Aku terdiam, gak tahu
mau jawab apa. Sehingga aku pura-pura menyibukkan diri dengan urusan dapur yang sebenarnya sudah selesai.Reno masih saja menungguiku duduk di depan meja makan saat aku sedang membereskan perlengkapan dapur, mungkin menunggu jawabanku.
"Reno, hari ini temani mama di rumah sakit, yah! Papa mau istirahat di rumah. Badan papa panas dingin, mungkin kelamaan di rumah sakit jadi terserang virus di sana," ucap Pak Pramono tiba-tiba saja muncul dari luar.
"Baik, Pa," jawab Reno, sambil beranjak dari tempat duduknya di ruang makan dekat dapur. Ia melemparkan pandangannya kepadaku sekilas dengan seulas senyum.
Lega, rasanya. Sebab aku saat itu masih bingung harus jawab apa. Jika aku menerima Reno. Apa kata pak Pramono? Sebab ia sudah mengetahui kelakuanku yang mau saja melayani nafsu bejatnya.
Aku harus segera cari jalan keluar, harus!!
Apakah aku pergi saja dari sini dan tinggal di rumah pemberian pak Pramono? Namun, kalau aku tinggal di sana tentu aku seperti wanita simpanan pak Pramono. Bingung!
Ketika Reno sudah pergi menuju rumah sakit. Tiba-tiba pak Pramono sudah rapat di belakangku yang sedang menghadap kitchen set. Tangannya melingkar di pinggangku.
"Aku bau bawang loh, Pak!" ucapku setengah menolak. Pak Pramono seolah tidak perduli.
Ia membalikkan tubuhku agar berhadapan dengannya.
Aku mulai terlena mendapatkan serangan beruntun. Tanpa memperdulikan aku mau atau tidak.
Perlahan ia memapahku lalu menggendongku seperti anak kecil menuju peraduan di kamar pribadinya.
Hingga ia membuaiku di peraduan menggantikan posisi Bu Rosalinda yang sedang sakit.
*****
"Rini, besok pagi aku akan mengajakmu ke dokter kandungan. Kamu harus memeriksa keadaan perutmu. Aku perhatikan kamu sering muntah-muntah sekarang," ucap pak Pramono.
"Iya, pak," ucapku malu-malu sambil tersenyum antara bahagia dan dilema.
Ternyata pak Pramono cuma pura-pura sakit biar gantian dengan Reno menunggui istrinya di rumah sakit. Yah! Itu hanya alasan dia.
***
Pagi itu, kami berangkat mencari dokter kandungan seperti yang disarankan pak Pramono.
Sebelum ke dokter kandungan, kami mampir ke rumah baru yang pak Pramono berikan kepadaku. Rumahnya di pinggiran ibukota. Namun, termasuk perumahan elit dan harganya pasti di atas satu milyar.
Busyet! Aku bisa juga memiliki rumah dengan harga satu milyar! Apakah ini mimpi? Kucubit tanganku, sakit! Ini nyata!
"Ini simpan baik-baik sertifikatnya. Kapanpun kamu bisa tinggal di rumah ini. Bahkan jika mau, detik ini juga kamu bisa tinggal di sini. Lihat semua perabot dan perlengkapan rumah sudah lengkap, kamu tinggal menempati saja," ucap Pak Pramono sambil menunjukkan seisi rumah yang memang sudah lengkap dengan perabotan serba wah!
Di garasi terlihat sudah terparkir mobil sedan city merah terang keluaran terbaru, warnanya masih kinclong, joknya masih berbalut plastik. Ketika di nyalakan suaranya masih sangat lembut.
"Ini mobil buat kamu, atas nama kamu. Kapan kamu mau pakai. Pakailah. Ini kuncinya dan surat-suratnya," jelas pak Pramono sambil menyerahkan kunci dan surat-suratnya. Kemudian ia mengecup keningku dengan mesra.
Oh, selain rumah mewah, akhirnya kesampaian juga punya mobil. Busyet! Serasa baru dapat undian aku waktu itu.
Namun, bagaimana dengan cintaku kepada Reno? Duh! Dilema aku!
"Iya pak, terima kasih banyak, Bapak begitu baik terhadapku," ucapku dengan isi hati tak karuan bahagianya. Karena aku tidak bakalan terlunta-lunta lagi di jalanan ibu kota jika aku tidak bekerja lagi karena sudah memiliki rumah dan mobil atas namaku.
