"Aku malu, Mas, itu kan tempat orang kaya semua. Aku bukan sebanding dengan mereka," jawabku berusaha menolaknya karena memang aku akan mulai menjauh dari hidupnya.
"Siapa bilang kamu gak selevel. Kamu cantik, putih, berpendidikan dan bisa menyesuaikan dikondisi lingkungan manapun lebih tepatnya di ajak susah gak nyusahin, di ajak kaya gak malu-maluin," bujuk Reno.
"Ah, mas, bisa saja. Tapi bener Mas, aku gak percaya diri," ucapku berusaha sebisa mungkin menolaknya.
"Aku sudah membelikan gaun buat kamu pakai loh! Tara ...." Ia mengeluarkan sebuah gaun darai tas kertas yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Sebuah gaun yang mewah dan pasti harganya mahal sekali. Sepasang sepatu hak tinggi yang cantik juga ia pamerkan.
"Gimana? Mau kan? Harus mau, aku sudah susah cari-cari gaun ini tadi. Dan aku sudah tahu ukuran lekuk tubuhmu, ukuran sepatumu. Pasti pas di badan kamu. Kamu coba, yah?" rayu Reno.
"Mas, beneran aku gak percaya diri, loh," ucapku mengelak.
"Coba dulu dong, gaunnya," paksa Reno menempelkan gaun yang ada di tangannya ke badanku.
Dengan terpaksa aku menerima, lalu bergegas masuk kamar, mencoba memakainya berikut sepatunya.
"Wajah, cantik sekali kamu, Rini! Tak salah aku memilih gaunnya," ucap Reno tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarku.
"Iya, tapi aku tetap gak percaya diri ikut ke jamuan pesta pernikahan, loh, Mas, apa kata mereka jika tahu aku cuma pembantu!" ucapku memelas agar dibatalkan untuk mengajakku pergi.
"Jangan mencoba menolak! Lusa siap-siap kita berangkat," ucapnya tanpa menghiraukan penolakanku. Ia kemudian pergi meninggalkanku dalam kamar ditengah kegelisahan.
Pesta pernikahan yang sangat mewah! Di pelaminan terlihat raja dan ratu semalam sedang duduk sambil di foto-foto.
Aku di gandeng tangan oleh Reno mendekati mereka. Sungguh aku sangat grogi. Baru kali ini aku masuk kedalam undangan pernikahan orang-orang kaya yang membuatku insecure.
Saat aku berjalan menuju pelaminan. Perasaanku, semua mata memandang kami berdua. Malu, rasanya!
Namun, Reno Seolah tak perduli. Dengan percaya dirinya ia menggandeng tanganku menemui sepasang pengantin.
"Wah, Pak Reno, cantik sekali pasanganmu. Semoga cepat menyusul kami yah!" ucap pengantin pria kepada Reno. Mereka berjabat tangan dan berpelukan.
"Selamat ya, Pak, atas pernikahannya. Mudah-mudahan aku secepatnya menyusul," ucap Reno sambil sekilas memandangku. Wajahku merah padam karena malu.
"Pasti, pak! Saya doakan menyusul kami," ucap pengantin wanitanya juga kepada Reno sambil tersenyum. Mereka tampak akrab. Mungkin karena rekan bisnis. Aku juga menjabat tangan mereka satu persatu sambil mengucapkan selamat atas pernikahannya, meski sebenarnya aku tidak kenal.
"Cantik sekali, serasi dengan pak Reno," ucap mempelai perempuan sambil memandangku.
"Ah, biasa aja, Mbak," ucapku malu-malu Sebenarnya senang dibilang cantik.
"Iya, dong! Calon istri siapa?" Canda Reno sedikit tergelak. Duh, Mas! Kamu tidak tahu Mas, apa yang aku lakukan di belakangmu. Aku kasihan sama kamu, Mas!
Setelah berbasa-basi sebentar kami turun dari panggung pelaminan raja dan ratu semalam.Disaat itulah mataku tertuju kepada pria memakai jas hitam sedang memperhatikan aku dan Reno.
Oh my God! Pak Pramono!
Aku semakin salah tingkah. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Pak Pramono pasti bertanya-tanya. Apa yang harus aku jawab nanti? Duh! Gawat, gawat!"Papa, sama siapa?" ucap Reno setelah mendekati pak Pramono.
"Sendiri, biar Ryan yang menunggui mama," ucap pak Pramono sambil sesekali menatapku.
"Aku tadi bingung, Pa, mau ngajak siapa kesini, ya udah aku ngajak dia," ucap Reno sambil menunjuk ke arahku yang berdiri di sampingnya. Jantungku semakin berdebar tak karuan. Apa yang akan dikatakan pak Pramono nanti.
