siap dilabrak orang. Harus siap cintanya terbagi. Harus siap pasangan kita meluangkan waktunya lebih banyak dengan keluarganya. Harus siap dimaki-maki jika ketahuan. Jika tidak siap jangan jadi pelakor! Paham.
Aku memaki-maki diriku sendiri didepan kaca. Memandangi tubuhku yang sudah makin kelihatan besar perutnya.
Sudah lebih satu Minggu pak Pramono tidak datang menjengukku, biasanya tiga atau empat hari dia pasti datang. Ini sudah hampir sepuluh hari. Ah! Mungkin masih di Singapura. Ingin aku bertanya melalu panggilan telepon. Namun, tidak berani. Entah kenapa, aku kepada pak Pramono terlalu segan. Mungkin karena kewibawaannya atau pembawaannya yang cool layaknya para pemimpin.Akhirnya aku mencoba menunggu saja kabar darinya atau menunggu kedatangannya. Namun, hingga berhari-hari tidak ada kabarnya meski hanya melalui SMS atau WhatsApp.Aku pun bertanya-tanya, apa yang terjadi dengannya kenapa tidak ada kabar? Kekhawatiranku semakin menjadi ketika sudah beberapa minggu tidak juga kunjung ada kabar, apalagi datang.Tetiba aku di kagetkan dengan adanya suara mobil berhenti di carport kemudian tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu di ruang tamu.Kubuka pintunya.Degg!Begitu kagetnya aku, dihadapanku sudah berdiri seorang pemuda tampan yang tidak asing lagi bagiku.Pemuda yang pern
Hari-hari menunggu kelahiran si jabang bayi di rumah sakit, aku hanya menghadapi sendiri tanpa sanak saudara menemaniku. Tanpa siapapun mensuportku. Tanpa seorangpun memperhatikanku. Tanpa siapapun yang membuatku tersenyum. Tanpa seorangpun menguatkanku. Hampa! Yah, hampa hidupku saat itu. Merasa jadi orang yang tidak memilki arti.Kecuali Reno yang setiap sore ia datang menjengukku meski tanpa berbicara sepatah katapun. Ia hanya melihat dan memandangiku. Ia hanya menunggui di pojok kamar rumah sakit. Selepas itu ia pergi.Aku tidak tahu apa yang dalam pikirannya. Apakah kasihan kepadaku?Aneh! Padahal sudah aku tegaskan bahwa ini bukan anaknya. Namun, aku pun tak ingin menanyakannya. Biar dia saja yang tahu apa maksud dia tiap hari menjengukku. Aku sudah sangat merasa bersalah sekali kepadanya. Tidak berani menyapa dia duluan apalagi mempertanyakan maksudnya. Tidak! Aku malu, aku menyesal! Sangat menyesal!Biar! Biarlah seperti ini saja hingga si jabang bayi ini keluar. Setelah ini,
Perlahan aku merintis usaha toko sembako di rumah yang aku beli dari separuh hasil penjualan rumah di Jakarta.Aku merencanakan sendiri segala sesuatunya. Baik mulai mempersiapkan tempat, belanja barang, promosi dan lain sebagainya. Tiap pagi sekali aku mengajak Naomi ke pasar induk untuk belanja sayuran yang aku jual di warungku. Untuk isi warung sudah ada agen yang rutin datang menawarkan dagangannya. Jadi tidak susah-susah lagi belanja.Aku terkadang kasihan sama Naomi, harus ikut ke pasar desak-desakan. Namun, tidak mungkin juga aku tinggal di rumah sendirian.Selain membuka toko sembako, aku juga menyewa sebuah ruko untuk membuka usaha agen ekspedisi. Dengan begitu aku memiliki dua penghasilan yang bisa menopang kehidupanku bersama Naomi ke depannya.Susah payah, jatuh bangun aku merintis usaha ini. Begitu banyak suka dukanya, yah! Membuka usaha memang tak segampang melihat orang yang sudah sukses.Mereka bisa mencapai kesuksesan dengan usaha tanpa putus asa. Tapi semua kujalani
"Rini, anak kamu sudah besar, tak menyangka aku bertemu kamu disini," pria itu berdiri. Ia lalu memalingkan wajahnya ke arahku."Bagaimana, Mas bisa ada di sini?" Dengan wajah terpelongo aku bertanya seolah aku seperti mimpi bisa bertemu dengan seorang yang aku hindari selama ini."Aku kan memiliki cabang perusahaan disini?" ucapnya, "Kenapa kamu pergi tanpa memberitahu. Selama ini aku mencari-cari kamu. Rumahmu selalu kosong, dan terakhir sudah dihuni orang lain." ucapnya sambil mendekat ke arahku membuat jantungku berdetak. Perasaan yang selama ini berusaha kupadamkan harus tersulut kembali.Aku kemudian mendekati Naomi dan meraih tangannya."Iya, karena aku punya kehidupan lain, Mas," ucapku singkat."Aku tahu Noami belum punya ayah hingga sekarang. Buktinya kamu hanya berdua," ucapnya sambil mendekati Naomi."Ayahnya sedang merantau, Mas," jawabku bohong."Dari matamu aku tahu kamu bohong," jawabnya yakin."Bagaimana mas tahu aku di sini?" tanyaku."Aku sedang duduk di cafe depan.