Uang pemberian pak Pramono selama ini juga sudah terkumpul banyak karena aku tidak mempergunakannya untuk jajan dan foya-foya. Paling buat ngirimin emak jika butuh uang. Uang tabungan itu rencananya mau buat modal usaha impianku. Yakni membuka sebuah toko sembako.
Kunci rumah dan mobil, seluruhnya diberikan kepadaku, sebagai tanda bahwa aku pemilik sah rumah dan mobil saat itu, bukan pak Pramono lagi meski ia yang membelikannya. Sebab semua atas namaku dan surat-suratnya juga sudah ada padaku.
"***
Pak Pramono meluncurkan mobil yang di kendarainya menuju praktek dokter kandungan di sekitar wilayah tersebut.
"Selamat, istri bapak positif hamil, sudah berjalan dua bulan." ucap dokter tersebut setelah memeriksa kandunganku. Sontak pak Pramono tersenyum bahagia sambil memandang wajahku dengan wajah berbinar-binar.
Istri? Kapan aku jadi istri pak Pramono? Hamil? Bagaimana aku menjelaskan kepada keluarga dan mas Reno? Pikiranku berkecamuk saat itu juga meski aku tutupi dengan senyuman untuk menghilangkan kecurigaan pak Pramono kalau aku sedang gundah gulana.
Keluar dari rumah praktek dokter kandungan, dengan perasaan yang tidak karuan aku mengikuti saja ke arah mana pak Pramono mengarahkan kendaraannya.
Hingga akhirnya aku tersadar dari lamunanku jika aku sudah berada di areal parkir sebuah supermall.
"Ayo turun Rini! Kita belanja baju hamil dulu buatmu sekaligus baju bayi dan perlengkapannya, nanti ditaruh di rumahmu, ok," ucap pak Pramono ketika sudah sampai diparkiran mall. Ia mengajakku memborong baju hamil dan perlengkapan bayi seolah aku adalah istrinya. Ooh! Amazing.
Meski aku bukan istrinya, tapi pak Pramono sungguh laki-laki yang sangat bertanggung jawab. Sungguh, suami idaman jika dia bukan suami orang!
Akhirnya kami masuk ke dalam Mall menuju lantai khusus berbagai pakaian. Di saat kami sedang memilih-milih baju hamil. Tiba-tiba aku melihat seorang pemuda yang tidak asing bagiku. Siapa lagi kalau bukan Reno. Ia terlihat sedang berjalan di tengah lalu lalang orang jalan-jalan di mall.
Tunggu-tunggu, bukankah ia harusnya di rumah sakit menunggui mamanya? Kenapa bisa ada di sini, ngapain dia? Ah! Gawat ini! Jika sampai ia tahu keberadaanku dengan pak Pramono, habis aku ini!
Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana jika ia mengetahui aku dan pak Pramono sedang belanja baju hamil?
Mataku terus jelalatan sambil berharap Reno sudah keluar dari Mall. Aku tidak konsentrasi hingga akhirnya semua model dan warna pakaian, semua atas pilihan pak Pramono. Tugasku hanya mengangguk dan bilang iya sambil mengucapkan terima kasih berhias senyuman manis yang sudah manis dari sononya.
Setelah selesai berbelanja, aku akhirnya keluar toko. Lega rasanya ... tidak berpapasan dengan Reno. Bisa perang dunia jika ia tahu hubungan gelapku dengan ayahnya.
Lantai demi lantai kami lalui dengan aman. Sampai di lantai bawah, kembali jantungku berdegup kencang. Sebab sosok Reno masih di mall ini! Ia sedang berbicara dengan seseorang yang tampaknya seperti seorang rekan pebisnis. Duh! Bagaimana ini?