"Ya, sudah, gak apa-apa. Papa mau nemui pak Harto dulu, yah, tuh beliau memanggil papa," kilah pak Pramono yang memang dari sorot matanya tergambar rasa cemburu. Namun, memang beliau begitu dewasa sehingga mampu menutupinya dengan sempurna.
"Baik, pa! Aku sama Rini pulang dulu pa, Rini dari tadi minta pulang saja. Gak percaya diri katanya. Padahal, lihat pah, cantik sekali 'kan?" ucap Reno antusias menambah wajah pak Pramono semakin cemburu.
"Iya, ya, sudah hati-hati kalian di jalan." Pak Pramono langsung berlalu dari kami sengan sorot aneh kepadaku. Entah sorot mata benci, marah atau cemburu. Duh! Gawat! Gawat!
"Kenapa kamu diam saja," tanya Reno di dalam mobil saat kami menuju pulang.
"Tidak ada apa-apa, Mas, aku cuma nervous saja tadi," ucapku untuk beralasan.
"Oya, kalau aku perhatikan, kamu agak gemukan apa, yah?" tanya Reno
"Masa sih," ucapku mulai gak enak perasaanku.
"Iya, liat pipimu sedikit tembem, dan perutmu sedikit ndut, tapi pancaran kecantikanmu begitu memukauku," ucap Reno sambil memperhatikanku sambil menyetir.
"Mungkin aku banyak ngemil, Mas," kilahku. Padahal aku gelisah dengan kondisi kandungan yang lambat laun pasti membesar.
Sesampainya di rumah kami istirahat dalam satu kamar setelah mengetahui jika pak Pramono tak kunjung pulang. Mungkin menginap di rumah sakit. Kesempatan itu di gunakan Reno untuk menumpang tidur di kamarku hingga pagi.
***
"Rini!" Panggil pak Pramono siang itu, ketika ia masuk ke dapur. Mungkin habis pulang dari rumah sakit.
"Iy, iya, Pak," ucapku gugup, pasti dia mau menanyakan tentang hubunganku dengan Reno. Gawat!
"Aku perhatikan kamu semakin terlihat berisi badannya, lambat laun semua pasti akan tahu keadaanmu," ucap pak Pramono.
Duh! Syukurlah ia tidak menanyakan kenapa aku pergi bersama Reno ke pesta tadi malam.
"Iya, pak, inilah yang aku khawatirkan." aku menunduk karena pak Pramono memandangku dengan lekat.
"Apakah tidak sebaiknya kamu tinggal di rumah barumu," ucap pak Pramono sambil mendekat ke arahku.
"Itulah yang sedang aku pikirkan, Pak," jawabku sambil pura-pura sibuk dengan masakan untuk menepis rasa grogi.
"Pa! udah pulang?" tanya Reno tiba-tiba muncul ke arah dapur. Aku kaget, kira-kira dia mendengar pembicaraan tadi gak yah!
" Barusan Reno, ini lagi minta sama Rini untuk membuat sayur asem. Sudah lama papa tidak makan pake sayur asem," kilah pak Pramono sambil berjalan mendekati Reno.
"O, kalau begitu, Reno pergi dulu, Pah, mau njenguk mama," ucap Reno. Kulihat ia melirikku sebentar lalu berjalan keluar rumah. Tak lama suara mobilnya terdengar menjauh dari halaman.
"Rini!"
"Iya, pak?"
Pak Pramono masuk lalu perlahan dan mendekat. Setelah itu, ia mendekap dengan erat seolah tidak ingin meninggalkanku.
Beruntung ia tidak bertanya tentang hubunganku dengan Reno. Aku sedikit tenang.
Yang aku pikirkan adalah keadaan kandunganku yang semakin lama pasti semakin besar.