POV RENONaomi ... Anak yang lucu, cantik, menggemaskan. Pipinya yang cubby selalu ingin aku mencium dan mencowelnya. Aku yakin dia itu anakku. Cuma Rini saja yang menyembunyikannya dariku.Saat dekat Naomi, aku merasakan getar-getar jika ia adalah anakku. Perasaanku tidak akan salah. Wajahnya pun mirip denganku.Aku harus cari cara agar aku bisa sesering mungkin bertemu dengannya. Jika begitu aku akan cari tempat usaha baru yang berada di daerah Cirebon. Agar aku punya alasan sering ke sana. Yah! Itu jalan satu-satunya.Bagaimana tidak aku selalu merindukan Naomi. Di sini sunyi tidak ada bayi. Istriku pun tak kunjung memberikan aku keturunan. Padahal sudah dipastikan dokter aku subur! Kalau Dona ku ajak periksa pasti selalu mengelak dengan berbagai alasan. Aku curiga justru dia yang tidak bisa memberikanku keturunan.Aku juga harus cari cara untuk membuktikan bahwa dia subur atau tidak! Tapi bagaimana caranya, yah?"Pa ....!""Papa ....!""Papaaa ....!""Eh, iya, Ma, ada apa? Nga
POV RENO"Hhmmm, hmmmm!" Tiba-tiba terdengar suara dehem dari belakang. Aku menoleh! Dan memalingkan wajahku ke asal suara deheman tersebut. Sedangkan Naomi masih bergelayut memeluk tubuhku sambil memegang bukunya.Aku palingkan wajahku, rupanya Rini sudah berdiri di belakangku."Eh, Rini ... tenang sudah selesai tugasnya Naomi. Kamu fokus saja jualin pelanggan tuh!" ucapku sambil cengar-cengir."Awas, yah! Jangan kamu ajarin nulis yang tidak-tidak. Sini Rini liat tulisannya," ucap Rini masih dengan nada kesal. Namun tidak sekesal tadi. Mungkin udah sedikit mereda emosinya. Asyik!"Naomi, sini mama lihat tulisannya. Bagus tidak tulisannya," ucap Rini dengan lembut dan penuh kasih sayang. Yah! Rini memang tampak begitu sayang kepada Naomi. Wajahnya teduh kalau bicara sama dia. Meskipun tadi ia emosi, tapi gak menakutkan emosinya. Tidak meledak-ledak kayak setan di siang bolong. Meski marah gak seram kaya macan ompong! Upps! Kok macan ompong, sih! Kaya si anu. Hadeeuuh!!Terlihat Naomi
POV DONA"Ma, Papa keluar sebentar, Yah, mau nemuin teman. Mama tunggu saja di sini. Sebentar, kok!" ucap Reno ketika kami duduk bersama teman-teman sosialitaku di cafe Cirebon saat aku mau ingin mencari tempat buka usaha butik. Tapi rencananya bukan yang kelola. Aku serahkan pengelolaan kepada teman-teman sosialita yang ada di Cirebon. Aku itu jadi boss saja."Teman siapa sih, Pa? Mama ikut," pintaku."Kalau Mama ikut, siapa yang nemenin temen-temen Mama di sini. Lagian papa kan gak guna ikut gabung dengan teman-teman sosialita Mama. Sebentar saja kok!" ucap Reno."Ya sudah, jangan lama-lama." Tanpa menjawab Reno langsung keluar kafe menuju resto bernuansa pedesaan di seberang cafe tempat aku dan teman-teman kongkow-kongkow membicarakan segala hal sambil cekikikan.Sudah beberapa puluh menit, Reno belum juga muncul. Lama banget!"Jeng, saya tinggal bentar yah, mau cari suamiku dulu. Dari tadi gak muncul-muncul. Takut tersesat di sini."Takut tersesat ke hati wanita lain, yah?" goda s
Selesai menutup toko, gegas aku melajukan mobil pick up-ku menjemput Naomi. Tadi banyak pelanggan antri belanja jadi sedikit terlambat menjemput Naomi. Padahal biasanya sebelum Naomi keluar kelas aku sudah stand by di luar sekolah menjemputnya.Baru setengah jalan, tiba-tiba aku melihat mobil Pajero sport putih. Kulihat didalam ada Naomi. Mobil itu berhenti dan membunyikan klaksonnya.Tin, tiiinnn ...Aku sontak berhenti lalu gegas membelokkan mobilku untuk mengejar mobil Pajero sport putih tersebut.Semakin dekat rumahku, mobil itu berbelok masuk ke halaman rumah.Aku hentikan mobilku persis di samping mobil itu. Oh! Rupanya Reno. Awas! Kamu yah, berani-beraninya menjemput Naomi tanpa izin!Setelah aku keluar, langsung saja aku hampiri dia."Mas! Tolong, mas! Kalau mau jemput izin dulu sama Rini!" sewotku sambil meraih tangan Naomi agar disampingku."Kamu Naomi, jangan mau ikut orang tanpa persetujuan, Mama, Yah! Ingat itu," Aku langsung menegur Naomi bahwa yang ia lakukan salah, iya