Aku mencolek pak Pramono, dan memberikan kode kepadanya untuk melihat ke arah Reno yang terlihat sedang berbincang dengan rekannya.Sontak pak Pramono terlihat sangat kaget. Sama kagetnya denganku yang diiringi jantung berdegup kencang. Semestinya 'kan dia di rumah sakit menemani ibunya."Kita berjalan sendiri-sendiri saja yah! Jangan sampai kita ketahuan jalan berdua," ucap pak Pramono sambil mengajakku berbalik arah menjauh dari tempat Reno berada."Tapi, baju-baju ini bagaimana, pak?" tanyaku panik dengan wajah gelisah."Oh, iya, bagaimana yah! Mmm ... begini saja, baju ini tetap kamu yang bawa. Jika nanti kepergok Reno, bilang saja ini mau disumbangkan buat saudara kamu yang sedang hamil," saran pak Pramono sambil bergegas menjauh dariku.Aku berdiri kebingungan sambil menenteng tas-tas berisi pakaian hamil. Harus lewat mana? Sementara di depan sana ada Reno.Disaat sedang bingung-bingungnya. Tiba-tiba sapaan seorang laki-laki terdengar dari belakangku."Rini?! kamu ngapain ada di
"Rini, besok lusa aku mau ke tempat pernikahan rekan bisnis aku. Temani aku yah?" tanya Reno ketika aku sedang memasak di dapur."Aku malu, Mas, itu kan tempat orang kaya semua. Aku bukan sebanding dengan mereka," jawabku berusaha menolaknya karena memang aku akan mulai menjauh dari hidupnya."Siapa bilang kamu gak selevel. Kamu cantik, putih, berpendidikan dan bisa menyesuaikan dikondisi lingkungan manapun lebih tepatnya di ajak susah gak nyusahin, di ajak kaya gak malu-maluin," bujuk Reno."Ah, mas, bisa saja. Tapi bener Mas, aku gak percaya diri," ucapku berusaha sebisa mungkin menolaknya."Aku sudah membelikan gaun buat kamu pakai loh! Tara ...." Ia mengeluarkan sebuah gaun darai tas kertas yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Sebuah gaun yang mewah dan pasti harganya mahal sekali. Sepasang sepatu hak tinggi yang cantik juga ia pamerkan."Gimana? Mau kan? Harus mau, aku sudah susah cari-cari gaun ini tadi. Dan aku sudah tahu ukuran lekuk tubuhmu, ukuran sepatumu.
Bab 6Perutku makin membesarAku menyadari makin hari perutku semakin membesar. Sebelum Reno mengetahui bahwa aku hamil. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja di rumah pak Pramono.Tanpa sepengetahuannya aku mengemas barang-barangku. Aku kemudian menemui pak Pramono untuk mengatakan bahwa aku akan tinggal di rumah yang ia berikan untukku.Pak Pramono tentu saja meng-iyakan karena ia tahu bahwa perutku lama kelamaan pasti makin besar."Nanti aku akan mengantarmu," ucap Pak Pramono."Jangan, Pak, aku takut ada yang melihat. Nanti justru akan menimbulkan masalah baru," terangku padanya."Lambat atau cepat, hubungan kita pasti akan ketahuan," jawab pak Pramono. meyakinkanku. Kuakui dia memang pria bertanggung jawab."Terus, bagaimana, Pak?""Aku akan menikahimu," jawab pak Pramono."Tapi, Pak, aku nanti di bilang pelakor," ucapku tanpa mangaku sebagai pelakor, padahal sejatinya aku memang sudah jadi pelakor! Cuma aku saja yang tidak gengsi mengakuinya."Aku akan menikahimu secara
Hari-hari aku lalui di dalam rumah baruku. Jarang aku keluar rumah kecuali penting sekali. Aku takut bertemu kembali dengan Reno. Yah! Takut sekali, sebab dia pasti akan mempertanyakan tentang anak yang aku kandung.Untuk keperluan biaya hidup pak Pramono kerap datang ke rumah membawa belanjaan dan uang."Rini, beberapa hari ke depan kemungkinan bapak tidak bisa ke sini, rencananya mau ke Singapura mau konsultasi masalah kesehatan ibu. Gak apa-apa, kan?" tanya pak Pramono suatu ketika di sore itu."Tidak apa-apa, Pak! Rini maklum, Bapak juga punya tanggung jawab kepada ibu," ucapku sambil tersenyum."Sebelum bapak pergi, bapak mau mengajak kamu ke dokter kandungan setelah itu kita belanja untuk keperluan kamu ke depan," ucapnya."Di mana Pak?""Ke dokter sekitar sini saja, setelah itu ke supermarket, nanti kamu yang memilih sayuran dan buah-buahan apa yang kamu inginkan, Bapak kan tidak tahu," ucapnya"Baik, Pak.""Hayukk."Aku segera mengikuti langkahnya menuju carport di mana mobiln