Bab 6Perutku makin membesarAku menyadari makin hari perutku semakin membesar. Sebelum Reno mengetahui bahwa aku hamil. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja di rumah pak Pramono.Tanpa sepengetahuannya aku mengemas barang-barangku. Aku kemudian menemui pak Pramono untuk mengatakan bahwa aku akan tinggal di rumah yang ia berikan untukku.Pak Pramono tentu saja meng-iyakan karena ia tahu bahwa perutku lama kelamaan pasti makin besar."Nanti aku akan mengantarmu," ucap Pak Pramono."Jangan, Pak, aku takut ada yang melihat. Nanti justru akan menimbulkan masalah baru," terangku padanya."Lambat atau cepat, hubungan kita pasti akan ketahuan," jawab pak Pramono. meyakinkanku. Kuakui dia memang pria bertanggung jawab."Terus, bagaimana, Pak?""Aku akan menikahimu," jawab pak Pramono."Tapi, Pak, aku nanti di bilang pelakor," ucapku tanpa mangaku sebagai pelakor, padahal sejatinya aku memang sudah jadi pelakor! Cuma aku saja yang tidak gengsi mengakuinya."Aku akan menikahimu secara
Hari-hari aku lalui di dalam rumah baruku. Jarang aku keluar rumah kecuali penting sekali. Aku takut bertemu kembali dengan Reno. Yah! Takut sekali, sebab dia pasti akan mempertanyakan tentang anak yang aku kandung.Untuk keperluan biaya hidup pak Pramono kerap datang ke rumah membawa belanjaan dan uang."Rini, beberapa hari ke depan kemungkinan bapak tidak bisa ke sini, rencananya mau ke Singapura mau konsultasi masalah kesehatan ibu. Gak apa-apa, kan?" tanya pak Pramono suatu ketika di sore itu."Tidak apa-apa, Pak! Rini maklum, Bapak juga punya tanggung jawab kepada ibu," ucapku sambil tersenyum."Sebelum bapak pergi, bapak mau mengajak kamu ke dokter kandungan setelah itu kita belanja untuk keperluan kamu ke depan," ucapnya."Di mana Pak?""Ke dokter sekitar sini saja, setelah itu ke supermarket, nanti kamu yang memilih sayuran dan buah-buahan apa yang kamu inginkan, Bapak kan tidak tahu," ucapnya"Baik, Pak.""Hayukk."Aku segera mengikuti langkahnya menuju carport di mana mobiln
Sudah lebih satu Minggu pak Pramono tidak datang menjengukku, biasanya tiga atau empat hari dia pasti datang. Ini sudah hampir sepuluh hari. Ah! Mungkin masih di Singapura. Ingin aku bertanya melalu panggilan telepon. Namun, tidak berani. Entah kenapa, aku kepada pak Pramono terlalu segan. Mungkin karena kewibawaannya atau pembawaannya yang cool layaknya para pemimpin.Akhirnya aku mencoba menunggu saja kabar darinya atau menunggu kedatangannya. Namun, hingga berhari-hari tidak ada kabarnya meski hanya melalui SMS atau WhatsApp.Aku pun bertanya-tanya, apa yang terjadi dengannya kenapa tidak ada kabar? Kekhawatiranku semakin menjadi ketika sudah beberapa minggu tidak juga kunjung ada kabar, apalagi datang.Tetiba aku di kagetkan dengan adanya suara mobil berhenti di carport kemudian tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu di ruang tamu.Kubuka pintunya.Degg!Begitu kagetnya aku, dihadapanku sudah berdiri seorang pemuda tampan yang tidak asing lagi bagiku.Pemuda yang pern
Hari-hari menunggu kelahiran si jabang bayi di rumah sakit, aku hanya menghadapi sendiri tanpa sanak saudara menemaniku. Tanpa siapapun mensuportku. Tanpa seorangpun memperhatikanku. Tanpa siapapun yang membuatku tersenyum. Tanpa seorangpun menguatkanku. Hampa! Yah, hampa hidupku saat itu. Merasa jadi orang yang tidak memilki arti.Kecuali Reno yang setiap sore ia datang menjengukku meski tanpa berbicara sepatah katapun. Ia hanya melihat dan memandangiku. Ia hanya menunggui di pojok kamar rumah sakit. Selepas itu ia pergi.Aku tidak tahu apa yang dalam pikirannya. Apakah kasihan kepadaku?Aneh! Padahal sudah aku tegaskan bahwa ini bukan anaknya. Namun, aku pun tak ingin menanyakannya. Biar dia saja yang tahu apa maksud dia tiap hari menjengukku. Aku sudah sangat merasa bersalah sekali kepadanya. Tidak berani menyapa dia duluan apalagi mempertanyakan maksudnya. Tidak! Aku malu, aku menyesal! Sangat menyesal!Biar! Biarlah seperti ini saja hingga si jabang bayi ini keluar. Setelah ini,