Sudah lebih satu Minggu pak Pramono tidak datang menjengukku, biasanya tiga atau empat hari dia pasti datang. Ini sudah hampir sepuluh hari. Ah! Mungkin masih di Singapura. Ingin aku bertanya melalu panggilan telepon. Namun, tidak berani. Entah kenapa, aku kepada pak Pramono terlalu segan. Mungkin karena kewibawaannya atau pembawaannya yang cool layaknya para pemimpin.Akhirnya aku mencoba menunggu saja kabar darinya atau menunggu kedatangannya. Namun, hingga berhari-hari tidak ada kabarnya meski hanya melalui SMS atau WhatsApp.Aku pun bertanya-tanya, apa yang terjadi dengannya kenapa tidak ada kabar? Kekhawatiranku semakin menjadi ketika sudah beberapa minggu tidak juga kunjung ada kabar, apalagi datang.Tetiba aku di kagetkan dengan adanya suara mobil berhenti di carport kemudian tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu di ruang tamu.Kubuka pintunya.Degg!Begitu kagetnya aku, dihadapanku sudah berdiri seorang pemuda tampan yang tidak asing lagi bagiku.Pemuda yang pern
Hari-hari menunggu kelahiran si jabang bayi di rumah sakit, aku hanya menghadapi sendiri tanpa sanak saudara menemaniku. Tanpa siapapun mensuportku. Tanpa seorangpun memperhatikanku. Tanpa siapapun yang membuatku tersenyum. Tanpa seorangpun menguatkanku. Hampa! Yah, hampa hidupku saat itu. Merasa jadi orang yang tidak memilki arti.Kecuali Reno yang setiap sore ia datang menjengukku meski tanpa berbicara sepatah katapun. Ia hanya melihat dan memandangiku. Ia hanya menunggui di pojok kamar rumah sakit. Selepas itu ia pergi.Aku tidak tahu apa yang dalam pikirannya. Apakah kasihan kepadaku?Aneh! Padahal sudah aku tegaskan bahwa ini bukan anaknya. Namun, aku pun tak ingin menanyakannya. Biar dia saja yang tahu apa maksud dia tiap hari menjengukku. Aku sudah sangat merasa bersalah sekali kepadanya. Tidak berani menyapa dia duluan apalagi mempertanyakan maksudnya. Tidak! Aku malu, aku menyesal! Sangat menyesal!Biar! Biarlah seperti ini saja hingga si jabang bayi ini keluar. Setelah ini,
Perlahan aku merintis usaha toko sembako di rumah yang aku beli dari separuh hasil penjualan rumah di Jakarta.Aku merencanakan sendiri segala sesuatunya. Baik mulai mempersiapkan tempat, belanja barang, promosi dan lain sebagainya. Tiap pagi sekali aku mengajak Naomi ke pasar induk untuk belanja sayuran yang aku jual di warungku. Untuk isi warung sudah ada agen yang rutin datang menawarkan dagangannya. Jadi tidak susah-susah lagi belanja.Aku terkadang kasihan sama Naomi, harus ikut ke pasar desak-desakan. Namun, tidak mungkin juga aku tinggal di rumah sendirian.Selain membuka toko sembako, aku juga menyewa sebuah ruko untuk membuka usaha agen ekspedisi. Dengan begitu aku memiliki dua penghasilan yang bisa menopang kehidupanku bersama Naomi ke depannya.Susah payah, jatuh bangun aku merintis usaha ini. Begitu banyak suka dukanya, yah! Membuka usaha memang tak segampang melihat orang yang sudah sukses.Mereka bisa mencapai kesuksesan dengan usaha tanpa putus asa. Tapi semua kujalani
"Rini, anak kamu sudah besar, tak menyangka aku bertemu kamu disini," pria itu berdiri. Ia lalu memalingkan wajahnya ke arahku."Bagaimana, Mas bisa ada di sini?" Dengan wajah terpelongo aku bertanya seolah aku seperti mimpi bisa bertemu dengan seorang yang aku hindari selama ini."Aku kan memiliki cabang perusahaan disini?" ucapnya, "Kenapa kamu pergi tanpa memberitahu. Selama ini aku mencari-cari kamu. Rumahmu selalu kosong, dan terakhir sudah dihuni orang lain." ucapnya sambil mendekat ke arahku membuat jantungku berdetak. Perasaan yang selama ini berusaha kupadamkan harus tersulut kembali.Aku kemudian mendekati Naomi dan meraih tangannya."Iya, karena aku punya kehidupan lain, Mas," ucapku singkat."Aku tahu Noami belum punya ayah hingga sekarang. Buktinya kamu hanya berdua," ucapnya sambil mendekati Naomi."Ayahnya sedang merantau, Mas," jawabku bohong."Dari matamu aku tahu kamu bohong," jawabnya yakin."Bagaimana mas tahu aku di sini?" tanyaku."Aku sedang duduk di cafe depan.