Perlahan aku merintis usaha toko sembako di rumah yang aku beli dari separuh hasil penjualan rumah di Jakarta.Aku merencanakan sendiri segala sesuatunya. Baik mulai mempersiapkan tempat, belanja barang, promosi dan lain sebagainya. Tiap pagi sekali aku mengajak Naomi ke pasar induk untuk belanja sayuran yang aku jual di warungku. Untuk isi warung sudah ada agen yang rutin datang menawarkan dagangannya. Jadi tidak susah-susah lagi belanja.Aku terkadang kasihan sama Naomi, harus ikut ke pasar desak-desakan. Namun, tidak mungkin juga aku tinggal di rumah sendirian.Selain membuka toko sembako, aku juga menyewa sebuah ruko untuk membuka usaha agen ekspedisi. Dengan begitu aku memiliki dua penghasilan yang bisa menopang kehidupanku bersama Naomi ke depannya.Susah payah, jatuh bangun aku merintis usaha ini. Begitu banyak suka dukanya, yah! Membuka usaha memang tak segampang melihat orang yang sudah sukses.Mereka bisa mencapai kesuksesan dengan usaha tanpa putus asa. Tapi semua kujalani
"Rini, anak kamu sudah besar, tak menyangka aku bertemu kamu disini," pria itu berdiri. Ia lalu memalingkan wajahnya ke arahku."Bagaimana, Mas bisa ada di sini?" Dengan wajah terpelongo aku bertanya seolah aku seperti mimpi bisa bertemu dengan seorang yang aku hindari selama ini."Aku kan memiliki cabang perusahaan disini?" ucapnya, "Kenapa kamu pergi tanpa memberitahu. Selama ini aku mencari-cari kamu. Rumahmu selalu kosong, dan terakhir sudah dihuni orang lain." ucapnya sambil mendekat ke arahku membuat jantungku berdetak. Perasaan yang selama ini berusaha kupadamkan harus tersulut kembali.Aku kemudian mendekati Naomi dan meraih tangannya."Iya, karena aku punya kehidupan lain, Mas," ucapku singkat."Aku tahu Noami belum punya ayah hingga sekarang. Buktinya kamu hanya berdua," ucapnya sambil mendekati Naomi."Ayahnya sedang merantau, Mas," jawabku bohong."Dari matamu aku tahu kamu bohong," jawabnya yakin."Bagaimana mas tahu aku di sini?" tanyaku."Aku sedang duduk di cafe depan.
POV RENONaomi ... Anak yang lucu, cantik, menggemaskan. Pipinya yang cubby selalu ingin aku mencium dan mencowelnya. Aku yakin dia itu anakku. Cuma Rini saja yang menyembunyikannya dariku.Saat dekat Naomi, aku merasakan getar-getar jika ia adalah anakku. Perasaanku tidak akan salah. Wajahnya pun mirip denganku.Aku harus cari cara agar aku bisa sesering mungkin bertemu dengannya. Jika begitu aku akan cari tempat usaha baru yang berada di daerah Cirebon. Agar aku punya alasan sering ke sana. Yah! Itu jalan satu-satunya.Bagaimana tidak aku selalu merindukan Naomi. Di sini sunyi tidak ada bayi. Istriku pun tak kunjung memberikan aku keturunan. Padahal sudah dipastikan dokter aku subur! Kalau Dona ku ajak periksa pasti selalu mengelak dengan berbagai alasan. Aku curiga justru dia yang tidak bisa memberikanku keturunan.Aku juga harus cari cara untuk membuktikan bahwa dia subur atau tidak! Tapi bagaimana caranya, yah?"Pa ....!""Papa ....!""Papaaa ....!""Eh, iya, Ma, ada apa? Nga
POV RENO"Hhmmm, hmmmm!" Tiba-tiba terdengar suara dehem dari belakang. Aku menoleh! Dan memalingkan wajahku ke asal suara deheman tersebut. Sedangkan Naomi masih bergelayut memeluk tubuhku sambil memegang bukunya.Aku palingkan wajahku, rupanya Rini sudah berdiri di belakangku."Eh, Rini ... tenang sudah selesai tugasnya Naomi. Kamu fokus saja jualin pelanggan tuh!" ucapku sambil cengar-cengir."Awas, yah! Jangan kamu ajarin nulis yang tidak-tidak. Sini Rini liat tulisannya," ucap Rini masih dengan nada kesal. Namun tidak sekesal tadi. Mungkin udah sedikit mereda emosinya. Asyik!"Naomi, sini mama lihat tulisannya. Bagus tidak tulisannya," ucap Rini dengan lembut dan penuh kasih sayang. Yah! Rini memang tampak begitu sayang kepada Naomi. Wajahnya teduh kalau bicara sama dia. Meskipun tadi ia emosi, tapi gak menakutkan emosinya. Tidak meledak-ledak kayak setan di siang bolong. Meski marah gak seram kaya macan ompong! Upps! Kok macan ompong, sih! Kaya si anu. Hadeeuuh!!Terlihat Naomi